Wilujeng Sumping, alias SELAMAT DATANG... di blog simkuring... moga-moga aya manfaat nu tiasa katampi... hapunten nu kasuhun... bilih aya nu teu kahartos...

Kang Yosep: "Idealis" menapaki "Realitas"


DATA MAHASISWA

No. NIM Nama Mahasiswa
1 09.0290 Abdul Malik
2 09.0267 Agus Salim
3 09.0292 Asep Haerudin
4 09.0282 Asep Saripin
5 09.0301 Basir Japidung
6 09.0259 Diman Zamil
7 09.0303 Ema Nurhasanah
8 09.0278 Fitri Indriani
9 09.0299 Galih Permana
10 09.0270 Ikrima Nisa Habibah
11 09.0275 Ismailia
12 09.0325 Maya Susanti
13 09.0324 Mira Nopita
14 09.0326 Rani Tri Lesmayanti
15 09.0260 Risa Apriani
16 09.0385 Sidiq Ginanjar
17 09.0300 Siti Nurul Hidayah
18 09.0328 Tedi Setiadi
19 09.0327 Toto Soni
20 09.0383 Winda Gustiani
21 09.0319 Wiwin Muspianti
22 09.0384 Yana Hadiana
23 09.0283 Yopi Sopiana
24 09.0265 Yosep Saeful Azhar Photobucket
25 09.0298 Endang Sudrajat
26 09.0316 Supian Munawar
27 Asep Al-Juhaeri

Friday, March 5

Mursal dan Mudallas


Mata Kuliah Ilmu Hadis untuk jurusan PAI, di STAIPI Bandung, merupakan mata kuliah yang termasuk ke dalam Muatan Lokal. Disebut Muatan Lokal karena di perguruan tinggi lainnya (jurusan PAI), mata kuliah ini tidak termasuk ke dalam proses perkuliahan.

Tujuan ditetapkannya Mata Kuliah ini untuk menjadi pembekalan bagi para calon guru dalam memahami lebih dalam lagi tentang ilmu hadis dan problematikanya masing-masing.

Kali ini, saya bersama teh Fitri kebagian tugas menyusun makalah dengan judul hadis "Mursal dan Mudallas" untuk dipresentasikan di hadapan rekan-rekan. Bagi yang memerlukan makalahnya, bisa didownload dengan KLIK DI SINI

Inilah bahasannya.

MURSAL

A. Pengertian
Dari aspek bahasa, lafadz Mursal merupakan isim maf’ul dari lafadz ar-sa-la ( ) yang memiliki beberapa arti sebagai berikut (Al-Harazi, 1427: 4-5).
1. berjalan cepat, mutlaq, dan tidak ada halangan.
2. ar-Rasal dengan makna “yang terputus dari segala sesuatu”.
3. al-Istirsal dengan makna ketenteraman kepada manusia dan pelunakan kepadanya serta penguatan dengannya.
4. (unta yang mirsal) maksudnya yang berjalannya cepat.
Sedangkan dari aspek istilah, para ulama mendefinisikan Mursal dengan beberapa pengertian sebagai berikut.
1. Secara umum, di kalangan ahli hadis, pengertian Mursal adalah sebagai berikut.

Sesuatu (hadis) yang dimarfu’kan oleh seorang tabi’i kepada Rasul Saw berupa ucapan, perbuatan, atau taqrir, baik tabi’in junior maupun yang senior. (Al-Khatib, 1989: 337)
2. Menurut ulama fiqih dan ushul fiqh, Mursal adalah sesuatu (hadis) yang dinisbatkan kepada selain sahabat secara umum (bukan hanya tabi’in). Abu ‘Amr bin al-Hajib mengatakan bahwa Mursal adalah ucapan “Telah bersabda Rasulullah Saw” yang berasal dari selain sahabat. (Ibnu Kasir, 1996: 36)
3. Mursal adalah sesuatu (hadis) yang dinisbatkan dari sahabat junior yang tidak mendengar dari Nabi atau tidak menyaksikan (majlis Nabi), tetapi mereka menukil riwayat itu dari sahabat yang lainnya. Inilah yang dikenal dengan istilah Mursal Shahabi. Ibnu Shalah tidak memasukkan kategori ini sebagai Mursal. (Ibnu Shalah, 24)

B. Hukum Mursal
Para ulama berbeda pendapat tentang status hukum hadis Mursal. Perbedaan pendapat tersebut, menurut catatan Al-Khatib (1989: 338), dapat mencapai sekitar 10 pendapat. Akan tetapi, di antara berbagai pendapat yang masyhur hanya ada 3 perbedaan yang paling mendasar, yaitu sebagai berikut.
1. Boleh digunakan sebagai hujjah (Shahih) dengan syarat rawi yang dimursalkannya termasuk rawi yang tsiqat dan tidak terjadi mursal tersebut kecuali dari yang tsiqat juga.
Di antara ulama yang menetapkan kehujjahan hadis Mursal seperti ini adalah Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dan sekelompok ahli ilmu.
2. Tidak boleh dijadikan hujjah secara mutlaq (Dhaif Mardud).
Pendapat ini dipegang oleh Imam An-Nawawi, Imam As-Syafii, dan kebanyakan dari ahli fiqih dan ushul fiqih. Ibnu Jarir dalam kitab At-Tadrib menyatakan, “Para tabiin bersepakat menerima hadis Mursal. Tidak ada pengingkaran dari mereka dan tidak ada seorang pun yang menolaknya setelah (zaman) mereka sampai penghujung tahun dua ratus”. Ibnu Abdul Bar mengatakan, “Imam as-Syafi’i adalah orang yang pertama menolak Mursal”. (Al-Qasimi: 134)
Imam Muslim dalam Muqaddimah berkata, “Riwayat-riwayat Mursal, menurut pokok pandangan kami dan ahli ilmu dalam bidang hadis, tidak termasuk hujjah”.
Yang menjadi hujjah kelompok ini adalah jahalah (tidak diketahuinya) keadaan rawi yang tidak dicantumkannya, bisa jadi rawi tersebut bukan dari kalangan sahabat. Secara panjang lebar, Imam An-Nawawi mengatakan bahwa yang menjadi dalil bagi dirinya dalam menolak pengamalan hadis Mursal ini adalah suatu kenyataan yang menegaskan jika suatu riwayat yang berasal dari rawi majhul yang disebutkan namanya sudah tegas tidak diterima karena jahalah (tidak diketahui) keadaannya, maka hadis Mursal lebih utama untuk ditolak karena orang yang meriwayatkannya tidak disebutkan sehingga posisinya menjadi majhul al-‘ain dan majhul al-hal. (Al-Qasimi: 133)
3. Boleh dijadikan hujjah dengan 4 syarat; 3 syarat berkaitan dengan mursil (orang yang memursalkannya) dan 1 syarat berkaitan dengan status hadisnya. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
a) Pelaku Mursalnya berasal dari kalangan tabi’in senior (kibar al-Tabiin).
b) Jika pelaku Mursal itu menyebutkan status mursalnya, maka ia mesti menyebut kemursalannya dari seorang rawi yang tsiqat.
c) Jika pelaku Mursal itu berserikat dengan al-Huffadh al-Makmun (hafidh yang dipercaya), mereka yang berserikat itu tidak berbeda dengan yang Mursal tersebut.
Ketiga syarat di atas dapat diperkuat dengan memenuhi salah satu dari status hadis sebagai berikut.
1) Hadis tersebut diriwayatkan melalui jalur periwayatan lain secara musnad.
2) Hadis tersebut diriwayatkan juga oleh yang lain, walaupun sama-sama Mursal, tetapi pelaku Mursalnya bukan pelaku yang sama.
3) Sejalan dengan pendapat para sahabat.
4) Difatwakan oleh kebanyakan ahli ilmu.

C. Pembagian Mursal
Dalam ilmu Musthalah Hadis kita mengenal dua pembagian hadis Mursal sebagai berikut.
1. Mursal Jali, yang pembahasannya sebagaimana diuraikan di atas.
2. Mursal Khafi, yakni seorang rawi meriwayatkan suatu hadis dari orang yang ia bertemu dengannya dan sezaman dengannya, tetapi ia tidak pernah mendengar hadis itu darinya, dengan menggunakan lafadh yang memungkinkan terjadinya sima (mendengar) atau yang lainnya. Misalnya, ia mengatakan “Qala” (Ia telah berkata). (At-Thahhan, tt: 71)
Mursal Khafi dapat diketahui melalui salah satu di antara tiga cara sebagai berikut.
a) Ada pernyataan dari sebagian imam ahli hadis bahwa rawi tersebut tidak pernah bertemu atau tidak pernah mendengar dari orang yang ia katakan telah menceritakan hadis tersebut.
b) Ada pernyataan langsung dari pelaku Mursal bahwa ia tidak pernah bertemu atau tidak pernah mendengar hadis itu dari rawi yang ia sebutkan sebelumnya.
c) Ada hadis lain yang di dalam jalur sanadnya terdapat rawi yang lain antara pelaku Mursal dan gurunya itu.

D. Contoh Hadis Mursal


Abu Dawud berkata dalam kitab al-Marasil (Nomor 499, hlm. 518): Telah menceritakan kepada kami Ibnu al-Mushaffa, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, (ia terima) dari al-Widhyan bin Atha, (ia terima) dari Yazid bin Martsad, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Saw: “Laba-laba itu termasuk syetan. Maka bunuhlah”.
Hadis di atas termasuk contoh hadis Mursal. Status hadisnya dhaif berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut:
1. Ibnu al-Mushaffa dan Baqiyyah adalah dua rawi yang melakukan tadlis (mudallis). Keduanya tidak menjelaskan kedudukan sima (mendengar).
2. Al-Widhyan bin Atha termasuk rawi yang shaduq dan jelek hafalannya.
3. Yazid bin Martsad termasuk rawi yang tsiqat, tetapi ia seorang mursil (pelaku Mursal).

E. Kitab-Kitab Mursal
Para ulama sangat memperhatikan realitas terjadinya Mursal dalam suatu hadis. Bahkan sebagian di antara mereka ada yang menyusun kitab khusus tentang kenyataan hadis Mursal ini.
Di antara kitab-kitab yang memuat hadis Mursal adalah sebagai berikut.
1. Al-Marasil karya Abu Dawud.
2. Ma Ufrida min al-Marasil fi Akhir Tuhfat al-Asyraf karya al-Hafidh Al-Mizzi.
3. Ma Ufrida min al-Marasil fi Akhir al-Jami al-Kabir karya al-Imam al-Suyuthi.
Di antara kitab-kitab yang memuat rawi yang Mursil adalah sebagai berikut.
1. Al-Marasil karya Ibnu Abu Hatim.
2. Jami at-Tahshil li Ahkam al-Marasil karya al-‘Alai.
3. Bayan al-Mursal karya Abu Bakar al-Bardiji.
4. At-Tafshil li Mubham al-Marasil karya al-Khatib al-Baghdadi.
5. Juz-un fi al-Marasil karya Dhiya ad-Din al-Maqdisi.
6. Juz-un fi al-Marasil karya Ibnu ‘Abdil Hadi al-Maqdisi.
7. Tuhfat at-Tahshil fi Dzikri Ruwat al-Marasil karya al-Hafidh al-’Iraqi.


MUDALLAS

A. Pengertian

Dari aspek bahasa, Mudallas merupakan isim maf’ul dari kalimat Tadlis. Menurut arti bahasa, Tadlis adalah menyembunyikan cacatnya suatu barang dagangan dari pihak pembeli.
Bila ditinjau dari aspek bahasa ini, kalimat Tadlis ini bermuara kepada kalimat Ad-Dalas yang bermakna gelap atau bercampur dengan kegelapan; seakan-akan seorang mudallis karena penutupannya terhadap orang yang memahami hadis telah menggelapkan perkaranya, sehingga hadis tersebut menjadi gelap. (At-Thahhan, tt: 66)
Sedangkan dari aspek istilah, Tadlis adalah menyembunyikan kecacatan dalam sanadnya dan secara dhahirnya riwayat tersebut kelihatan baik.

B. Pembagian
Secara umum, para ulama ahli ilmu hadis menetapkan bahwa Tadlis terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut.
- Tadlis al-Isnad
- Tadlis asy-Syuyukh

1) Tadlis Al-Isnad
Tadlis al-Isnad adalah bila seorang rawi meriwayatkan hadis dari orang yang ia temui apa yang tidak dia dengar darinya; atau dari orang yang hidup semasa dengan perawi namun ia tidak menjumpainya; dengan menyamarkan bahwa ia mendengarkan hadis tersebut darinya. Seperti perkataan : “Dari Fulan” atau “Berkata Fulan”; atau yang semisal dengan itu dan ia tidak menjelaskan bahwa ia telah mendengarkan langsung dari orang tersebut. Adapun bila perawi menyatakan telah mendengar atau telah bercerita, padahal sebenarnya dia tidak mendengar dari gurunya atau tidak membacakan kepada syaikhnya, maka dia bukanlah seorang mudallis, tetapi seorang pendusta yang fasik.
Contohnya:
Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya kepada Ali bin Khasyram dia berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari Az-Zuhri. Lalu dikatakan kepadanya : “Apakah Anda telah mendengarnya dari Az-Zuhri?”. Dia (Ibnu ‘Uyainah) menjawab : “Tidak, dan tidak pula dari orang yang mendengarnya dari Az-Zuhri. Aku telah diberitahu oleh ‘Abdurrazzaq dari Ma’mar dari Az-Zuhri.
Dalam contoh di atas, Ibnu Uyainah telah memutus dua orang rawi antara dirinya dan Az-Zuhri. Sufyan bin ‘Uyainah – sebagaimana kita lihat – dia hidup semasa dengan Az-Zuhri dan pernah menjumpainya, tetapi ia tidak mendengar darinya. Ia mendengar dari ‘Abdurrazzaq, dan ‘Abdurrazzaq mendengarnya dari Ma’mar, dan Ma’mar inilah yang mengambil dari Az-Zuhri sekaligus mendengar darinya.
Perbedaan antara Tadlis dengan Mursal adalah bahwasanya Mursal itu periwayatnya meriwayatkan dari orang yang tidak mendengar darinya.

Tadlis Taswiyyah
Di antara Tadlis al-Isnad ada yang dikenal dengan Tadlis at-Taswiyyah. Yang memberi nama demikian adalah Abu al-Hasan bin Qaththan. Definisinya adalah seorang rawi meriwayatkan suatu hadis dari Syaikhnya, lalu ia memutuskan atau menggugurkan rawi dla’if yang terdapat di antara dua perawi tsiqat yang pernah bertemu, demi memperbaiki hadis tersebut.
Gambarannya adalah seorang perawi meriwayatkan dari seorang syaikh yang tsiqat, dan syaikh yang tsiqat ini meriwayatkan dari perawi yang tsiqat pula. Di antara keduanya ada perawi yang dla’if. Kedua perawi tsiqat ini pernah berjumpa satu sama lainnya. Maka datanglah sang mudallis yang mendengarkan hadis itu dari syaikh tsiqat tersebut, kemudian ia menggugurkan perawi yang dla’if dalam sanad, dan langsung menyambung jalur sanad antara syaikhnya dengan perawi tsiqat lainnya dengan menggunakan lafadh yang mengecoh agar sanad hadis tersebut menjadi tsiqat semua.
Contohnya:
Diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dalam kitab Al-‘Ilal, dia berkata, “Aku mendengar bapakku – lalu ia menyebutkan hadis yang diriwayatkan Ishaq bin Rahawaih dari Baqiyyah [Baqiyyah bin Al-Walid dikenal sebagai salah seorang perawi yang banyak melakukan tadlis], (ia mengatakan) telah menceritakan kepadaku Abu Wahb al-Asady dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar sebuah hadis yang menyatakan, “Janganlah engkau memuji keislaman seseorang hingga engkau mengetahui simpul pendapatnya”.
Bapakku berkata, “Hadis ini mempunyai masalah yang jarang dipahami oleh orang lain. Hadis ini diriwayatkan oleh ‘Ubaidillah bin ‘Amr dari Ishaq bin Abi Farwah dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Saw. ‘Ubaidillah bin ‘Amr ini gelarnya adalah Abu Wahb dan dia seorang Asady (dari Kabilah Asad). Maka Baqiyyah sengaja menyebutkan namanya hanya dengan gelar dan penisbatannya kepada Bani Asad agar orang-orang tidak mengetahuinya. Dengan demikian, bila dia meninggalkan Ishaq bin Abi Farwah, ia tidak dapat dilacak.”

Hukumnya
Tadlis at-Taswiyyah, meskipun termasuk Tadlis al-Isnad, termasuk yang paling buruk di antara macam-macam Tadlis. Al-‘Iraqy berkata, “(Jenis tadlis) ini mencemarkan siapa yang sengaja melakukannya”. Di antara orang yang paling sering melakukannya adalah Baqiyyah bin al-Walid. Abu Mishar berkata, “Hadis-hadis Baqiyyah tidaklah bersih, maka berjaga-jagalah engkau darinya”.

Riwayat Seorang Mudallis
• Sebagian ahli hadis dan ahli fiqih menolak riwayat mudallis secara muthlaq, baik dia menegaskan bahwa ia mendengar hadis itu maupun tidak, meskipun dia hanya melakukannya satu kali, sebagaimana dikutip dari pendapat Imam Asy-Syafi’i rahimahullah.
• Ibnu Shalah menegaskan secara rinci tentang masalah ini. Beliau mengatakan, “Apa yang diriwayatkan oleh mudallis dengan lafadh yang memiliki banyak kemungkinan (muhtamal) dan tidak menjelaskan bahwa ia telah mendengar atau bersambung sanadnya, maka hukumnya adalah mursal, ditolak, dan tidak dijadikan sebagai hujjah. Sedangkan bila lafadh periwayatannya jelas menunjukkan bahwa sanadnya bersambung, seperti “Aku mendengar”, “Telah menceritakan kepadaku“, “Telah mengabarkan kepadaku”; maka diterima dan dijadikan hujjah.
Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim dan kitab-kitab lainnya, banyak hadis yang sang mudallis berkata di dalamnya : “Telah menceritakan kepadaku”, “Aku telah mendengar”, “Telah mengabarkan kepadaku”. Semua itu datang dari Sufyan bin ‘Uyainah, Sufyan as-Tsauri, Al-A’masy, Qatadah, dan Hasyim bin Basyir.
Ibnu Shalah berkata, “Dan yang benar adalah membedakan antara keduanya. Apa yang dijelaskan di dalamnya bahwa hal itu merupakan pendengaran langsung, maka ia diterima. Sedangkan yang menggunakan lafadh muhtamal ditolak”.
Dia berkata, “Dan di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim terdapat semacam ini dari sejumlah perawi, seperti Dua Sufyan (Ats-Tsauri dan Ibnu ‘Uyainah), Al-A’masy, Qatadah, Hasyim, dan selain mereka”.

2) Tadlis as-Syuyukh
Yaitu satu hadis yang dalam sanadnya, perawi menyebut syaikh yang ia mendengar darinya dengan sebutan yang tidak terkenal dan tidak masyhur. Sebutan di sini maksudnya adalah nama, gelar, pekerjaan, atau kabilah, dan negeri yang disifatkan untuk seorang syaikh, dengan tujuan supaya keadaan syaikh itu yang sebenarnya tidak diketahui orang.
Contohnya:
Perkataan Abu Bakar bin Mujahid, salah seorang dari para imam ahli qira’at, “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abi Abdillah”; yang dimaksud adalah Abu Bakar bin Abu Dawud As-Sijistani.

Hukumnya
Tadlis asy-Syuyukh lebih ringan daripada Tadlis al-Isnad, karena sang mudallis tidak menggugurkan seorang perawi pun, dan kemakruhannya disebabkan karena sulitnya mengetahui riwayat darinya bagi yang mendengarnya. Dan hukum ini bisa berubah tergantung maksud dari sang mudallis. Kadang menjadi makruh, seperti halnya orang yang meriwayatkan dari perawi yang lebih kecil umurnya. Dan kadang menjadi haram, seperti riwayat orang yang tidak tsiqat lalu melakukan tadlis agar tidak diketahui keadaannya. Atau membuat pengaburan agar dikira sebagai orang lain yang tsiqat dengan menyamarkan nama atau sebutannya.
Di sisi lain, menurut Abdullah bin Abdurrahman as-Sa’ad, secara terperinci Tadlis tersebut terbagi menjadi 11 macam sebagaimana keterangan berikut.
1) Tadlis al-Isnad.
2) Tadlis al-Taswiyah.
3) Tadlis al-Syuyukh.
4) Tadlis al-Irsal.

5) Tadlis al-‘Athf.
Yakni seorang rawi meriwayatkan suatu hadis dari seseorang yang ia mendengar darinya, kemudian ia menggandengkan rawi lain yang ia tidak mendengar darinya.
Contohnya:
Imam al-Hakim, dalam kitab Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits, meriwayatkan bahwa Hasyim selalu mengatakan kepada para sahabatnya, “Telah menceritakan kepada kami Hushain dan Mughirah, dari Ibrahim: ……”. Tatkala selesai, ia berkata kepada mereka, “Apakah aku telah melakukan tadlis kepadamu hari ini?”. Mereka menjawab, “Tidak”. Lalu ia berkata, “Aku tidak pernah mendengar dari Mughirah satu huruf pun yang aku katakan. Aku hanya mengatakan, ‘Telah menceritakan kepadaku Hushain’. Sedangkan Mughirah, aku tidak pernah mendengar darinya”.

6) Tadlis al-Mutaba’ah.
Yakni seorang rawi meriwayatkan suatu khabar dari dua orang syaikh atau lebih, tetapi periwayatan dari mereka itu ada beberapa perbedaan, baik dalam lafadhnya maupun isnadnya, lalu riwayat salah seorang di antara mereka dibawa atau dimasukkan kepada riwayat syaikh lainnya dan rawi ini tidak menjelaskannya.

7) Tadlis al-Qath’u atau al-Sukut.
Yakni seorang rawi meriwayatkan suatu hadis dengan cara tadlis, dan perbuatannya itu dilakukan melalui perkataan yang terputus. Perawi yang terkenal melakukan tadlis seperti ini adalah Umar bin Ali al-Maqdumi.
Dalam periwayatannya, al-Maqdumi mengatakan, “Telah menceritakan kepada kami….(lalu ia pun terdiam)… Hisyam bin Urwah al-A’masy”. (Al-Fahd: hlm. 57)

8) Tadlis al-Shiyag (Shigat al-Tahammul).
Yakni sebagian periwayat menggunakan shigat tahdits atau akhbar dalam periwayatan ijazah agar dianggap sebagai riwayat sima’i.
Ibnu Hajar, dalam Thabaqat al-Mudallisin (hlm 82), mengatakan, “Ia (seorang rawi) memiliki ijazah dari beberapa orang yang ia ketahui, sedangkan ia sendiri tidak pernah bertemu dengan mereka. Lalu ia meriwayatkan dari mereka dengan sighat “akhbarana” (telah mengabarkan kepada kami). Dan ia tidak menjelaskan bahwa keberadaan riwayatnya itu sebagai ijazah”.

9) Tadlis al-Buldan.
Yakni seorang rawi menyebutkan bahwa ia menerima suatu hadis di satu tempat, padahal ia menerimanya bukan di tempat itu.

10) Tadlis al-Mutun.
Tadlis jenis ini disebut-sebut oleh Abu al-Mudhaffar as-Sam’ani dalam kitabnya Qawathi al-Adillah. Ia mengatakan bahwa Tadlis al-Mutun itu adalah tadlis yang dilakukan oleh seseorang dengan cara merubah kalimat dari tempat asalnya.
Abdullah bin Abdurrahman as-Sa’ad (hlm 15) menegaskan, “Jika yang dimaksud oleh Abu al-Mudhaffar adalah perubahan matan secara sengaja dari seorang rawi atau ia memasukkan matan ini atas nama rawi yang lain, maka hal itu termasuk dusta. Tetapi secara istilah hal ini tidak dapat disebut sebagai tadlis. Adapun jika ia melakukannya dengan tidak disengaja, maka itu pun tidak termasuk tadlis. Hal seperti itu termasuk ke dalam kekeliruan dan jelek hafalan.

11) Tadlis al-Mukhtalaf
Yakni riwayat Tadlis yang diperselisihkan oleh para ulama ahli hadis antara istilah tadlis dan istilah-istilah lainnya yang serupa.

C. Cara Mengetahui Tadlis
Terjadinya Tadlis dalam suatu hadis dapat diketahui melalui dua cara sebagai berikut.
1. Seorang Mudallis mengabarkan sendiri perbuatan tadlisnya, jika ia ditanya tentang itu, seperti yang terjadi pada diri Ibnu Uyainah.
2. Imam ahli hadis, berdasarkan penelitiannya yang mendalam, menyatakan bahwa hadis yang dimaksud termasuk tadlis.

D. Kitab-Kitab Terkenal tentang Mudallis
• At-Tabyin li Asma al-Mudallisin karya al-Khatib al-Baghdadi.
• At-Tabyin li Asma al-Mudallisin karya Burhanuddin bin al-Halabi.
• Ta’rif Ahli at-Taqdis bi Maratib al-Maushufin bi at-Tadlis karya al-Hafidh Ibnu Hajar.



DAFTAR PUSTAKA


Al-Fahd, Nashir bin Hamd. tt. Manhaj al-Mutaqaddimin fi at-Tadlis. http://saaid.net/book/open¬.php?cat=91&book=236
Al-Haraji, Masyhur bin Marzuq bin Muhammad. 1427 H. Mabahits fi Tahrir Ishtilah al-Hadits al-Mursal wa Hujjiyyatihi ‘inda al-Sadati al-Muhadditsin. http://saaid.net/book¬/open.¬php?cat=91&book=3738
At-Thahhan, Mahmud. tt. Taisir Musthalah al-Hadis.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. 1989.Ushul al-Hadis: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu. Dar al-Fikr: Damaskus.
Al-Sa’d, Abdullah bin Abdurrahman. Tt. Tadlis Ruwat al-Hadis wa Anwa’uhu. http://www.saaid.net
Al-Qasimi al-Dimasyqi, Al-‘Allamah Jamaluddin. Qawaid at-Tahdits min Funun Musthalah al-Hadits. http://saaid.net/book/open.php?cat=91&book=4882
Ibnu Katsir, Al-Hafidz. 1996. Al-Ba’its al-Hatsits. Dar al-Fikr: Damaskus.
Ibnu Shalah. Muqaddimah Ibn al-Shalah. http://www.saaid.net/book/¬open.php?¬cat=¬91&book=1396

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan