Wilujeng Sumping, alias SELAMAT DATANG... di blog simkuring... moga-moga aya manfaat nu tiasa katampi... hapunten nu kasuhun... bilih aya nu teu kahartos...

Kang Yosep: "Idealis" menapaki "Realitas"


DATA MAHASISWA

No. NIM Nama Mahasiswa
1 09.0290 Abdul Malik
2 09.0267 Agus Salim
3 09.0292 Asep Haerudin
4 09.0282 Asep Saripin
5 09.0301 Basir Japidung
6 09.0259 Diman Zamil
7 09.0303 Ema Nurhasanah
8 09.0278 Fitri Indriani
9 09.0299 Galih Permana
10 09.0270 Ikrima Nisa Habibah
11 09.0275 Ismailia
12 09.0325 Maya Susanti
13 09.0324 Mira Nopita
14 09.0326 Rani Tri Lesmayanti
15 09.0260 Risa Apriani
16 09.0385 Sidiq Ginanjar
17 09.0300 Siti Nurul Hidayah
18 09.0328 Tedi Setiadi
19 09.0327 Toto Soni
20 09.0383 Winda Gustiani
21 09.0319 Wiwin Muspianti
22 09.0384 Yana Hadiana
23 09.0283 Yopi Sopiana
24 09.0265 Yosep Saeful Azhar Photobucket
25 09.0298 Endang Sudrajat
26 09.0316 Supian Munawar
27 Asep Al-Juhaeri

Friday, January 22

Good Governance

Makalah di bawah ini adalah makalah yang merupakan tugas dari mata kuliah Kewarga-negaraan. Dengan tema pokok Good Governance, kami mencoba menelusuri berbagai faktor dan perkembangan sistem kenegaraan yang terus-menerus mengalami perkembangan yang positif.

Lengkapnya makalah dapat Anda klik di tulisan KLIK DI SINI di bawah ....

PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atas segala kenikmatan-Nya, penulis diberi kemampuan untuk menyelesaikan makalah ini. Makalah dengan tema Good Governance ini saya beri judul “Good Governance dalam Siklus Fungsional Kenegaraan”. Kiranya cukup tepat jika tema ini dikait-eratkan dengan fungsi kenegaraan sebagai wadah besar bagi suatu pemerintahan.
Selain itu, penulis berharap dapat mengenal lebih mendalam tentang konsepsi kenegaraan dari aspek historical development-nya. Mudah-mudahan dengan tugas pembuatan makalah ini, pengetahuan penulis tentang sejarah kenegaraan dan perkembangannya dapat bertambah secara komprehensif.
Secara psikologis, penyusunan makalah ini benar-benar telah menyerap energi pemikiran yang penulis miliki. Terlebih, pemahaman penulis terhadap konsepsi pemerintahan masih sangat terbatas. Namun demikian, hambatan demi hambatan tidak harus menjadi penghalang demi meraih pengetahuan mendalam. Selain manfaat yang dapat diraih oleh penulis sendiri, mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat juga bagi orang lain. Insya-alloh.
Tidak lupa, penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen Pendidikan Pancasila yang telah membukakan pemahaman melalui tugas-tugas yang diberikan. Apalagi tugas pembuatan makalah ini merupakan proses penawaran dari berbagai tema yang dapat dipilih secara bebas oleh mahasiswa sesuai dengan daya tariknya masing-masing.

Bandung, 02 Januari 2010

PENULIS






DAFTAR ISI

PRAKATA ………………………………… ii

DAFTAR ISI ………………………………… iii

BAB I: PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ………………………………… 1
1.2. Rumusan Masalah ………………………………… 2
1.3. Kerangka Teori ………………………………… 2

BAB II: GOOD GOVERNANCE DAN KENEGARAAN
2.1. Eksistensi Negara ………………………………… 4
a) Aspek Filosofis ………………………………… 5
b) Aspek Historis ………………………………… 5
c) Aspek Yuridis ………………………………… 8
2.2. Relevansi antara Negara dan Pemerintahan …………………. 8
2.3. Good Governance sebagai Karakter Positif Pemerintahan …. 9
a) Definisi Good Governance ………………………………… 9
b) Tiga Pilar Good Governance ………………………………. 10
c) Prinsip-Prinsip Good Governance …………………………. 12

BAB III: PENUTUP
3.1. Kesimpulan ………………………………… 16

DAFTAR PUSTAKA ………………………………… 17








BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Struktur kemasyarakatan, secara politis, senantiasa terkait dengan negara (state) dan institusi pemerintahan (government). Manusia, secara sosiologis-politis, memang merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkecimpung dengan nuansa-nuansa politis sesuai dengan perkembangan budaya dan peradabannya. Dalam hal ini, negara dan pemerintahan memiliki peran penting dalam melestarikan nilai-nilai budaya dan peradaban tersebut.
Analisa terhadap eksistensi negara dan pemerintahan, secara mendasar, dapat melingkupi beberapa permasalahan sebagai berikut. Pertama, dari sisi landasan historis, bagaimana proses terbentuknya suatu masyarakat ke dalam bentuk kelembagaan semisal negara dan pemerintahannya. Kedua, dari sisi landasan filosofis, mengapa timbul suatu bentuk pemerintahan dan untuk apakah dibentuknya pemerintahan yang dimaksud. Ketiga, dari sisi landasan yuridis, apa yang menjadi landasan hukum terbentuknya suatu pemerintahan. Keempat, dari sisi landasan normatif, bagaimana suatu pemerintahan bisa dipandang sebagai pemerintahan yang baik sesuai dengan cita ideal semua elemen dan unsur-unsur kemasyarakatan lainnya.
Tema sentral Good Governance (Tata Laksana Pemerintahan yang Baik) terletak pada point keempat, yakni eksistensi pemerintahan dalam tinjauan normatif. Analisa terhadap permasalahan ini berawal dari paradigma kaum awam yang memandang bahwa pemerintahan yang baik sangat identik dengan pemerintahan yang mampu memberikan pendidikan gratis, membuka banyak lapangan kerja, mengayomi fakir miskin, menyediakan sembako murah, memberikan iklim investasi yang kondusif, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Dengan kata lain, pemerintah dianggap baik apabila ia mampu melindungi dan melayani masyarakatnya. Konstelasi pemikiran seperti ini akhirnya melahirkan indikasi bahwa pelayanan umum (public service) yang berkualitas merupakan ukuran utama dan pertama untuk menilai sebuah pemerintahan yang baik (good governance), sedangkan pelayanan umum yang buruk lebih mencerminkan pemerintahan yang miskin inovasi dan tidak memiliki keinginan untuk mensejahterakan masyarakatnya (bad governance).

1.2. Rumusan Masalah
Sebagaimana uraian dalam Latar Belakang Masalah di atas, pembahasan tentang kondisi Good Governance suatu pemerintahan dapat dilacak melalui 4 analisa tentang konsepsi kenegaraan yang di dalamnya akan senantiasa terkait dengan sistem pemerintahan.
Dengan demikian, rumusan masalah yang dapat dipaparkan dalam makalah ini tidak terlepas dari keempat point berikut ini.
1) Bagaimana proses terbentuknya suatu negara dan atau suatu pemerintahan?
2) Mengapa bisa muncul suatu negara atau pemerintahan? dan, apa yang menjadi tujuan terbentuknya negara dan pemerintahan tersebut?
3) Apa saja yang bisa menjamin secara hukum, suatu negara dianggap absah dan legitimated?
4) Bagaimana menilai suatu pemerintahan sehingga dapat disebut sebagai pemerintahan yang baik (Good Government)?

1.3. Kerangka Teori
Dalam konstelasi ilmu politik, manusia dalam kapasitasnya sebagai zoon politicon (makhluk yang berpolitik) merupakan realitas yang sangat menarik untuk dianalisa. Para ahli, baik dari sisi filsafat maupun secara langsung dari sisi politik, telah banyak menggulirkan hasil penelitiannya berkaitan dengan kehidupan dan sistem politik yang dianut oleh berbagai bangsa. Dengan ini, dalam paradigma keilmuan, lahirlah apa yang disebut dengan filsafat politik dan ilmu politik.
Bila dirunut secara filosofis, kehidupan manusia senantiasa beriringan dengan harapan dan cita-cita mulianya, yakni memperoleh kebahagiaan, hikmah, dan kesejahteraan. Harapan dan cita-cita ini jika dihadapkan kepada realitas kehidupan manusia yang heterogen bukan sesuatu yang mudah untuk dicapai. Ada berbagai keinginan dan tindakan yang saling berseberangan di antara setiap insan untuk meraih cita-cita dan harapannya itu. Dari sisi inilah, salah satu faktor terwujudnya suatu keteraturan melalui negara dan pemerintahannya menjadi urgen dalam upaya menjamin terciptanya kesetaraan dan keseimbangan dalam sistem kehidupan umat manusia.
Socrates merupakan pemikir yang memperkenalkan istilah theoria sebagai pengetahuan. Menurut dia, tugas negara adalah mendidik warga negara dalam keutamaan yakni memberikan kebahagiaan kepada setiap warga negara serta membuat jiwa mereka sebaik mungkin. Penguasa negara haruslah memiliki pengertian tentang “yang baik”. (Azhar, 1997: 21)
Plato selaku murid bagi Socrates menggambarkan bahwa negara merupakan sesuatu yang melambangkan keadaan di alam semesta yang memiliki keteraturan dan keseimbangan. Oleh Plato negara dianalogikan dengan manusia yang mempunyai tiga kemampuan jiwa yakni: kehendak, akal pikiran dan perasaan. (Azhar, 1997: 25)
Dari sisi pemikir keagamaan, misalnya Al-Farabi, memandang bahwa manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat lantaran tidak mungkin memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa melibatkan bantuan dan kerjasama dengan orang lain. Adapun tujuan bermasyarakat adalah tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, melainkan juga untuk memenuhi kelengkapan hidup yang akan memberikan kebahagiaan, tidak saja material tetapi juga spiritual, dan bukan saja di dunia tetapi juga di akhirat. (Azhar, 1997: 77)
Bahkan Ibnu Taimiyah lebih mempertegas peran negara dalam hubungan kemasyarakatan, terutama masyarakat yang berlandaskan kepada tuntunan ajaran Islam. Dia mengungkapkan bahwa menegakkan negara sebagai tugas suci yang dituntut agama dan merupakan salah satu perangkat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Memang, istilah negara tidak disinggung dalam Quran maupun hadits, tetapi unsur-unsur esensial yang menjadi dasar negara dapat diketemukan di dalam keduanya. Unsur-unsur itu seperti keadilan, persaudaraan, ketahanan, kepatuhan, dan kehakiman, persoalan pembagian harta ghanimah, dan penciptaan perdamaian dapat diterjemahkan sebagai instrumen sosial politik bagi tegaknya negara. Beberapa tugas keagamaan seperti mengumpulkan zakat dan distribusinya, menghukum tindakan kriminil dan organisasi jihad tidak akan terlaksana dengan baik tanpa intervensi penguasa politik. (Azhar, 1997: 95-96)
Dalam kerangka inilah, istilah-istilah seperti siyasah, al-madinah, al-hukm, al-makr, dan al-amanah yang disitir dalam ungkapan al-Quran atau al-Hadis secara spesifik memiliki muatan dan keterkaitan dengan konsep-konsep politik dalam hidup bermasyarakat. Maka dari itu, dari aspek keagamaan, penegasan al-Quran sebagai kitab suci yang berisi petunjuk bagi manusia tidaklah terbatas kepada aspek kehidupan ritual dan sosial belaka, tetapi juga mengandung konsep-konsep dan ajaran politik. (Salim, 2000: 13)


BAB II
GOOD GOVERNANCE DAN KENEGARAAN
2.1. Eksistensi Negara
Sebagaimana disebutkan di atas, konsepsi pemerintahan tidak dapat lepas begitu saja dari negara sebagai wadah berlangsungnya suatu pemerintahan. Istilah negara, dalam uraian Isjwara (1985: 90-91), diterjemahkan dari kata-kata asing “Staat” (bahasa Belanda dan Jerman); “State” (bahasa Inggris); “Etat” (bahasa Perancis).
Istilah “Staat” mempunyai sejarah tersendiri. Istilah itu mula-mula dipergunakan dalam abad ke-15 di Eropa Barat. Anggapan umum yang diterima adalah bahwa kata “Staat” (state, etat) itu dialihkan dari kata bahasa Latin “status” atau “statum”.
Kaisar Rumawi Ulpianus dikatakan pernah memakai kata “statum” itu dalam ucapannya “Publicum ius est quad ad statum rei Romanae Spectat”. Menurut Jellinek kata “statum” pada waktu itu masih berarti “die Verfassung, die Ordnung” atau sebagaimana lazim disebut sekarang: konstitusi. Kemudian kata “status” itu juga lazim dipergunakan dalam hubungannya dengan kesejahteraan umum, misalnya “status rei publicae” atau “res publica” saja.
Secara etimologis kata “status” itu dalam bahasa Latin klasik adalah suatu istilah yang abstrak yang menunjukkan keadaan yang tegak dan tetap, atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap itu. Sejak Cicero (104-43) kata “status” atau “statum” itu lazim diartikan sebagai “standing” atau “station” (kedudukan) dan dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup manusia sebagaimana diartikan dlam istilah “status civitatis” atau “status republicae”. Dari kata Latin klasik ini dialihkan beberapa istilah lainnya di samping istilah “state” atau “staat” seperti istilah “real estate” atau “personal estate” dan juga “estate” dalam arti dewan atau perwakilan golongan sosial. Dalam arti yang belakangan inilah kata “status” semula diartikan dan baru dalam abad ke -16 kata itu dipertalikan dengan kata “negara”.
Dalam pertumbuhannya, negara sebagai sebuah wadah bagi berjalannya konstisusi sebuah pemerintahan menuai berbagai tanggapan dan kritikan dari para ahli politik dan para pakar filsafat politik, baik dari sisi bentuknya, fungsinya, maupun sistemnya. Dengan beragamnya kritikan tersebut, maka beragam pula bentuk, fungsi dan sistem pemerintahan dalam suatu negara sesuai dengan kondisi dan perjalanan sejarahnya. Misalnya, secara filosofis, kita mengenal beberapa terma tentang kenegaraan atau pemerintahan seperti konsepsi negara kota yang diprakarsai oleh Plato atau al-madinatul fadilah yang digemborkan oleh Al-Farabi.

a) Aspek Filosofis
Dalam ungkapan umum, manusia termasuk dalam kategori homo sapien, makhluk yang bermasyarakat. Kondisi ini merupakan kondisi kodrati dari sisi kemanusiaan secara murni karena adanya sifat suka berkelompok dan bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial, maka pada diri manusia sudah tertanam niat dan hasrat berorganisasi. Organisasi sekalipun tidak sama dengan ketertiban (orde), namun merupakan dua muka dari satu medali yang sama. Organisasi secara implisit mencakup pengertian ketertiban. Negara adalah suatu bentuk yang terjelma dari hasrat berorganisasi manusia. Dalam hasrat-hasrat hidup bersama, hidup berorganisasi, terletak idea yang kasar dari negara. (Isjwara, 1985: 93)
Imam al-Ghazali (1058-1111 M) memandang bahwa aspek sosiologis manusia, dalam analisa filsafat, tidak terlepas dari dua faktor. Pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia, hal ini diperlukan hubungan antara laki-laki dan perempuan serta keluarga. Kedua, saling membantu dalam menyediakan kebutuhan hidup seperti makanan, pakaian, kesehatan, keamanan dan pendidikan. Dalam upaya merealisir kerjasama untuk mewujudkan kebutuhan manusia dalam arti luas diperlukan adanya sebuah negara. (Azhar, 1997: 88)

b) Aspek Historis
Terbentuknya suatu negara dengan seperangkat instrumen pemerintahannya, ditinjau dari aspek historis, dapat diketahui melalui beberapa teori berikut ini.
1) Teori Patriarkhal dan Matriarkhal
Secara ringkas, teori patriarkhal dapat dinyatakan sebagai sebuah kesatuan sosial yang paling utama dalam masyarakat primitif di mana seorang ayah atau bapak dianggap paling berkuasa dalam sebuah keluarga, bahkan garis keturunan ditarik dari pihak ayah. Keluarga tersebut selalu mengalami perkembangan sehingga timbul beberapa keluarga yang semuanya dipimpin oleh kepala keluarga induk (ayah). Lambat laun, secara evolusionis, kepemimpinan keluarga ini terus melebar dan berkembang. Tetapi tampuk kekuasaan tetap berada di tangan ayah. Inilah benih-benih pertama munculnya suatu negara secara patriarkhal, yakni persekutuan di antara beberapa keluarga yang dipimpin oleh kepala induk (ayah).
Teori Patriarkhal ini, walaupun sudah ditemukan dalam beberapa tulisan Aristoteles, namun baru mendapatkan eksponen-eksponen yang utama pada abad ke-19 dalam intelektualitas Sir Henry Summer Maine (1882-1888). Ia membentangkan teori-teori patriarkhal dlam bukunya Ancient Law (1861) dan Early History of Institutions (1875). (Isjwara, 1985: 155)
Sedangkan teori matriarkhal adalah sistem yang berkebalikan dengan teori patriarkhal. Menurut teori matriarkhal, persekutuan primitif yang pertama tidak mengenal pria sebagai kepala keluarga, tidak ada semacam fater familias dari keluarga-keluarga Romawi atau seorang patriarch yang menguasai persekutuan itu. Malahan sebaliknya, garis keturunan ditarik dari kaum ibu; kekeluargaan didasarkan atas ibu dan keturunannya. Hubungan darah ditentukan oleh keturunan ibu. Bukan gens yang merupakan kesatuan yang terutama, tetapi clan.
Teori matriarkhal pertama kali dikemukakan oleh J.J. Bachofen dalam bukunya Das Mutterrecht (1860). Bachofen menentang pandangan patriarkhal dari Maine dengan mengemukakan, bahwa persekutuan-persekutuan lama menunjukkan adanya promeskuitet dalam perhubungan seksuil, yang menutup kemungkinan adanaya persekutuan-persekutuan yang didasarkan atas keayahan itu. Beberapa sarjana-sarjana sosiologi dari aliran evolusioner kemudian memperhalus ajaran matriarkhal itu, seperti Sir John Lubbock, J.M. Mc Lennan, Herbert Spencer, E.B. Tylor dan lain-lain. Dalam ilmu politik, teori matriarkhal dianut antara lain oleh Edward Jenks dalam bukunya A History of Politics (1900). (Isjwara, 1985: 155)

2) Teori Kedaulatan Tuhan
Teori ini juga dikenal sebagai doktrin teokratis tentang asal-mula negara. Teori ini dapat ditemukan baik di dunia Timur maupun di dunia Barat, baik dalam teori maupun dalam praktik. Dikatakan dalam epik Mahabharata, bahwa tatkala manusia dalam keadaan alamiah yang anarkhistis itu menderita keganasan-keganasan dari keadaan itu, maka mereka menghampiri Tuhan dan memohon kepada-Nya agar Tuhan menyediakan seorang raja bagi mereka yang dapat menolong melepaskan mereka dari keadaan yang ganas dan kacau balau itu.
Doktrin ketuhanan ini memperoleh bentuknya yang sempurna dalam tulisan-tulisan sarjana-sarjana Eropa dalam Abad Pertengahan yang menggunakan teori itu untuk membenarkan kekuasaan raja-raja yang mutlak. Dengan mengambil ketuhanan sebagai alasan, dikatakanlah bahwa raja bertakhta karena kehendak Tuhan. Doktrin ini mengemukakan hak-hak raja yang berasal dari Tuhan, untuk memerintah dan bertakhta sebagai raja (Divine Rights of Kings). (Isjwara, 1985: 151-152)
3) Teori Kontrak Sosial (Perjanjian Masyarakat)
Teori kontrak sosial menganggap perjanjian sebagai dasar negara dan masyarakat. Negara dan masyarakat yang dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat adalah teori asal-mula negara yang ditemukan dalam tulisan-tulisan sepanjang zaman, sejak pemikiran politik yang rasionil dimulai, dalam tulisan-tulisan filosof-filosof Yunani purba sampai pada teori-teori Rousseau dalam abad ke-18. (Isjwara, 1985: 136)
Dalam kajian sejarah Islam, secara praktis, teori kontrak sosial ini pernah diberlakukan sebagai dasar pendirian negara oleh Rasulullah Saw yang kita kenal dengan Piagam Madinah. Piagam itu adalah bentuk perjanjian yang dibuat oleh Rasulullah Saw antara kaum muslimin dengan anggota masyarakat Yatsrib (Madinah) yang lainnya dari kelompok Yahudi dan Nashrani.
Selain itu, Busroh (2009: 44-47) menguraikan bahwa dalam teori terjadinya negara ada 2 macam sisi pembahasan. Pertama, terjadinya negara secara primer. Maksudnya, teori yang membahas tentang terjadinya negara yang tidak dihubungkan dengan negara yang telah ada sebelumnya. Teori ini menetapkan 4 tahap munculnya sebuah negara, yaitu sebagai berikut.
1. Fase Genossenschaft yang merupakan perkelompokan dari orang-orang yang menggabungkan dirinya untuk kepentingan bersama, dan disandarkan pada persamaan.
2. Fase Reich yang merupakan tumbuhnya kesadaran dari orang-orang yang bergabung sesuai dengan pengertian pada fase pertama terhadap hak milik atas tanah. Dari teori inilah muncul sistem feodalisme.
3. Fase Staat yang menggambarkan fase kesadaran masyarakat dari tidak bernegara menjadi bernegara dan mereka telah sadar bahwa mereka berada pada satu kelompok.
4. Fase Democratische Natie yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari fase Staat, di mana Democratische Natie ini terbentuk atas dasar kesadaran Demokrasi Nasional, kesadaran akan adanya kedaulatan di tangan rakyat.
Kedua, terjadinya negara secara sekunder. Maksudnya, teori yang membahas tentang terjadinya negara yang dihubungkan dengan negara yang telah ada sebelumnya. Dalam teori ini, titik sentral terjadinya suatu negara berada dalam pengakuan atas kedaulatan negara tersebut, baik secara de facto maupun secara de jure.

c) Aspek Yuridis
Absahnya suatu negara secara yuridis dapat ditinjau dalam aspek konstitusional suatu negara dan pemerintahan. Secara konstitutif, sebuah bangsa dapat dikategorikan sebagai sebuah negara bila memiliki tiga unsur; penduduk, wilayah, dan pemerintah yang berdaulat. Ketiga unsur ini adalah unsur-unsur dasar bagi terwujudnya suatu negara. Sedangkan menurut Konvensi Montevideo (1933) yang membahas tentang hak-hak dan kewajiban negara, negara sebagai subjek hukum internasional harus memiliki empat kualifikasi, yakni penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintah yang berdaulat, dan kemampuan mengadakan hubungan dengan negara-negara lainnya. Keempat unsur ini merupakan unsur konstitutif dari negara menurut pengertian hukum internasional.

2.2. Relevansi antara Negara dan Pemerintahan
Sebagaimana uraian di atas, dalam pembahasan Eksistensi Negara, pemerintahan itu merupakan salah satu unsur dari negara. Atas dasar ini, secara praktis, pemerintah diidentikkan dengan negara. Segolongan kecil sarjana-sarjana ilmu politik seperti Leon Duguit, Harold J. Laski dan Roger Soltau berpendapat bahwa praktis pemerintah dan negara tidak dapat dibedakan dan karena itu pemerintah dan negara adalah setali tiga uang. Bagi Prof. Duguit dan bagi kaum pluralis pada umumnya, pemerintah dan negara adalah identik, karena dari pengalaman sehari-hari pemerintah dan bukan negaralah yang tampil kemuka. Prof. Laski mengemukakan hal ini sebagai berikut, “The state is, for the purposes of practical administration, the government”. (Isjwara, 1985: 104)
Tetapi di sisi lain, secara teoritis, identifikasi negara dan pemerintah tidak dapat dibenarkan. Secara teoritis dapatlah dibedakan dan dipisahkan dengan tegas hakikat negara dan pemerintah. Negara adalah kesatuan politik yang lebih luas dan lebih inklusif daripada penyelenggaraan pimpinan kesatuan itu, ic, pemerintah. Pemerintah adalah satu segi dari negara, segi yang terjelma, yang mengkonkretisir negara. (Isjwara, 1985: 105)
Organisasi negara mempunyai badan pimpinan dan badan pengurus yang memimpin dan yang mengurus negara. Badan demikian disebut pemerintah, dan fungsinya disebut pemerintahan. Memerintah berarti menjalankan tugas pemerintahan. Kita harus tegas-tegas membedakan arti kata pemerintah dan pemerintahan.
Kata pemerintah dan pemerintahan dapat diartikan luas atau sempit. Dalam arti yang luas pemerintah adalah keseluruhan dari badan pengurus negara dengan segala organisasi, segala bagian-bagiannya dan segala pejabat-pejabatnya yang menjalankan tugas negara dari pusat sampai pelosok-pelosok daerah. Dalam arti yang sempit pemerintah berarti suatu badan pimpinan terdiri dari seorang atau beberapa orang yang mempunyai peranan pimpinan dan menentukan dalam pelaksanaan tugas negara. Jelasnya pemerintah dalam arti ini ialah kepala negara dengan para menteri yang kini lazim disebut kabinet. (Busroh, 2009: 81)

2.3. Good Governance sebagai Karakteristik Positif Pemerintahan
a) Definisi Good Governance
Good Governance, dalam tinjauan kebahasaan, berarti tata laksana pemerintahan yang baik, cita negara berdasarkan hukum, di mana masyarakatnya merupakan self regulatory society.
Kata Governance memiliki unsur kata kerja yaitu governing yang berarti bahwa fungsi oleh pemerintah bersama instansi lain (LSM, swasta dan warga negara) perlu seimbang atau setara dan multi arah (partisipatif). Governance menunjukkan tata pemerintahan, penyelenggaraan negara, atau pengelolaan (management) yang mengisyaratkan bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah.
Adapun secara terminologis, dalam bahasa dan pemahaman masyarakat termasuk di sebagian elit politik, istilah Good Governance seringkali dipahami secara rancu. Untuk meluruskan pemahaman tersebut, setidaknya ada tiga terminologi yang harus kita pahami dengan baik, yaitu Good Governance (tata pemerintahan yang baik), Good Government (pemerintahan yang baik), dan Clean Government (pemerintahan yang bersih).
Good Governance, menurut Bank Dunia (World Bank) adalah cara kekuasaan digunakan dalam mengelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat (The way state power is used in managing economic and social resources for development of society). Sedangkan menurut UNDP, Good Governance dimaknai sebagai praktik penerapan kewenangan pengelolaan berbagai urusan penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi, dan administratif di semua tingkatan. (http://www.scribd.com/doc/ 4606676¬/¬Good-Governance)
Dengan demikian, pemerintah sudah dapat mereduksi perannya sebagai pembina dan pengawas implementasi visi dan misi bangsa dalam seluruh sendi-sendi kenegaraan melalui pemantauan terhadap masalah-masalah hukum yang timbul dan menindaklanjuti keluhan-keluhan masyarakat dan sebagai fasilitator yang baik. Dengan pengembangan sistem informasi yang baik, kegiatan pemerintahan menjadi lebih transparan dan akuntabel karena pemerintah mampu menangkap feedback dan meningkatkan peran serta masyarakat. (http://www.total.or.id/info.php?¬kk=¬Good¬%¬20¬governance)
Karena itu, Good Governance adalah seperangkat proses yang diberlakukan dalam organisasi, baik swasta maupun negeri, untuk menentukan keputusan. Tata laksana pemerintahan yang baik ini walaupun tidak dapat menjamin sepenuhnya segala sesuatu akan menjadi sempurna, namun apabila dipatuhi jelas dapat mengurangi penyalah-gunaan kekuasaan dan korupsi. Banyak badan-badan donor internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, menetapkan syarat diberlakukannya unsur-unsur tata laksana pemerintahan yang baik sebagai dasar bantuan dan pinjaman yang akan mereka berikan.

b) Tiga Pilar Good Governance
Good governance saat ini telah menjadi isu yang sangat penting seperti halnya demokrasi dan hak asasi manusia. Sehingga begitu banyak konsep dan definisi good governance yang ditulis dalam berbagai literatur dengan beragam sudut pandang dan pendekatan. Namun semuanya tetap akan bermuara pada penjelasan tentang bagaimana pemerintah mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakatnya.
Berbicara tentang good governance biasanya lebih dekat dengan masalah pengelolaan manajemen pemerintahan dalam membangun kemitraan dengan stake holder (pemangku kepentingan). Oleh karena itu, good governance menjadi sebuah kerangka konseptual tentang bagaimana memperkuat hubungan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam nuansa kesetaraan. Hubungan yang harmonis dalam nuansa kesetaraan merupakan prasyarat yang harus ada. Sebab hubungan yang tidak harmonis antara ketiga pilar tersebut dapat menghambat kelancaran proses pembangunan.
Sebagai contoh, pemerintah merumuskan kebijakan umum (public policy) menaikkan tarif dasar air minum menjadi 500% lebih mahal. Keputusan tersebut dibuat tanpa melibatkan aspirasi masyarakat padahal itu menyangkut hajat hidup banyak orang. Masyarakat tidak menerimanya dan merasa dirugikan, lalu terjadi gelombang protes, demonstrasi, bahkan kerusuhan untuk menentangnya. Di sini terdapat hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah dan masyarakat sehingga menimbulkan ketidakselarasan yang pada akhirnya menghambat pelaksanaan kebijakan pemerintah. Pelajaran yang dapat diambil dari contoh ini adalah; untuk menjamin hubungan yang setara sesuai kerangka good governance, maka harus dibuka ruang partisipasi dalam setiap perumusan kebijakan publik, terutama yang menyangkut hajat hidup banyak orang. Pemerintah harus menjamin dan melindungi hak-hak masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan partisipasinya disetiap tahapan proses pembangunan.
Dalam contoh yang lain, misalnya, sebuah perusahaan swasta membangun pabrik di tengah permukiman. Masyarakat marah karena limbah pabrik mencemari lingkungannya. Pemerintah keberatan karena perusahaan membuka pabrik secara diam-diam. Sementara itu perusahaan tetap bersikukuh bahwa apa yang dilakukannya sudah benar. Ketika tiga pilar good governance ini “berkelahi”, maka timbullah situasi dan suasana chaos di tengah-tengah masyarakat. Pabrik yang sebenarnya mampu menyerap lapangan kerja dan menggerakkan roda ekonomi tidak dapat dijalankan secara efektif. Untuk mengatasinya pemerintah bertindak tegas agar perusahaan memperbaiki perijinan, pencemaran lingkungan diantisipasi, atau lokasi pabrik dipindahkan ke tempat yang jauh dari pemukiman. Perusahaan melaksanakan keputusan tersebut, dan pemerintah mengumumkan secara terbuka hasil penyelesaian masalah ini sehingga masyarakat mengetahuinya. Pabrik-pun dapat beroperasi kembali, lingkungan tidak lagi tercemar, lapangan kerja tersedia bagi masyarakat, dan pemerintah memperoleh tambahan masukan pendapatan (PAD).
Pelajaran yang dapat diambil dari contoh ini, untuk menjamin agar pemerintah, perusahaan dan masyarakat memiliki hubungan yang setara sesuai kerangka good governance, maka aturan harus ditegakkan (law enforcement), keputusan harus dibuat tidak sembunyi-sembunyi (transparansi) dan alokasi sumber daya alam/keuangan daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik (akuntabilitas).

c) Prinsip-Prinsip Good Governance
Tata laksana pemerintahan yang baik ini dapat dipahami dengan memberlakukan delapan karakteristik dasarnya yaitu:
1. Partisipasi aktif
2. Tegaknya hukum
3. Transparansi
4. Responsif
5. Berorientasi akan musyawarah untuk mendapatkan mufakat
6. Keadilan dan perlakuan yang sama untuk semua orang.
7. Efektif dan ekonomis
8. Dapat dipertanggungjawabkan
Berlakunya karakteristik-karakteristik di atas biasanya menjadi jaminan untuk hal-hal di bawah ini.
• Meminimalkan terjadinya korupsi
• Pandangan minoritas terwakili dan dipertimbangkan
• Pandangan dan pendapat kaum yang paling lemah didengarkan dalam pengambilan keputusan.
Di sisi lain, konsepsi Good Governance secara komprehensif terdiri dari 10 prinsip yang ditetapkan secara kontinyu dan konsisten dalam penata-laksanaan sebuah pemerintahan. Kesepuluh prinsip tersebut adalah sebagai berikut.

1. Partisipasi
Dalam hal ini, warga memiliki hak dan mempergunakannya untuk menyampaikan pendapat dan bersuara dalam proses perumusan kebijakan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, pemerintah selalu mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Artinya, partisipasi warga senantiasa mendukung tumbuhnya aspirasi dari masyarakat dan keterbukaan pemerintah untuk menerima aspirasi tersebut. Keterbukaan pemerintah, menurut Rauf, ditujukan oleh kesediaannya untuk mendengarkan dengan sungguh-sungguh suara-suara yang berkembang di dalam masyarakat dan berusaha dengan sungguh-sungguh agar aspirasi rakyat tersebut dapat dipenuhi oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. (KAHMI JAYA, 1998: 78)

2. Penegakkan Hukum
Keberadaan rules of law mewujudkan adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

3. Transparansi
Demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan bersandar pada partisipasi populis, konstitusionalisme bersandar pada disclosure dan keterbukaan tentang berbagai persoalan politik. Dalam pengertian ini, konstitusionalisme merupakan prasyarat bagi berhasilnya demokrasi, karena masyarakat tidak dapat berpartisipasi secara rasional dalam pemerintahan kecuali mereka diinformasikan dengan cukup tentang bagaimana cara kerjanya, kecuali jika mereka cukup tahu tentang cara kerjanya. (Al Chaidar, 1419 H: 266)
Ini berarti pemerintah mesti berada pada level full transparence; dengan indikator penyediaan informasi tentang pemerintahan bagi publik dan dijaminnya kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Dengan ini, pemerintah harus menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

4. Kesetaraan
Pemerintah memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Salah satu perkara yang dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, menurut Basri (1998: 225), adalah pengembangan kelembagaan yang menopang peningkatan dinamika perekonomian yang semakin sehat sehingga bisa menekan biaya transaksi. Keberhasilan menekan biaya transaksi akan memperkukuh keunggulan komparatif bangsa.



5. Daya Tanggap (Responsibilitas)
Responsibilitas suatu pemerintahan menuntut adanya upaya untuk meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintah terhadap aspirasi masyarakat tanpa terkecuali.

6. Wawasan Ke Depan
Pengelolaan masyarakat hendaknya dimulai dengan visi, misi, dan strategi yang jelas. Dengan ini, pembangunan dan pengembangan kualitas daerah akan berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikut-sertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan daerahnya.

7. Akuntabilitas (Pertanggung-jawaban)
Good Governance akan senantiasa meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat. Dalam catatan Al Chaidar (1419 H: 265), di bawah pemerintahan konstitusional, mereka yang memerintah secara tetap mempertanggungjawabkannya secara berkala kepada rakyat.

8. Pengawasan
Good Governance dari sisi pengawasan (controlling) selalu berusaha untuk meningkatkan daya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas. Artinya, hal ini harus mendorong terlibatnya warga dalam mengontrol kegiatan pemerintah, termasuk parlemen.

9. Efisiensi dan Efektivitas
Efisiensi dan efektivitas menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab. Indikatornya anatara lain pelayanan mudah, cepat, tepat, dan murah.



10. Profesionalisme
Profesionalisme menunjukkan adanya upaya peningkatan dalam eksistensi kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, dan tepat dengan biaya yang terjangkau.
Selain itu, salah satu ukuran tercapainya derajat Good Governance adalah tercapainya suatu pengaturan yang dapat diterima oleh sektor publik, sektor swasta dan masyarakat madani dengan indikator sebagai berikut.
a. Pengaturan dalam sektor publik antara lain menyangkut keseimbangan kekuasaan antara badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pembagian kekuasaan ini juga berlaku antara pemerintah pusat dan daerah.
b. Sektor swasta mengelola pasar berdasarkan kesepakatan bersama, termasuk mengatur perusahaan dalam negeri besar maupun kecil, perusahaan multinasional, koperasi dan sebagainya.
c. Masyarakat madani mencapai kesepakatan bersama guna mengatur kelompok-kelompok yang berbeda seperti kelompok agama, kelompok olahraga, kelompok kesenian, dan sebagainya.


















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam berbagai aspek, negara dan pemerintahan senantiasa terkait secara politis-sosiologis dengan kedudukan masyarakat secara luas dan kesejahteraannya. Dalam lingkup inilah, historical development dari suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan senantiasa mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan budaya dan perluasan pemikiran dari masyarakat yang menempatinya. Dengan ini, kita mengenal sistem kenegaraan dan pemerintahan yang terus berevolusi; dari mulai sistem patriarchal-matriarkhal, monarkhi sampai demokrasi.
Di sisi lain, sistem pemerintahan dan penata-laksanaannya selalu mendapat sorotan tajam dari berbagai komponen suatu bangsa sehingga dapat dilihat dan dirasakan sejauhmana pemerintahan tersebut menjalankan fungsinya. Dari sini lahirlah apa yang disebut dengan Good Governance, yakni suatu proses pemerintahan yang selalu menggulirkan usahanya menuju pada derajat pola pemerintahan yang baik dan terjauh dari kondisi pemerintahan yang buruk (bad governance).
Bahkan IMF sebagai bagian dari konstalasi perpolitikan internasional, dalam upaya memberikan bantuan dana (pinjaman) ke negara-negara berkembang, senantiasa mempersyaratkan Good Governance sebagai sebuah jaminan penerima dana tersebut.
Secara umum, Good Governance dapat diperoleh melalui perhatian dan konsistensi pemerintah dalam melaksanakan 10 prinsip dari penata-laksanaan pemerintahan sebagaimana telah disebutkan di atas, yakni: partisipasi warga, penegakkan hukum, transparansi, kesetaraan, daya tanggap, wawasan ke depan, akuntabilitas, pengawasan, efisiensi dan efektivitas, serta profesionalisme.
Kesepuluh prinsip tersebut pada intinya merupakan usaha bersama dalam menggapai keharmonisan antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat secara keseluruhan.






DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-Buku
Al Chaidar. 1419 H. Pemilu 1999: Pertarungan Ideologis Partai-Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler. Jakarta: Darul Falah.
Azhar, Muhammad. 1997. Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat. Jakarta: Rajawali Pers.
Basri, Faisal H. 1998. Tinjauan Ekonomi-Politik Krisis Ekonomi dalam Indonesia di Simpang Jalan. Bandung: Mizan
Busroh, Abu Daud. 2009. Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Isjwara, F. 1985 (Cet. 8) . Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Bina Cipta.
Madkour, Ibrahim. 1988. Filsafat Islam : Metode dan Penerapan (Bagian I). Jakarta : Rajawali Pers.
Rauf, Maswadi. 1998. Pertumbuhan Aspirasi Rakyat dalam PJP I dalam Indonesia di Simpang Jalan. Bandung: Mizan
Tim KAHMI JAYA. 1998. Indonesia di Simpang Jalan. Bandung: Mizan.

2. Majalah/Jurnal
Salim, Abd. Muin. Elaborasi Bahasa Politik Islam dalam Al-Quran dalam Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam (Al-Huda). Volume I. Nomor 2. Tahun 2000

3. Situs Internet
http://www.scribd.com
http://www.total.or.id


0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan