Wilujeng Sumping, alias SELAMAT DATANG... di blog simkuring... moga-moga aya manfaat nu tiasa katampi... hapunten nu kasuhun... bilih aya nu teu kahartos...

Kang Yosep: "Idealis" menapaki "Realitas"


DATA MAHASISWA

No. NIM Nama Mahasiswa
1 09.0290 Abdul Malik
2 09.0267 Agus Salim
3 09.0292 Asep Haerudin
4 09.0282 Asep Saripin
5 09.0301 Basir Japidung
6 09.0259 Diman Zamil
7 09.0303 Ema Nurhasanah
8 09.0278 Fitri Indriani
9 09.0299 Galih Permana
10 09.0270 Ikrima Nisa Habibah
11 09.0275 Ismailia
12 09.0325 Maya Susanti
13 09.0324 Mira Nopita
14 09.0326 Rani Tri Lesmayanti
15 09.0260 Risa Apriani
16 09.0385 Sidiq Ginanjar
17 09.0300 Siti Nurul Hidayah
18 09.0328 Tedi Setiadi
19 09.0327 Toto Soni
20 09.0383 Winda Gustiani
21 09.0319 Wiwin Muspianti
22 09.0384 Yana Hadiana
23 09.0283 Yopi Sopiana
24 09.0265 Yosep Saeful Azhar Photobucket
25 09.0298 Endang Sudrajat
26 09.0316 Supian Munawar
27 Asep Al-Juhaeri

Sunday, January 17

Qawa'id Tafsir

Pendahuluan
Pemahaman al-Quran bagi seorang mukmin adalah suatu hal yang penting dalam rangka memahami ajaran-ajaran yang ter-kandung di dalamnya dengan tujuan agar manusia secara ke-seluruhan dan muslim khususnya akan menjadi manusia yang bahagia dunia dan kahirat.

Kitab suci al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, untuk memahami bahasa tersebut seseorang dituntut untuk mendalami bahasa di mana kitab suci diturunkan, dalam segala as-peknya, baik perkembangan dan tata aturan permainan yang diguna-kannya. Hal semacam ini tidak terlepas dari usaha memahami al-Quran secara utuh dan menyeluruh.
Tulisan ini akan berusaha memberikan penjelasan terhadap be-berapa aspek yang menyangkut qaidah tafsir, pengertian dan bebe-rapa qaidah yang menyangkut dengan penafsiran al-Quran.
Pengertian Qaidah Tafsir
Seandainya diperhatikan kepada penulisan ilmu yang berhubu-ngan dengan penafsiran al-Quran, maka qaidah yang menyangkut dengan bahasa saja.114 Sementara Dr. Muhammad Ibn Abu Syahbah menyebutkan, qawaid al-tafsir sebanyak delapan butir, yaitu:115
1. Memperhatikan keseimbangan antara penafsiran dengan yang ditafsirkan, agar penafsiran sesuai dengan maksud ayat atau tu-juan ayat.
2. Memperhatikan asbab al-Nuzul, karena ia merupakan salah satu alat bantu bagi pemahaman al-Quran.
3. Memperhatikan munasabah antara ayat.
4. Penafsir sebaiknya menghindari diri dari kecenderungan terha-dap suatu mazdhab, baik fiqih maupun aqidah.
5. Memperhatikan pola kalimat (jumlah dalam bahasa Arab) apa-kah ia mengandung pengertian majazi atau lafzhi (haqiqi).
6. Penafsiran sebaiknya dimulai dengan memberikan makna muf-radat terlebih dahulu, dan selanjutnya melangkah kepada pem-berian makna yang dikandung oleh ayat dengan memperhati-kan plbagai aspeknya, apakah bayan, badi’ dan selainnya, yang dengan semua itu baru dapat dikongklusikan hukum yang di-maksud.
7. Memperhatikan tata susunan kalam dan ghardh yang ditujunya.
8. Seleksi menggunakan hadits, agar jangan terjebak dengan hadits maudhu’ maupun dha’if.
Berdasarkan pengertian dan rumusan-rumusan yang dibentang-kan di atas, mungkin dapat diberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan qawa’id al-tafsir adalah tata aturan dan prinsip-prinsip umum yang digariskan oleh penulis tafsir bahwa penulis ulum al-Tafsir yang harus dipedomani menyangkut dengan bahasa, al-Quran sendiri dan hal yang menyangkut dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan.
Qawaid yang menyangkut Bahasa
Manna al-Qaththan menegaskan bahwa qawaid yang menyang-kut dengan bahasa khususnya, tertumpu pada hal-hal yang membi-carakan dhamir dan kedudukannya dalam al-Quran, ta’rif dan tankir dan jama’; muqabalat al-jam’ wa al-Mufrad, mutaradifat, al-sual wa al-jawab, khitab bi al-ismi dan al-fi’liy dan ataf.116
Adapun yang akan dikaji di sini dibatasi pada beberapa hal saja, yaitu:
1er. Dhamir
Dhamir dalam bahsa Arab mempunyai kedudukan dan aturan-aturan tersendiri dalam penggunaannya. Oleh ahli bahasa Arab pada permulaan Islam menginduksikan dhamir dari bahasa al-Quran sen-diri, al-hadits, dan berbagai ucapan yang ditinggalkan oleh Arab jahi-li, dan dapat dianggap sebagai hujjah, apakah bentuk prosa atau sya’ir.
Mengenai dhamir ini telah ditulis beberapa buku dan yang pa-ling masyhur adalah kitab yang ditulis oleh al-Anbariy, demikian komentar Mana’ al-Qaththan.117
Sesuai dengan aturan dasar permainannya, dhamir yang terdapat dalam susunan kalimat (jumalat) dalam bahasa Arab, marja’nya ada-lah isim yang disebut sebelumnya dan paling dekat dengannya, ke-cuali pada permasalahan idhafah, demikian pendapat al-Syuyuthi.118 Perkembangan dari qaidah umum itu, maka marja’ dhamir dalam al-Quran dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Marja’ dhamir adalah lafal yang tersebut sebelumnya, contoh:
ونادى نوح ابنه
Dhamir ha pada kata ibnah kembali kepada Nuh, demikian pula beberapa contoh lain yang sejalan dengan kasus di atas.
2. Marja’ adalah lafal yang tersebut sesudahnya, dan hal ini di-ketahui dengan memperhatikan syiyaq al-kalam, contoh:
ولا يسأل عن ذنوبهم المجرمون 2. فيومئذ لا يسأل عن ذنبه إنس ولا جان
Dhamir ha pada kata Dzanb kembali ke ins dan jin, demikian pada dhamir hum pada lafal Dzunubuhum kembali ke mujrimun. Seandainya dikembalikan pada lafal mufsidun maka dosa itu adalah balasan bagi orang yang berbuat durjana dan kerusakan di bumi.
Marja’ dhamir adalah makna (pengertian) yang terkandung da-lam suatu jumlat bahkan pada suatu kata, contoh:
اعدلوا هو أقرب للتقوى
Dhamir mufassir huwa kembali ke pengertian jumlah fi’liyah I’dilu yaitu al’adl, sedangkan dhamir ha pada minhu, marja’nya adalah pengertian qismat, yaitu al-maqsum, boleh jadi penger-tian yang dikandung adalah harta yang ditinggalkan oleh orang tua anak yang ditinggalkan mati.
3. Marja’ dhamir adalah syiyaq kalam, karena tsiqatnya pemaha-man si pendengar bagi apa yang diungkapkan kepadanya, con-toh:
ما ترك على ظهرها من دابة
Dhamir ha yang terdapat dalam susunan kalimat di atas adalah alardh, qarinah yang ditunjukinya adalah kata-kata dabbat (bi-natang melata) yang memberikan pengertian binatang melatalah suatu tanda kehidupan di dunia.
Berdasarkan tsiyaq al-Kalam ini, maka dhamir ini dapat ditinjau dari beberapa aspek antara lain:
• Penyebutan qarinah-nya saja, contoh :

إنا جعلنا في أعناقهم أغلالا فهي إلى الأذقان
Dhamir mufashshil hiya yang tersebut di atas marja’nya adalah lafal aid dengan qarinah aghlal (lafal), dengan pe-ngertian bahwa tanganlah yang mempunyai membelenggu.
• Marja’ dhamir adalah sebagian apa yang telah disebutkan:
فإن كن نساء + بعد قوله + يوصيكم الله في أولادكم
Dhamir mustatir hunna yang dikandung kunna kembali ke-pada awlad yang telah tersebut sebelumnya, yaitu: kosong pengertian yang dikandung oleh sebab pengembalian dha-mir ke lafadz ini adalah anak perempuan mempunyai kedu-dukan yang sama dalalah ashabati bagi si mayit, dan ber-hak mewarisi harta orang tuanya sebagaimana warisan yang diterima oleh saudara laki-laki.
• Marja’ dhamir adalah pengertian yang dikandung oleh sua-tu kata, seperti marja’ dhamir kanata pada ayat kalalah, yaitu dhamir tatsniyah, sedangkan sebelumnya tidak di-sebutkan kata yang berpengertian tatsniyah.
4. Marja’dhamir pada idhafat adalah mudhafinya bukan kata kepa-da mudhaf ilaihnya, contoh:
وإن تعدوا نعمة الله لا تحصوها
Disamping ketentuan di atas ada pula dhamir yang mungkin kembali ke mudhaf ilaihnya, contoh:
Kalau dhamir al ha pada lafal adhunnuh dikembalikan kepada Musa, maka Musalah yang disangka berbuat dosa, tetapi kalau dikembalikan kepada Allah, maka Allahlah yang melakukan perbuatan dosa, maha suci Allah. Dan kalau diperbandingkan dengan ayat:
أو لحم خنزير فإنه رجس
Maka dhamir al ha yang terdapat di ayat tersebt, jika dikem-balikan ke lafal khinziri, maka pengertian yang diambil adalah seluruh badan babi itu haram/najis. Tapi kalau dikembalikan dhamir itu ke lafal lahm pengertian yang diambil adalah yang najis adalah hanya daging, sedangkan bagian lainnya tidak najis.
Selain yang telah disebutkan di atas, ada pula dhamir yang dalam al-Quran, boleh jadi dikatakan bertolak belakang dengan qa-idah umum yang berlaku, yaitu:
1. Marja’ dhamir adalah salah satu dari dua hal yang diungkapkan secara berurutan, contoh:
dhamir al ha dalam potongan ayat di atas adalah lafal yang tersebut sebelumnya dan terikat pula dengannya, yaitu lafal salat. Kalau diperhatian pada ayat di bawah ini:
واستعينوا بالصبر والصلاة وإنها لكبيرة
Dhamir al ha pada lafal qaddaruhu kembali ke al-qamar, disam-ping terdekat letaknya dengan dhamir, juga didukung oleh ayat lain yang memberikan keterangan bahwa bulan ini merupakan suatu alat yang dipergunakan oleh anak manusia untuk menge-tahui keadaan dan waktu-waktu yang dilaluinya dalam perhitung-an setahun.
2. Marja’ dhamir adalah tsaniyati, sedangkan dhamir yang diper-gunakan adalah jam’, contoh:
وكنا لحكمهم شاهدين 2. أولئك مبرؤون مما يقولون
Dhamir hum pada lafal hukm kembalinya ke Sulaiman dan Daud as. Demikian pada contoh kedua, di mana dhamirnya kembali ke Aisyah dan Shafwan.
3. Marja’ dhamir adalah suatu yang berhubungan dengan yang telah disebutkan sebelumnya, contoh:
ولقد خلقنا الإنسان من سلالة من طين - ثم قال: ثم جعلناه نطفة
Dhamir al ha pada lafal ja’alnah dilihat dari sudut tsiyaq ka-lamnya kembali ke lafal Adam as. Tetapi yang dimaksudkan ada-lah banu adam, karena Adam as. Tidak dijadikan dari nutfah. Yang dijadikan dari nutfah adalah anak keturunan Adam, dengan demikian tepatlah pengembalian dhamir itu ke banu Adam.
4. Marja’ dhamir tersebut di atas lebih dari satu, sedangkan dha-mirnya terkumpul, maka pengembalian dhamir itu adalah salah sa-tu yang pantas dari pada yang lain, contoh:
لتؤمنوا بالله ورسوله وتعزروه وتوقروه وتسبحوه
Dhamir al ha pada lafal tu’azziruh dan seterusnya boleh jadi kem-bali pada lafal rasul dan Allah. Adapun yang pantas kembalinya adalah pada lafal Allah, karena Allah yang pantas di-tasbihkan, sedangkan Rasul tidak boleh ditasbihkan, tetapi boleh dimuliakan.
Disamping disebutkan dhamir-dhamir secara nyata, al-Quran juga menggunakan bentuk lain untuk menduduki tempat dhamir, yaitu:
1. Isim Isyarat, contoh:
إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤولا
Isim Isyarat ulaika adalah pengganti dhamir yang marja’nya kepada lafal al-’asma’, al-abshar dan al-fuad
2. Alif dan al-lam, contoh:
نجب دعوتك ونتبع الرسل
Alif dan lam pada lafal al-rusul adalah pengganti dari al-kaf yang terdapat pada lafal da’watak, dengan demikian pengertian yang di-kandung adalah kami memperkenalkan seruan-Mu dan mengikuti rasul-Mu.
B. Pertanyaan dan jawaban
Sebagaimana diketahui al-Quran adalah kitab hidayah, maka ada di antara ungkapan-ungkapan ayatnya yang berbentuk pertanyaan dan ada pula yang berbentuk jawaban pertanyaan. Kedua bentuk ung-kapan ini mempunyai tujuan pula agar umat terangsang dan terdorong pula untuk mencari apa yang sebenarnya diinginkan al-Quran.
Kalau diperhatikan kepada qaidah umum, maka setiap jawaban pertanyaan haruslah sesuai dengan maksud dan tujuan pertanyaan. Se-andainya keluar dari ketentuan tersebut, maka gaya yang ditempuh itu dinamakan al-Ushlub al-Hakim dalam kajian badi’, dan itu pula yang merupakan hakikat jawaban pertanyaan yang diajukan, contoh:
يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج
Pertanyaan yang terkandung oleh jawaban ayat di atas, ada-lah: mengapa bulan sabit (hilal) itu berubah dari kecil menjadi besar dan seterusnya mengecil? tetapi jawaban pertanyaan adalah pen-jelasan hikmah dan fungi bulan sabit itu bagi kehidupan manusia.
Macam jawaban yang demikian dapat dibagi:
1. Jawaban lebih umum dari pertanyaan, contoh:
وما رب العالمين قال رب السماوات والأرض وما بينهما
Jawaban yang ingin dituju oleh pertanyaan di atas adalah bagai-mana bentuk dan jenis Tuhan. Al-Quran memberikan jawaban: Tuhan yang memelihara seluruh alam semesta ini.
2. Jawban lebih singkat dari pertanyaan,contoh
قل ما يكون لي أن أبدله من تلقاء نفسي
Tuhan memerintahkan untuk mendatangkan yang baru, bukan merubah yang telah ada, merubah lebih mudah dari mencipta-kan, sedangkan yang dimaksudkan al-Quran adalah mencipta-kan yang baru. Secara implisit, jawaban al-Quran mempunyai dua aspek, aspek menciptakan yang baru dan merubah yang te-lah ada tidak dapat dilakukan oleh manusia apalagi kalau men-datangkan yang baru.
c. Khitab
Ulama tafsir mengelompkkan khitab dalam al-Quran menjadi dua bagian, dan pembagian ini merupakan kongklusi kajian induktif al-Quran sendiri:
1. Khitab yang dimulai dengan fi’il (verbal), khitab ini mem-punyai pengertian tersendiri pula, yaitu : tajaddud dan huduts.
2. Khitab yang dimulai dengan isim (nominal), ia mempunyai pengertian tersendiri pula, yaitu tsubut dan istimrar. Seba-gai contoh :
• الذين ينفقون في السراء والضراء
• إنما المؤمنون الذين آمنوا بالله ورسوله
Contoh pertama memberikan pengertian bahwa nafkah me-rupakan suatu perbuatan yang boleh jadi setiap saat me-ngalami perubahan, seketika ada dan seketika lainnya tidak dapat dilaksanakan. Contoh kedua memberikan pengertian bahwa iman merupakan suatu hal yang baku dan terus menerus tertanam dalamhati.
d. ta’rif dan tankir
Qaidah bahasa menjelaskan bahwa ta’rif dan tankir mempunyai pengertian tersendiri, demikian pula yang digunakan oleh a-Quran. Mana’ al-Qaththan menjelaskan fungsi tankir sebagai berikut:
1. Iradat al-Wahdati (pembatasan jumlah), contoh :
وجاء رجل من أقصى المدينة يسعى
2. Iradat al-Nau’ (pembatasan jenis), contoh :
ولتجدنهم أحرص الناس على حياة
3. Al-Taqlil, contoh: من أي شيء خلقه
4. Al-Ta’zhim, contoh: ورضوان من الله أكبر
5. Al-Taksir, contoh: إن لنا لأجرا
Sementara ta’rif menurut al-Zarkasyi disebabkan oleh:
1. Al-Isyarat ila Ma’hud Khariji, contoh:
بكل ساحر عليم 2. كما أرسلنا إلى فرعون رسول فعصى فرعون الرسول
2. Ma’hud zhihniy contoh: إذ هما في الغار
3. Qash al-Haqiqat, contoh:
إن الإنسان لفي خسر إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات
Apabila isim dua kali disebutkan dalam satu susunan, maka ia mempunyai empat kemungkinan: kemungkinan pertama: kedua isim itu maridah; kemungkinan kedua isim itu nakirah, kemungkinan ketiga: isim pertama ma’rifah dan isim kedua nakirah, sedangkan kemungkinan keempat: isim pertama nakirah dan isim kedua ma-’rifah. Contoh:
Kemungkinan pertama, isim yang kedua adalah sama dengan isim yang pertama, contoh:

اهدنا الصراط المستقيم
صراط الذين ...
Kemungkinan kedua, isim yang kedua tidak sama dengan isim yang petama, contoh:
الله الذي خلقكم من ضعف ثم جعل من بعد ضعف قوة ثم جعل من بعد قوة ضعفا وشيبة يخلق ما يشاء وهو العليم القدير (الروم: 54)
Yang dimaksud dengan lafal al-dha’f adalah al-Dhayaq, yang mempunyai tiga fase, yaitu: nuthfat, tufuliyi, syaikhukhah.
Kemungkinan ketiga, isim kedua adalah tidak boleh tidak isim yang telah disebutkan sebelumnya, contoh:
إنا سنلقي عليك قولا ثقيلا إن ناشئة الليل هي أشد وطءا وأقوم قيلا (المزمل: 5-6)
Kemungkinan keempat, isim kedua ditentukan dengan melihat kepa-da qarinat-nya, taghayur dan ittihat. Contoh:
1. ويوم تقوم الساعة يقسم المجرمون ما لبثوا غير ساعة (الروم: 55)
2. ولقد ضربنا للناس في هذا القرآن من كل مثل لعلهم يتذكرون قرآنا عربيا (الزمر: 27-28)
e. mufrad dan jama’
Sebagian lafal dalam al-Quran digunakan secara berbeda, ada yang mufrad saja dengan arti khusus dan ada pula yang meng-gunakan jama’-nya dengan arti khusus pula, contoh : lafal al-Lub ti-dak pernah digunakan dalam bentuk mufradnya, dan tidak menggan-tikan penggunaan lafal al-Lub dalam bentuk mufrad dipergunakan lafal al-Qalb, demikian pula lafal al-Nur dan lafal al-ardh.
Sementara itu ada pula lafal yang dipergunakan secara mufrad dan jama’ tetapi pengertian yang dikandungnya jauh berbeda, al-sama’ tetapi misalnya sesekali digunakan mufrad, maka artinya ada-lah jihah, sedangkan jama’nya berarti jumlah, luas dan banyak.
Yang menarik perhatian di sini adalah penggunaan lafal jama’ sabil yaitu subul. Kalau dipergunakan dalam bentuk mufrad maka pe-ngertian yang terkandung adalah jalan kebenaran hanya ada satu saja, dan sesuai dengan penggunaan lafal sirat, di mana lafal sirat tidak pernah digunakan dalam bentuk sama. Seandainya dipergunakan da-lam bentuk jama’ maka pengertian yang dikandung adalah jalan me-nuju kesesatan banyak ragamnya dan terbilang jumlahnya, demikian penjelasan Mana’ al-Qathan.
Di satu sisi terlihat bahwa al-Nur dipergunakan dalam bentuk mufrad-nya saja, sedangkan lafal al-Zhulm sesekali dalam bentuk ja-ma’ dan mufrad. Pengertian yang dikandung oleh lafal al-Nur dalam al-Quran adalah lafal kebenaran, jalan kebenaran hanya dapat ditem-puh melalui Islam (ajaran-ajaran), sedangkan al-Zhulm berarti kese-satan dan kesesatan itu dapat dilalui dengan berbagai cara.
Disamping yang tersbut di atas, al-Quran membedakan pula an-tara lafal al-rih dengan al-riyah, wali dan auliya serta abid dengan ibad, rih dimaksud bencana, riyah berarti rahmat wali ditujukan ke-pada orang mukmin, awliya ditunjuikan kepada kufara; abid berarti hamba-hamba Tuhan yang jelek, sedangkan ibad adalah hamba-ham-ba Tuhan yang baik.
Al-Qawaid al-Mustanbat min Ayat al-Quran
Abd al-Rahman ibn Nashir al-Sa’d, dalam bukunya al-Qawaid al-Hisan li tafsir al-Quran, mengemukakan sebanyak tujuh puluh qa-waid untuk menafsirkan al-Quran agar penafsiran itu mencapai sasar-an dan baik, yang dalam tulisan hanya akan dibicarakan beberapa bagian kecil saja, yaitu:
1er. Pembahasan dan kesempatan berbuat
Ketika Allah membatasi keinginan seseorang untuk melakukan perbuatan yang disenanginya, kesempatan yang lebih baik dibuka pu-la, contoh:
ولا تتمنوا ما فضل الله به بعضكم على بعض للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن
Ayat di atas menjelaskan bahwa untuk mengharapkan apa yang tidak bermanfaat untuk dirinya, larang yang sedemikian tidaklah ber-sifat kaku, karena Allah memberikan kesempatan lain untuk mencari apa yang lebih baik dari yang diharapkan. Sebagai ontoh lain, mana-kala Musa as., berharap untuk melihat Tuhan, saat ia mendengarkan wahyu, Allah menggantikan dengan yang lebih besar dari yang diha-rapkannya.
2nd. Hukum dan urf
Ketentuan hukum suatu permasalahan tergantung kepada urf atau kebiasaan hidup dalam masyarakat. Allah memerintahkan untuk melakukan kebaikan, maka kebaikan itu dilihat dari sudut syari’ah, aqali dan kebiasaan atau urf yang hidup dalam suatu masyarakat, de-mikian pula sebaliknya.
Seandainya ada perintah yang berbeda dengan kebiasaan kehi-dupan masyarakat, maka perintah dan larangan itu disesuaikan de-ngan kebiasaan baik yang berlaku dalam masyarakat, contoh:
وكلوا واشربوا ولا تسرفوا
يا بني آدم قد أنزلنا عليكم لباسا يواري سوءاتكم وريشا
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memerintahkan untuk ma-kan, minum dan berpakaian tetapi jangan berlebihan. Perintah jangan berlebihan memberikan pengertian makan, minum dan berpakaianlah sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat di mana ia tinggal.
3rd. Perintah dan amal perbuatan lain
Sebagian perintah yang terkandung dalam al-Quran ada yang berdiri sendiri dan ada pula yang berkaitan dengan amal perbuatan lainnya. Kalau berdiri sendiri, maka perintah berarti umum, dan kalau dikaitkan dengan amal perbuatan lainnya, maka perintah itu akan khusus. Bentuk yang semacam itu banyak didapati dalam al-Quran, antara lain:
1. Iman
Iman, apabila diperintah terlepas dari amal perbuatan lain, maka pengertian yang dikandung meliputi seluruh aqidah dan syari’ah agama, apakah berbentuk lahir atau batin. Adapun kalau disan-darkan dengan perbuatan lain, maka iman dan perbuatan tidak terlepas dari kehidupan manusia.
2. Fakir dan miskin
Kalau kata fakir disebutlan secara terpisah dan tidak disebutkan lafal miskin, maka pengertian yang dikandung fakir itu akan ma-suk ke dalamnya pengertian miskin, dengan kata lain fakir dan miskin tidak ada perbedaan yang prinsipil. Kalau disebutkan se-cara berangkai, maka fakir berada satu pihak dan miskin pada pihak lain, lihat surat alTaubah ayat 60
3. Man al-mubah al-Mufdhi ila tark al-Wajib
al-Quran melarang perbuatan yang hukumnya mubah apalagi mengakibatkan tertinggalnya perbuatan yang diperintahkan atau menyebabkan terlaksananya perbuatan yang diharamkan. Perso-alan ini banyak terdapat dalam al-Quran, contoh:
1. ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن
2. إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر الله وذروا البيع
Five. al-Nakirah fi siyaq al-Nafy aw al-Nahy
Isim nakirah yang terletak dalam jumlah nafiyah atau nahyiah istifhamiyah dan syartiyah, pengertian yang dikandungnya adalah bersifat umum, contoh: ولا تشركوا به شيئا
Pengertian laa tusyriku bihi syaian syirik pada niat, perkataan dan perbuatan bahkan syirik yang nyata atau yang tidak nyata.
Apabila masuk huruf jar min dan kemudian disusul isim nakirh, maka pengertian yang dikandungnya juga bersifat umum, contoh
هل من خالق غير الله يرزقكم من السماء والأرض
6th. Mudhaf berlaku umum seperti isim jama’ (al-Mudhaf yufidu al-umum kama ism al-jam’)
حرمت عليكم أمهاتكم = وما بكم من نعمة فمن الله
Al-Qawa’id al-Mustanbatat min al-Ulum al-Ukhra
Agar penafsiran menjadi lebih sempurna, maka penafsir dituntut untuk mendalami berbagai disiplin ilmu pengetahuan disamping pe-ngetahuan yang berhubungan dengan bahasa Arab. Dimaklumi bahwa al-Quran bukan hanya kitab yang memuat aturan hubungan manusia dengan Tuhan dan manusuia dengan manusia, tetapi juga berisikan berbagai konsep dasar ilmu dan pengetahuan yang mungkin dapat di-jabarkan dan dibuktikan oleh para ahlinya.
One. Setiap sesuatu yang telah terjadi pada masa lalu tak akan terulang lagi di depannya. Contoh: peristiwa musa dengan Fir’aun dan lain sebagainya.
Two. Kehidupan, ada beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan proses kejadian makhluq khususnya binatang dan manusia, selain Adam dan Isa as., proses kehidupan sebelum lahir dilalui oleh tiga pase, yaitu: pase corio., pase Amnion dan pase dinding uterus, sebagai-mana hasil istinbath dari beberapa ayat al-Quran:
ثم جعلناه نطفة في قرار مكين - يخلقكم في بطون أمهاتكم خلقا من بعد خلق في ظلمات ثلاث - ألم نخلقكم من ماء مهين فجعلناه في قرار مكين
Three. Reproduksi Tumbuh-tumbuhan
Reproduksi dari tumbuh-tumbuhan terjadi dengan hubungan antara unsur-unsur jantan dan betina yang bersatu dalam tumbuhan itu atau terpisah di tumbuhan lain. Firman Allah:

Ayat terakhir menjelaskan bahwa proses terakhir dari reproduksi adalah tumbuhnya biji, yang dari biji itu kemudian berkembang tumbuhan baru dari jenis yang sama.
Sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abduh, Abu Syahbah menjelaskan bahwa untuk menafsirkan al-Quran sebaik-nya penafsir memiliki beberapa disiplin ilmu pengetahuan, yaitu:
1. Penafsir sebaiknya memiliki pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan hadits-hadits agar dapat memisahkan mana hadits yang dapat dipegang dan mana hadits yang harus diting-galkan dalam rangka penafsiran al-Quran
2. Penafsir sebaiknya harus memiliki pengetahuan yang berhu-bungan dengan sejarah kehidupan para tokoh sebelum Islam, nabi dan lain sebagainya.
3. Penafsir sebaiknya memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan sosial dan individu.
4. Penafsir sebaiknya memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan sejarah perkembangan apa sebelumnya, apakah agama-agama langit dan duniawi.



0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan