Wilujeng Sumping, alias SELAMAT DATANG... di blog simkuring... moga-moga aya manfaat nu tiasa katampi... hapunten nu kasuhun... bilih aya nu teu kahartos...

Kang Yosep: "Idealis" menapaki "Realitas"


DATA MAHASISWA

No. NIM Nama Mahasiswa
1 09.0290 Abdul Malik
2 09.0267 Agus Salim
3 09.0292 Asep Haerudin
4 09.0282 Asep Saripin
5 09.0301 Basir Japidung
6 09.0259 Diman Zamil
7 09.0303 Ema Nurhasanah
8 09.0278 Fitri Indriani
9 09.0299 Galih Permana
10 09.0270 Ikrima Nisa Habibah
11 09.0275 Ismailia
12 09.0325 Maya Susanti
13 09.0324 Mira Nopita
14 09.0326 Rani Tri Lesmayanti
15 09.0260 Risa Apriani
16 09.0385 Sidiq Ginanjar
17 09.0300 Siti Nurul Hidayah
18 09.0328 Tedi Setiadi
19 09.0327 Toto Soni
20 09.0383 Winda Gustiani
21 09.0319 Wiwin Muspianti
22 09.0384 Yana Hadiana
23 09.0283 Yopi Sopiana
24 09.0265 Yosep Saeful Azhar Photobucket
25 09.0298 Endang Sudrajat
26 09.0316 Supian Munawar
27 Asep Al-Juhaeri

Friday, November 12

SEJARAH BANI UMAYAH I


Photobucket
A. Konstelasi Pemerintahan Bani Umayah
1. Asal-Usul dan Basis Kekuatan

Sepeninggal Ali bin Abu Thalib, gubernur Syam tampil sebagai penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal kedaulatan Bani Umayah. Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb adalah pembangun dinasti Umayah dan sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus. (Mufrodi, 1997: 69)

Keberhasilan Muawiyah dalam meraih jabatan khalifah dan membangun pemerintahan Bani Umayah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi di Shiffin dan terbunuhnya Khalifah Ali saja, melainkan merupakan hasil akhir dari peristiwa-peristiwa politik yang dihadapinya dan karir politiknya yang cukup cemerlang.

Jika dirunut secara kronologis, keberhasilan Muawiyah dilatar-belakangi oleh beberapa faktor dan peristiwa politik sebagai berikut.

Pertama, sejak masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab, kepribadian dan kematangan karir politiknya sudah nampak. Pada masa itu, ia diangkat menjadi gubernur Syam menggantikan Abu Ubaidah dan saudaranya, Yazid bin Muawiyah, yang meninggal dunia akibat serangan wabah penyakit yang sangat ganas. Kepercayaan Umar terhadap kematangan politik Muawiyah ini begitu nampak sejak awal pengangkatan dirinya. Pada saat itu, sebenarnya Umar mengangkat dua orang menjadi pejabat negeri Syam; Syurahbil bin Hasanah dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Tetapi ketika ia sampai di daerah Jabiah, Syurahbil dipecat dari jabatannya. Ketika itu, Umar menyampaikan khutbahnya, “Saudara-saudara! Saya tidak memecat Syurahbil karena benci. Tetapi saya menginginkan orang yang kuat”. Menurut catatan Haekal (2001: 372), Syurahbil ini adalah seorang jenderal yang pandai mengatur strategi dan menjebak musuh, tetapi dia bukan seorang politikus yang tahu bagaimana mengatur rakyat sesuai dengan tujuan. Kebalikannya Muawiyah, dengan usianya yang masih muda, dia adalah politikus berpengalaman, dia tahu segala liku-liku persoalan. Karena itu, kedudukan Muawiyah sebagai gubernur ini terus bertahan hingga kekhalifahan Usman bin Affan dan awal kekhalifahan Ali bin Abu Thalib.

Kedua, pada awal pemerintahan Ali bin Abu Thalib, Muawiyah diminta untuk meletakkan jabatan, tetapi ia menolaknya. Bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali dan memanfaatkan peristiwa berdarah yang menimpa Usman bin Affan untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Usman, jika Ali tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya. (Mufrodi, 1997: 65)

Ketiga, desakan Muawiyah tersebut mengakibatkan terjadinya pertempuran sengit antara pihaknya dan pihak Ali sebagai khalifah di kota tua Shiffin yang berakhir dengan proses tahkim (arbitrase) pada tahun 37 H. Dalam pertempuran yang memakan waktu berhari-hari ini, menurut catatan al-Thabari (V/48), sebenarnya pihak Muawiyah sudah terdesak dan merasa khawatir akan kalah. Pada saat inilah timbul gagasan dari ‘Amr bin al-‘Ash untuk menghentikan perang sementara dengan cara mengangkat mushaf al-Quran. Gagasan ini disambut baik oleh Muawiyah. Peristiwa ini kemudian berlanjut pada terjadinya perundingan damai melalui proses tahkim.

Pihak Muawiyah bersama penduduk Syam sepakat menunjuk ‘Amr bin al-‘Ash sebagai wakil bagi perundingan tersebut. Sedangkan pihak Ali bin Abu Thalib, atas usulan dari al-Asy’as, Zaid bin Hushain at-Thai, dan Mis’ar bin Fadaki, diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari. Sebenarnya Ali sendiri tidak menyetujui usulan dari tiga orang tersebut karena ia memandang Abu Musa lemah dalam diplomasi. Ali lebih setuju menunjuk al-Asytar. Akan tetapi ketiga orang ini, dengan mengajukan usulan ini ke pasukan Ali, tetap memaksakan Abu Musa dan tidak menerima yang lain. Ali pun akhirnya berkata kepada mereka, “Sungguh kalian menolak selain Abu Musa?!”. “Ya,” jawab mereka. Kata Ali, “Kalau begitu, lakukanlah apa yang kalian kehendaki!”. (Al-Thabari, 5/51)

Setelah kedua belah pihak menyepakati wakilnya masing-masing, mereka pun menulis surat kesepakatan yang dihadiri oleh para saksi dari kedua belah pihak. Inti dari kesepakatan yang dibuat pada bulan Shafar tahun 37 H ini adalah gencatan senjata dan akan bertemu kembali dalam sebuah perundingan pada bulan Ramadhan di Dumatul Jandal wilayah Adzruh.

Pasukan ini kemudian berpencar. Muawiyah kembali ke Syam, sedangkan Ali kembali ke Kufah. Namun sebagian dari pasukan Ali akhirnya ada yang tidak menyetujui proses tahkim ini walaupun sebelumnya mereka sangat bersemangat dan mendesak Ali untuk melakukan tahkim tersebut. Mereka pun keluar dari barisan Ali dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan kaum Khawarij. Mereka membuat basis pasukan di Harura yang dipimpin oleh Abdullah bin Wahab.

Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, pada bulan Ramadhan , kedua belah pihak bertemu lagi di Dumatul Jandal disertai pasukannya masing-masing sebanyak 400 orang. Dalam pertemuan ini, ‘Amr bin al-‘Ash dan Abu Musa al-Asy’ari berunding untuk menentukan khalifah. ‘Amr mengajukan Muawiyah, tetapi ditolak oleh Abu Musa. Kemudian ia menawarkan anaknya, Abu Musa pun menolaknya. Lalu Abu Musa mengajukan Abdullah bin Umar, tetapi ‘Amr menolaknya. Akhirnya Abu Musa mengusulkan agar Muawiyah dan Ali dilepas jabatannya terlebih dahulu dan penyelesaian akan diserahkan kepada musyawarah umat secara umum. ‘Amr bin al-‘Ash menyetujuinya.
Setelah bersepakat, keduanya menghadap kepada dua pasukan ini. Lalu ‘Amr meminta Abu Musa untuk menyampaikan kesepakatan itu lebih dulu dengan alasan ia lebih senior. Pada saat ini, Binu Abbas sudah merasa ada unsur tipu muslihat dari pihak ‘Amr. Dia pun menyarankan kepada Abu Musa agar ‘Amr yang lebih dulu menyampaikan kesepakatan keduanya. Tetapi Abu Musa tidak menghiraukan saran Binu Abbas.

Setelah Abu Musa menyampaikan isi kesepakatan itu, ‘Amr bin al-‘Ash tampil dan menyampaikan pidatonya. Ia mengatakan, “Sesungguhnya masalah ini, sebagaimana kalian dengar darinya tadi, dan ia telah melepas jabatan sahabatnya. Aku pun melepas jabatan sahabatnya sebagaimana ia melakukannya. Dan sekarang, aku menetapkan sahabatku, Muawiyah, karena dia termasuk walinya Usman bin Affan dan yang menuntut hukuman bagi pembunuh Usman, serta ia termasuk orang yang lebih berhak menduduki jabatan ini”. Mendengar pidato ini, Abu Musa pun marah. Lalu keduanya saling mencaci maki. Syuraih bin Hani, dari pihak Ali, mengangkat cemetinya dan mencambuk ‘Amr bin al-‘Ash. Putra ‘Amr membalasnya. Kemudian orang-orang berdiri dan memisahkannya, lalu mereka pun berpencar dengan membawa keputusan yang merugikan sebelah pihak ini.

Menurut catatan Ibnu Katsir (1988:7/314), pada saat kejadian ini ‘Amr memandang bahwa meninggalkan manusia tanpa imam, sedangkan kondisi umat seperti ini (chaos) akan membawa pada mafsadat yang berkepanjangan dan memperuncing perselisihan di antara mereka. Maka ia pun menetapkan Muawiyah demi kemaslahatan umat. Tetapi ini adalah ijtihad, sementara ijtihad itu bisa jadi benar atau bisa juga salah. Wallahu a’lam.

Keempat
, seusai proses tahkim, lama kelamaan pasukan Ali terus berkurang dan melemah. Kelompok Khawarij yang berjumlah sekitar 12.000 orang turut serta merepotkan Ali. Wilayah kekuasaannya pun terus digerogoti oleh pasukan Muawiyah. Sementara kekuatan Muawiyah semakin kokoh. Dia mendapat dukungan yang kuat dari rakyat Syam dan keluarga Bani Umayah.

Kelompok Khawarij, walaupun Ali sudah beberapa kali mencoba untuk membujuk mereka agar bertobat dan kembali kepada barisan Ali, terus menerus menyimpan kekesalannya. Hingga akhirnya, mereka bersepakat untuk membunuh tiga orang yang langsung terlibat dalam proses tahkim; Ali, Muawiyah, dan ‘Amr bin al-‘Ash. Tetapi usaha pembunuhan itu hanya berhasil membunuh Ali. Sedangkan Muawiyah dan ‘Amr bin al-‘Ash selamat. Pada tanggal 17 Ramadhan 40 H (660 M), Ali ditikam oleh seorang anggota Khawarij yang bernama Binu Muljam dan meninggal dunia pada tanggal 20 Ramadhan 40 H.
Pada tahun ini, warga Kufah membaiat al-Hasan untuk menggantikan posisi ayahnya. Al-Hasan pun menerima baiat dari mereka. Tetapi tidak lama kemudian, dengan kegamangan hati mereka, mereka pun tidak sanggup menghadapi pasukan Muawiyah. Akhirnya al-Hasan mengajukan posisinya kepada Muawiyah melalui perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik di bawah Muawiyah bin Abu Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Muawiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (‘am al-jama’ah). (Yatim, 1993: 40)

Kelima, Muawiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat “hilm”. Sifat hilm, menurut Eaton (2005: 252), adalah sifat kasih sayang terhadap musuh dan kesiapan untuk menerima perbedaan. Seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi. (Mufrodi, 1997: 71)

Selain itu, sebagai seorang administrator, Muawiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu ‘Amr bin al-‘Ash, Mughirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Ketiga pembantu ini dengan Muawiyah merupakan empat politikus yang sangat mengagumkan di kalangan muslim Arab. (Watt, 1990: 19)

‘Amr bin al-‘Ash dikenang sebagai penakluk Mesir pada masa Umar bin al-Khattab dan menjabat gubernur pertama di wilayah itu. Sejak wafatnya Khalifah Usman, ‘Amr mendukung Muawiyah dan ditunjuk olehnya sebagai penengah dalam peristiwa tahkim karena kecerdikannya dalam diplomasi. Sayang hanya dua tahun ia mendampingi kekhalifahan Muawiyah. Sedangkan Mughirah adalah seorang politikus independent. Karena keterampilan politiknya yang besar, Muawiyah mengangkatnya menjadi gubernur di Kufah yang meliputi wilayah Persia bagian utara, suatu jabatan yang pernah dipegangnya kira-kira satu atau dua tahun semasa pemerintahan Umar. Keberhasilan Mughirah yang utama adalah kesuksesannya menciptakan situasi yang aman dan mampu meredam gejolak penduduk Kufah yang sebagian besar pendukung Ali. Adapun Ziyad bin Abihi merupakan pemimpin kharismatik yang netral, ditetapkan oleh Muawiyah untuk memangku kursi gubernur di Basrah dengan tugas khusus di Persia Selatan. Sikap politiknya yang tegas, adil, dan bijaksana menjamin kekuasaan Muawiyah langgeng di wilayah propinsi paling timur itu yang dikenal sangat gaduh dan dukar diatur. (Mufrodi, 1997: 71)

2. Sistem Pemerintahan

Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah ini, sistem pemerintahan Islam yang dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. (Binu Taimiyah, 1951: 42)

Perintah ini tentu saja memberikan sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap Yazid merupakan bentuk pengokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba dibangun oleh Muawiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas musyawarah (syuro) dalam menentukan seorang pemimpin baru. Muawiyah telah merubah model kekuasaan dengan model kerajaan yang membenarkan regenerasi kekuasaan dengan cara memberikan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis keturunan Muawiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk memimpin pemerintah umat Islam, karena sistem dinasti hanya membenarkan satu kebenaran bahwa suksesi hanya bisa diberikan kepada keturunan dalam dinasti tersebut. (Suhaidi, deemuhammad)

Tradisi bentuk khilafah konfederasi yang dicanangkan oleh Rasulullah pada tahun 622 M (awal periode Madinah), terus berlanjut hingga masa Dinasti Umayah sejak tahun 661 M. Bedanya, Rasulullah menerapkan bentuk konfederasi kabilah, sedangkan Dinasti Umayah menerapkan konfederasi propinsi. Untuk menangani banyaknya propinsi yang ada, maka khalifah ketika itu, Muawiyah bin Abu Sofyan, mencoba menggabung beberapa wilayah menjadi satu propinsi. Wilayah-wilayah ini terus berkembang sejalan dengan keberhasilan program futuhat (ekspansi). Setiap gubernur memilih amir atas jajahan yang berada dalam kekuasaannya, dan para amir tersebut bertanggung jawab langsung kepada khalifah. Konsekuensinya, para amir berfungsi sebagai khalifah di daerah. Nilai politis kebijakan ini adalah upaya sentralisasi wilayah kekuasaan, mengingat potensi daerah-daerah tersebut dalam menopang jalannya pemerintahan, baik dari sudut pandang ekonomi, maupun keamanan dan pertahanan nasional. Pada masa Hisyam bin Abdul Malik, gubernur mempunyai wewenang penuh dalam hal administrasi politik dan militer dalam propinsinya, namun penghasilan daerah ditangani oleh pejabat tertentu (sahib al-kharaj) yang mempunyai tanggung jawab langsung pada khalifah.

Dari segi cara hidup, para khalifah Dinasti Umayah telah meninggalkan pola dan cara hidup Nabi Muhammad Saw dan al-Khulafa al-Rasyidun. Mereka menjaga jarak dengan masyarakat, dengan tinggal di istana yang dikelilingi oleh para pengawal. Baitul Mal yang selama masa pemerintahan sebelumnya difungsikan sebagai dana swadaya masyarakat yang difungsikan untuk kepentingan rakyat, pada masa Umayah telah berubah fungsi, kecuali ketika pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, kas negara adalah milik penguasa dan keluarganya. Rakyat hanya wajib untuk menyetor pajak tanpa mempunyai hak menanyakan penggunaannya. Pada masa ini pajak negara dialihkan menjadi harta pribadi para khalifah. Pendapatan pajak diperoleh dari, pajak tanah, jizyah, zakat, cukai dan pajak pembelian, upeti yang harus dibayar menurut perjanjian, seperlima ghonimah, fai’, impor tambahan hasil bumi, hadiah festival, dan upeti anak dari bangsa barbar. (Manshur, Humaniora: VI)

3. Para Khalifah dan Pertumbuhan Kekuasaan

Dinasti Umayah sebenarnya terbagi menjadi dua periode, yaitu periode Bani Umayah I dari tahun 41 – 132 H dan periode Bani Umayah II yang dimulai pada tahun 138 H. Bani Umayah I dimulai oleh Muawiyah bin Abu Sufyan dan ditutup oleh Marwan bin Muhammad. Sedangkan Bani Umayah II di Andalusia dimulai oleh Abdurrahman bin Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan yang dikenal dengan gelar ad-Dakhil dan diakhiri oleh Hisyam bin Muhammad bin Abdul Malik yang dikenal dengan gelar al-Mu’tamad.
Di antara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di dalam berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula yang tidak patut dan lemah.

Adapun urutan-urutan khalifah Umayah I adalah sebagai berikut.

1. Muawiyah I bin Abi Sufyan (41-60H/661-680M)
2. Yazid bin Muawiyah (60-64H/680-683M)
3. Muawiyah II bin Yazid (64H/683-683M)
4. Marwan bin Hakam (64H/684M)
5. Abdul Malik bin Marwan (65-86H/685-705M)
6. Al-Walid bin Abdul Malik (86-96H/705-715M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99H/715-717M)
8. Umar bin Abdul Aziz (99-101H/717-720M)
9. Yazid bin Abdul Malik (101-105H/720-724M)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125H/724-743M)
11. Al-Walid II bin Yazid (125-126H/743-744M)
12. Ibrahim bin al-Walid(126-127H/744M)
13. Marwan II bin Muhammad (127-132H/744-750M)

Peralihan kekuasaan awal dari Muawiyah kepada putranya Yazid bin Muawiyah mengundang masalah dari beberapa pihak. Mengenai awal mula pengangkatan Yazid ada dua riwayat yang menerangkannya. Pertama, riwayat Hasan al-Bashri menyatakan, saat Mughirah bin Syu’bah menjadi gubernur di Kufah, Muawiyah menulis surat kepadanya: “Jika kamu selesai membaca surat ini, menghadaplah kepada saya, kamu akan saya pecat”. Al-Mughirah tidak segera menghadap Muawiyah. Maka tatkala ia menghadap, Muawiyah berkata, “Apa yang menyebabkanmu datang terlambat?” Al-Mughirah berkata, “Saya membereskan satu perkara yang telah saya persiapkan sejak lalu”. Muawiyah berkata, “Perkara apakah yang kamu maksud?” Al-Mughirah menyambung, “Saya membereskan baiat orang-orang Kufah untuk Yazid”. “Apakah telah kamu lakukan itu?” tanya Muawiyah. “Ya!” kata al-Mughirah. Muawiyah berkata, “Jika itu penyebabnya, maka kembalilah, saya kembalikan kamu kepada kedudukanmu”. Kedua, riwayat Binu Sirin menegaskan bahwa ketika ‘Amr bin Hazm datang menemui Muawiyah, dia berkata, “Saya ingatkan kepadamu tentang umat Muhammad, siapa yang akan kau jadikan sebagai penggantimu sebagai khalifah?” Muawiyah berkata, “Kau telah menasihatiku dan kau telah mengatakan pendapatmu. Sesungguhnya tidak ada lagi kecuali anakku dan anak-anak mereka. Namun anakku jauh lebih berhak untuk memangku khilafah”. (Al-Suyuthi, 2001: 243-244)

Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadab Bani Umayah dimulai oleh Husein bin Ali yang berakhir dengan syahidnya Husein di Karbala.

Setelah Yazid wafat, pemerintahan digantikan oleh Muawiyah II bin Yazid. Namun, Muawiyah II tidak sanggup memerintah dan menyerahkan kepemimpinannya kepada Marwan bin Hakam. Akan tetapi, Marwan hanya memerintah selama 9 bulan dan mengundurkan diri karena tidak bisa menghadapi pergolakan politik yang terjadi. Suasana kerajaan bisa dipulihkan setelah kekhalifahan dipegang oleh Abdul Malik bin Marwan, tepatnya ketika gerakan yang dipimpin oleh Abdullah bin Zubeir berhasil ditumpas.

Kejayaan Bani Umayah semakin menonjol setelah dipimpin oleh Al-Walid bin Abdul Malik, yaitu tahun 705-715 M. Pada masanya, Bani Umayah mampu memperluas wilayah kekuasaan Islam sampai ke India, Afrika Utara, hingga Maroko, dan Andalusia. Pada masa ini perluasan wilayah Islam meliputi sebagai berikut:

a. Wilayah kekuasaan Kerajaan Romawi di Asia Kecil meliputi Ibukota Konstantinopel serta perluasan ke beberapa pulau di Laut Tengah.
b. Wilayah Afrika Utara sampai ke pantai Atlantik dan menyeberangi selat Jabal Thariq (Selat Gibraltar).
c. Wilayah Timur, Bagian Utara di seberang sungai Jihun (Amru Daria).
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) hubungan pemerintah dengan golongan oposisi mulai membaik. Ketika dinobatkan sebagai khalifah, beliau menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak lebih ringan dan kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.

Sepeninggal Umar bin Abdul Aziz, kekuasaan Bani Umayah berada di bawah khalifah Yazid bin Abdul Malik (720- 724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan Mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan dinasti Umayah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam bin Abdul Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya mematahkannya.

Sepeninggal Hisyam bin Abdul Malik, khalifah-khalifah Bani Umayah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulat Umayah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayah, melarikan diri ke Mesir. Ia ditangkap dan dibunuh di sana.

4. Kemunduran Bani Umayah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayah menjadi lemah, yaitu sebagai berikut.

1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan Bani Umayah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Di samping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayah.
4. Lemahnya pemerintahan Bani Umayah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Bani Umayah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abdul Muthallib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum mawali yang merasa dikelas-duakan oleh pemerintahan Bani Umayah.
6. Kaum Mawali yang tidak mendapatkan posisi strategis di pemerintahan turut menggerogoti kepemimpinan Bani Umayah.
7. Sikap antipati ulama terhadap kehidupan mewah keluarga kerajaan.

B. Perkembangan Peradaban Masa Bani Umayah
Pada masa pemerintahan Muawiyah, konsolidasi internal mulai dilakukan. Tujuannya adalah untuk memperkokoh barisan dalam rangka pertahanan dan keamanan dalam negeri, antisipasi atas setiap gerakan pemberontak, dan untuk memperlancar program futuhat. Ada lima diwan (lembaga) yang menopang suksesnya konsolidasi yang dilakukan, yakni: Diwan al-Jund (Urusan Kemiliteran), Diwan ar-Rasail (Urusan Administrasi dan Surat), Diwan al-Barid (Urusan Pos), Diwan al-Kharaj (Urusan Keuangan), dan Diwan al-Khatam (Urusan Dokumentasi). (El-Hermawan)

Dari segi organisasi militer, pada masa dinasti ini bangsa Arab telah mencapai perkembangan yang cukup signifikan. Jumlah tentara ketika pemerintahan berada di bawah kekuasan Muawiyah berjumlah 60.000 orang, dengan anggaran sebesar 60 juta dirham. Setelah penaklukan Bizantium, angkatan perang Umayah didata dalam sebuah organisasi yang cukup besar. Satu divisi terdiri dari 5 corp, dua corp untuk barisan depan, satu corp untuk barisan tengah, dan dua corp lagi adalah untuk barisan belakang. Organisasi ini masih terus berlangsung hingga akhir pemerintahan Marwan bin Muhammad. Ia menghapus organisasi ini dan mengenalkan susunan tentara yang disebut kurdus. Para tentara dilengkapi dengan senjata canggih pada masa itu, seperti peluru yang digerakkan dengan roket.

Dari berbagai periode pemerintahan Dinasti Umayah, penaklukan merupakan program utama pemerintah yang sudah mentradisi, kecuali pada periode Umar bin Abdul Aziz. Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Penaklukan tersebut erat kaitannya dengan kondisi angkatan darat dan laut yang tangguh dan sistem administrasi yang mapan, rapi, dan komplit.

Konsekuensinya, segala kebijakan pemerintah menentukan berhasil tidaknya penaklukan. Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.

Di samping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Semasa Bani Umayah berkuasa, banyak institusi politik dibentuk, misalnya undang-undang pemerintahan, dewan menteri, lembaga sekretariat negara, jawatan pos dan giro serta penasihat khusus di bidang politik. Dalam tatanan ekonomi dan keuangan juga dibentuk jawatan ekspor dan impor, badan urusan logistik, lembaga sejenis perbankan, dan badan pertanahan negara. Sedang dalam tatanan teknologi, dinasti ini telah mampu menciptakan senjata-senjata perang yang canggih pada masanya, sarana transportasi darat maupun laut, sistem pertanian maupun pengairan. (Thohir, tt: 37)

Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Lambang negara yang sebelumnya tidak pernah dibuat oleh Al-Khulafaur Rasyidin, mulai dibuat pada masa ini. Ia menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya, yang menjadi ciri khas kerajaan Umayah.
Khalifah Adul Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Ia juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.

Keberhasilan Khalifah Abdul Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid bin Abdul Malik (705- 715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Selain melakukan perbaikan di berbagai bidang seperti yang telah disebutkan di atas, dinasti Umayah juga melakukan perubahan dalam beberapa bidang sebagai berikut.

a. Bidang Sosial
Pada masa dinasti ini, stratifikasi sosial mulai dikenal. Rakyat imperium Arab terbagi kedalam empat golongan. Golongan pertama merupakan golongan yang terdiri atas kaum muslimin yang memegang kekuasaan dan dikepali oleh anggota istana serta kaum ningrat dari penakluk arab. Golongan kedua merupakan golongan neomuslim, baik dengan atas kemauan sendiri maupun paksaan. Golongan ketiga merupakan kaum non muslim yang mengikat perjanjian dengan kaum muslim. Golongan keempat merupakan golongan budak yang merupakan golongan terendah.

Meskipun sistem pemerintahan tidak berjalan demokratis, namun kondisi sosial pada masa dinasti Umayah tetap damai dan adil. Kebebasan memeluk agama pun dijamin. Di antara usaha positif yang dilakukan oleh para khilafah daulah Bani Umayah dalam mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh sistem pemerintahan dan menata administrasi yang bertugas mengurusi masalah keuangan negara yang dipergunakan untuk:

1. Gaji pegawai dan tentara serta gaya tata usaha negara.
2. Pembangunan pertanian, termasuk irigasi.
3. Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang
4. Perlengkapan perang. (Fauzi, imronfauzi.wordpress.com)

Di samping usaha tersebut daulah Bani Umayah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada di bawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua hakim (Qadli). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi. selain itu, kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik.

b. Bidang Pendidikan
Nampaknya pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa ar Rasyiddin. Para Khulafa agaknya kurang memperhatikan bidang pendidikan, sehingga perkembangannya pun kurang maksimal. Meskipun demikian, dalam bidang ini, dinasti Umayah memberikan andil yang cukup signifikan bagi perkembangan budaya Arab pada masa sesudahnya, terutama dalam pengembangan ilmu-ilmu agama Islam, sastra, dan filsafat.

Bila dibandingkan dengan masa Khulafa Ar-Rasyidin, pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayah telah mengalami perkembangan. Hal ini ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di tempat-tempat yang telah disediakan untuk kegiatan tersebut. Materi yang diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam, di mana kurikulumnya telah disesuaikan dengan tingkatannya masing-masing. Metode pengajarannya pun tidak sama sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuwan dalam berbagai bidang tertentu.

Tempat-tempat yang telah disediakan demi perkembangan pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayah ada tiga yaitu: Kuttab, Mesjid, dan Majelis Sastra. Kuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam. (Yunus, 1981: 39)

Setelah pelajaran anak-anak di kuttab selesai mereka melanjutkan pendidikan yang dilakukan di mesjid. Pada Dinasti Umayah ini, pendidikan yang dilaksanakan di mesjid terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah ulama yang ilmunya mendalam dan masyhur kealiman serta keahliannya. Sedangkan majelis sastra merupakan balai pertemuan untuk membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik yang disiapkan oleh khalifah yang dihiasi dengan hiasan yang indah dan hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka.

c. Bidang Seni
Pada masa Daulah Bani Umayah ini bidang seni juga mengalami perkembangan, terutama seni bahasa, seni suara, seni rupa, dan seni bangunan (arsitektur). Dalam bidang arsitektur, peran khalifah sangat menonjol. Merka sangat menyokong perkembangan seni ini seperti menara yang diperkenalkan oleh Muawiyah. Kubah as-Sakhra di Yerussalem yang dibangun oleh Abdul Malik pada tahun 691, merupakan salah satu contoh hasil karya arsitek muslim zaman permulaan yang paling cantik. Bangunan ini merupakan masjid yang pertama kali ditutup dengan kubah. Pada sekitar abad VII Walid bin Abdul Malik membangun masjid agung di Syiria berdasarkan nama-nama penguasa Dinasti Umayah. Dengan demikian, perkembangan arsitektur mencapai puncaknya pada bentuk dan arsitektur masjid-masjid.

d. Ilmu Pengetahuan
Pada masa dinasti ini, tepatnya pada paruh terakhir dinasti Umayyah, cabang-cabang ilmu baru yang sebelumnya belum pernah diajarkan dalam dunia Islam mulai diajarkan seperti tata bahasa, sejarah, geografi dan lain-lain. Pada masa Umayyah, ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam, yaitu :

1. Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru), yang meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-Qur’an, Hadis, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi), Al-Ulumul Dakhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi : ilmu thib, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi ;
2. Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama), yaitu ilmu yang telah ada pasa zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal. (Suhaidi, http://deemuhammad.blogspot.com )
Usaha yang tidak kalah pentingnya pada masa Dinasti Umayyah ini dimulainya penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam Bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid bin Yazid bin Muawiyah. Ia merupakan seorang orator dan penyair yang berpikiran tajam. Ia pula orang yang pertama kali menerjemahkan ilmu pengetahuan Yunani ke dalam Bahasa Arab, seperti astronomi, kedokteran dan kimia. Bahkan ia memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang kimia dan kedokteran serta mengarang beberapa buku dalam bidang tersebut. Pada masa Umar bin Abdul Aziz, sekolah kedokteran yang pada awalnya berada di Alexandria dipindahkan ke Antokia. Di bawah pemerintahannya karya Yunani banyak yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab.
Pada masa ini pula ilmu tafsir dan tafsir al-qur’an mulai berkembang dengan pesat. Ilmu tafsir memiliki letak yang strategis, di samping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekuensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena banyaknya yang masuk Islam. Hal ini menyebabkan pencemaran bahasa Al-Quran dan makna Al-Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Pencemaran Al-Quran juga disebabkan oleh faktor intervensi yang didasarkan kepada kisah-kisah Israiliyyat. Karena tuntutan untuk mempelajari dan menafsirkan al-Qur'an itulah, dua jenis ilmu pengetahuan yakni filologi dan leksikografi mendapatkan perhatian oleh banyak orang. (Manshur, Humaniora: VI)
Selain ilmu tafsir, ilmu hadis juga mendapatkan perhatian serius. Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M pernah mengirim surat kepada Abu Bakar bin Amir dan kepada ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadis-hadis, namun hingga akhir pemerintahannya hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian pemerintahan Umar bin Abdul Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternatif, yakni para ulama mencari hadis ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal dengan metode Rihlah. Pada masa dinasti inilah, kitab tentang ilmu hadis sudah mulai dikarang oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadis yang terkenal pada masa itu antara lain adalah Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky), Al-Auza’i Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri as-Sya’bi.

Di bidang fiqh secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu aliran ahli al-Ra’y dan aliran ahli hadis, kelompok aliran pertama ini mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi atau Qiyas, sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada dalil-dalil, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat Al-Quran dan hadis yang menerangkannya. Nampaknya disiplin ilmu fiqh menunjukkan perkembangan yang sangat berarti. Melalui periode ini lahirlah sejumlah mujtahid fiqh. Terbukti ketika akhir masa Umayah telah lahir tokoh mazhab yakni Imam Abu Hanifah di Irak dan Imam Malik bin Anas di Madinah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal lahir pada masa Abbasyiyah. (Chalil, 1989: 23)


DAFTAR PUSTAKA

Al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir. Tarikh al-Thabari: Tarikh al-Rusul wa al-Muluk. Dar al-Ma’arif.
Al-Suyuthi. 2001. Tarikh Khulafa: Sejarah Para Penguasa Islam (Terjemah dari Tarikh al-Khulafa). Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Chalil, Munawar. 1989. Empat Biografi Imam Mazhab. Jakarta: Bulan Bintang.
Eaton, Charles Le Gai. 2005. Menghampiri Islam: Mata Baru Menumbuhkan Iman Autentik-Progresif (Terjemah dari Islam and The Destiny of Man). Jakarta: Serambi Ilmu.
El-Hermawan, Hermain. Dinasti Umayyah: Perkembangan Politik. Forum Kajian Islam Strategis Sumatra Utara
Fauzi, Imron. Sistem Sosial Budaya dan Model Pemerintahan Pada Masa Bani Umayyah. imronfauzi.wordpress.com
Haekal, Muhammad Husein. Umar bin al-Khattab. Jakarta: Litera Antar Nusa.
Ibnu Katsir, Abu al-Fida Ismail ibn Umar. 1988. Al-Bidayah wa al-Nihayah. Dar Ihya al-Turats al-Araby.
Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin. 1951. As-Syiyasah As-Syar’iyah fi Islah Ar-Ra’iyah. Mesir: Darul Kitab al-Gharbi.
Manshur, Fadlil Munawwar. Pertumbuhan Dan Perkembangan Budaya Arab Pada Masa Dinasti Umayyah, dalam Majalah Humaniora, Volume VI
Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Suhaidi RB, Mohammad. Dinasti Bani Umayyah : Perkembangan Politik, Gerakan Oposisi, Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kejatuhan Dinasti, http://deemuhammad.blogspot.com
Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Watt, W. Montgomery. 1990. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis (Terjemah dari The Majesty that was Islam). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Yatim, Badri. 1993. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Pers.
Yunus, Mahmud. 1981. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hida Karya Agung.

1 comments:

Mesa said...

Terimakasih ...

Wah lengkap banget, saya pernah baca di sini, tapi tidak selengkap ini.

Any way terimakasih sharingnya.

Post a Comment

Popular Posts

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan