Dalam makalah ini saya tulis berbagai bahan yang berkaitan dengan Fiqih dan Madzhab-Madzhabnya serta Ushul Fiqih dan Materi-Materinya. Semoga bermanfaat.
I. Pengertian Ilmu Fiqih
Firman Allah dalam QS At Taubah [9] : 123;
âMaka apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber âtafaqquhâ (memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan kaumnya bila mereka kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas perintah dan larangan Allah).â
Hadits Nabi :
âBarangsiapa dikehendaki oleh Allah akan diberikannya kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan kepadanya âke-faqih-anâ (memahami fiqih) dalam urusan agama.â (HR. Bukhari-Muslim).
Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili).
Produk ilmu fiqih adalah âfiqihâ. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu âUshul Fiqihâ.
II. Perkembangan Ilmu Fiqih
A. Masa Nabi
Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang makshum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau menerima wahyu dari Allah serta semua perbuatan, ucapan, taqrir dan himmahnya adalah kebenaran yang menjadi hukum dan diikuti oleh umatnya.
Dalam masa Nabi wahyu Al-Qurâan masih terus turun susul-menyusul. Wahyu yang turun kadang-kadang merupakan jawaban atau solusi masalah yang sedang terjadi pada diri Nabi dan para sahabatnya.
Dalam urusan duniawi, peperangan, siasat politik, muamalah dan yang semacamnya kadang Nabi juga bermusyawarah dengan para sahabat, terkadang juga Nabi menerima usulan dan masukan dari para sahabat, bahkan kadang Nabi meninggalkan pendapatnya sendiri.
Pada peristiwa perang Badar, Rasulullah memerintahkan pasukan Islam untuk mengambil posisi di suatu tempat, tetapi perintah Nabi itu disanggah oleh salah seorang sahabat yang mengusulkan agar pasukan kaum Muslimin mengambil posisi didepan sumber mata air dan ternnyata usulan itu diterima dan dilaksanakan oleh Nabi.
Beberapa penduduk Madinah ada yang berusaha mengawinkan pohon kurma untuk memperoleh buah yang lebih banyak. Melihat itu Nabi melarang mereka mengawinkan serbuk sari pohon kurma, maka penduduk Madinah mentaati larangan Rasulullah tersebut. Ternyata pada tahun itu pohon-pohon kurma tidak menghasilkan buah. Lalu Nabi mengijinkan lagi mengawinkan serbuk sari pohon kurma, seraya bersabda
âKamu lebih mengetahui urusan duniamuâ.
Pada waktu perang Khaibar para sahabat menyalakan api dibawah periuk. Melihat itu kemudian Nabi bertanya : âApa yang sedang kalian masak dalam periuk itu ? â Sahabat menjawab : âDaging keledai jinakâ. Nabi kemudian berkata : âBuang isi perikuk itu dan pecahkan periuknyaâ. Salah seorang sahabat berdiri dan berkata : âBagaimana kalau kami membuang isinya dan kami mencuci periuknya ?â Nabi menjawab : âSeperti itupun bolehâ.
Jadi dalam hal-hal yang bukan merupakan esensi pokok-pokok syariat agama, keputusan Nabi tidaklah otoriter, masih mempertimbangkan musyawarah dan kemaslahatan.
Para sahabat Nabi terkadang juga melakukan perbuatan âijtihad pribadiâ maka tindakan mereka itu ada yang disetujui Nabi, disalahkan kemudian Nabi memberitahukan yang benar atau Nabi memberi komentar terhadap ijtihad para sahabatnya. Terkadang diantara para sahabat Nabi terjadi perbedaan pendapat mengenai suatu masalah, maka merekapun datang kepada Nabi dan menanyakan masalah tersebut maka Nabi memberitahukan hukumnya. Contohnya adalah sebagai berikut :
1. Dalam perang Zatu al Salasil (perang musim dingin) âAmr bin Ash mengalami mimpi junub. Akan tetapi âAmr bin Ash takut mandi karena hawanya sangat dingin, kemudian ia hanya ber tayamum dan melakukan shalat subuh. Disaat ijtihad âAmr bin Ash itu sampai kepada Nabi, maka beliau bertanya kepada âAmr bin Ash : â(Benarkah) kamu shalat bersama sahabat kamu,sedangkan kamu berada dalam keadaan junub ?â maka âAmr bin Ash menjawab : âAku mendengar Allah berfirman :
âDan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada dirimu.â (QS An-Nisa : 29)
Mendengar jawaban itu Nabi hanya tersenyum dan tidak memberi komentar apa-apa. Hal itu merupakan taqrir beliau yang menunjukkan persetujuannya.
1. Dalam suatu perjalanan, Umar bin Khattab dan âAmmar bin Yasir sama-sama dalam keadaan junub. Pada saat itu mereka tidak mendapatkan air untuk mandi besar, sementara waktu shalat telah tiba. âAmmar ber-ijtihad dengan meng qiyas kan air dengan debu, maka âAmmar berguling-guling diatas tanah. Sementara Umar bin Khattab tidak ber tayamum yang menurutnya hanya menghilangkan hadas kecil dan memilih untuk menunda shalat.
Maka tatkala keduanya melaporkan apa yang mereka lakukan, Nabi menyatakan bahwa kedua ijtihad itu keliru. Nabi mengatakan bahwa yang benar adalah mereka cukup dengan tayamum biasa tanpa harus berguling-guling ke tanah dan tayamum itu juga bisa menghilangkan hadas besar dalam keadaan darurat.
1. Bani Quraidhah adalah orang-orang Yahudi penduduk Madinah yang terikat perjanjian persekutuan dengan kaum Muslimin untuk saling membantu bila Madinah diserang musuh. Pada saat perang Ahzab (Khondaq), Yahudi Bani Quraidhah melakukan pengkhianatan berusaha membantu musuh yang mengepung kota Madinah. Setelah kaum pengepung diporak-porandakan oleh badai gurun yang dahsyat dan peperangan pun selesai, Allah memerintahkan Nabi mengepung Bani Quraidhah. Untuk itu nabi bersabda : âJangan ada diantara kalian yang melakukan shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhahâ. Sekelompok sahabat Nabi memahami sabda Nabi tersebut berdasarkan mantuq (makna lahirnya) maka mereka bergegas pergi dan bahkan menunda shalat ashar. Sebagian sahabat yang lain memahami sabda Nabi diatas berdasarkan mafhum (makna tersirat) yaitu boleh melakukan shalat Ashar tepat waktu, baru setelah itu harus segera bergegas menuju ke perkampungan Bani Quraidhah. Ternyata Nabi membenarkan kedua pemahaman tersebut.
Jadi pada masa Nabi semua masalah dan perbedaan pendapat dapat diketahui hukumnya yang seharusnya berdasarkan keputusan akhir dari Nabi yang masih ada ditengah-tengah para sahabat.
B. Masa Khulafaur Rasyidin
Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah tersebut. Bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.
Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Madinah, maka kesepakatan para sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar ini menjadi Ijmaâ yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan sebagian sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing-masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama dan mujtahid dari generasi tabiâin dan tabiâit-tabiâin.
Pada masa Khalifah Ali bin Abu Thalib bahkan beliau memindahkan pusat pemerintahannya dari Madinah ke Kufah. Pada masa pemerintahan Ali pula mulai terjadi perang pertumpahan darah diantara sesama kaum Muslimin, yaitu perang Jamal, perang Shiffin dan perang Nahrawand.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kebijaksanaan dan keputusan hukum Khulafaur Rasyidin dapat dijadikan hujjah, berdasarkan Hadits Nabi :
âIkutilah jejak dua orang sepeninggalku, (yaitu)Abu Bakar dan Umar.â (HR Tirmidzi, Thabarani, Hakim)
âMaka bahwasanya siapa yang hidup (lama) diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi hidayah.â (HR. Abu Dawud).
Disamping empat orang Khulafaur Rasyidin, para fuqaha sahabat besar juga ada yang dikenal sebagai mufti dan memberi fatwa hukum. Perkataan sahabat (qaul sahabi) yang tidak disandarkan berasal dari Nabi disebut hadits mauquf.
Sahabat Nabi adalah generasi Islam yang terbaik. Mereka diridhoi oleh Allah pada beberapa ayat Al-Qurâan dan diridhoi oleh Nabi dalam beberapa hadits.
Firman Allah dalam QS At-Taubah : 100 :
âOrang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.â
Hadits Nabi :
âSaya adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.â
Para Sahabat itu para murid yang ditarbiyah (dididik) langsung oleh Nabi. Mereka mengetahui latar belakang turunnya ayat Al-Qurâan (asbabun nuzul), mengetahui latar belakang timbulnya hadits (asbabul wurud), terbukti jihadnya, lebih bersih hatinya, lurus manhajnya dan paling besar jasanya kepada Islam. Maka pendapat sahabat itu sangat layak untuk dijadikan rujukan dan diikuti.
Diantara Fukaha (ahli Fiqih) Sahabat besar selain empat orang Khulafaur Rasyidin yang dikenal banyak memberi fatwa adalah :
1. Abdullah Ibnu Abbas, mengembangkan perguruannya di Mekkah.
2. Abdullah Ibnu Masâud, mengembangkan perguruannya di Kufah.
3. Abdullah Ibnu Umar, mengembangkan perguruannya di Madinah.
4. Abdullah bin âAmr bin Ash, mengembangkan perguruannya di Mesir.
5. Muadz bin Jabal, mengembangkan perguruannya di Damaskus (Syria).
6. Zaid bin Tsabit, mengembangkan perguruannya di Madinah.
7. Aisyah, Ummul Mukminin
8. Abu Hurairah, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi.
9. Abu Dardaâ, mengembangkan perguruannya di Basrah.
10. Abu Musa Al-Asyâari, mengembangkan perguruannya di Basrah.
11. Ubay bin Kaâab, pernah menjadi Hakim Khalifah Umar di Basrah.
Karakteristik Ijtihad masa Sahabat :
1. Dengan musyawarah diantara ahlul hal wal aqd, yaitu para Khalifah (penguasa) dan para fuqaha (ahli fiqih) sahabat besar.
2. Patuh dan tidak menyelisihi keputusan Amir.
3. Tidak berfatwa untuk sesuatu yang belum terjadi.
Atsar dari Masruq yang bertanya kepada Ubay bin Kaâab tentang sesuatu hal, maka Ubay bin Kaâab menjawab :
âApakah hal itu telah terjadi ?â Aku menjawab : âBelumâ. Ia mengatakan : âKita tangguhkan (tunggu) sampai hal itu terjadi. Apabila hal itu telah terjadi, kami akan berijtihad untuk kamu dengan pendapat kamiâ.
4. Toleran
Ath-Thabari meriwayatkan atsar bahwa Umar bin Khattab bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang mempunyai kasus, lalu Umar bertanya padanya : âApa yang engkau perbuat ?â Orang itu menjawab : âAku dihukumi demikian, oleh Ali dan Zaidâ. Umar berkata : âKalau aku, tentu aku akan menghukumi demikianâ. Lelaki itu berkata : âApa yang menghalangimu, sedangkan urusan itu ada padamu ?â Umar menjawab : âKalau aku mengembalikanmu kepada Kitabullah dan Sunnah, tentu aku lakukan. Tetapi aku mengembalikanmu pada raâyu (ijtihad akal), sedangkan raâyu itu musytarak (lebih dari satu pendapat) dan aku tidak tahu pendapat mana yang benar menurut Allah. Maka tidak kurang nilainya apa yang dikatakan oleh Ali dan Zaidâ.
5. Menjauhi pembahasan ayat-ayat Mutasyabih. Khalifah Umar bin Khatab pernah mencambuk orang yang suka membahas ayat-ayat mutasyabih.
C. Masa Tabiâin
Para tabiâin adalah murid-murid langsung dari para sahabat Nabi. Pada masa tabiâin mereka melakukan dua peranan penting, yaitu :
1. Mengumpulkan riwayat hadits dan fatwa sahabat.
2. Ber ijtihad untuk masalah-masalah yang belum diketahui pendapat dari sahabat.
Para tabiâin di tiap-tiap kota mengembangkan ijtihadnya berdasarkan pengajaran dan methode guru mereka masing-masing dari kalangan sahabat Nabi.
Mufti dan Fuqaha di Madinah
1. Said bin Al Musayyab
2. Urwah bin Zubair
3. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq
4. Kharijah bin Zaid bin Tsabit
5. Abu Bakar bin Abdurrahman
6. Sulaiman bin Yasar
7. Ubaidillah bin Abdullah
Mufti dan Fuqaha di Mekkah :
1. Athaâ bin Abi Rabah
2. Thawus bin Kisan
3. Mujahid bin Jabar
4. Ubaid bin Umar
5. Amru bin Dinar
6. Ikrimah maula Ibnu Abbas
Mufti dan Fuqaha di Basrah :
1. Amru bin Salamah
2. Abu Maryam al-Hanafy
3. Kaâab bin Sud
4. Hasan Al Basri
5. Muhammad bin Sirin
6. Muslim bin Yasar
Mufti dan Fuqaha di Kufah :
1. Alqamah bin Qais An-Nakhaiy
2. Masruq bin Al Ajda; Al Hamdany
3. Syuraih al Qadhy
4. Abdullah bin Utbah bin Masâud al-Qadly.
5. Rabiâ bin Khutsam.
Mufti dan Fuqaha di Mesir :
1. Yazid bin Abi Habib
2. Bakir bin Abdillah
3. Amru bin Al-Harits
Mufti dan Fuqaha di Yaman :
1. Mutharrif bin Mazin al-Qadly.
2. Abdul Raziq bin Hamman
3. Hisyam bin Yusuf
4. Muhammad bin Tsur
5. Samak bin Al-Fadhl
Mufti dan Fuqaha di Baghdad :
1. Abu âUbaid Al-Qasim bin Salam
2. Abu Tsur Ibrahim bin Khalid al Kalby
Mufti dan Fuqaha di Andalusia :
1. Yahya bin Yahya
2. Abdul Malik bin Habib
3. Baqi bin Makhlad
4. Qasim bin Muhammad
5. Maslamah bin Abdul Aziz Al Qadly
Fuqaha Tujuh (Fuqaha al-sabâah)
Mereka adalah para tabiâin yang dikenal sebagai imam ahli Fiqih (Fuqaha), yaitu :
1. Said bin Al-Musayyab (15 â 93 H), menantu sahabat Nabi Abu Hurairah. Ahli hadits, paling mengetahui keputusan hukum Abu Bakar dan Umar, guru Ibnu Syihab Az Zuhry.
2. âUrwah bin Zubair (wafar 94 H), keponakan Aisyah Ummul Mukminin.
3. Abu Bakar bin âUbaid bin Al Harits bin Hisyam Al Makzumi (wafat 94 H).
4. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq (wafat 94 H).
5. âUbaidillah bin Utbah bin Abdullah bin Masâud (wafat 99 H), guru Umar bin Abdul Azis.
6. Sulaiman bin Yasar (34-100 H), meriwayatkan hadits dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah.
7. Kharijah bin Zaid bin Tsabit, ahli fiqih dan menguasai ilmu faraidh (warisan).
D. Masa Tabiât Tabiâin dan Imam Mazhab.
Mufti dan Fuqaha di Mekkah :
Di mekkah terdapat Muslim bin Khalid Al Zanji, Saâid bin Salim Al-Qadah, Abdullah bin Zubair al Humaidy, Musa bin Abi Jarud dan Muhammad bin Idris Asy Syafiâi.
Mufti dan Fuqaha di Madinah :
Ibnu Sihab Az Zuhri, Abdurrahman bin Hurmuz, Malik bin Anas.
Mufti dan Fuqaha di Basrah :
Abdul Wahab bin Majid Ats Tsaqafy, Said bin abi âArubah, Hammad bin Salamah, Maâmar bin Rasyid.
Mufti dan Fuqaha di Kufah :
Ibnu Abi Layla, Abdullah bin Syubramah, Syarikh Al Qadly, Sufyan Tsauri, Muhammad Al Hasan Asy Syaibany, Abu Yusuf Al Qadly, Abu Hanifah
Mufti dan Fuqaha di Baghdad :
Abu Tsur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi.
Mufti dan Fuqaha di Syam
Yahya bin Hamzah Al Qadly, âAmru Abdurrahman bin âAmru Al Auzay, Abu Ishaq Al Farazy Ibnu Mubarak.
Mufti dan Fuqaha di Mesir :
Abdullah bin Wahbin, Al Muzny, Ibnu Abdul hakam, Muhammad bin Idris Asy Syafiâi.
Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Nama lengkapnya adalah Imam Abu Hanifah Nuâman bin Tsabit, lahir tahun 80 H di kota Kufah pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah. Beliau lebih populer dipanggil Abu Hanifah. Kakeknya seorang Persia beragama Majusi. Hanifah dalam bahasa Iraq berarti tinta. Ini karena beliau banyak menulis dan memberi fatwa.
Abu Hanifah pada mulanya adalah seorang pedagang yang sering pulang-pergi ke pasar. Hingga suatu ketika beliau bertemu dengan Syaâbi yang melihat bakat kecerdasan Abu Hanifah dan menyarankannya agar banyak menemui ulama mempelajari agama. Nasehat Syabiâ berkesan di hati Abu Hanifah, kemudian beliaupun banyak berguru kepada para ulama.
Imam Abu Hanifah mendapatkan hadits dari Athaâ bin Abi Rabah, Abu Ishaq As SyubaâI, Muhib bin Disar, Haitam bin Hubaib Al Sarraf, Muhammad bin Mukandar, Nafi Maula Abdullah bin Umar, Hisyam bin urwah dan Samak bin Harb. Beliau mempelajari Fiqih dari Hammad bin Sulaiman, mempelajari qiraat dari Imam âAshim (salah satu qurraâ tujuh). Beliau seorang hafidz (hafal Al-Qurâan), pada bulan Ramadhan mengkhatamkan Al-Qurâan 60 kali.
Imam Syafiâi berkata : âSemua kaum muslimin berhutang budi pada Abu Hanifah, Imam Abu Hanifah itu bapak dan para ahli Fiqih itu anak-anaknya.â
Imam Malik berkata : âSubhanallah, saya tidak pernah melihat orang seperti dia, andaikan dia mengatakan bahwa tiang ini terbuat dari emas, tentu ia akan dapat membuktikannya melalui Qiyasnya.â
Mengenai metode Ijtihadnya, Imam Abu Hanifah pernah berkata : âSaya mengambil Kitabullah (Al-Qurâan) jika saya mendapatkannya. Hal yang tidak saya jumpai dalam Al-Qurâan akan saya ambil dari Sunnayh Rasulullah SAW, dari riwayat yang shahih dan populer dikalangan orang-orang kepercayaan. Jika saya tidak mendapatkannya dalam Al-Qurâan dan Sunnah, saya akan mengambil fatwa para sahabatnya sesuka saya dan membiarkan yang lain. Setelah itu saya tidak akan keluar dalam fatwa selain mereka. Jika telah sampai kepada Ibrahim, Syaâbi, Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan lainnya, maka saya ber-ijtihad sebagaimana mereka juga ber-ijtihad.
Fudail bin Iyadh mengatakan : âJika ada masalah didasarkan pada hadits yang shahih sampai kepada Abu Hanifah, pasti dia akan mengikutinya. Begitu juga dari sahabat dan tabiâin. Kalau tidak, dia akan menggunakan qiyas dengan cara yang sangat baikâ.
Al-Dabussi dalam kitab Taâsis al-Nazhar menyebutkan : âAbu Hanifah suka pada kebebasan berpikir. Ia seringkali memberikan kepada sahabat dan murid-muridnya untuk mengajukan keberatan-kebaratan atas ijtihadnya. Imam Abu Hanifah dalam mempelajari suatu masalah menukik dalam sampai ke akar permasalahan. Beliau memahami inti hakikat (lubb al-haqaâiq), memahami isi dan misi yang terdapat dibelakang nash-nash itu dalam bentuk illat-illat dan hukum-hukum.â
Imam Abu Hanifah berkata : âPerumpamaan orang yang mempelajari hadits, sedangkan ia tidak memahami, sama halnya dengan apoteker yang mengumpulkan obat, sementara ia tak tahu persis untuk apa obat itu digunakan, akhrinya dokter datangâŠ.demikianlah kedudukan penuntut hadits yang tidak mengenal wajah haditsnya, sehingga hadirnya fiqihâ.
Imam Abu hanifah dikenal teguh hati dan kokoh dalam pendirian. Beliau pernah mengalami dua kali masa ujian. Pertama pada masa pemerintahan Marwan bin Muhammad (Khalifah terakhir Bani Umayyah), Ibnu Hubairah (gubernur Iraq) menunjuk Imam Abu Hanifah menjadi qadly, namun pengangkatan itu ditolak oleh Imam Abu Hanifah. Maka Imam Abu Hanifah dipukul sampai empat belas kali sebagai hukuman karena dianggap tidak mendukung pemerintahan Bani Umayyah.
Ujian kedua dialami pada masa pemerintahan Abu Jaâfar Al Manshur dinasti Abbasyah. Kasusnya hampir sama, karena Imam Abu Hanifah menolak diangkat menjadi Qadly oleh Khalifah Al Manshur. Beliau dipenjara dan disiksa dalam penjara.
Beliau juga dicurigai mendukung gerakan kaum Alawiyin yang dituduh berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Akhirnya Imam Abu Hanifah meninggal karena diracun dalam penjara. Pada tahun 150 H, bersamaan dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah, lahir Imam Syafiâi.
Metode Ijtihad Imam Abu Hanifah :
1. Al-Qurâan
2. Hadits dari riwayat kepercayaan.
3. Ijmaâ
4. Fatwa Shabat
5. Qiyas
6. Istihsan (keluar dari qiyas umum karena ada alasan yang lebih kuat).
7. Urf (kebiasaan yang baik dalam tata-pergaulan, muamalah dikalangan manusia)
Imam Abu Hanifah adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar kodifikasi ilmu Fiqih, pemikiran-pemikiran beliau kemudian ditulis dan dibukukan oleh sahabat sekaligus murid-muridnya seperti Abu Yusuf Al Qadhy dan Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani.
Fiqih mazhab Hanafi mewakili aliran Kufah, menggunakan porsi raâyu (Qiyas) lebih banyak dibandingkan aliran Hijaz yang lebih banyak menggunakan hadits/atsar.
Kitab-kitab kumpulan fatwa mazhab Hanafi :
Tentang Masailul Ushul :
1. Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Al Hasan.
2. Al-Jamiâus Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
3. Al-Jamiâul Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
4. As-Sairus Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
5. AS-Sairus Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
6. Az-Zidayat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
7. Al-Kafi, karya : Abdul Fadhaâ Hammad bin Ahmad.
8. Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Muhammad bin Sahl.
Tentang Masailul Nawadhir :
1. Dhahirur Riwayah, karya : Muhammad bin Al Hasan.
2. Haruniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
3. Jurjaniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
4. Kisaniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
5. Al-Mujarrad, karya : Hasan bin Ziad.
Tentang Fatwa wal Waqiâat :
1. An Nawazil, karya : Abdul Laits As Samarqandi.
Tentang Akidah dan Ilmu Kalam :
1. Fiqhul Akbar, diriwayatkan oleh Abi Muthiâ Al Hakam.
Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Nama lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amir al-Asbahi al Madani. Beliau dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Sejak muda beliau sudah hafal Al-Qurâan dan sudah nampak minatnya dalam ilmu agama.
Imam Malik belajar hadits kepada Rabiâah, Abdurrahman bin Hurmuz, Az-Zuhry, Nafiâ Maula Ibnu Umar. Belajar Fiqih kepada Said bin Al Musayyab, Urwah bin Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq, Abu Salamah, Hamid dan Salim secara bergiliran. Belajar qiraat kepada Nafiâ bin Abu Nuâman.
Ibnu Al-Kasim berkata : âPenderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian rupa, sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya, kemudian di jual kepasarâ.
Imam malik sangat memulikan ilmu dan menghormati hadits Nabi. Imam Malik tidak mau mempelajari hadits dalam keadaan berdiri. Beliau juga tidak mau menaiki kuda di kota Madinah karena beliau malu berkuda diatas kota yang dibawah tanahnya ada makam Rasulullah SAW.
Ibnu Abdu Al-Hakam mengatakan : â Malik sudah memberikan fatwa bersama-sama dengan gurunya Yahya bin Saâad, Rabiah dan Nafiâ, meskipun usianya baru berusia 17 tahun. Beliau dikenal jujur dalam periwayatannya.
Abu Dawud mengatakan : âHadits yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafiâ dari Ibnu Umar. Sesudah itu adalah hadits dari Malik dari Az Zuhry dari Salim dari ayahnya. Beriktnya adalah hadits dari Malik dari Abu Zanad dari âAraj dari Abu Hurairah. Hadits mursal Malik lebih shahih dari pada hadits mursal Said bin Al Musayyab atau Hasan Al Basri.â
Sufyan mengatakan : âJika Malik sudah mengatakan âbalaghnyâ telah sampai kepadaku, niscaya isnad hadits tersebut kuatâ.
Imam Syafiâi mengatakan : âJika engkau mendengar suatu hadits dari Imam Malik, maka ambillah hadits itu dan percayalahâ.
Imam Malik juga dikenal sangat hati-hati dalam masalah hukum halal-haram. Imam Abdurrahman bin Mahdy meriwayatkan : âKami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada beliau lalu berkata : âDari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan kepada engkauâ. Imam Malik berkata : âBertanyalahâ. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau dan beliau hanya menjawab : âaku tidak memandangnya baikâ. Orang itu terus mendesak karena menginginkan Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya, âBagaimana nanti kalau kau ditanya orang di kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang kepada mereka ?â Imam Malik berkata : âKatakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas mengatakan tidak menganggapnya baikâ. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash yang tegas mengharamkannya.
Imam Malik dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Tentang penguasaannya dalam hadits, beliau sendiri pernah mengatakan : âAku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000 haditsâ. Beliau mengarang kitab hadits Al-Muwattaâ, merupakan kitab hadits tertua yang sampai kepada kita.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Jaâfar Al Manshur beliau pernah memberi fatwa bahwa âakad orang yang dipaksa itu tidak syahâ. Fatwa ini tidak disukai oleh pemerintah karena bisa membawa konsekuensi juga bahwa baiat kepada penguasa karena terpaksa adalah juga tidak syah dan itu dianggap membahayakan kekuasaan Bani Abbas.
Gubernur Madinah, Jaâfar bin Sulaiman memerintahkan agar Imam Malik mencabut fatwanya, namun Imam Malik menolak. Akibatnya gubernur memukulnya sampai 80 kali sampai tulang belikatnya retak dan mengaraknya diatas kuda keliling kota Madinah. Sejak itu namanya bukannya menjadi cemar, justru makin melambung dan harum dimata umat.
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau meminta Imam Malik agar datang ke Baghdad dan mengajarkan Al Muwattaâ untuk keluarga istana, maka Imam Malik berkata , â Ilmu itu didatangi bukan sebaliknyaâ. Akhirnya Khalifah Harun Al Rasyid bersama dua anaknya Al Maâmun dan Al Amin datang ke Madinah untuk belajar kitab Al Muwattaâ.
Khalifah Harun Al Rasyid pernah berkata : âAku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwattaâ sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qurâanâ. Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Kemudian Imam Malik pun mengarang kitab kumpulan fatwa-fatwa sahabat, yaitu : Syadaâid Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan) dan Shawazh Abdullah Ibnu Masâud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Masâud).
Metode Ijtihad Imam Malik bin Anas :
1. Al-Qurâan
2. Hadits (termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk Madinah).
3. Ijmaâ
4. Atsar yang diamalkan penduduk Madinah.
5. Qiyas
6. Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena alasan mencari maslahat)
7. Perkataan Sahabat.
Bila dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah (aliran Kufah), mazhab Imam Malik mewakili aliran Hijaz lebih banyak berdasarkan hadits dan atsar, lebih sedikit menggunakan porsi dengan raâyu (Qiyas).
Kitab Kitab Mazhab Maliki :
1. Kitab Hadits, Al Muwattaâ.
2. Syadaâid Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras)
3. Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan)
4. Shawazh Abdullah Ibnu Masâud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Masâud).
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafiâi (150-204 H)
Seorang pemuda Quraisy yang nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada Abdu Manaf, kakek generasi keempat diatas Rasulullah. Beliau lahir di Ghaza, Palestina (riwayat lain lahir di Asqalan, perbatasan dengan Mesir) pada tahun 150 H, pada tahun yang sama dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah. Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi serba kekurangan (miskin).
Beliau dikenal sebagai murid yang sangat cerdas. Pada usia tujuh tahun sudah dapat menghafal Al-Qurâan. Kemudian beliau pergi ke kampung Bani Huzail untuk mempelajari sastra Arab dari Bani Huzail yang dikenal halus bahasanya. Sampai suatu ketika beliau bertemu dengan Muslim bin Khalid Az Zanji yang menyarankan agar beliau mempelajari fiqih.
Imam Syafiâi kemudian berguru kepada Imam Muslim bin Khalid Az Zanji (mufti Mekkah). Pada usia 10 tahun Imam SyafiâI sudah hafal kitab Al-Muwattaâ karya imam Malik. Pada usia 13 tahun bacaan Al-Qurâan imam Syafiâi yang sangat merdu mampu membuat pendengarnya menangis tersedu-sedu. Pada usia 15 tahun beliau diijinkan oelh gurunya untuk memberi fatwa di Masjidil Haram.
Ketika berumur 20 tahun Imam Syafiâi ingin berguru langsung kepada Imam Malik bin Anas, pengarang kitab Al Muwattaâ di Madinah. Niat itu didukung oleh gurunya dan didukung juga oleh gubernur Mekkah yang membuatkan surat pengantar untuk gubernur Madinah meminta dukungan bagi keperluan Imam Syafiâi dalam belajar kepada Imam Malik di Madinah.
Dengan diantar gubernur Madinah, Imam Syafiâi mendatangi rumah Imam Malik. Mula-mula Imam Malik kurang suka dengan adanya surat pengantar dalam urusan menuntut ilmu. Tapi setelah pemuda Syafiâi bicara dan mengemukakan keinginannya yang kuat untuk belajar, apalagi setelah mengetahui bahwa pemuda Syafiâi telah hafal Al-Qurâan dan hafal kitab Al Muwattaâ karangannya, maka Imam Malik menjadi kagum dan akhrinya menerimanya menjadi muridnya.
Imam Syafiâi kemudian menjadi murid kesayangannya dan tinggal di rumah Imam Malik. Imam Syafiâi juga dipercaya mewakili Imam Malik membacakan kitab Al-Muwattaâ kepada jamaah pengajian Imam Malik. Sekitar satu tahun Imam Syafiâi tinggal bersama Imam Malik bin Anas, hingga akhirnya Imam Syafiâi ingin pergi ke Irak, untuk mempelajari fiqih dari penduduk Irak, yaitu murid-murid Imam Abu Hanifah. Imam Malik pun mengijinkan dan memberikan uang saku sebesar 50 dinar.
Sesampai di Irak, imam Syafiâi menjadi tamu Imam Muhammad Al Hasan (murid Abu Imam Abu Hanifah). Beliau banyak berdiskusi dan mempelajari kitab-kitab mazhab Hanafi yang dikarang oleh Muhammad Al Hasan dan Abu Yusuf. Setelah sekitar dua tahun berdiam di Irak, Imam Syafiâi meneruskan pengembaraan ke Persia, Anatolia, Hirah, Palestina, Ramlah. Di setiap kota yang dikunjungi Imam Syafiâi mengunjungi ulama-ulama setempat, melakukan diskusi mempelajari ilmu dari mereka dan mempelajari adat-istiadat budaya setempat. Setelah bermukim 2 tahun di Irak dan 2 tahun mengembara berkeliling ke negeri negeri Islam akhirnya Imam Syafiâi kembali ke Madinah dan disambut penuh haru oleh gurunya yaitu Imam Malik bin Anas. Kemudian Imam Syafiâi selama empat tahun lebih tinggal di rumah Imam Malik dan membantu gurunya dalam mengajar, sampai meninggalnya Imam Malik pada tahun 179 H.
Sepeninggal Imam Malik, ketika itu beliau berusia 29 tahun, maka tidak ada lagi orang yang membantu keperluan beliau. Atas pertolongan Allah pada tahun itu juga datang wali negeri Yaman ke Madinah yang mengetahui bahwa Imam Malik bin Anas telah wafat dan mengetahui tentang salah seorang muridnya yang cerdas dan ahli yaitu Imam Syafiâi. Wali Negeri Yaman mengajak Imam Syafiâi ikut ke Yaman untuk menjadi sekertaris dan penulis istimewanya. Di Yaman beliau menikah dengan Hamidah binti Nafi (cucu Usman bin Affan) dan dikaruniai seorang putra dan dua orang putri.
Di Yaman Imam Syafiâi juga masih terus belajar, terutama kepada Imam Yahya bin Hasan. Disana beliau juga banyak mempelajari ilmu firasat yang pada saat itu sedang marak dipelajari.
Pada waktu itu Yaman merupakan salah satu pusat pergerakan kaum Alawiyin yang berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Berdasarkan laporan mata-mata Khalifah maka beberapa tokoh orang-orang Alawiyin dan termasuk juga Imam Syafiâi ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diinterogasi oleh Khalifah Harun Al Rasyid.
Setelah diinterogasi dan berdialog dengan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau dibebaskan dari segala tuduhan, sedangkan semua orang-orang Alawiyin dibunuh oleh Khalifah. Setelah bebas dibebaskan, Imam Syafiâi sempat beberapa lama tinggal di Baghdad dan menuliskan fatwa-fatwa qaul qadim (pendapat lama) nya. Selama di Baghdad ini pula pemuda Ahmad bin Hanbal berguru kepada beliau mempelajari fiqih.
Pada sekitar tahun 200 H, Abbas bin Abdullah diangkat menjadi gubernur Mesir. Gubernur Mesir yang baru tersebut mengajak Imam Syafiâi ikut ke Mesir untuk dijadikan Qadly sekaligus mufti di Mesir. Maka akhirnya Imam SyafiâI tinggal di Mesir bersama sang Gubernur.
Setibanya di Mesir, Imam Laits bin Saâad mufti Mesir telah meninggal, maka beliau mempelajari fiqih Imam Laits melalui murid-muridnya. Di Mesir inilah beliau menuliskan fatwa-fatwa qaul jadid (pendapat baru) nya. Imam Syafiâi terus mengajar dan menjadi mufti, memberikan fatwa-fatwa di Masjid âAmr bin Ash sampai wafatnya.
Metode Ijtihad Imam Syafiâi :
1. Al-Qurâan
2. Hadis
3. Ijmaâ
4. Qiyas
5. Istidlal
Imam Syafiâi adalah orang pertama yang menyusun sistematika, perumus dan yang mengkodifikasikan ilamu Ushul Fiqih, melalui kitabnya Ar Risalah. Beliau menerangkan cara-cara istinbath (pengambilan hukum) dari Al-Qurâan dan Hadist, menerangkan mukashis nash yang mujmal, menerangkan cara mengkompromikan dan men tarjih nash-nash yang secara zahirnya saling bertentangan, menerangkan kehujahan Ijmaâ, qiyas dsb. Imam Syafiâi Juga melakukan penilaian terhadap metode ihtihsan Imam Abu Hanifah, metode maslahah mursalah dan praktek penduduk Madinah yang dipakai oleh Imam Malik.
Kitab-kitab mazhab Syafiâi :
1. Ar Risalah, kitab pertama yang menguraikan tentang ilmu Ushul Fiqih.
2. Al âUm (kitab induk), berisi pembahasan berbagai masalah fiqih.
3. Jamiâul Ilmi.
4. Ibthalul-Istihsan, berisi penilaian terhadap metode Istihsan.
5. Ar-Raddu âala Muhammad ibn Hasan, berisi mudhabarah, diskusi dan bantahan terhadap pendapat Muhammad ibn Hasan, murid utama Imam Abu Hanifah.
6. Siyarul Auzaây, berisi pembelaan terhadap Imam Al-Auzaây.
7. Mukhtaliful Hadits, berisi cara mengkompromikan hadits-hadits yang secara zahir saling bertentangan.
8. Musnad Imam Syafiâi, berisi kumpulan hadits yang diterima dan diriwayatkan oleh Imam Syafiâi.
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Lahir di kota Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya meninggal ketika beliau masih anak-anak dan kemudian dibesarkan dan diasuh oleh ibunya. Kota Baghdad pada waktu itu merupakan ibukota Kekhalifahan Bani Abbas dan merupakan gudangnya para ulama dan ilmuwan. Imam Ahmad bin Hanbal banyak berguru pada ulama-ulama di kota kelahirannya tersebut.
Ketika berumur 16 tahun, pemuda Ahmad bin Hanbal pergi mengembara menuntut ilmu, terutama berburu hadits-hadits Nabi sampai ke Kufah, Basrah, Syria, Yaman, Mekkah dan Madinah.
Mengenai gurunya ada puluhan orang yang semuanya adalah ulama-ulama dalam berbagai bidang ilmu. Diantara gurunya adalah Sufyan bin Uyainah, Abu Yusuf Al Qadhy dan Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafiâi.
Imam Hanbali dikenal sangat gemar dan bersemangat menuntut ilmu, berburu hadits, ahli ibadah, waraâ dan zuhud. Imam Abu Zuârah mengatakan : âImam Ahmad bin Hanbal hafal lebih dari 1.000.000 (satu juta) haditsâ. Sementara anaknya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan : âAyahku telah menuliskan 10.000.000 hadits banyaknya dan tidaklah beliau mencatatnya hitam diatas putih, melainkan telah dihafalnya diluar kepalaâ.
Ketika pemerintahan ada ditangan Khalifah Al Maâmun, saat itu kaum Muâtazilah berhasil mempengaruhi Khalifah untuk mendukung pemikiran mereka dan mempropagandakan pendapat bahwa Al-Qurâan adalah mahkluk. Kaum Muâtazilah yang didukung penuh oleh Khalifah Al-Maâmun memaksakan pendapat itu kepada seluruh rakyat.
Para Ulama yang tidak sependapat ditangkap dan diinterogasi ke istana. Hampir semua ulama tidak berani menentang karena takut dihukum berat. Satu-satunya ulama yang tetap istiqomah menentang pendapat bahwa Al-Qurâan adalah makhluk hanyalah Imam Ahmad bin Hanbal. Akibatnya beliau disiksa, dipukuli dan hampir saja dibunuh. Rupanya Allah menyelamatkan beliau karena tiba-tiba Khalifah Al Maâmun meninggal secara mendadak di Tharsus, sehingga eksekusi hukuman mati kepada Imam Ahmad bin Hanbal tidak sampai dilaksanakan.
Sepeninggal Al Maâmun, dua orang Khalifah penggantinya yaitu Al Muntashir dan Al-Watsiq masih meneruskan kebijaksanaan mendukung kaum Muâtazilah dan progandanya bahwa Al-Qurâan adalah makhluk. Selama itu Imam Ahmad bin Hanbal hidup dalam persembunyian dan mengasingkan diri.
Setelah Al-Watsiq, yang naik tahta adalah Khalifah Al-Mutawakil. Pada masa Al-Mutawakil inilah propaganda bahwa Al-Qurâan adalah makhluk dihentikan sama sekali. Bahkan Khalifah menangkapi dan menghukum ulama-ulama Muâtazilah yang dahulu menjadi pelopor utama propaganda kemakhlukan Al-Qurâan.
Khalifah Al Mutawakil sangat menghormati dan memuliakan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau dijadikan penasehat resmi istana, dan Khalifah mendukung penuh ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal dan para ahli hadits.
Metode Ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal :
1. Al-Qurâan
2. Hadits
3. Ijmaâ Sahabat
4. Fatwa Sahabat
5. Atsar Tabiâin
6. Hadits Mursal / Dhaif
7. Qiyas
Metode istinbath Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak menyandarkan pada hadits dan atsar dari pada menggunakan raâyu (ijtihad). Beliau lebih menyukai berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah furuâiyah daripada menggunakan Qiyas.
Kitab-kitab mazhab Hanbali :
1. Tafsir Al-Qurâan.
2. Musnad Imam Ahmad, sebuah kitab kumpulan hadits yang tebal.
3. Kitab Nasikh wal Mansukh.
4. AL Muqaddam wal Muakhkhar fil Qurâan.
5. Jawabatul Qurâan.
6. Kitab At Tarikh.
7. Al Manasikul Kabir.
8. Al Manasikus Saghir.
9. Thaâatur Rasul.
10. Al-âIllah.
11. Kitab Zuhud.
12. Kitab Ash Shalah.
III. Ijtihad
Ijtihad adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan (istinbath) hukum syaraâ dari sumbernya (Al-Qurâan dan Hadits).
A. Aliran Hadits / Atsar
Para ulama hijaz (Mekkah-Madinah) yang dipelopori oleh Said Al Musayyab dalam ber ijtihad lebih banyak bersandar kepada hadits dan atsar sahabat. Kelompok Hijaz ini banyak jarang menggunakan raâyu (qiyas) dalam metode ijtihadnya, dengan latar belakang sebagai berikut :
1. Penduduk Hijaz mewarisi kekayaan hadits dan atsar dari para Sahabat Nabi yang banyak tinggal di Hijaz, seperti ketetapan Abu Bakar, Umar, Usman, juga fatwa-fatwa dari : Zaid bin Tsabit, Aisyah dan riwayat dari Abu Hurairah, Abu Said Al Kudry, dll.
2. Negeri Hijaz yang berada di pedalaman semenanjung Arabia, relatif tidak banyak mengalami dinamika perubahan sosial.
3. Banyaknya Hadits dan atsar yang mereka terima dan ditunjang oleh dinamika sosial yang lebih statis menyebabkan mereka kurang menggunakan daya analisis. Ulama Hijaz lebih mencukupkan diri dengan memegangi teks-literalis nash.
4. Mengikuti guru mereka, yaitu Abdullah bin Umar yang sangat tergantung pada hadits dan atsar dan sangat hati-hati dalam menggunakan raâyu (qiyas).
B. Aliran Raâyu
Setelah terbunuhnya Khalifah Usman, kemudian berlanjut dengan perang Jamal yang menuntut balas atas darah Usman. Muawiyah tidak mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib sehingga meletus perang Shiffin. Setelah peristiwa tahkim muncul kaum Khawarij dan kelompok Syiah. Kericuhan itu terus berlanjut sampai terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu Bani Umayyah menguasai pemerintahan dengan cara paksa.
Kelompok Khawarij, Syiah dan Bani Umayyah satu sama lain saling bermusuhan dan saling menumpahkan darah. Sejak itu mulai timbul hadits-hadits palsu yang dibuat untuk memperkuat kelompoknya masing-masing. Kelompok Syiah Rafidah yang bermarkas di Kufah dikenal paling banyak membuat Hadits palsu. Dengan latar belakang tersebut selanjutnya para ulama Kufah sangat hati-hati dalam menerima periwayatan hadits.
Para Ulama Kufah (Iraq) yang dipelopori oleh Ibrahim An Nakhay dalam ijtihadnya menggunakan raâyu (qiyas) dengan porsi yang lebih besar daripada ulama Hijaz. Hal itu dilatar belakangi oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Para Sahabat Nabi yang tinggal di Kufah tidak sebanyak yang tinggal di Hijaz, sehingga kekayaan hadits dan atsar yang mereka terima tidak sebanyak yang diterima penduduk Hijaz. Penduduk Kufah menerima hadits dari : Ibnu Masâud, Saâad bin Abi Waqash, Ali bin Abi Thalib, Amar bin Yasir, Abu Musa Al-Asyâari, Mughirah bin Subâah, Anas bin Malik, Hudzaifah bin Al Yaman.
2. Di Kufah mulai marak para pemalsu hadits, terutama dari kelompok Syiah Rafidah, sehingga Ulama Kufah lebih hati-hati dan lebih selektif dalam menerima hadits.
3. Kufah adalah kota yang lebih ramai dibanding Hijaz, berdekatan dengan wilayah Persia yang sebelum memeluk agama Islam, penduduknya sudah mempunyai peradaban dan cara berpikir yang maju (rasional). Disamping itu di Kufah merupakan pusat pergerakan kaum Syiah dan Khawarij. Jadi di Kufah mengalami dinamika perubahan sosial yang lebih tinggi yang menuntut pemikiran daripada sekedar mengandalkan teks hadits yang diterima dari riwayat sahabat di masa Nabi.
4. Menurut Ulama Kufah hukum syariat memiliki makna logis, mencakup seluruh kemaslahatan umat, didasarkan pada pokok-pokok yang muhkam (jelas dan dapat dipahami) dan mengandung alasan-alasan yang tepat bagi hukum. Mereka berusaha meneliti alasan-alasan dari setiap penetapan hukum dan menggali hikmah yang terkandung didalamnya (qarinah dan maqashid syariâah), serta menjadikan hukum itu sejalan dengan himah yang didapat. Kadang-kadang mereka menolak sebagian hadits ahad karena dianggap bertentangan dengan hikmah persyaratannya. Apalagi bila mereka mendapatkan hadits/atsar yang bertentangan dengan hikmah pen syariâatannya.
5. Ulama Kufah mengikuti metode ijtihad guru mereka dari sahabat Nabi Abdullah bin Masâud yang dikenal mengikuti Umar bin Khattab yang banyak menggunakan daya analitis memperhatikan qarinah, maqashid syariâah dan pertimbangan kemaslahatan.
Gambaran perbedaan paham antara ahli qiyas dan ahli hadits :
Pada suatu hari Rabiâah (ahli qiyas) bertanya kepada Said Al Musayyab (ahli hadits) tentang diyat (denda) anak jari perempuan yang terpotong :
Rabiâah :âBerapa diyat terhadap sebuah anak jari orang perempuan ?â
Said Al Musayyab: â10 ekor ontaâ.
Rabiâah : Jika dua anak jari ?â
Said Al Musayyab : â20 ekor ontaâ
Rabiâah : âJika tiga anak jari ?â
Said Al Musayyab :â30 ekor ontaâ.
Rabiâah : âJika empat anak jari ?â
Said Al Musayyab : â20 ekor ontaâ
Rabiâah : âApakah makin banyak jari yang terpotong, semakin besar diyatnya ?â
Said Al Musayyab : âApakah anda bermazhab ulama Iraq ? itulah sunnah saya telah terangkanâ.
Demikianlah ahli hadits hanya menerima mentah-mentah teks hadits, sedangkan ahli raâyu tidak begitu saja menerima teks hadits yang tidak diketahui illlat-illat hukumnya atau yang tidak logis menurut akal. Bagaimana diyat empat anak jari malah turun menjadi 20 ekor, padahal diyat satu anak jari sampai tigak anak jari naik terus dari 10 sampai 30 ekor.
Pada suatu hari Al Auzaâi bertemu dengan Abu Hanifah di Mekkah, kemudian Al Auzaâi bertanya kepada Abu Hanifah :
Al Auzaâi : âMengapa tuan tidak mengangkat tangan ketika rukuâ dan Iâtidal ?â
Abu Hanifah : âKarena tidak ada hadits yang shahih dari Rasulâ.
Al Auzaâi : âAz Zuhri telah meriwayatkan kepada saya dari Salim, dari ayahnya Abdullah bin Umar, dari Rasulullah SAW, bahwasanya Nabi ada mengangkat tangan saat memulai shalat, saat rukuâ dan ketika Iâtidalâ.
Abu Hanifah : âTelah diriwayatkan kepada kami oleh Hammad bin Sulaiman dari Alqamah dari Al Aswad dari Ibnu Masâud bahwa Rasulullah tidak mengangkat tangan selain dari saat memulai shalat sajaâ.
Al Auzaâi : âSaya kemukakan penilaian tentang Az Zuhri dan anda kemukakan penilaian tentang Hammadâ.
Abu Hanifah : âHammad lebih pandai dalam urusan fiqih daripada Az Zuhri. Ibrahim lebih pandai dari Salim, Alqamah tidak kurang derajadnya daripada Abdullah, walaupun seorang Shahabiâ.
Mendengar jawaban itu, Al Auzaâi pun minta diri. Dari situ tampak bagaimana Abu hanifah sebagai tokoh ahli qiyas lebih mengutamakan kefaqihan perawi daripada ketinggian sanad.
Demikianlah beberapa contoh perbedaan paham antara ahli hadits dan ahli raâyu.
C. Aliran zahiri
Dipelopori oleh Daud bin Ali Al-Zhahiri (202-268 H), yang hanya memegangi makna zhahir (tekstualis-literalis) nash Al-Qurâan dan Hadits tanpa mau memegangi makna lainnya.
Kalau digambarkan secara kualitatif metode para imam mazhab dalam menggunakan metode istinbath Hadist-tekstualis dan Qiyas-rasionalis kurang lebih seperti dibawah ini :
Hadits Qiyas
Tekstualis Daud bin Ali (Zahiri) - Hanbali â Maliki â Syafiâi - Hanafi Rasionalis
D. Sumber Perbedaan Pendapat
Bagi yang sudah membaca Ushul Tafsir dan Ilmu Hadits disitu ada beberapa ulasan tentang Al-Qurâan dan Hadits yang diantaranya menjadi sumber perbedaan pendapat diantara para ulama Mujtahid. Sumber perbedaan pendapat didalam Fiqih :
1. Perbedaan memahami Al-Qurâan
A. Adanya ayat-ayat yang musytarak (lebih dari dua arti).
B. Adanya ayat-ayat yang masih mujmal (global).
C. Adanya ayat-ayat yang âAm (umum)
D. Adanya perbedaan penafsiran cakupan lafazh.
E. Adanya perbedaan penafsiran makna hakiki-majasi.
F. Adanya perbedaan pendapat penggunaan mafhum.
G. Perbedaan pendapat memahami ayat perintah dan larangan.
2. Perbedaan Memahami Hadits
A. Perbedaan penilaian kesahihan sebuah hadits ahad.
B. Perbedaan penilaian ke-tsiqoh-an seorang rawi.
C. Perbedaan sampainya hadits kepada para Mujtahid.
D. Perbedaan penafsiran matan (redaksi) suatu hadits.
E. Perbedaan penerimaan hadits dhaif sebagai hujjah.
F. Perbedaan perimaan hadits yang ada mukhtalif (pertentangan) dengan qiyas dan atau illat syariâah
3. Perbedaan Metode Ijtihad.
A. Imam Abu Hanifah :
a. Berpegang pada dalalatul Qurâan
i. Menolak mafhum mukhalafah
ii. Lafz umum itu statusnya Qatâi selama belum ditakshiskan
iii. Qiraat Syazzah (bacaan Qurâan yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
b. Berpegang pada hadis Nabi
i. Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh)
ii. Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya
c. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
d. Berpegang pada Qiyas
i. mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
e. Berpegang pada istihsan (keluar dari Qiyas umum karena ada sebab khusus yang lebih kuat).
B. Imam Malik
a. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
i. zhahir Nash
ii. menerima mafhum mukhalafah
b. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah
c. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis ahad)
d. Qaul shahabi
e. Qiyas
f. Istihsan
g. Mashlahah al-Mursalah (mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh beliau membolehkan intimidasi dalam penyidikan tersangka kejahatan untuk mendapatkan pengakuannya).
C. Imam Syafiâi
a. Qurâan dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qurâan dan Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafiâi digelari âNashirus Sunnahâ. Konsekuensinya, menurut Syafiâi, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qurâan dalam kasus tertentu)
b. Ijmaâ
c. hadis ahad (jadi, Imam Syafiâi lebih mendahulukan ijmaâ daripada hadis ahad)
d. Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafiâi mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)
e. Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya
D. Imam Ahmad bin Hanbal
a. An-Nushush (yaitu Qurâan dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafiâi yang tidak menaruh Hadis dibawah al-Qurâan)
menolak ijmaâ yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafiâi)
menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)
b. Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)
c. Ijmaâ
d. Hadis dhaif
e. Qiyas
IV. Pembagian Pembahasan Fiqih
Ibnu Rusyd dalam kitabnya âBidayatul Mujtahidâ membagi pembahasan fiqih sebagai berikut :
1. Bagian Ibadah.
1.1. Kitab Taharah
1.1.1. Taharah dari hadas
1.1.2. Taharah dari najis
1.2. Kitab Kitab Shalat
1.3. Kitab Janazah
1.4. Kitab Zakat
1.5. Kitab Zakat Fitrah
1.6. Kitab Shiyam (puasa)
1.7. Kitab Iâtikaf
1.8. Kitab Haji
1.9. Kitab Jihad
1.10. Kitab Aiman (sumpah)
1.11. Kitab Nadar
1.12. Kitab Qurban
1.13. Kitab Sembelihan
1.14. Kitab Berburu
1.15. Kitab Aqiqah
1.16. Kitab makanan dan minuman yang haram
2. Bagian Munakahat
2.1. Kitab Nikah
2.2. Kitab Talak
2.3. Kitab Ilaâ (sumpah talak)
2.4. Kitab Dhihar
2.5. Kitab Liâan (mengatakan punggung istrinya sama dengan punggung ibunya)
2.6. Kitab Hadlanah (yang berhak memelihara anak)
2.7. Kitab Radlaâi (penyusuan anak)
2.8. Kitab Nafkah
2.9. Kitab Nasab
2.10. Kitab Ihdad (berkabung)
3. Bagian Muamalat Madaniyah
3.1. Kitab Buyuâ (jual beli)
3.2. Kitab Sharfi (jual beli perhiasan)
3.3. Kitab Salam (jual beli pesanan)
3.4. Kitab Khiyar (pilihan untuk meneruskan atau membatalkan transaksi)
3.5. Baiâil Murabahah (penjualan yang ditentukan jumlah keuntungannya oleh penjual)
3.6. Kitab Baiâil Ariyah (memberikan pohon untuk dimakan buahnya)
3.7. Kitab Irat (sewa-menyewa)
3.8. Kitab Juâli (upah bagi yang menemukan barang yang hilang)
3.9. Kitab Qiradli (berdua laba)
3.10. Kitab Musaqah (paroh hasil merawat kebun)
3.11. Kitab Syarikah (berdua saham)
3.12. Kitab Syufâah
3.13. Kitab Qismah (pembagian)
3.14. Kitab Ruhun (gadai)
3.15. Kitab Al Hajr (orang yang dilarang bertindak sendiri)
3.16. Kitab Taflis (orang pailit)
3.17. Kitab Shulhi (kesepakatan damai dari persengketaan)
3.18. Kitab Jaminan dan Tanggungan
3.19. Kitab Hawalah (pemindahan hutang)
3.20. Kitab Wakalah (memberi kuasa)
3.21. Kitab Luqathah (barang temuan)
3.22. Kitab Wadiâah (menitipkan barang)
3.23. Kitab âAriyah (peminjaman barang)
3.24. Kitab Ghasbi (penyerobotan hak milik orang lain)
3.25. Kitab Ishtihqaq (memperoleh kembali haknya)
3.26. Kitab hibah
3.27. Kitab Washaya
3.28. Kitab Faraidl (warisan)
3.29. Kitab âItqi (memerdekakan budak)
3.30. Kitab Kitabah (menebus diri dari perbudakan)
3.31. Kitab Tadbir (kemerdekaan budak setelah tuannya meninggal)
3.32. Kitab Umahatil Aulad (budak yang dijadikan ibu anaknya)
4. Bagian Inayat wa Uqubat (pidana)
4.1. Kitab Qisas (pembunuhan dan melukai)
4.2. Kitab Jarahi (qisas, diat, pembebasan tuntutan)
4.3. Kitab Diyat (denda pembunuhan)
4.4. Kitab Qasamah (sumpah penduduk yang ditemukan mayat di kampungnya)
4.5. Kitab Zina
4.6. Kitab Qadzaf (tukas)
4.7. Kitab Khamr
4.8. Kitab Sariqah (pencurian)
4.9. Kitab Hirabah (perampokan, penjarahan, perusuh)
5. Bagian Peradilan
5.1. Kitab Aqdliyah (kehakiman)
5.2. Kitab Syahadah (kesaksian dan sumpah menolak tuduhan)
V. Mujtahid, Mufti dan Hakim
A. Jenis Mujtahid
1. Mujtahid Mutlaq : yaitu para Khulafaur Rasyidin, yang sudah ada garansi dan rekomendasi dari Rasul untuk diikuti oleh umat.
2. Mujtahid Mustaqil : yaitu para imam mazhab fiqih yang muktabar.
3. Mujtahid fil Mazhab : yaitu lebih banyak mengikuti salah satu imam mazhab tapi dalam beberapa masalah pokok berbeda pendapat dengan imamnya. Contohnya Abu Yusuf, Muhamad Al Hasan dari mazhab hanafi, Al Muzany dari mazhab Syafiâi.
4. Mujtahid fil Masaâil : yaitu mempunyai ijtihad sendiri dalam beberapa masalah cabang, bukan pada masalah pokok, seperti At Tahawi dalam mazhab Hanafi, Al Ghazali dalam mazhab SyafiâI, Al Khiraqi dalam mazhab Hanbali.
5. Mujtahid Muqaiyad : yaitu tidak mengeluarkan ijtihad sendiri, kecuali terhadap masalah-masalah yang belum dibahas oleh imam mazhab sebelumnya. Mujtahid ini mengetahui seluk-beluk dan argumen para imam mazhab, mampu men tarjih mana yang lebih kuat dan lebih utama dari pendapat imam mazhab yang berbeda-beda. Contohnya Al Karakhi, Al Qaduri dalam mazhab Hanafi, Ar Rafiâ dan An Nawawi dalam mazhab Syafiâi.
B. Syarat-syarat Mujtahid
1. Akidahnya benar.
2. Bersih dari hawa nafsu.
3. Mengetahui bahasa arab dengan segala cabangnya, seperti : nahwu (gramatika), sharaf (konyugasi), balagah (retorika), maâani, bayan (kejelasan) dan badiâ (efektifitas bicara), mengetahui irab (fungsi kata dalam kalimat), tasrif (konyugasi), masdar (kata dasar), musytaq (bentuk kata turunan), serta mengetahui syair-syair Arab lampau yang terkenal untuk mengetahui arti kata-kata sulit yang jarang digunakan.
Mujahid berkata : âTidak diperkenankan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berbicara tentang Kitabullah (menafsirkan) apabila ia tidak mengetahui berbagai dialek bahasa Arabâ.
4. Memahami ilmu Al-Qurâan dan ilmu tafsir.
5. Mengetahui ilmu hadits, atsar sahabat dan tabiâin.
6. Mengetahui Ijmaâ masa Khulafaur Rasyidin.
7. Mengetahui ilmu fikih dan ushul fikih.
8. Pemahaman dan ketelitian yang cermat akan qarinah, dhalalah nash, illat hukum, serta tujuan tasyri sehingga mampu menyimpulkan makna yang sejalan dengan syariat.
C. Mufti dan Hakim
Mufti adalah orang yang memberikan fatwa biasanya tentang hukum fiqih sesuatu masalah, sedangkan hakim adalah orang yang menjatuhkan vonis keputusan hukum terhadap suatu sengketa masalah antara dua pihak yang bersengketa. Keduanya sama sama memutuskan hukum berdasarkan hukum syaraâ.
Sedangkan perbedaan antara mufti dan hakim adalah :
1. Memberi fatwa lebih luas lapangannya daripada menjatuhkan vonis putusan hukum. Fatwa boleh dilakukan oleh orang merdeka, budak, pria, wanita, famili, kerabat, orang asing. Sedangkan vonis putusan hanya diberikan oleh orang merdeka, laki-laki, tidak ada hubungan kerabat dengan yang bersengketa.
2. Putusan hakim mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sedangkan fatwa mufti boleh diterima boleh tidak.
3. Fatwa mufti tidak dapat membatalkan putusan hakim, sedangkan keputusan hakim dapat membatalkan fatwa mufti.
4. Mufti tidak dapat memberi putusan kecuali mufti tersebut juga menjadi hakim sedangkan hakim harus memberikan fatwa apabila telah menjadi suatu keharusan.
5. Hakim sebaiknya tidak memberikan fatwa terhadap masalah-masalah yang mungkin muncul dalam peradilan, karena dikhawatirkan bila hakim memutuskan putusan yang berbeda dengan fatwanya, tentunya itu akan menyulitkan.
Syuraih Al Qadhy pernah berkata :
âSaya memutuskan perkara diantara kamu bukan memberikan fatwaâ.
VI. Ittibaâ dan Taqlid
Ittibaâ adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain dengan mengetahui argumen, dalil-hujjahnya, sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain tanpa mengetahui argumen, dalil-hujjahnya.
Imam Ghazali dalam Al Mustafa mengatakan :
âIttibaâ dalam agama disuruh, sedangkan taqlid dilarangâ.
Hukum Taqlid :
a. Taqlid yang wajib : taqlid kepada Rasulullah, dalam istilah kaum salaf taqlid kepada Rasulullah disebut ittibaâ.
b. Taqlid yang haram :
1. Tidak menghiraukan nash syaraâ semata-mata lantaran mengikuti orang tua, moyang-leluhur.
2. Taqlid kepada seseorang yang belum muktabar diakui apakah punya kompetensi untuk meng istinbath-kan hukum fiqih.
3. Taqlid buta karena fanatik terhadap orang tertentu walaupun ada hujjah dan argumen yang lebih kuat yang bertentangan dengan pendapat orang tersebut.
c. Taqlid yang dibolehkan : mengikuti pendapat ulama mujtahid yang sudah muktabar mempunyai kompetensi meng istinbathkan hukum fiqih, terutama bagi orang awam yang tidak punya kemampuan mengetahui hukum hukum syaraâ secara mendalam.
Periode Taqlid :
1. Periode pertama (pasca masa Imam Mazhab, abad ke-IV H â jatuhnya Baghdad abad ke-VII H),
2. Periode kedua dari abad ke-IV H â abad ke-X H.
3. Periode ketiga dari abad ke-X H sampai masa Muhammad Abduh.
4. Periode keempat dari masa Muhammad Abduh â sekarang.
Dalam masa maraknya masa taqlid tetapi masih ada juga ulama ulama mujtahid yang tetap menghidupkan api ijtihad diantaranya :
1. Izzudin bin Abdis Salam (578-660 H).
2. Ibnu Daqiqil Ied (615-702 H).
3. Ibnu Rifâah (645 â 710 H).
4. Ibnu Taimiyah (661-728 H).
5. Ibnu Qoyyim Al Jauziah (691-751 H).
6. An Nawawi
7. Al Bulqini (724 â 805 H).
8. Ibnu Hajar Atsqolani (773-858 H).
9. Al Asnawi (714-784 H)
10. Al Jalalul Mahalli (791-864 H).
11. Al Jalalus Suyuthi (846 â911 H).
12. Ash Shanâani (abad XII H) pengarang Subulussalam.
13. Asy Syaukani (abad XII H) pengarang Nailul Authar.
14. Muhammad Abduh, dari Al Azhar menerbitkan tabloid Al Manar.
15. Rasyid Ridha.
VII. Ketentuan Hukum (Mahkum Bih)
A. Wajib
Yaitu pekerjaan yang bila tidak dikerjakan mendapatkan dosa.
Hukum wajib terbagi menjadi :
1. Wajib Muthlaq = wajib yang tidak ditentukan dan tidak dibatasi waktunya, contoh : wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh syaraâ.
2. Wajib Muwaqqat = wajib yang ditentukan waktunya, contoh shalat lima waktu, puasa ramadhan.
3. Wajib Muwassaâ = wajib yang diluaskan waktunya, contoh waktu shalat lima waktu, sholat isak dari petang sampai subuh.
4. Wajib Mudhaiyaq = wajib yang sempit waktunya, puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
5. Wajib Dzu Syabahain = wajib muwassaâ sekaligus mudhaiyaq, yaitu waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya ibadah haji.
6. Wajib âain = wajib yang dibebankan kepada setiap individu, tidak dapat diwakilkan oleh atau kepada orang lain.
7. Wjib Kifayai = wajib yang dibebankan kepada sebagian individu, bila sebagian individu sudah menunaikan maka gugur kewajiban individu yang lain, contoh : mengurus jenazah.
8. Wajib Muhaddad = wajib yang ditentukan kadarnya, contoh : zakat.
9. Wajib Ghairu Muhaddad = wajib yang tidak ditentukan kadarnya, contoh : sedekah, wakaf.
10. Wajib Muâaiyin = wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.
11. Wajib Mukhaiyar = wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.
12. Wajib Muaddaa = Wajib yang ditunaikan dalam waktunya adaâan.
13. Wajib Maqdi = wajibn yang ditunaikan sesudah lewat waktunya qadaâan.
14. Wajib Muâaad = wajib yang dikerjakan mengulang karena kurang sempurnanya yang ditunaikan pertama.
B. Sunnat
Yaitu bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.
Pembagian Sunnat :
1. Sunnat Hadyin = sunnat untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, contoh : azan dan jamaâah.
2. Sunnat Zaidah = sunnat yang dikerjakan Nabi dalam urusan adat kebiasaan, contoh : makan, minum, adat, kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.
3. Sunnat Muakkadah = sunnat yang sering dikerjakan Nabi (jarang ditinggalkan), contoh : shalat sunnat rawatib, shalat tahajud.
4. Sunnat Ghairu Muakkadah = sunnat yang kadang ditinggalkan oleh Nabi, contoh : shalat sunnat 4 rakaat sebelum duhur.
C. Mubah
Yaitu sesuatu yang dibolehkan, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Catatan untuk perkara yang mubah :
1. Jangan berlebihan.
2. Jangan membuat perkara baru (bidâah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau tanpa ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana kemaslahatan yang lain.
3. Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
D. Makruh
Yaitu bila dikerjakan tidak dicela, tetapi bila ditinggalkan terpuji.
Pembagian Makruh :
1. Makruh Tanzih = makruh yang tidak dicela bila dikerjakan, tetapi terpuji bila ditinggalkan, contoh : merokok, makan jengkol, shalat di akhir waktu.
2. Makruh Tahrim = makruh yang dekat kepada haram, yaitu haram yang dalilnya belum qathâi (pasti) yaitu dari hadits ahad.
E. Haram
Yaitu bila dikerjakan mendapat dosa, contohnya : meninggalkan shalat lima waktu, makan daging babi.
VIII. Obyek Hukum (Mahkum Fih) dan Subyek Hukum (Mahkum âAlaih)
Obyek hukum dalam fiqih adalah beban pekerjaan kepada para mukallaf (orang dewasa dan berakal sejahtera yang terkenan beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :
a. Mungkin terjadi / bukan yang mustahil terjadi.
b. Sanggup dikerjakan.
c. Dapat dibedakan.
d. Diketahui berdasarkan dalil.
e. Untuk melaksanakan taat (ibadah).
Subyek hukum adalah para mukallaf (orang yang dibebani hukum). Seseorang mendapat beban taklif (beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :
a. Memahami perintah (beban hukum) yang dibebankan kepadanya.
b. Baligh (dewasa).
c. Berakal (sadar dan waras).
Halangan â halangan :
1. Gila
2. Setengah gila
3. Lupa
4. Tidur
5. Pingsan
6. Mabuk
7. Sakit, halangan untuk puasa, shalat dengan berdiri.
8. Haid
9. Nifas
10. Mati
11. Safar (bepergian), halangan untuk wajibnya shalat jumâat
12. Silap (tidak sengaja)
13. Paksaan
14. Hujan, halangan untuk shalat berjamaâah.
15. Tua renta pikun.
IX. Ushul Fiqih
A. Pengertian
Ushul fiqih adalah kaidah kaidah dan metodologi dasar yang digunakan untuk istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya yang berupa dalil-dalil yang tafshili (jelas).
Macam-macam dalil :
A. Dalil naqli (teks) :
1. Al-Qurâan
2. Sunnah (Hadits)
B. Ijmaâ (konsensus)
C. Dalil aqli (akal)
1. Qiyas
2. Istihsan
3. Maslahah Mursalah
4. Dan lain-lain.
Firman Allah dalam QS An Nisaâ [4] : 59
âTaatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.â
âTaatilah Allahâ merujuk kepada Al-Qurâan.
âTaatilah Rasul â merujuk kepada sunnah (hadits)
âdan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamuâ merujuk kepada Ijmaâ (konsensus) ulil-amri.
âKembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nyaâ merujuk kepada Qiyas, maksudnya bandingkanlah dengan yang dekat dan serupa dengan yang telah ada pada Al-Qurâan dan atau Hadits, pelajari qarinah (petunjuk) hikmah syariat didalamnya, dsb.
Firman Allah dalam QS An-Nahl : 44
âDan Kami turunkan kepadamu Al-Qurâan agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir.â
Ayat diatas dengan jelas Allah memerintahkan umat Islam menggunakan akalnya untuk memikirkan Al-Qurâan, yaitu menggunakan segala daya upaya kemampuan berpikir untuk ber ijtihad menyimpulkan hukum fiqih dari ayat-ayat Al-Qurâan yang tersurat (eksplisit-tekstual) maupun yang tersirat (implisit-kontekstual).
Hadits Nabi :
Diriwayatkan dari Muâadz bin Jabal, bahwa Rasulullah tatkala mengutus Muâadz sebagai qadli (hakim) di Yaman, beliau bertanya : âBagaimana kamu akan memutuskan hukum jika menghadapi kasus ? âMuâadz menjawab : âSaya akan memutuskan dengan apa yang ada pada kitab Allah.â Rasulullah bertanya lagi : âjika tidak didapat di Kitab Allah ?â Muâadz menjawab : âMaka aku putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. âRasulullah kembali bertanya : âJika tidak terdapat pada Sunnah Rasulullah ?â Muâadz akhirnya menjawab : â Ajtahidur raâyi Saya akan ber ijtihad dengan akal-pikiran saya, saya tidak putus asa. âMuâadz berkata : âLalu Rasulullah menepuk dadaku, seraya bertahmid : âSegala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasul-nya yang diridhoi oleh-Nya.â â (HR Abu Dawud).
Hadits Muâadz diatas juga menunjukkan ijtihad dengan akal dibolehkan oleh Rasulullah dan diridloi oleh Allah, tapi dengan catatan ijtihad dengan akal baru digunakan bila tidak ditemukan dalil pada Al-Qurâan dan Hadits.
B. Sumber Hukum Pimer
1. Al-Qurâan
Al-Qurâan adalah sumber hukum primer yang pertama, Dalil yang berupa ayat-ayat Al-Qurâan bersifat qathâi (pasti) wurudnya (sumbernya) yaitu berupa khabar yang sampai kepada kita dengan cara yang mutawatir dan dijamin terpelihara penukilannya. Sedangkan dhalalah (petunjuk lafazhnya) ada yang qathâi yaitu yang sharih (jelas) sehingga semua ulama menyepakati maknanya dan ada yang masih menimbulkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan maknanya. (Baca kembali meteri Ushul Tafsir tentang muhkam-mutasyabih, mantuq-mafhum, âam-khas, mutlaq-muayyad, mujmal-mufassar, makna hakikat-majaz-musytarak).
2. Sunnah (Hadits)
Hadits nabi merupakan sumber hukum primer kedua, Peranan Hadits terhadap Al-Qurâan adalah sbb :
1. Memperkuat hukum yang ada di Al-Qurâan.
2. Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qurâan.
3. Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qurâan.
4. Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari Al-Qurâan.
5. Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Qurâan.
6. Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Qurâan.
Hadist nabi yang mutawatir (banyak jalan sanadnya) dan sahih maka dalilnya bersifat Qathâi (pasti) wurudnya (sumbernya). Sedangkan hadits ahad (jalan sanadnya tidak mencapai derajad mutawatir) dan masih diperselisihkan ke sahihannya oleh para ulama hadits maka dalilnya bersifat dzanni (dugaan) wurudnya (Baca kembali meteri Ilmu Hadits tentang mushthalah hadits dan mukhtaliful hadits).
Demikian pula dhalalah (petunjuk lafazh) nya, bila maknanya sharih dan tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama maka qathâi pula dhalalahnya. Tapi bila ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai maknanya maka menjadi dzunni dhalalahnya.
C. Istinbath hukum dari dalil Al-Qurâan dan Hadits
1. Kejelasan makna lafazh
Tingkat kekuatan kejelasan lafazh dalil yang jelas, terdiri atas :
a. Zhahir, paling rendah tingkat kejelasannya. Masih memungkinkan adanya makna lain (ihtimal).
Contoh zhahir seperti pada ayat :
âDan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.â (QS An-Nisaâ : 3).
Dari segi âzhahirâ lafazh ayat membolehkan poligami maksimal sampai empat orang istri dengan syarat harus berlaku adil. Namun lafadz zhahir masih memungkinkan menerima adanya takhshis (pengkhususan), taâwil dan nasakh.
b. Nash, lebih jelas dari zhahir karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal).
Contoh nash seperti pada ayat :
âPerempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.â (QS An-Nur : 2).
Hukum hudud dera seratus kali menunjukkan bilangan yang pasti tidak kurang tidak lebih dari seratus yang tidak menerima kemungkinan jumlah yang lain.
c. Mufassar, lebih jelas dari nash, karena ada dalil yang menafsirkan secara detail lafazh yang sebelumnya masih mujmal (global).
Perhatikan firman Allah :
âLaki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya⊠.â (QS Al-Maidah [3] : 38).
Ayat diatas masih bersifat mujmal (global) yang kemudian datang hadits nabi yang menafsirkannya sehingga menjadi mufassar (ditafsirkan), hadits yang menafsirkan ketentuan potong tangan bagi pencuri adalah :
âtidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian terhadap mayang kurma, tidak pula pencuri buah-buahan.â
âTidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham.â
Demikian juga tidak dilakukan hukum potong tangan bagi prajurit yang mencuri dalam pererangan dan Khalifah Umar menetapkan tidak menerapkan hukum potong tangan pada pencurian ketika musim paceklik dan kelaparan.
Dalil yang mufassar tidak mempunyai kemungkinan makna lain kecuali berupa nasakh.
d. Muhkam, paling jelas karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal) baik itu berupa takhsis, taâwil maupun nasakh, seperti firman Allah :
âDan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.â (QS An-nur : 4).
Demikian juga hadits nabi :
âJihad itu terus menerus sampai hari kiamat.â
Sedangkan lafazh yang tidak jelas maknanya, terdiri atas :
a. Al-Khafi, maknanya tidak jelas pada sebagian pengertian cakupan makna yang dimaksud (maudlul).
Hadits nabi : âOrang yang membunuh itu tidak berhak mendapat warisan.â
Lafazh âqatilâ (pembunuh) dari segi arti maupun sasaran adalah pembunuhan yang sengaja. Maka bagaimana halnya dengan pembunuhan karena tidak sengaja, apakah pembunuh yang tidak sengaja juga tidak berhak mendapat warisan ? Disini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para Imam mazhab.
Contoh lain yaitu lafazh âsariqâ pencuri maka pengertian umumnya adalah orang yang secara sembunyi-sembunyi mengambil harta orang lain yang tersimpan. Maka pencopet (ath-tharar) apakah termasuk katagori pencuri atau bukan, karena pencopet mencuri dengan terang-terangan tidak sembunyi-sembunyi sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Demikian juga pencuri kain kafan (nabbasy) apakah termasuk kategori pencuri (sariq) atau bukan, karena pencuri kain kafan mencuri barang yang bukan milik orang yang hidup dan tentunya juga bukan hak milik si mayat sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Imam Abu Hanifah dan Muhammad Hasan Asy Syaibani tidak memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan dalam katagori pencuri yang harus dihukum potong tangan. Sedangkan Imam Abu Yusuf, Imam Syafiâi, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan termasuk pencuri yang harus dihukum potong tangan.
b. Al-Musykil yaitu lafazh yang maknanya samar karena sebab pada lafazh itu sendiri. Contohnya lafazh yang musytarak (punya lebih dari satu arti). Contohnya kata âain, kata ini mengandung beberapa makna bisa berarti : mata, mata air, esensi zat dan mata-mata (intel). Lafazh musykil harus diperhatikan dalam konteks apa kata itu dirangkai dengan kata yang lain menjadi kalimat dengan pengertian yang tepat dan harus dicari perbandingannya dari dalil-dalil yang lain yang dapat membantu penafsirannya.
c. Mujmal (global) yaitu lafazh yang maknanya mengandung cakupan dan kemungkinan yang luas yang banyak yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui dalil lain yang menjelaskan sehingga yang mujmal tersebut menjadi terjelaskan (mubayyan).
Contohya tentang perintah sholat dan manasik haji, kedua lafazh itu masih mujmal maka dari dalil beberapa hadits yang berupa perkataan dan contoh perbuatan nabi yang menjelaskan detail tata cara sholat dan haji .
d. Mutasyabih yaitu lafazh yang sangat samar maknanya, sangat sulit bahkan ada yang tidak mungkin dipahami maknanya oleh akal ulama sekalipun dan hanya Allah yang tahu maknanya. contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah :
1. Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya atau telah dihapus lafadznya dari mushaf.
2. Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami maksudnya.
Riwayat Abu Ubaid, dari Anas : âKhalifah Umar pernah membaca ayat, âwafakihatan wa abban ⊠Dan buah-buahan dan rumput-rumputanâ (QS Abasa [80] : 31), lalu ia berkata : âKalau buah-buahan ini kami telah mengetahui, tetapi apakah yang dimaksud âal-abâ ?â, kemudian Umar berkata kepada dirinya sendiri : âHai Umar, sesungguhnya apa yang kamu lakukan itu benar-benar suatu perbuatan memaksakan diriâ.
Riwayat lain dari Muhammad bin Saâd dari Anas : âUmar berkata kepada dirinya sendiri : âIni hal yang dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahuiââ.
3. Ayat-ayat tentang Asmaâ Allah dan sifat-sifatNya yang menyerupai sifat mahkluk, contoh : Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Berfirman (Kalam), Maha Hidup, dsb.
4. Ayat-ayat tentang perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan mahkluk, contoh : Allah âbersemayamâ diatas Arsy, Allah âturunâ ke langit dunia, Allah âmelemparâ, dan âdatangâ lah Tuhanmu, dsb
5. Ayat-ayat tentang anggota tubuh Allah, contoh : Segala sesuatu pasti binasa kecuali âwajahNyaâ, âtanganâ Allah diatas tangan mereka, dsb
6. Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat metafisika (ruh, alam jin, alam malaikat, alam kubur, surga-neraka, akhirat).
7. Huruf-huruf hijaiyah pada awal surat (huruf muqattaâah).
Yang perlu diingat bahwa ayat-ayat mengenai taklif (beban kewajiban) dan yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan sendi syariat Islam didalamnya tidak ada yang mutasyabih.
(Baca kembali Ushul Tafsir Point VI tentang Muhkam â Mutasyabih)
2. Petunjuk Lafazh (dhalalah)
A. Mantuq yaitu makna berdasarkan bunyi eksplisit yang tersurat (tekstual)
B. Mafhum yaitu makna berdasarkan pemahaman implisit yang tersurat (kontekstual).
A. Mantuq
Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang lain.
Mantuq terdiri atas 5 (lima) kategori :
1. Nash, ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
âMaka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali,
itulah sepuluh (hari) yang sempurna.â
Penyifatan âsepuluhâ dengan âsempurnaâ telah mematahkan kemungkinan âSepuluhâ ini diartikan lain secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan nash.
2. Zahir, ialah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi zahir itu sama dengan nash dalam hal petunjuk lafazhnya kepada bunyi yang tersurat. Namun dari segi lain ia berbeda dengan nash, karena zahir masih disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 173 âfamanidlthurro ghaira baghi wa la âad.â Lafazh âal-baghâ digunakan untuk makna âal-jahilâ (bodoh, tidak tahu) dan âaz-zalimâ (melampaui batas, zalim). Tetapi pemakaian untuki makna kedua lebih tegas dan populer sehingga makna inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah (marjuh), Juga dalam QS Al-Baqarah [2] : 222 :
âDan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci âŠ.â
Berhenti haid dinamakan âsuciâ (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut âtuhrâ. Namun penunjukan kata âtuhrâ kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir) sehingga itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan kepada makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).
3. Muâawwal, adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Muâawwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan muâawwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat. Misalnya dalam QS rendahkan SAYAP
4. Dalalah istidaâ adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 184 :
âMaka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.â
Ayat ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu âlalu ia berbukaâ, sebab kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu. Sedangkan jika ia tetap berpuasa maka baginya tidak ada kewajiban qada. Contoh yang lain pada QS An-Nisaâ [4] : 23 :
âDiharamkan atas kamu ibu-ibumuâ
Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata âbersenggamaâ, sehingga maknanya yang tepat adalah âdiharamkan atas kamu (bersenggama) dengan ibu-ibumu.â
5. Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat berdasarkan kepada isyarat lafazh. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 187 :
âDihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar⊠â
Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang pagi-pagi hari masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan berc ampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian menuntut atau memaksa kita berpagi dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan âbercampurâ sampai pada bagian waktu terakhir dari malam yang tidak ada lagi kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan juga berpagi dalam keadaan junub.
B. Mafhum
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
Mafhum terdiri atas 2 (dua) jenis :
a. Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan), yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan mantuq, terdiri dari :
1. Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnbya daripada mantuq. Misalnya pada QS Al-Israâ [17] : 23 :
âMaka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan âahâ .â
Ayat ini mengharamkan perkataan âahâ yang tentunya akan menyakiti hati kedua orang tua, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat.
2. Lahnul Khitab, yaitu apabila mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya pada QS An-Nisaâ [4] : 10 :
âSesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya ⊠â
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti : membakar, menyia-nyiakan, merusak, menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.
b. Mafhum Mukhalafah (perbandingan terbalik), yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari mantuq, terdiri dari :
1. Mafhum sifat, yang dimaksud adalah sifat maânawi, contohnya pada QS Al-Hujurat [49] : 6 :
âHai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti ⊠â
Ayat ini memerintahkan bertabayun (memeriksa, meneliti) berita yang dibawa oleh âorang fasikâ. Maka dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) bahwa berita yang dibawa oleh orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa, diteliti. Ini berarti berita dari orang yang adil dan tsiqoh wajib diterima.
2. Mafhum syarat, yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS At-Talaq [65] : 6 :
âDan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah.â
Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) berarti istri yang ditalak tidak sedang dalam keadaan hamil, tidak wajib diberi nafkah.
3. Mafhum gayah (maksimalitas), misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 230 :
âKemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain ⊠â
Dengan pemahaman terbalik, maka bila mantan istri yang sudah ditalak tiga kali kemudian menikah lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal dikawin lagi.
4. Mafhum hasr (pembatasan, hanya), misalnya pada QS Al-Fatihah [1] : 5 :
âHanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan ⊠â
Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak boleh memohon pertolongan kepada selain Allah.
Berhujjah dengan Mafhum :
a. Ulama-ulama Hanafiah, menolak berhujjah dengan mafhum mukhalafah (perbandingan terbalik).
b. Ulama Hanafiyah dan Syafiiyah tidak memakai mafhum laqab.
3. Cakupan Lafazh
A. âAm (umum) â Khas (khusus)
Lafazh âAm (umum)
Adalah lafazh yang maknanya luas meliputi satuan-satuan (juzâiyah) yang relevan dengan cakupan makna itu tanpa batas.
Allah berfirman dalam QS Al-Ankabut [29] : 33 :
âSesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu.â
Berdasarkan keumuman lafazh âkeluargaâ pada firman Allah diatas yang maka Nabi Nuh menagih janji Allah ketika banjir telah melanda dengan memohon kepada Allah agar menyelamatkan anaknya yang termasuk keluarganya, hal itu dapat kita lihat pada QS Hud [11] : 45 :
âDan nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata : âYa Tuhanku, sesungguhnya anakku termasukkeluargaku dan sesungguhnya janji Engkau adalah benar.â
Kemudian Allah menjawab permohonan nabi Nuh tersebut pada ayat lanjutannya, yaitu QS Hud [11] : 46 :
âAllah berfirman, âHai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).â
Jawaban Allah ini mengecualikan anaknya dari keumuman kata âkeluargamuâ yang dijanjikan akan diselamatkan.
Aneka Ragam bentuk âAm :
1. Lafazh man (siapa), ma (apa saja), aina dan mata (kapan); yang terdapat dalam suatu kalimat tanya (istifham) :
2. Lafazh ma (apa saja) dan man (siapa) yang mendapat jaminan balasan, seperti :
a. QS Al-Baqarah [2] : 272 :
âDan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu tidak sedikitpun dianiaya.â
b. QS An-Nisaâ [4] : 123
âBarangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan (sesuai) dengan kejahatan itu.â
3. Lafazh kullun (tiap-tiap) dan jamiâun (seluruh)
a. QS Ali Imran [3] : 185 :
âTiap-tiap yang berjiwa akan mengalami mati.â
b. QS Al-Baqarah [2] : 29 :
âDia lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.â
4. Lafazh ayyun (mana saja) yang terdapat pada kalimat yang bersifat syarat.
Contohnya pada QS Al-Israâ [17] : 110 :
âDengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang baik.â
5. Lafazh yang bersifat nakirah yang terdapat dalam susunan kalimat yang bersifat negatif (nahi) atau dalam susunan larangan (nahi). Contohnya pada QS Al Bawarah [2] : 48 :
a. QS Al-Baqarah [2] : 48 :
âDan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun.â
b. QS Al-Israâ [17] : 23 :
âMaka, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan âahâ dan janganlah kamu membentak mereka.â
6. Lafazh maâsyara, maâasyira, âammah, qatibah dan saâirun :
a. QS Al-Anâam [6] : 130 :
âHai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu Rasul-Rasul Kami dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan ayat-ayat Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini ⊠?â
b. QS At-Taubah [9] : 36 :
âDan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun telah memerangi kamu semuanya.â
7. Isim berbentuk jamaâ yang diawali alif dan lam.
Contohnya pada QS Al-Maâidah [5] : 42 :
âSesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.â
8. Isim yang dinisbatkan (mudhaf)
Contohnya pada QS Ibrahim [14] : 34 :
âDan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya.â
9. Isim-isim yang berfungsi sebagai penyambung (al-maushulah) seperti ladzi, al-lati, al-ladzina, al-lati dan dzu. Contohnya pada QS An-Nisaâ [4] : 10 :
âSesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.â
10. âAmr (perintah) dengan bentuk jamaâ (plural)
Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 43 :
âDan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuâlah beserta orang-orang yang rukuâ â.
Macam-macam penggunaan lafazh âam (umum) :
a. âAm yang tetap dimaksudkan untuk keumumannya, contohnya pada QS Al-Kahfi [18] : 49 :
âDan tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.â
Kata âahadanâ tak seorangpun bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
QS An-Nisaâ [4] : 23 :
âDiharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.â
Kata âummhatâ ibu-ibumu bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
b. âAm tetapi yang dimaksudkan adalah khas (khusus)
Contohnya pada QS Ali âImran [3] : 39 :
âKemudian malaikat memanggilnya (zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyang di mihrab.â
Lafazh malaikat pada ayat diatas adalah umum tapi yang dimaksud adalah khusus, yaitu Jibril.
c. âAm yang mendapat peng-khususan
Contohnya QS Ali-Imran [3] : 97 :
âMengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.â
Ayat itu umum untuk semua manusia, tapi di ayat yang lain ada peng khususan yaitu bagi yang mampu.
Lafazh Khas (khusus) dan Takhsis (pengkhususan)
Khas merupakan kebalikan dari âAm, yaitu lafazh yang hanya mengandung satu satuan (juzâiyah) makna.
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.
Macam-macam Mukhashshis (peng khusus).
1. Mukhashshish Muttashil (peng khusus yang bersambung)
a. Istitsna (pengecualian), contohnya pada QS An-nur [24] : 4-5 :
âDan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat ⊠â
b. Sifat, contohnya pada QS An-Nisaâ [4] : 23 :
â(Dan diharamkan bagi kamu untuk mengawini) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, yaitu istrimu (itu) telah kamu campuri.â
Anak tiri haram dinikahi, yaitu yang ibunya (yang menjadi istri) telah disetubuhi. Bila belum disetubuhi kemudian bercerai, maka anak tiri itu boleh dikawini.
c. Syarat, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 180 :
âDiwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara maâruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.â
Kalimat âjika ia meninggalkan harta yang banyakâ adalah syarat, maka bila seseorang tidak meninggalkan harta yang banyak, maka tidak wajib berwasiat.
d. Batas, contohnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 196 :
âDan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai ditempat penyembelihannya.â
Kalimat âsebelum kurban sampai ditempat penyembelihanâ merupakan batas larangan mencukur rambut kepala saat haji.
e. Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contohnya pada QS Ali-Imran [3] : 97 :
âMelaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.â
2. Mukhashshish Munfashil , yaitu peng khusus yang berada di tempat lain;
a. Ayat Al-Qurâan yang lain.
QS Al-Baqarah [2] : 228 :
âWanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber âiddah) tiga kali quruâ.â
Ayat tersebut bersifat umum, berlaku bagi setiap wanita yang dicerai, baik yang sedang hamil maupun tidak dan yang telah dicampuri. Kemudian ayat ini ditakhsis oleh dua ayat (mukhashshish) yang lain, yaitu :
QS Ath-Thalaq [65] : 4 :
âDan perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu âiddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.â
Mukhashshish kedua, QS Al-Ahzab [33] : 49 :
âApabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka âiddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.â
b. Hadits (men takhsis Al-Qurâan dengan hadits), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 275 :
âDan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.â
Dikecualikan dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut :
âDari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil upah dari persetubuhan binatang jantan dengan binatang yang lain.â (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain disebutkan :
âDari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang) yang akan dikandung oleh yang (sekarang masih) didalam kandungan. Yang demikian itu adalah jual-beli yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli binatang sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta itu beranak dan anak onta itu beranak pula.â (HR Muttafaqun âalaihi).
c. Ijmaâ (men takhsis Al-qurâan dengan Ijmaâ).
Contohnya pada QS An-Nisaâ [4] : 11 :
âAllah mensyariâatkan bgimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.â
Ayat tersebut dikecualikan secara ijmaâ bagi laki-laki yang berstatus budak.
d. Qiyas (men takhsis Al-Qurâan dengan Qiyas)
Contohnya QS An-nur [24] : 2 :
âPerempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.â
Ayat tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi terhadap perempuan yang berstatus budak yang dikecualikan dari ketentuan hukum dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS An-nisaâ [4] : 25 :
âJika mereka mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.â
e. Akal (men takhsis Al-Qurâan dengan akal)
Contohnya pada QS Ar-Raâdu [13] : 6 :
âAllah adalah pencipta segala sesuatu.â
Akal menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diriNya sendiri.
f. Indera (men takhsis Al-Qurâan dengan indera)
Contohnya : QS An-Naml [27] : 23 :
âSesungguhnya aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu, serta mempunyai singgasana yang besar.â
Indera kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita (Ratu Balqis) tidak seperti yang dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.
g. Siyaq (Mentakshis Al-Qurâan dengan siyaq)
Siyaq adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya.
Contohnya takhsis dengan siyaq adalah seperti pada QS Al-Aâraf [7] : 163 :
âDan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat laut âŠ. ?â
Dalam ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang suatu kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksud dengan desa itu adalah penduduknya.
Hukum lafazh âam, khas dan takhsis :
1. Apabila didalam ayat Al-Qurâan terdapat lafazh yang bersifat khas (khusus), maka maknanya dapat menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama tidak terdapat dalil yang mentaâwilkannya dan menghendaki makna lain.
2. Apabila lafazh itu bersifat âam (umum) dan tidak terdapat dalil yang meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib diartikan kepada ke umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi semua satuan yang dicakup makna itu secara mutlak.
3. Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapat dalil yang men takhsis nya, maka lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan makna yang telah dikhususkannya itu dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari cakupan makna yang umum tersebut.
4. Takhsis jenis syarat, ghayah dan sifat tidak dipegangi oleh kelompok yang menolak mafhum.
5. Ulama Hanafiah berpendapat takhsis Al-Qurâan dengan hadits hanya bisa oleh hadits mutawatir.
B. Mujmal (global) â Mubayyan (terjelaskan) â Mufassar (ter-tafsirkan)
Salah satu fungsi hadits adalah sebagai âbayanâ (menjelaskan) lafazh dalam ayat Al-Qurâan yang masih mujmal (global). Dengan adanya penjelasan dari hadits maka lafazh yang mujmal tersebut dapat dipahami maknanya.
Lafazh mujmal adalah lafazh yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran (tafsir).
Untuk memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap lafazh yang mujmal maka tidak ada jalan lain kecuali harus kembali kepada syarâi, karena memang Dia lah yang menjadikannya sebagai lafazh yang mujmal.
Mubayyan adalah lafazh yang sudah dijelaskan dari keglobalannya.
Klasifikasi Mubayyan berdasarkan sumber yang menjelaskannya :
1. Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu nash. Misalnya dalam QS An-Nisaâ [4] : 176, lafazh âkalalahâ adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash;
âMereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, âAllah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jia ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keudanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.â
Kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan :
âKalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak.â
2. Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam satu nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal. Dalam hal ini bisa berupa :
a. Dari ayat Al-Qurâan yang lain, misalnya dalam QS Ali Imran [3] : 7 :
ââŠPadahal tidak ada yang mengetahui taâwilnya kecuali Allah dan orang yang mendalam ilmunya berkata : âKami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kamiâ.
Kalimat âAllah dan orang-orang yang mendalam ilmunyaâ adalah mujmal karena ambigutias huruf wawu, yaitu kata âdanâ. Bisa berkonotasi kata penghubung (âathaf) atau Kata depan permulaan kalimat baru (istiânaf). Jika kata âdanâ dianggap sebagai kata penghubung, maka konotasi kalimat tersebut adalah âhanya Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengetahui takwilnyaâ. Namun, jika kata dan dianggap sebagai permulaan kalimat baru, maka konotasinya adalah âhanya Allah yang mengetahui takwilnyaâ sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya âyang notabene tidak tahu takwilnya- berkata, âkami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihâ. Oleh karena itu, hal ini memerlukan penjelasan. Maka Penjelasannya tidak terdapat dalam satu nash, diantaranya firman Allah pada QS An-Nahl [16] : 89 :
âKami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qurâan) untuk menjelaskan segala sesuatu.â
Ayat ini menunjukkan Al-Qurâan diturunkan sebagai penjelasan segala sesuatu kepada manusia, termasuk ayat-ayat yang mutasyabih. Jadi berdasarkan petunjuk (qarinah) dari ayat ini huruf âdanâ pada QS Ali-Imran [3] : 7 adalah sebagai kata penghubung sehingga konotasinya adalah âyang mengetahui taâwil ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.â. Demikian pendapat kelompok yang berpendapat demikian.
b. Dari Sunnah (hadits), contohnya pada QS Al-Anfal [8] : 60 :
âSiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi ⊠â
Kata âkekuatanâ pada ayat diatas masih mujmal, yang penjelasannya ada datang dari sunnah, yaitu hadits riwayat Muslim dari Uqbah bin Amir :
âSaya mendengar Rasulullah bersabda, -sementara itu beliau masih berada diatas mimbar- âSiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah.â â
Macam-macam bayan (penjelasan) terhadap lafazh mujmal :
1. Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
âTetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.â
Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu.
2. Penjelasan dengan perbuatan (bayan fiâli)
Contohnya Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu : memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji, dsb.
3. Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 :
ââŠdan dirikanlah shalatâŠâ
Perintah mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda : âSholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalatâ (HR Bukhary).
4. Penjelasan dengan tulisan
Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan dikirimkan kepada petugas zakat beliau.
5. Penjelasan dengan isyarat
Contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan hari.
6. Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan
Contohnya seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau meninggalkannya.
7. Penjelasan dengan diam (taqrir).
Yaitu ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau Rasulullah diam tidak menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.
8. Penjelasan dengan semua pen takhsis (yang mengkhususkan).
Mufassar (sudah ditafsirkan)
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada kemungkinan taâwil yang lain baginya.
Apabila datang penjelasan (bayan) dari syarâi terhadap lafazh yang mujmal itu dengan bayan yang sempurna lagi tuntas, maka lafazh yang mujmal tadi menjadi mufassar (ditafsirkan), seperti bayan yang datang secara rinci terhadap lafazh shalat, zakat, haji dan lainnya.
Macam-macam mufassar :
1. Mufassar oleh zatnya sendiri
Yaitu lafazh yang sighat (bentuk) nya sendiri telah menunjukkan dalalah (petunjuk) yang jelas kepada makna yang terinci dan pada lafazh itu terkandung sesuatu yang meniadakan kemungkinan penakwilan terhadap makna yang lainnya. Contohnya pada QS An-nur [24] : 4 :
âMaka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.â
Kata âdelapan puluhâ adalah lafazh mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang.
Contoh lain pada QS At-Taubah [9] : 36 :
âPerangilah orang-orang musyrik itu semuanya.â
Kata âsemuanyaâ itu adalah mufassar.
2. Mufassar oleh lafazh lainnya
Yaitu lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan dari nash yang lain secara pasti dan terurai, sehingga tidak mengandung kemungkinan taâwil lagi untuk makna yang lainnya. Contohnya tentang lafazh : shalat, zakat, shiyam, haji. Kata-kata tersebut masih global (mujmal), kemudian Rasulullah menjelaskan lafazh-lafazh tersebut dengan perbuatan dan perkataan sehingga kita memahami artinya seperti yang sudah kita pahami bersama pengertian dan tata caranya.
C. Mutlaq (tanpa batasan) â Muayyad (dengan batasan)
Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS Al-Mujadalah [58] : 3 :
âDan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak âŠ.â
Lafazh âbudakâ diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir.
Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS An-Nisaâ [4] :92 :
âDan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang budak yang berimanâ
Lafazh âbudakâ diatas dibatasi dengan âyang berimanâ
Macam-macam mutlaq-muqayyad dan hukumnya masing-masing :
1. Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya.
Contohnya, pada QS An-Nisaâ [4] : 11 :
â(Pembagian harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya.â
Wasiat yang dimaksud dalamayat diatas bersifat mutlaq, tidak dibatasi jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan oleh nash hadits yang menegaskan bahwa, âTidak ada wasiat lebih dari sepertiga harta pusaka.â Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi tidak mutlaq lagi dan mesti diartikan dengan âwasiat yang kurang dari batas sepertiga dari harta pusaka.â
2. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
Contohnya pada QS Al-Maidah [5] : 3 :
âDiharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.â
Lafazh âdarahâ pada ayat diatas adalah mutlaq tanpa ada batasan.
Pada QS Al-Anâam [6] : 145 :
âKatakanlah, âTidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.â
Lafazh âdarahâ pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh âyang mengalir.â
Karena ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh âdarahâ yang tersebut pada QS Al-Maidah [5] : 3 yang mutlaq wajib dibawa (diartikan) ke muayyad, yaitu âdarah yang mengalir.â
3. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
a. Sebab sama tapi hukum berbeda : dalam QS An-Nisaâ [4] : 43 :
ââŠ.Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah ituâ
Dalam hal tayamum lafazh (mengusap) tangan adalah mutlaq karena tidak dibatasi.
Namun mengenai wudhu, yaitu dalam QS Al-Maidah [5] : 6 :
âHai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan sikuâŠâ
lafazh â(basuhlah) tanganmu sampai dengan sikuâ adalah muqayyad karena dibatasi sampai dengan siku.
Kedua nash diatas mempunyai sebab yang sama, yaitu âbersuciâ tapi pada segi hukum terjadi perbedaan yaitu : hukum pada QS An-Nisaâ [4] : 43 adalah mengusap tangan, sedangkan hukum pada QS Al-Maidah [5] : 6 adalah membasuh tangan sampai ke siku.
b. Hukum sama tapi sebab berbeda : pada QS At-Thalaq [65] : 2 :
âApabila mereka (istri-istrimu) telah mendekati masa akhir âiddahnya, maka rujukilah kepada mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.â
Lafazh âsaksiâ pada ayat ini mutlaq tidak dibatasi.
Namun pada QS Al-Baqarah [2] : 282 :
âApabila kamu berhutang piutang untuk waktu yang tertentu, maka hendaklah kamu menuliskannya⊠dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki (diantara kamu).â
Lafazh âsaksiâ pada ayat ini muqayyad karena dibatasi dengan âlaki-lakiâ.
Kedua ayat diatas mempunyai persamaan hukum, yaitu âmengadakan dua orang saksiâ. Tetapi pada segi sebab terjadi perbedaan, sebab pada QS At-Thalaq [65] : 2 ialah ârujuk pada istriâ sedangkan sebab pada QS Al-Baqarah [2] : 282 adalah : âhutang-piutangâ.
c. Hukum dan sebab keduanya berbeda : pada QS Al-Maidah [3] : 38 :
âLaki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya⊠.â
Bila dibandingkan dengan QS Al-Maidah [3] : 6 pada point a diatas, maka sebabnya berbeda, pada ayat ini sebabnya pencurian dan hukumya juga berbeda, pada ayat ini tentang potong tangan.
Jadi Hukum lafazh mutlaq - muayyad :
1.
1. Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya)
2. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
3. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
4. Kaidah Makna Kata
a. Makna Hakikat yaitu makna lahir. Pada kalimat âSinga menerkam rusa pada lehernytaâ maka kata âsingaâ itu bermakna hakikat yaitu binatang buas.
b. Makna Majaz yaitu makna kiasan. Pada kalimat âSinga padang pasir menerkam musuhnya dengan pedangnyaâ maka kata singa itu bermakna kiasan untuk seseorang yang dikenal berani.
c. Musytarak yaitu kata yang punya lebih dari satu makna (ambigu).
Adanya makna hakikat, majaz dan musytarak ini salah satu penyebab timbulnya perbedaan penafsiran dari para imam mujtahid yang membawa pada perbedaan pendapat.
(Baca kembali Ushul Tafsir point VIII)
5. Amr (perintah) dan Nahi (larangan)
Lafazh amr (perintah) dapat berdampak hukum :
a. Menunjukkan wajib.
b. Menunjukkan sunah.
c. Menunjukkan suruhan saja.
d. Menunjukkan kebolehan
Larangan (nahi), menurut Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul :
a. Larangan karena diri perbuatan, seperti larangan zina, larangan wanita haid mengerjakan sholat.
b. Larangan karena sesuatu bagian perbuatan, seperti larangan menjual anak binatang yang masih dalam perut induknya.
c. Larangan lantaran sesuatu sifat yang tidak dapat lepas, seperti larangan puasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, karena sudah menjadi sifat yang melekat pada hari raya untuk makan-minum, mengadakan jamuan.
d. Laranga karena sesuatu sifat yang tidak lazim, seperti jual-beli sesuatu sesudah azan sholat Jumâat dikumandangkan.
(Baca kembali Ushul Tafsir point VII)
6. Pertentangan dan Kompromi Antar Dalil
a. Taâarudl
Yaitu pertentangan antar dalil, berkata Imam Abdul Wahhab Khallaf :
âApabila bertentangan dua nash pada lahirnya, wajiblah kita ber-ijtihad untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara keduanya. Jika tak dapat dilakukan hendaklah kita ber-ijtihad untuk mentarjihkan (menentukan yang lebih kuat) salah satunya. Kalau tak dapat ditarjihkan salah satunya, tetapi diketahui mana yang terdahulu dan mana yang terkemudian, maka hendaklah yang terkemudian dipandang menasakh yang terdahulu. Jika tak dapat diketahui kedua-duanya maka ditangguhkan.â
b. Kompromi
Firman Allah pada QS Al-Baqarah : 180
âDiwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya yang dekatâ
Firman Allah pada QS An-Nisaâ : 11
âAllah memerintahkan kepadamu terhadap anak-anakmu, yaitu : (warisan) bagi lelaki adalah seperti bagian dua wanita âŠ.. â
Ayat pertama mewajibkan berwasiat bagi orang yang akan meninggal sedangkan ayat kedua mewajibkan aturan hukum waris bagi orang yang meninggal. Secara sepintas sepertinya kedua ayat tersebut saling betentangan padahal tidak, karena bisa dikompromikan, yaitu kewajiban berwasiat itu apabila meninggalkan harta warisan yang banyak dan maksimal senilai sepertiga dari hartanya untuk orang-orang yang tidak berhak mendapat warisannya. Sedangkan hartanya yang tidak termasuk dari yang diwasiatkan harus dibagi kepada ahli waris sesuai aturan hukum waris dalam syariat Islam.
c. Tarjih
Yaitu bila ada dua dalil yang saling bertentangan maka ditentukan mana dalil yang lebih kuat (rajih) dan mana yang lebih lemah (marjuh).
Prinsip-prinsipnya :
1. Al-Qurâan lebih kuat dari Hadits
2. Hadits Mutawatir lebih kuat dari hadits Masyhur
3. Hadits Masyhur lebih kuat dari hadits ahad
4. Hadits sahih lebih kuat dari hasan lebih kuat dari dhaif.
5. Hadits Mutafaq alaih (diriwayatkan Bukhari dan Muslim) lebih kuat dari Bukhari saja dan atau muslim saja.
6. Hadits Marfuâ (disandarkan kepada Nabi) lebih kuat dari hadits mauquf (disandarkan hanya kepada Sahabat)
7. Sanad yang tinggi lebih kuat dari sanad yang lebih rendah.
8. Apabila berlawanan antara yang mengharamkan dengan yang memubahkan ditarjihkan yang mengharamkan (untuk kehati-hatian).
9. Apabila berlawanan anatara yang menghalangi dengan yang menghendaki, didahulukan yang menghalangi.
10. Mempelajari asbabun nuzul atau asbabul wurudnya.
(Baca kembali Ilmu Hadits, point Mukhtaliful Hadits)
d. Nasakh
Apabila tidak dapat dikompromikan atau ditarjihkan, bila diketahui mana yang datang terdahulu dan mana yang datang terkemudian, maka dalil yang terkemudian menasakh yang terkemudian.
1. Nasakh Sharih, bila ada penyataan tegas menyatakan nasakh, seperti pada hadits Nabi SAW :
âAku dahulu melarangmu dari menziarahi kubur, (maka sekarang) ziarahilah kubur karenaitu mengingatkan kamu kepada akhirat.â
2. Nasakh Dlimmy, menetapkan hukum yang berlawanan dengan hukum sebelumnya.
(Baca kembali Ushul Tafsir point V)
D. Qowaid Fiqiyah (Kaidah Fiqih)
Setiap yang mempelajari ushul fikih akan menjumpai kaidah fiqih yaitu kalimat singkat berupa kaidah umum yang dipetik dari Al-Qurâan dan Hadis yang bersesuaian dengan juzâiyyah (bagian-bagian) yang banyak yang dengannya dapat diterapkan hukumnya pada masalah furuâ (cabang).
Jadi Kaidah Fikih ini akan membantu menyimpulkan hukum fikih suatu masalah. ulama ushul fikih berkata :
âApabila kaidah-kaidah fikih kokoh terhujam didada mudah dan lancarlah lidah menuturkan furuâ (hukum fikih)â
Kaidah Fikih Global :
âMengambil maslahat dan menolak masfadatâ
Kaidah Pokok, ada 5 (lima) yang kepadanya dapat dikembalikan hampir semua masalah furuâ yang banyak.
Kaidah Pokok ke-1 : âsegala sesuatu bergantung kepada niatâ
Dasarnya hadis nabi âSesungguhnya segala amal hanyalah menurut niatnya dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah memperolah apa yang diniatkannyaâ
Kaidah Pokok ke-2 : âyang yakin tidak dapat dihilangkan oleh yang masih raguâ
Dasarnya hadis nabi âApabila seorang dari kamu mendapatkan sesuatu didalam perutnya, kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapat bauâ
âApabila seseorang dari kamu ragu ragu didalam sholatnya, tidak tahu sudah berapa rokaat yang telah dikerjakan apakah tiga rokaat atau empat rokaat, maka buanglah keragu-raguan itu dan berpeganglah kepada apa yang meyakini.
Kaidah Pokok ke-3 : âDalam kesempitan ada kelapanganâ
Dasarnya QS Al-Baqoroh :185 : âAllah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu.â
QS Al-Haj :78 : âDan Dia tidak menjadikan untuk kamu kesukaran dalam agamaâ Hadis nabi âAgama itu mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudahâ
Hadits nabi : âMudahkanlah jangan dipersukar.â
Kaidah Pokok ke-4 : âKemudhorotan harus dihilangkanâ
Dasarnya Firman Allah âDan janganlah kamu sekalian berbuat kerusakan di muka bumiâ
dan ayat âSesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakanâ
kemudian hadis nabi âtidak boleh membuat kemudhorotan pada diri sendiri dan membuat kemudhorotan pada orang lainâ
Kaidah Pokok ke-5 : âAdat dapat dijadikan hukumâ
Dasarnya ayat âDan bergaullah dengan mereka (manusia) secara patutâ dan hadis nabi âApa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula disisi Allahâ
Dari lima kaidah pokok diatas terdapat ratusan kaidah kaidah cabang yang lain, diantaranya (yang popluer dan sering digunakan) adalah :
1. Menolak masfadat lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.
2. Mudhorot khusus (kecil) harus ditempuh untuk menghindarkan mudhorot umum (besar).
3. Bila harus memilih antara dua mudhorot maka pilih yang paling kecil.
4. Bila untuk melaksanakan yang wajib memerlukan sarana, maka mengadakan sarana itu juga wajib.
5. Jalan yang menuju haram juga haram.
6. Kemudhorotan harus dihilangkan dan jalan yang menuju kearahnya harus ditutup.
7. Bila tidak bisa melaksanakan semuanya maka jangan ditinggalkan seluruhnya.
8. Hukum asal segala sesuatu mubah/boleh sampai ada dalil yang jelas melarangnya.
9. Hukum asal masalah ibadah makdoh haram sampai ada dalil/contoh yang menyuruhnya.
10. Apabila berkumpul dua perkara yang sejenis maka yang satu masuk kepada yang lain.
11. Hukum* dapat berubah menurut perubahan jaman. (* yang dimaksud disini hukum masalah furuâ (cabang) yang dzanni dan masalah-masalah muamalah-keduniaan bukan masalah ushul dan atau yang qothâi)
12. Hak keuntungan ada bersama resiko menanggung kerugian.
13. Menolak (preventif) lebih utama dari mengangkat (kuratif).
14. Yang lebih kuat meliputi yang lemah, bukan sebaliknya.
E. Sumber Hukum Sekunder
3. Ijma
Ijma adalah kesepakatan (konsensus) para mujtahid setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap suatu hukum syaraâ yang bersifat praktis âamaly.
Dalil yang menjadi dasar Ijmaâ :
Firman Allah dalam QS An Nisaâ [4] : 59
âTaatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu.â
âTaatilah Allahâ merujuk kepada Al-Qurâan.
âTaatilah Rasul â merujuk kepada sunnah (hadits)
âdan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamuâ merujuk kepada Ijmaâ (konsensus) Ulil-Amri.
Hadits Nabi :
âApa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula dalam pandangan Allah.â
âUmatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan.â
âIngatlah, barangsiapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah (ikutilah) jamaah, karena syaitan adalah bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih juah dari dua orang, daripada dari pada dari pada seorang yang menyendiri.â
a. Ijmaâ Sahabat
Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah tersebut, bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.
Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Mekkah. Ijmaâ sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar inilah yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin.
b. Ijmaâ Ulama Mujtahid
Para sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah pada saat Khalifah Usman bin Affan dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing-masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama dan mujtahid dari generasi tabiâin dan tabiâit-tabiâin.
Masing-masing imam mujtahid tidak mengeluarkan pendapat yang sama sekali menyalahi pendapat ulama negerinya, agar tidak dianggap aneh. Lantaran Itu Imam Abu Hanifah menghargai Ijmaâ ulama Kufah, begitu pula Imam Malik menghargai ijmaâ ulama Madinah.
Tingkatan Ijmaâ :
a. Ijmaâ Sharih, jika semua ulama menyatakan kesepakatannya.
b. Ijmaâ Sukuti, jika seorang mujtahid menyampaikan pendapatnya, kemudian pendapatnya tersebut diketahui oleh seluruh ulama yang hidup semasa dan tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari pendapatnya, artinya ada juga yang mendiamkannya. Ijmaâ sukuti ini masih diperdebatkan apakah dapat dijadikan hujjah, karena diamnya seseorang ulama belum tentu menyatakan kesepakatannya, bisa jadi sedang memikirkannya.
4. Qaul Sahabi (Perkataan Sahabat Nabi)
Firman Allah dalam QS At-Taubah : 100 :
âOrang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.â
Hadits Nabi :
âSaya adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.â
Diantara metode ijtihad Imam Abu Hanifah adalah : âBila ada konsensus pendapat dari sahabat maka saya ambil, bila ada perbedaan pendapat diantara para sahabat, maka saya pilih. Bila ada pendapat dari tabiâin maka saya teliti.â
5. Qiyas
Qiyas adalah memberikan hukum yang sama kepada sesuatu yang mirip atau serupa dengan yang telah ada nash nya dalam Al-Qurâan atau Hadits. Contohnya menyamakan hukum segala minuman yang memabukkan dengan hukum khamr (arak).
Dasar kehujjahan Qiyas :
a. Firman Allah dalam QS An Nisaâ [4] : 59
âTaatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.â
âKembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nyaâ merujuk kepada Qiyas, maksudnya bandingkanlah (qiyas-kanlah) dengan yang dekat dan serupa dengan yang telah ada pada kitab Allah (Al-Qurâan) dan atau Sunnah Rasul-Nya (Hadits).
b. Firman Allah dalam QS Al-Baqarah : 179 :
âDan dalam qisash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimuâ.
Dalam ayat diatas tampak bahwa illat (sebab) disyariatkannya qishas adalah agar ada jaminan hidup bagi manusia.
c. Firman Allah dalam QS Al-Maidah : 91 :
âSesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sholat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).â
Dari ayat diatas tampak bahwa illat (sebab) diharamkannya judi dan meminum khamr adalah karena menimbulkan permusuhan dan kebencian, juga karena menghalangi manusia dari mengingat Allah.
d. Hadits â Hadits Nabi :
1. Dari Umar bin Khatab : âHari ini aku telah melakukan perkara besar, yakni mencium istriku, sedang aku sedang berpuasaâ. Lalu Rasulullah bersabda : âBagaimana menurut pendapatmu andaikata kamu berkumur-kumur padahal kamu sedang berpuasa ?â. âHal itutak mengapaâ, jawabku. âMaka mengapa (kamu menanyakan) ?â Jawab Rasulullahâ. (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Riwayat diatas menunjukkan bahwa Rasulullah meng qiyaskan mencium istri ketika berpuasa dengan berkumur-kumur ketika berpuasa. Keduanya mengandung persamaan illat yaitu mendekati membatalkan tapi belum sampai pada tahap membatalkan.
2. âSeorang wanita dari qabilah Juhainah menghadap Nabi, seraya ia berkata : âYa Rasulullah, ibuku telah bernadzar untuk mengerjakan haji, akan tetapi ia tak sempat mengerjakan haji sampai ia meninggal dunia. Apakah saya berkewajiban mengerjakan haji untuknya ?. âBenarâ, jawab Nabi. âkerjakan haji untuknya. Tahukah kamu andaikata ibumu mempunyai hutang, bukankah kamu yang paling patut melunasinya ? âYaâ, jawabnya. Rasulullah berkata : âTunaikan hutang-hutang Allah, sebab hak Allah lebih berhak untuk dipenuhiâ â. (HR Bukhary dan Nasaâi).
Riwayat diatas menunjukkan Nabi meng qiyaskan nadzar kepada Allah yang belum dipenuhi dengan hutang kepada sesama manusia.
e. Surat Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al Asyâari yang menjabat sebagai gubernur Basrah :
âLihatlah banyak hal-hal yang serupa dan setara, maka qiyaskanlah hal-hal yang semacam ituâ.
Rukun Qiyas ada 4 (empat) yaitu :
1. Asal, yaitu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya pada nash Al-Qurâan dan hadits.
2. Furuâ, yaitu cabang yang hukumnya disamakan dengan hukum asal.
3. Hukum, yaitu hukum yang sudah diketahui pada asal.
4. Illat, yaitu sebab yang sama yang menyebabkan hukum asal dapat disamakan juga pada hukum furuâ.
Syarat-syarat qiyas :
a. Hukum asal tidak dinasakh.
b. Hukum asal jelas nashnya.
c. Hukum asal dapat diterapkan pada qiyas.
d. Hukum cabang tidak boleh mendahului hukum asal.
e. Mempunyai illat yang sama.
f. Hukum cabang sama dengan hukum asal.
g. Ada illat ada hukum, tidak ada illat tidak ada hukum.
h. Illat tidak boleh bertentangan atau menyalahi syaraâ.
Macam-macam Qiyas :
1. Qiyas Aula / Awlawi / Qathâi
Yaitu qiyas hukum yang diberikan kepada asal lebih patut diberikan kepada cabang.
Contoh, Nabi bersabda :
âKedua mata itu tali pengikat lubang dubur, maka apabila mata telah tidur terlepaslah taliâ.
Kita pahamkan bahwa gila, pingsan, mabuk dan segala yang menghilangkan akal lebih patut membatalkan wudhu.
2. Qiyas Musawi
Yaitu mengqiyaskan sesuatu kepada suatu yang bersamaan kedua-duanya yang patut menerima hukum tersebut.
Contohnya dalam QS An-Nisaâ : 25 :
âMaka atas mereka (budak-budak wanita) separoh hukuman dari yang dikenakan atas wanita-wanita yang merdekaâ.
Kita pahamkan bahwa menurut irama pembicaraan hukuman dera budak laki-laki kita qiyaskan dengan hukum budak wanita yaitu separoh dari hukuman dera laki-laki yang merdeka.
3. Qiyas Adna / Adwan
Yaitu meng-qiyas-kan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang diberikan kepada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu.
Misalnya kita mengqiyaskan haramnya nabiz (rendaman lain dari anggur) kepada khamr (arak anggur) karena illatnya sama sama memabukkan.
4. Qiyas Dalalah
Yaitu qiyas yang menunjuki kepada hukum, berdasar dalil illat atau mengumpulkan asal dengan cabang berdasar kepada dalil illat.
Misalnya mengqiyaskan ahrta anak kecil dalam soal wajib dizakati kepada harta orang dewasa atas dasar illatnya sama-sama harta yang berkembang.
5. Qiyas Illah
Yaitu qiyas yang tegas illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang dan illat itulah yang menyebabkan hukum pada asal.
6. Qiyas fi Maânal Ashli
Yaitu qiyas yang tidak tegas illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang.
Misalnya mengqiyaskan kadar hukuman dera buda laki-laki kepada budak wanita dengan illat sama-sama budak.
7. Qiyas Syabah
Yaitu qiyas yang menjadi washaf (sebab illat) yang mengumpulkan antara cabang dengan asal hanyalah penyerupaan atau cabang yang pulang pergi dua asal, yaitu yang dapat diserupakan dengan dua asal, lalu dihubungkan dengan yang banyak persamaannya.
Misalnya, seorang budak ketika merusakkan sesuatu dalam membayar ganti rugi, berubah status antara sebagai manusia karena ia anak keturunan Adam dan binatang, karena ia dipandang sebagai harta yang dapat diperjual-belikan dan diwakafkan.
8. Qiyas Jali
Qiyas yang illatnya baik dinashkan atau tidak, namun perbedaan pemisah antara asal dan furuâ diyakini tidak berbekas.
Misalnya, mengqiyaskan haramnya mencaci, memukul orang tua kepada keharaman mengucapkan âcisâ, dengan illat sama-sama menyakitkan bagi keduanya.
9. Qiyas Khafi
Qiyas yang illatnya dipetik dari hukum asal.
Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat dengan benda tajam.
10. Qiyas Sabri wattaqsim
Qiyas yang diketahui illatnya setelah dilakukan penelitian yang mendalam.
Misalnya, mengqiyaskan jagung kepada gandum dengan illat sama-sama makanan pokok yang mengenyangkan dan sama sama ditimbang.
11. Qiyas Thardi
Qiyas yang dikumpulkan antara asal dengan cabang oleh suatu sebab yang adanya hukum beserta wujudnya sebab itu, bila sebab hilang maka hukumnya juga hilang.
12. Qiyas Aksi
Tidak ada hukum bila tidak ada illat atau menetapkan lawan hukum sesuatu bagi yang sepertinya karena keduanya itu berlawanan dengan tentang illatnya.
Contohnya, hadits Nabi :
âDan pada kemaluan seseorang kamu ada sedekah. Para Sahabat bertanya : âApakah kami memuaskan syahwat dan memperoleh pahala ? Jawab Nabi : âBagaimana pendapatmu jika dia meletakkan syahwatnya pada yang haram, adakah dia berdosa ?, demikianlah apabila ia meletakkan pada yang halal, ada pahala baginyaâ. (HR Muslim).
13. Qiyas Ikhlati wal Munasabati
Qiyas yang menetapkan illat berdasarkan munasabah, yakni kemaslahatan memelihara dasar maksud.
a. Qiyas Muatstsir
Qiyas yang illatnya mengumpulkan antara asal dengan cabang dinashkan dengan terang atau dengan isyarat atau dengan ijmaâ.
Misalnya firman Allah QS An Nur : 27 :
âHai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta ijin dan memberi salam kepada penghuninyaâ.
Sehubungan dengan ayat ini, maka Rasululah bersabda : âIjin dilakukan semata-ata untuk kepentingan (keselamatan) mataâ.
b. Qiyas bekas sebab
Misalnya dibenarkan menjamaâ shalat dimasa hujan. Tidak ada keterangan bahwa hujan itu menjadi sebab, akan tetapi ada keterangan bahwa safar menjadi sebab bolehnya jamaâ. Maka dipahamkan bahwa sebab disini adalah hujan.
14. Qiyas Mulaim
Qiyas yang jenis sebabnya memberi bekas pada jenis hukum.
Misalnya, wanita yang ber haid tidak perlu mengqadha shalatnya, karena menimbulkan kesukaran. Kesukaran ini tidak ada keterangannya dari nash. Akan tetapi ada keterangan dari syaraâ bahwa kesukaran itu meringankan hukum.
15. Qiyas Munasib Gharib
Qiyas yang dibina atas illat yang tidak tegas syaraâ membolehkan atau menolaknya.
Misalnya, wanita yang ditalak tiga saat suami menjelang mati dapat menerima warisan karena kita lawan maksudnya dengan mengqiyaskan kepada pembunuhan agar cepat mendapat warisan, maka si pembunuh tidak mendapat warisan.
F. Sumber Hukum Tersier (digunakan untuk masalah juzâiyah (parsial), furuâiyah (cabang) yang jauh).
6. Istihsan
yaitu : keluar dari nash karena sebab yang lebih kuat, contoh : menurut qiyas sumur yang kena najis harus disiram air, tapi hal itu tidak memungkinkan maka pen suciannya dengan menimba air sumur
7. Mashlahah mursalah
Yaitu keluar dari Qiyas kulli karena pertimbangan memelihara hukum syaraâ dengan jalan mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh : dibolehkan memenjara atau meng intimidasi terdakwa untuk memperoleh pengakuannya.
8. Istihshab
Yaitu mengekalkan hukum yang telah ada, tidak bisa berubah karena sesuatu yang masih ragu., contoh : seseorang yang pada mulanya punya wudhu kemudian ragu ragu apakah dia telah batal apa belum, maka hukumnya dia dianggap masih punya wudhu.
9. Istidlal
Yaitu pertalian antara dua hukum tanpa menentukan illat (persamaan penyebabnya), contoh : seseorang sholat dengan memenuhi syarat dan rukunnya, tapi kemudian diketahui dia tidak punya wudhu, maka karena dia tidak punya wudhu sholatnya juga tidak syah.
10. Sadudz Dzariah
Yaitu mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kemudhorotan atau menyumbat jalan yang menuju kemudhorotan. Contoh : Zina itu haram, maka melihat aurat wanita, berduaan dengan lawan jenis bukan mahram ditempat sepi, bacaan porno itu juga haram karena semua itu jalan menuju zina
11. Urf
yaitu kebiasaan yang tetap pada jiwa manusia diterima oleh akal dan tidak menyalahi syaraâ, contoh = sudah menjadi urf (kebiasaan) bahwa harga bahan bangunan adalah sudah termasuk ongkos kirim, bila ada penjual ketika mengirimkan bahan bangunan ke tempat pembeli masih menagih ongkos kirim, maka hakim dapat menolak gugatan penjual berdasarkan Urf.
12. Adah
yaitu sesuatu yang dikehendaki manusia pada umumnya dan berlaku terus menerus
13. Taâamul
yaitu adat-istiadat kebiasaan dalam pergaulan mumalah manusia
14. Baraâah Ashliyah
yaitu : bebas dari hukum yang memberatkan
15. Istiqraâ
yaitu memeriksa seteliti mungkin berbagai juziyah supaya dapat dihukumkan dengannya, contoh = seluruh sholat fardhu nabi tidak pernah dilakukan diatas kendaraan, suatu ketika rosul pernah sholat duha diatas kendaraan, maka dipahami bahwa sholat duha itu hukumnya sunnah.
16. At-Taharri
yaitu mempergunakan segala kemampuan akal untuk mencapai ketaatan
17. Ar Rujuâu ilal manfaâati wal madharrah
yaitu menetapkan hukum berdasarkan manfaat dan mudhorot
18. Al Qaulu bin nushush wal ijmaaâI fil âibadati wal muqaddarati wal qaulu bi âitibaaril mashalih fil muâaamalati wabaqil ahkami
yaitu menetapkan hukum dengan nash dan ijma thd soal yg pokok dan berdasarkan kemaslahatan pada urusan cabang, contoh = para sahabat tidak menentang sitem Monarki Muawiyah krn takut terjadi perpecahan kaum muslimin
19. Taghyirul Ahkam bi taghaiyuril ahwali wal azman
Yaitu berubahnya hukum (masalah furuâ, muamalah, duniawiyah) karena berubahnya keadaan dan jaman.
Yang mula-mula dan menjadi panutan dalam masalah ini adalah Khalifah Umar bin Khattab yang memerintahkan sholat Tarawih berjamaâah dibawah satu imam dengan pertimbangan lebih teratur dan tertib, tidak memberi zakat kepada muallaf (orang yang baru masuk Islam) dengan pertimbangan Islam sudah kuat, tidak membagikan tanah daerah taklukan kepada prajurit yang menaklukkan demi kepentingan kemaslahatan generasi yang kemudian, tidak memotong tangan pencuri pada saat paceklik dan kelaparan dengan pertimbangan keadaan kesulitan ekonomi.
20. Al akhdzu bil akhaffi (al akhdzu biaqalli) maa qila
yaitu berubahnya hukum karena berubahnya masa dan keadaan, contoh = Umar tidak memberikan zakat kepada para Muallaf karena Islam sudah kuat, bila mereka murtad maka dibunuh
21. Al Ishmah
yaitu menjadikan hujjah perkataan orang yang mendapat hak menetapkan hukum syara, contoh = Rosul memberikan hak kepada Saad Bin Muaz untuk menentukan hukuman bagi pengkhianatan Bani Quraizah.
22. Syarâu man qablana
yaitu : hukum syariat orang sebelum kita, apabila disebutkan dalam nash maka juga menjadi syariat kita.
23. Al âamalu bidhadhahir awil adhar
yaitu beramal dengan prioritas memegangi nash yang lahir
24. Al akhdzu bil ihtiyath
yaitu memegangi mana yang lebih kuat dari dua dalil
25. Al Qurâah
yaitu menetapkan hukum berdasarkan undian, untuk mencegah saling berbantah-bantahan
26. Al âamalu bil ashli
yaitu mengamalkan dalil yang lebih rajih (kuat).
27. Maâqulun nash
yaitu mengamalkan dari apa yang dipahami dari nash, bila tidak dapat ditafsirkan secara tekstual maka dibawa ke makna majasi.
28. Syahadatul qalbi
yaitu dengan memperhatikan suara hati nurani, dasarnya hadis nabi : âmintalah fatwa kepada hatimuâ
29. Tahkimul hal
yaitu menyerahkan keputusan kepada keadaan sekarang yang sedang berlaku
30. âUmumul balwa
yaitu membolehkan sesuatu yang sulit melepaskan diri atau selalu terjadi
31. Al âamalu bi aqawasy syabahaini
yaitu memegangi mana yang lebih kuat kemiripannya, contoh menentukan orang tua anak dengan melihat kemiripannya
32. Dalalatul iqtiran
yaitu menyamakan hukum karena bergandengan dengan yang lain, contoh = imam malik tidak mewajibkan zakat pada kuda karena ada ayat âdan kuda dan bighal dan keledaiâ
33. Dalalatul ilhami
yaitu sesuatu yang diperoleh dari ilham, disyaratkan pada orang yang taqwa dan soleh
dasarnya hadis nabi âberhati hatilah dengan firasat orang mukmin karena mereka melihat dengan cahaya Allahâ
34. Ruâyan nabi
yaitu berpegang kepada apa yang dikatakan nabi dalam mimpi, dasarnya hadis nabi : âmimpi seorang muslim itu 1/46 kenabianâ
35. Al akhdzu bi aisari maa qilaa
yaitu mengambil mana yang paling mudah dari dua pendapat
36. Al akhdzu bi aktsari maa qilaa
yaitu mengambil jumlah yang lebih banyak dari jumlah yang berbeda beda
37. Faqdud dalil baâdal fihshi
yaitu menetapkan tidak ada hukum atas sesuatu lantaran tidak diperoleh dalil yang mewujudkansesuatu hukum sesudah dilaksanakan pembahasan yang luas.
X. Maqashid Syariâah (Tujuan Syaraâ)
Melalui penelitian yang mendalam akan diketahui bahwa semua syariat agama mengandung maksud, tujuan dan hikmah bagi kepentingan hamba. Semua perintah dan larangan dalam syariat agama mengandung kemaslahatan, baik yang mudah diketahui maupun yang belum diketahui karena akal manusia tidak mampu memahaminya.
Tuhan tidak mensyariatkan hukum-hukum secara kebetulan dan tanpa hikmah. Syaraâ bermaksud dengan hukum-hukum itu untuk mewujudkan maksud-maksud umum. Kita tidak dapat memahami hakikat nash terkecuali jika kita mengetahui apa yang dimaksud oleh syaraâ dalam menetapkan nash-nash syariat itu. Harus diingat bahwa petunjuk-petunjuk lafazh dan ibarat-ibaratnya kepada makna yang kadang-kadang mempunyai lebih dari satu penafsiran makna. Untuk mentarjih penafsiran makna yang lebih tepat maka perlu memahami maksud syaraâ (maqashid syariâah).
Segala hukum muamalah, akal dapat mengetahui maksud-maksud syaraâ dalam menetapkan hukum yaitu berdasarkan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menolak masfadat terhadap mereka. Jadi segala yang membawa manfaat-maslahat adalah mubah dan segala yang membawa mudharat-masfadat adalah haram.
Ibnul Qayyim berkata :
âDasar syariat ialah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syariat semuanya adil, semuanya rahmat dan semuanya mengandung hikmah. Tiap masalah yang keluar dari adil kepada curang, dari rahmat kepada balaâ, dari maslahat kepada masfadat, dari hukmah kepada sia-sia maka bukanlah syariat. Syariat itu adalah keadilan Allah diantara hamba-Nya, rahmat Allah diantara makhluk-nya dan bayangan Allah dibumi-Nya dan himah-Nya yang menunjukkan kepada-Nya dan kebenaran Rasul-Nyaâ.
Maksud-maksud syaraâ yang umum :
1. Memelihara segala yang dharuri (esensial dan fital) bagi manusia dalam kehidupan mereka, yaitu :
a. Memelihara Agama (dien).
b. Memelihara Nyawa (nafs).
c. Memelihara Akal (aqlu).
d. Memelihara Nasab-keturunan (nasl).
e. Memelihara Harta (mal).
Apabila yang dharuri ini tidak terpelihara maka kacaulah tatanan kehidupan, timbullah kekacauan dan kerusakan yang merata.
2. Menyempurnakan segala yang dihajati manusia.
Yaitu segala yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan untuk dapat menanggung kesukaran-kesukaran pembebanan (taklif) dan beban-beban hidup. Tetapi bila urusan itu tidak diperoleh, tidaklah rusak tatanan hidup dan tidak merata kekacauan, hanya mengalami kesempitan dan kesukaran saja.
Segala yang dihajati dalam pengertian ini meliputi segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, tata sosial kehidupan, kemudahan-kenyamanan hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh maka tiada cedera tatanan kehidupan, hanya saja dipandang tidak baik oleh akal yang sehat dan fitrah yang sejahtera.
Tingkatan Maksud Syaraâ
1. Tingkat Dharuriyah.
Yaitu tingkat yang harus ada, tidak boleh tidak ada. Apabila tidak difardhukan pokok-pokok ibadat maka manusia akan lupa dan berpaling dari Tuhan dan agama. Apabila tidak disyariatkan kita memrangi orang-orang yang merusak agama dan memaksa kembali orang yang murtad, tentu rusaklah urusan agama dan hilanglah pemeliharaannya.
Apabila tidak dihalalkan benda-benda yang baik untuk dimakan, diminum dan dipakai dan apabila tidak disyariatkan nikah dan pokok-pokok muamalah serta tidak difardhukan hukum-hukum jinayah maka akan hilang maslahat tertentu untuk memelihara jiwa, akal, keturunan dan kehormatan.
Apabila tidak disyariatkan pokok-pokok hukum yang berkenaan dengan hak milik dan penukaran manfaat serta tidak didakan hukum membayar barang yang kita rusakkan dan tidak disyariatkan hukuman untuk pencurian, perampokan tentu rusak maslahat harta.
2. Tingkat Hajiyah
Yaitu segala yang kita hajati untuk memperoleh keluasan hidup dan menolak kesempitan.
Umapamanya untuk memelihara agama kita dibolehkan mengqashar shalat ketika dalam safar atau menjamaâ ketika sedang ada udzur yang syarâi.
3. Tingkat Tahsiniah.
Yaitu tingkat yang paling rendah, dengan hilangnya tingkat ini tidak menghilangkan tingkat asli serta tidak menimbulkan kepicikan dan kesukaran dalam hidup. Tingkat ini masuk bagian kesempurnaan untuk memelihara akhlak-akhlak tinggi dan adat-adat yang baik.
XI. Masalah Ushul (pokok) â Furuâ (cabang)
A. Masalah Ushul (pokok)
Masalah Ushul (pokok) adalah masalah yang menyangkut Iâtikad (keyakinan) dalam urusan : akidah, tauhid dan rukun iman yang enam. Dalil-dalil dari Al-Qurâan maupun hadits yang menerangkan hal ini semuanya adalah muhkam (tidak ada kemungkinan penafsiran lain) dan sharih (jelas petunjuk lafaznya) dan Qathâi (pasti).
Seorang muslim dalam masalah ushul ini harus benar Iâtikadnya (keyakinannya). Salah dalam Iâtikad masalah ushul bisa menyebabkan seseorang menjadi kafir keluar dari Islam. Jadi dalam masalah ushul yang ada adalah iman atau kafir.
Contoh-contoh masalah ushul :
a. Tidak ada tuhan selain Allah.
b. Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan.
c. Allah satu satunya tempat bergantung.
d. Tauhid Rububiyah (meyakini Allah satu satunya pencipta)
e. Tauhid Uluhiyah (meyakini Allah satu satunya yang disembah dan diibadahi)
f. Tauhid Mulkiyah (meyakini Allah satu satunya yang mengatur, memelihara, memberi rejeki seluruh makhluk-Nya).
g. Mengimani kebenaran dan kesucian Al-Qurâan.
h. Mengimani kebenaran Nabi Muhammad sebagai Rasul yang maksum.
i. Mengimani Malaikat-malaikat Allah
j. Mengimani adanya akhirat (alam kubur, mashar, shirot, surga-neraka)
k. Mengimani adanya takdir yang baik dan buruk.
l. Dan lain-lain.
(Lihat kembali Ilmu Kalam point terakhir)
Masalah ushul yaitu akidah ibarat akar yang merupakan dasar bagi sebuah pohon, Iâtikad-tauhid merupakan satu batang lurus yang tidak bercabang-cabang yang merupakan penopang.
Jadi tidak boleh ada variasi, perbedaan pendapat dan ijtihad dalam masalah ushul ini. Bila ada yang berani berbeda pendapat, mengotak-atik masalah ushul ini maka harus ditentang dan tidak ada toleransi dalam hal ini. Itu sebabnya para ulama sangat keras dan mencelah para pelaku bidâah akidah seperti kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah, Musyabbihah, Muâatillah (baca kembali Ilmu Kalam).
Kelompok sempalan dalam masalah Ushul (akidah) inilah yang dimaksud kelompok yang binasa oleh hadits Nabi :
âUmatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, diantara golongan-golongan itu yang selamat hanya satu golongan saja, sedangkan lainnya adalah binasa. Para sahabat bertanya : âSiapakah golongan yang selamat itu ?â Nabi menjawab : âgolongan Ahlus Sunnah wal Jamaâahâ, para sahabat bertanya lagi, âApakah golongan Ahlus Sunnah wal Jamaâah itu ?â Nabi menjawab : âYaitu yang mengikuti apa-apa yang sekarang ini dipraktekkan (manhaj) saya dan para sahabatkuâ â
B. Masalah Furuâ (cabang)
Masalah Furuâ (cabang) adalah semua hal diluar masalah ushul, seperti rincian praktek tata cara ibadah, muamalah, urusan duniawi, dsb. Begitu luasnya cakupan masalah furuâ ini yang berhubungan dan menyentuh hampir seluruh aktivitas kehidupan seorang muslim. Dalam masalah furuâiyah ini tidak semua dalil-dalil hukumnya muhkam dan sharih, bahkan banyak yang masih mujmal, masih âam (umum), masih mutlaq tanpa penjelasan (bayan), masih musytarak (mengandung lebih dari satu arti), petunjuk lafazh dan cakupan lafazhnya tidak sharih (tidak jelas), memungkinkan timbul multi penafsiran dan sebagainya.
maka dalam masalah furuâiyah ini sering terjadi ijtihad dalam meng istinabtkan hukumnya. Dari sinilah sering terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama dan muijtahid. Jadi dalam masalah furuâ yang ijtihadi ini hendaknya setiap muslim bersifat saling ber toleransi yaitu mengikuti mana yang dianggap paling baik diantara pendapat-pendapat yang ada, tidak memaksa orang lain mengikuti pendapatnya dan membiarkan (tidak mencelah) orang lain yang tidak sependapat. Dalam masalah furuâ yang ijtihadi ini yang ada adalah benar dan salah. Bila benar dapat dua pahala, bila salah dapat satu pahala.
Contoh-contoh masalah Furuâ
a. Detail tata cara sholat
b. Fiqih Zakat
c. Fiqih Puasa
d. Fiqih Haji
e. Fiqih Jual-Beli
f. Fiqih Sewa-Menyewa
g. Fiqih muamalah
h. Urusan duniawiyah
i. Dan lain-lain.
Masalah furuâ itu ibarat ranting, dahan dan cabang dalam sebuah pohon, yang tentunya tidak harus satu (sebagaimana batang pohon / akidah) melainkan ada banyak ragam cabang. Jadi dalam masalah furuâ boleh ada ijtihad, boleh ada variasi, dan boleh ada perbedaan pendapat.
XII. Dalil Qathâi (pasti) â Dzani (dugaan)
A. Dalil Qathâi (pasti)
Dalil disebut Qathâi (pasti) apabila memenuhi dua persyaratan :
1. Qathâi wurudnya (sumbernya) yaitu : Al-Qurâan dan Hadits Mutawatir
2. Qathâi dhalalah-nya (petunjuk lafazhnya) yaitu : muhkam (tidak ada kemungkinan multi penafsiran) dan sharih (jelas).
Bila suatu dalil dari Ayat Al-Qurâan dan atau Hadits telah memenuhi semua syarat dalil Qathâi diatas maka menjadi dalil Qathâi yang sempurna, maka hukumnya harus diterima bulat-bulat, tanpa reserve. Tidak boleh ada ijtihadi lagi dan tidak boleh diotak-atik, tidak boleh ditambah-dikurangi.
Kebanyakan masalah Ushul dalilnya adalah qathâi, sedangkan kebanyakan masalah furuâ dalilnya tidak qathâi. Tetapi ada juga masalah furuâ yang dalilnya qothâi sehingga semua ulama menyepakatinya dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal tersebut, contohnya :
a. Hukum haram bagi daging babi, bangkai, darah yang mengalir, khamr (arak) dan riba.
b. Hukum rajam bagi pezina mukhson (sudah pernah menikah), dera 100 kali bagi pezina ghoiru mukhson (belum pernah menikah).
c. Hukum Qisash (balas bunuh) bagi pembunuhan yang disengaja.
d. Hukum potong tangan bagi pencuri.
e. Hukum dera 80 kali bagi orang yang mendakwakan tuduhan dusta.
f. Hukum potong tangan, kaki dan disalip bagi pelaku kerusuhan dan tindakan anarkis. (perampok, penjarah, pelaku huru-hara, pemberontak, dsb)
B. Dalil Dzani (dugaan)
Dalil dzani adalah dalil yang tidak memenuhi syarat dalil qathâi, yaitu :
1. Dzani wurudnya (sumbernya) yaitu : Hadits yang tidak mencapai derajad mutawatir.
2. Dzani Dhalalahnya (petunjuk lafazhnya) yaitu : masih ada kemungkinan multi penafsiran dan tidak sharih (tidak jelas) petunjuk dan cakupan lafazhnya.
Kebanyakan masalah furuâ yang ijtihadi dalilnya adalah Dzani, seperti hadis ahad, atsar-fatwa sahabat, istihsan, maslahah mursalah dan semua sumber hukum sekunder dan tersier yang diuraikan pada point IX B diatas.
XIII. Tentang Bidâah
Pembahasan tentang bidâah merupakan masalah yang sangat krusial, karena perbedaan pendapat dan pemahaman tentang masalah bidâah ini yang sekarang ini menjadi salah satu biang keladi dan pemicu utama terjadinya friksi diantara berbagai kelompok, aliran, mazhab dan harokah Islam. Apalagi sekarang ini ada yang menjadikan kata bidâah sebagai peluru yang sering dimuntahkan dan menjadikan kata mubtadi (pelaku bidâah) sebagai label yang sering ditempelkan kepada kelompok lain.
A. Pengertian Bidâah Secara Bahasa
Secara bahasa bidâah itu berasal dari ba-da-âa asy-syai yang artinya adalah mengadakan dan memulai. Kata âbidâahâ maknanya adalah baru atau sesuatu perkara yang baru yang belum pernah ada pada masa Nabi.
B. Pengertian Bidâah Secara Istilah.
Secara istilah, bidâah itu didefinisikan oleh para ulama dengan sekian banyak versi dan batasan. Hal itu lantaran persepsi mereka atas bidâah itu memang berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang meluaskan pengertiannya hingga mencakup apapun jenis yang baru (diperbaharui), sedangkan yang lainnya menyempitkan batasannya.
Sultonu Ulama, Imam Izzudin bin Abdus Salam, seorang ulama terbesar dari mazhab Syafiâi (wafat 660 H) dalam kitabnya âQawaâidul Ahkamâ menerangkan bahwa bidâah adalah suatu perbuatan (baru) yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW.
Dalam Ensiklopedi Fiqih jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait halaman 21 disebutkan bahwa secara umum ada dua kecenderungan orang dalam mendefinisikan bidâah. Yaitu kecenderungan menganggap apa yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bidâah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram. Dan kedua adalah kecenderungan untuk mengatakan bahwa semua bidâah adalah sesat.
Kelompok Pertama
Kelompok yang menganggap bahwa perkara baru yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bidâah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram, maksudnya ada juga perkara baru yang baik.
a. Tokoh-tokohnya
Di antara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafiâi dan pengikutnya seperti Imam Izzudin bin Abdis Salam, Imam Nawawi, Ibnu Hajar Atsqolani, As-Suyuthi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan Maliki seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanbaliah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
b. Argumennya
Shalat Tarawih pada jaman Nabi dan Abu Bakar dilakukan sendiri-sendiri atau berjamaâah berkelompok-kelompok yang terpisah dalam Masjid. Pada Jaman Khalifah Umar bin Al-Khattab beliau membuat âperkara baruâ yaitu menghimpun orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah dengan satu imam, pada waktu itu ditunjuk Ubay bin Kaâab sebagai imamnya. Setelah itu Umar berkata : âini adalah sebaik-baik bidâahâ.
Perbuatan itu tidak ditentang oleh para sahabat Nabi yang lain dan bahkan sepeninggal Umar masih terus berlangsung sampai masa kita sekarang ini.
Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuhaâ berjamaah di masjid sebagai bidâah yaitu jenis bidâah hasanah atau bidâah yang baik.
Hadits yang mengindikasikan adanya bidâah yang baik adalah hadits berikut :
âSiapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyiâah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamatâ.
Dalam Kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Atsqolani, pada juz XVII halaman 10 menyebutkan : 1. Ada riwayat dari Abu Nuâim menyebutkan bahwa Imam Syafiâi pernah berkata :
âBidâah itu dua macam, satu bidâah terpuji dan yang lain bidâah tercela. Bidâah terpuji adalah yang sesuai dengan sunnah Nabi dan bidâah yang tercela adalah yang tidak sesuai atau menentang sunnah Nabiâ.
2. Imam Baihaqi dalam kitabnya âManaqib Syafiâiâ menyebutkan bahwa Imam Syafiâi pernah berkata :
âPerkara baru (bidâah) itu ada dua macam : 1. Perbuatan keagamaan yang menentang atau berlainan dengan Qurâan, Sunnah Nabi, atsar dan Ijmaâ, ini dinamakan âbidâah dhalalahâ. 2. Perbuatan keagamaan yang baik, yang tidak menentang salah satu dari yang tersebut diatas adalah bidâah juga, tetapi tidak tercela.â
3. Tentang bidâah, sebagian ulama membagi kepada hukum yang lima dan memang begitulah. (maksudnya Ibnu Hajar Atsqolany mendukung membagi hukum bidâah kepada hukum yang lima yaitu : wajib, sunnah, makruh, mubah, haram).
Bisa kita nukil pendapat Imam Izzudin bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa perkara baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, terbagi menjadi lima hukum, yaitu : bidâah wajib, bidâah haram, bidâah mandub (sunnah), bidâah makruh dan bidâah mubah.
c. Contoh-contohnya :
Bidâah yang wajib :
- Membukukan mushaf Al-Qurâan.
- Membukukan hadits Nabi (padahal ada hadits Nabi yang melarang membukukan hadits, karena khawatir tercampur-baur dengan Al-Qurâan).
- Kodifikasi, perumusan dan penulisan ilmu-ilmu keislaman yang seolah-olah berdiri sendiri seperti : ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu Al-Qurâan, ilmu Fiqih, ilmu kalam (ushuludin), ilmu mantiq (logika), ilmu nahwu-sharaf, ilmu balaghah, ilmu tasawuf.
- Mempelajari teknologi militer untuk menjaga kekuatan dan pertahanan kaum Muslimin.
Bidâah yang haram :
- Bidâah dalam masalah akidah berbagai firqoh sempalan, seperti :
a. Khawarij yang memisahkan diri dan selalu memberontak terhadap Amir Kaum Muslimin yang mereka anggap berbuat zalim, menghalalkan darah orang-orang diluar kelompoknya dan mudah mengkafirkan sesama muslim.
b. Syiah Ghulat yang mengkultuskan Imam Ali, menuduh Abu Bakar, Umar, Usman menyerobot hak kekhalifahannya. Mencaci maki Aisyah, Talhah, Zubair dan Muawiyah yang pernah berseteru melawan Ali.
c. Murjiah yang mempunyai keyakinan iman itu cukup dengan hati. Perkataan dan perbuatan tidak termasuk iman.
d. Qadariyah yang menolak takdir, Jabariyah yang menolak ikhtiar usaha bebas manusia.
e. Mujasimah dan Musyabbihah yang menyerupakan Allah dengan keadaan manusia.
f. Muaâtillah yang menolak sifat-sifat Allah.
g. Muâtazilah yang mengatakan Al-Qurâan adalah makhluk.
- Bidâah dalam ibadah, seperti :
a. Menambah atau mengurangi jumlah rokaat shalat lima waktu.
b. Shalat dengan tambaan bacaan bahasa Indonesia.
c. Puasa sehari penuh (tidak berbuka saat maghrib).
d. Mewajibkan zakat terhadap barang-barang yang tidak wajib dizakati.
e. Melakukan haji tidak ke Mekkah.
- Bidâah yang Sunnah :
a. Shalat Tarawih berjamaâah.
b. Adzan pertama pada shalat Jumâat.
c. Mengadakan pengajian Maulid Nabi.
d. Mendirikan sekolah/madrasah/majelis taâlim.
- Bidâah yang Makruh :
a. Menghias masjid.
b. Menetapkan waktu tertentu untuk ibadah.
c. Perdebatan yang sengit dalam masalah khilafiah.
d. Sistem pemerintahan yang monarki.
e. Melakukan ibadah (shalat/puasa) sunah untuk tujuan duniawi semata-mata.
- Bidâah yang Mubah :
a. Makan menggunakan sendok.
b. Memakai pakaian yang bagus.
c. Membuat rumah yang besar.
d. Menggunakan peralatan modern.
e. Dzikir berjamaâah.
f. Bersalam-salaman setelah shalat berjamaâah.
Kelompok Kedua
Kelompok ini menganggap bahwa yang disebut perkara baru (bidâah) itu semuanya adalah sesat, berdasarkan pemahaman tekstual keumuman lafazh hadits âSemua perkara baru (bidâah) adalah sesat (dhalalah).â
Kelompok ini menganggap semua perkara baru dalam masalah syariat adalah bidâah dhalalah. Sedangkan perkara baru dalam masalah diluar syariat dihukumi sebagai âsaranaâ. Hukum sarana itu tergantung pada tujuannya. Sarana menuju yang haram adalah haram, sarana menuju yang wajib juga menjadi wajib.
a. Tokoh
Di antara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafiâiyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taimiyah.
b. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah:
Bahwa Alloh SWT telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Alloh SWT : âPada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu niâmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimuâ (QS Al-Maidah: 3)
Hadits Nabi :
âBahwa semua perkara baru (bidâah) itu adalah sesatâ.
âBarang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak.â (HR Muslim 1817)
c. Contoh :
- Maulud Nabi tidak ada di jaman Nabi, maka itu termasuk bidâah dhalalah.
- Dzikir berjamaâah tidak ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bidâah dhalalah.
- Pemilu tidak ada di jaman Nabi, maka itu termasuk bidâah dhalalah.
- Tahlilan tidak ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bidâah dhalalah.
Tahqiq :
1. Kedua kelompok sepakat bahwa tidak semua perkara baru adalah bidâah dhalalah, yaitu sarana yang menuju kebaikan dan urusan duniawi tidak termasuk bidâah dhalalah.
2. Perbedaan pendapat terjadi pada : perkara baru tentang ibadah dan adat/tradisi yang mengandung unsur agama, contohnya :
a. Shalat Jumâah dengan Kutbah Bahasa Indonesia, itu termasuk bidâah dhalalah atau tidak.
b. Shalat Sunah berjamaâah itu bidâah dhalalah atau tidak.
c. Dzikir berjamaâh itu bidâah dhalalah atau tidak.
d. Peringatan maulid Nabi itu bidâah dhalalah atau tidak.
e. Tradisi tahlilan pada hari ke-3, 7, 40, 100 hari orang meninggal itu bidâah atau tidak.
3. Hadits nabi âSemua perkara baru (bidâah) adalah sesat (dhalalah).â Secara tekstual memang mengisyaratkan bahwa semua perkara baru itu adalah bidâah dhalalah.
Petunjuk lafazh hadits diatas memang bersifat umum (âam), lafazh âam masih memungkinkan menerima takhsis (peng-khususan) dan ternyata memang ada takhsisnya yaitu hadits : âSiapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat.
Jadi tidak âsemuaâ perkara baru bidâah dhalalah, masih memungkinkan adanya sunnah hasanah.
4. Riwayat-atsar yang menunjukkan para sahabat Nabi melakukan perkara baru yang belum dikenal dijaman Nabi :
a. Khalifah Abu Bakar mengumpulkan Al-Qurâan dalam satu mushaf yang tidak diperintahkan dan tidak ada contohnya dari Nabi.
b. Khalifah Usman menyatukan Al-Qurâan dalam satu rasm dan menyalinnya menjadi beberapa mushaf.
c. Khalifah Usman menambahkan adan menjadi dua kali pada Shalat Jumâat, maksudnya adan pertama untuk mengingatkan manusia bahwa waktu shalat Jumâat sudah dekat.
d. Khalifah Umar bin Khatab melaksanakan shalat Tarawih berjamaaâh dibawah satu imam yang belum pernah dilakukan di jaman Nabi.
e. Khalifah Umar bin Khatab tidak memberikan zakat kepada muallaf, padahal mereka jelas-jelas termasuk muzakki yang berhak menerima zakat dengan alasan Islam sudah kuat tidak perlu lagi membujuk hati orang-orang yang baru masuk Islam.
f. Khalifah Umar tidak memotong tangan pencuri ketika masa kelaparan dan paceklik.
g. Khalifah Umar menetapkan orang yang mentalak tiga sekaligus, jatuh talak tiga karena pada masa itu orang memudahkan urusan talak dan sering terjadi lelaki yang menjatuhkan talak tiga sekaligus. Padahal jaman Nabi dan Khalifah Abu Bakar, talak tiga sekaligus hanya dianggap jatuh talak satu.
h. Khalifah Umar tidak membagikan tanah taklukan di Iraq kepada para prajurit dengan perimbangan kemaslahatan generasi mendatang, padahal Nabi membagikan tanah taklukan Khaibar kepada para perajurit.
i. Ibnu Umar menyebut bahwa shalat dhuhaâ berjamaah di masjid sebagai bidâah hasanah atau bidâah yang baik.
j. Khalifah Umar bin Abdul Azis membukukan hadits, padahal ada hadits Nabi yang melarang menuliskan hadits (karena khawatir tercampur dengan Al-Qurâan).
Semua atsar diatas menunjukkan bahwa tidak semua perkara baru adalah bidâah dhalalah, jadi perlu diselidiki dulu faktor maslahat dan manfaatnya, illat hukumnya, maqashid syariahnya dan sebagainya.
5. Jadi jangan gampang memvonis bidâah dhalalah terhadap semua perkara baru, tapi juga jangan terus seenaknya membuat perkara baru yang tanpa ada tujuan dan kemaslahatan yang nyata.
6. Tentang adat, tradisi atau perkara mubah yang mengandung unsur agama, hendaknya dilihat content (isinya) dan dampaknya, kalau isinya tidak bertentangan dengan jiwa syariat dan dampaknya tidak mendatangkan kemudharatan atau perkara baru itu menjadi sarana yang membawa manfaat-maslahat maka jangan terus mudah divonis sebagai bidâah dhalalah.
XIV. Ikhtilaf dan Toleransi
Dalam masalah ushul, atau masalah furuâ yang dalilnya sudah Qathâi maka tidak boleh ada perbedaan pendapat, tidak boleh ada ijtihad dan tidak boleh ditambah-dikurangi. Maka bila ada pihak-pihak yang berbeda pendapat dalam hal itu maka setiap muslim harus berteriak lantang menentangnya, itulah sebabnya jangan heran kalau para ulama dengan tegas menentang pemikiran kelompok-kelompok sempalan pelaku bidâah dalam masalah akidah, yaitu kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah, Musyabbihah, Muâatillah.
Dalam masalah furuâ yang dzani dan ijtihadi maka boleh ada ijtihad, boleh ada variasi dan perbedaan pendapat. Setiap muslim tidak boleh bersikap keras atau fanatik terhadap pendapat atau mazhabnya. Dalam masalah ini perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan (pasti terjadi) dan harus saling ber toleransi.
Perbedaan pendapat dalam masalah furuâ, fiqih-amaliah yang khilafiah ini sudah terjadi sejak jaman sahabat Nabi dan masa para salafus saleh. Para generasi salaf berbeda pendapat tapi tetap bersatu, tidak terpecah-belah dan saling ber toleransi. Tidak saling mencelah, tidak saling menyalahkan, tidak saling mencaci, tidak saling memvonis mubtadi (pelaku bidâah), tidak saling mengkafirkan dan tidak mudah âmenghukumi haramâ terhadap suatu masalah yang tidak ada dalil qathâi yang tegas menunjukkan hukum haramnya.
Berikut ini riwayat-riwayat yang menunjukkan manhaj generasi salaf dalam masalah ikhtilaf :
Khalifah Harun Al Rasyid pernah berkata : âAku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwattaâ sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qurâanâ. Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Jadi manhaj salafus saleh adalah memaklumi perbedaan pendapat masalah ikhtilaf dan tidak memaksakan pendapatnya.
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka maka membatalkan wudhu. Suatu hari kepada beliau ada yang bertanya : âApakah engkau mau shalat dibelakang orang yang luka berdarah tetapi tidak berwudhu lagi ? â. Dengan nada meninggi Imam Ahmad bin Hanbal berkata : âBagaimana saya tidak mau shalat dibelakang Imam Malik bin Anas dan Said Al Musayyab ?â. Kedua imam tersebut berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka tidak membatalkan wudhu. Jadi manhaj salafus saleh adalah menghormati pendapat orang lain yang berbeda dan tetap menjaga ukuwah.
Abdurrahman bin Mahdy meriwayatkan : âKami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada beliau lalu berkata : âDari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan kepada engkauâ. Imam Malik berkata : âBertanyalahâ. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau dan beliau hanya menjawab : âaku tidak memandangnya baikâ. Orang itu terus mendesak karena menginginkan Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya, âBagaimana nanti kalau kau ditanya orang di kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang kepada mereka ?â Imam Malik berkata : âKatakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas mengatakan tidak menganggapnya baikâ. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash qathâi yang tegas mengharamkannya.
Imam Al Auzaâi (mufti dan fuqaha di Damaskus Syria) menceritakan pendapatnya tentang orang yang mencium istrinya : âKalau orang itu datang padaku bertanya bagaimana hukumnya, maka akan aku katakan bahwa dia harus wudhu lagi, tetapi bila dia tidak mau wudhu lagi, aku tidak akan mencelanyaâ.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata tentang sholat sunnah setelah ashar : âKami tidak melakukannya tetapi kami tidak mencela yang melakukannyaâ.
Suatu hari, ada perbedaan perdebatan terbuka antara Ali bin Madini dan Yahya bin Muâin tentang hukumnya menyentuh kemaluan : apakah membatalkan wudhu atau tidak ? Perdebatan ini dihadiri oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Kata Yahya bin Muâin : âOrang itu harus wudhlu lagiâ. Dia menggunakan hadits yang diriwayatkan dari Busrah binti Shafwan sebagai dalil. Sedangkan Ali bin Madini pendapatnya berlawanan menggunakan hadits yang diriwayatkan dari Qais bin Thalaq sebagai dalil. Kemudian Yahya menyampaikan pendapat Ibnu Umar sebagai dalil tambahan, dibalas lagi oleh Ali dengan pendapat Ammar bin Yasir.
Menanggapi kejadian itu, Imam Ahmad bin Hanbal langsung menengahi, âSudahlah, derajad Ammar dan Ibnu Umar sama. Siapa suka boleh mengambil pendapat salah satunya.â
Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mugni menceritakan sebuah ketentuan dalam mazhab Imam Ahmad bin Hanbal : âMenurut penegasan Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dibelakang orang-orang yang berbeda dengan kita dalam masalah cabang-cabang hukum fiqih, seperti para pengikut mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafiââi hukumnya adalah sah dan sama sekali tidak makruh. Karena para sahabat, para tabiâin dan orang-orang sesudah mereka masih tetap bermakmum kepada yang lain, walaupun berbeda pendapat dalam masalah hukum cabang itu. Dengan demikian, ketentuan ini merupakan salah satu kesepakatan (ijmaâ). Dan kalau diketahui bahwa imamnya meninggalkan sebuah syarat shalat atau salah satu rukunnya, yang diyakini oleh makmum tetapi tidak diakui oleh imam, maka menurut makna literal dari redaksi pendapat Imam Ahmad : shalat dibelakang imam itu tetap sah.
Dalam mazhab Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya dikatakan bahwa wudhu seseorang bisa batal karena keluar darah. Suatu hari imam Abu Yusuf (pengikut mazhab Abu Hanifah) melihat bahwa Khalifah Harun Al Rasyid berbekam kemudian langsung shalat tanpa wudhu terlebih dahulu, karena mengikuti pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa orang yang berbekam tidak batal wudhunya. Kemudian Imam Abu Yusuf langsung bermakmum dibelakang Khalifah Harun Al Rasyid dan tidak mengulangi shalatnya.
Imam Syafiâi dalam qaul qadimnya berpendapat bahwa rambut yang sudah dipotong hukumnya najis, suatu hari Imam Syafiâi shalat setelah bercukur rambut, sementara dibajunya masih ada sisa-sisa rambut berceceran. Orang-orang yang melihatnya menanyakan hal tersebut, maka Imam SyafiâI menjawab : âSaat dalam kesulitan, kita mengambil pendapat penduduk Iraq (mazhab Imam Abu Hanifah)â.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatwa menceritakan bahwa Imam Syafiâi yang berpendapat menjaharkan (membaca nyaring) âBismillahirrahmanirrahimâ dalam shalat, tetap bermakmum kepada para ulama Madinah yang tidak pernah menjaharkan âBismillahirrahmanirrahimâ
Diriwayatkan dari Abu Bakar bin Al Khallal : diceritakan kepada saya oleh Al Hushain bin Basyar Al Makhrumi, bahwa yang bersangkutan telah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang masalah sumpah yang menjurus ke arah perceraian. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab tegas, âKalaui dia melakukanm berarti dia telah melanggar sumpahnyaâ.
Lalu Al Hushain meminta jalan keluar, âBagaimana kalau ada orang lain yang memfatwakan kepada saya, bahwa dia tidak melanggar sumpahnya (tidak jatuh talak perceraian) ?â. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : âKamu tahu pengajian para ulama Madinah ?â Al Hushain menjawab, âYaâ Saat itu memang ada beberapa ulama Madinah yang membuka pengajian di teras Masjid Agung Baghdad. âApakah kalau mereka memberikan fatwa (berbeda), istri saya tetap halal ?â maka Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : âYa !â.
Baihaqi dalam Sunan Al Kubra meriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid : âDahulu kami bersama Abdullah bin Masâud di Mudzalifah. Dan saat mereka memasuki Masjid Mina, beliau bertanya : âAmirul Mukminin (Usman bin Affan) shalat berapa rakaâat ?â Mereka menjawab, âEmpat rakaâatâ. Maka Ibnu Masâud langsung shalat empat rakaâat tanpa membantah.
Mereka langsung mempertanyakan, âBukankah anda yang meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah dan Abu Bakar melakukan shalat dua rakaâat ?â. Ibnu Masâud menjawab : âMemang, dan sekarang saya akan meriwayatkannya untuk kalian. Tetapi Usman bin Affan sekarang adalah imam kita dan saya enggan berbeda dengannya, karena perbedaan pendapat (pada saat seperti) ini adalah burukâ.
Diriwayatkan pula bahwa Imam Syafiâi meninggalkan qunut saat shalat subuh di Masjid Imam Abu Hanifah. Ini bertentangan dengan mazhab beliau sendiri. Banyak yang mempertanyakan hal itu, maka Imam Syafii menjawab : âAku tidak mencabut pendapatku tentang qunut pada shalat subuh tetapi aku menghormati pendapat Imam Abu Hanifahâ.
Dari Ibnu Abdil Barr berkata dalam At Tahmid : âPenulis pernah mendengar guru besar kami Abu umar Ahmad bin Abdul Malik berkata : âDahulu Abu Ibrahim bin Ishaq bin Ibrahim, guru besar kami, selalu mengangkat tangannya sebelum dan sesudah bangun dari rukuâ, berdasarkan hadits Ibnu Umar yang tercantum dalam Al Muwattaâ; sejauh yang penulis temui, beliau adalah terbaik yang paling menguasai fiqih dan paling benar dalam ilmu dan agamanyaâ.
Penulis berkata : âTapi kenapa anda tidak mengangkat tangan anda, agar kami bisa mengikuti anda ?â Beliau menjawab : âSaya tidak akan berbeda dengan bunyi hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Al Qasim, karena orang-orang disekitar kita sekarang ini melakukan rukuâ (tanpa mengangkat tangan) berdasarkan hadits itu. Dan tindakan yang berbeda dengan kebiasaan umum dalam hal-hal yang diperbolehkan bukan termasuk tradisi imam-imam kitaâ.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatwa nya mengatakan, âApabila seorang makmum berjamaâah dengan imam yang membaca qunut pada shalat subuh atau shalat witir, selayaknya dia ikut membaca qunut. Tidak perduli apakah imamnya berqunut sebelum rukuâ atau sesudahnya. Sebaliknya, kalau imamnya tidak membaca qunut, makmum juga dianjurkan tidak berqunut. Begitu juga kalau imam memandang bahwa perbuatan itu disunnatkan, berbeda dengan pandangan para makmumnya, maka ; kalau dia meninggalkannya untuk menyatukan pendapat, tentu tindakan ini dianggap lebih baikâ.
Ibnu Taimiyah kemudian mengajukan sabda Nabi kepada Aisyah sebagai dalil : âHanya karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah, aku tidak jadi menyuruh orang untuk meratakan bangunan Kaâbah, kemudian aku akan membuat bangunan baru yang mempunyai dua pintu, satu pintu untuk masuk dan pintu yang lain untuk keluarâ.
Terlihat disini, bahwa keinginan yang dianggap Nabi lebih baik ditinggalkan sendiri oleh beliau hanya supaya tidak menimbulkan antipati orang banyak.
Dibagian lain dalam buku Majmu Fatwanya, Ibnu Taimiyah berkata : âKarena itu, para imam, Ahmad dan lain-lainnya memandang akan lebih baik kalau seorang imam shalat meninggalkan sebuah perbuatan sunnat yang diyakininya, kalau hal itu bisa menarik simpati orang orang yang berimanâ.
Ibnu Muflih dalam kitabnya Al Funun dalam bab Al Adab Ast Syariâah berkata : âTidak boleh keluar (menyalahi) dari adat kebiasaan masyarakat kecuali kalau perbuatan itu diharamkan, karena Rasulullah sendiri telah membiarkan bangunan Kaâbah begitu saja, seraya bersabda : âKalau bukan karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyahâŠâ
Fiqih Ikhtilaf
Pokok-pokok pedoman bagi pemahaman fiqih ikhtilaf :
1. Persatuan adalah wajib.
âAku wasiatkan kepada kalian (Agar mengikuti) para sahabatku kemudian generasi berikutnya (tabiâin) kemudian generasi berikutnya (tabiâit tabiâin). Kalian harus tetap dalam jamaâah. Waspadalah terhadap perpecahan, karena sesungguhnya syetan bersama orang yang sendirian dan dia (syetan) akan lebih jauh dari dua orang. Barang siapa menginginkan bau harum surga hendaknya selalu dalam jamaâah.â (HR Turmudzi, Hakim, shahih menurut syarat Bukhary Muslim)
2. Menjauhi dan menghindari perpecahan.
âBerpeganglah kamu sekalian pada tali Allah dan jangan berpecah belahâ. (QS Ali Imran : 103).
ââŠdan janganlah kamu saling berselisih karena nanti kamu jadi lemah dan hilang kekuatan kamuâ. (QS Al Anfal : 46).
3. Perbedaan pendapat dalam masalah furuâ (cabang) adalah suatu kemestian yang pasti terjadi dan merupakan rahmat dan keluasan bagi umat.
Hadits Nabi : âPerbedaan (pendapat) umatku adalah rahmatâ.
Atsar riwayat Baihaqi, menyebutkan Khalifah Umar bin Abdul Azis berkata :
âSaya tidak senang bila para sahabat Nabi tidak berselisih pendapat, seandainya mereka tidak berselisih (berbeda) pendapat, niscaya tidak ada ruksyah (keringanan) bagi kitaâ.
4. Saling bertoleransi terhadap perbedaan pendapat masalah furuâ yang ijtihadi.
5. Tidak ada toleransi pada perbedaan pendapat yang nyeleneh pada masalah ushul (akidah) atau terhadap masalah yang dalilnya sudah qathâi (pasti) dan sharih (jelas).
6. Tidak memaksakan pendapat kepada orang lain.
7. Tidak memastikan dan tidak menolak mentah-mentah dalam masalah-masalah yang ijtihadi.
8. Bersikap moderat (pertengahan), tidak ekstrim berlebih-lebihan.
âJauhkanlah diri kamu dari berlebih-lebihan dalam agama karena orang-orang sebelum kamu hancur hanya disebabkan karena berlebih-lebihan dalam agamaâ. (HR Ahmad, Nasaâi, Ibnu Majah, Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu hibban)
9. Bersikap obyektif dan menelaah perbedaan pendapat diantara para ulama.
10. Menahan diri dari âmenyerangâ kelompok yang berbeda pendapat dalam masalah khilafiah dari : memvonis sesat, fasik, zindiq, mubtadi (pelaku bidâah) atau mengkafirkan.
11. Lebih memprioritaskan masalah yang lebih utama yang dihadapi umat daripada sekedar berkutat pada masalah ikhtilaf, seperti :
a. Ketinggalan science dan teknologi umat islam dibanding barat yang non muslim.
b. Kemiskinan dan kebodohan umat.
c. Kezaliman dan kesewenang-wenangang politik
d. Perang pemikiran (ghazwul fikri) yang menarik umat kearah materialistis, sekuleristis, hedonis.
e. Degradasi moral dan spiritual.
f. Zionisme dan Kolonialisme negeri negei Islam.
12. Menjauhi taqlid buta dan fanatisme
a. Mewajibkan taqlid pada salah satu mazhab atau kelompok tertentu.
b. Meneriakkan selogan bebas mazhab / tidak ber mazhab (dari empat mazhab yang sudah ada) tapi menjadikan imam yang lain sebagai mazhab ke lima.
c. Melarang taqlid pada ulama-ulama masa lalu tapi ber taqlid penuh pada ulama masa sekarang.
d. Merasa kelompoknya paling benar, paling super mendekati makshum yang bebas dari kesalahan.
e. Berperasangka baik kepada orang lain.
f. Adanya kemungkinan pluraritas kebenaran.
13. Tidak menyakiti orang yang berbeda pendapat.
14. Berdialog dengan cara yang baik dan ilmiah.
15. Menjauhi perdebatan sengit.
XV. Fikih Kotemporer
DR. Yusuf Qaradhawi, seorang ulama suni kotemporer, hufadz (hafal Al-Qurâan), dikenal moderat, matang dalam fiqih dan berwawasan luas, beliau pernah mendapat gelar âThe Man of The Yearâ dari pemerintah Uni Emirat Arab dalam bukunya âKebangkitan Gerakan Islam Dari Masa Transisi Menuju Kematanganâ menuliskan pemikirannya yang sangat menarik, penting dan perlu diketahui untuk menambah kematangan kita dalam memahami khazanah dan fenomena pemahaman beragama dalam masa kotemporer sekarang ini yaitu point-point menuju kematangan kebangkitan Islam yaitu :
1. Dari formalitas menuju hakikat.
Aspek lahir syariat : shalat, puasa, zakat haji, âhafalâ ayat dan teks hadits, hafal teori-teori theologi : sifat 20, asmaul husna, dsb itu semua adalah aspek formal yang penting, tapi jauh lebih penting adalah mengamalkan aspek hakikatnya, yaitu : menghambakan diri kepada Allah, tulus menolong sesama, rendah hati, menjauhi rasa sombong-tinggi hati.
2. Dari Simbol menuju substansi.
Memanjangkan jenggot, memakai baju gamis, memakai jilbab, memakai peci, memendekkan celana diatas mata kaki, membawa kayu siwak, dsb itu semua adalah simbol yang penting, tapi jauh lebih penting adalah memegangi substansinya yaitu : tauhid dalam akidah, ikhlas dalam ibadah, tulus menolong sesama, amanat dalam muamalah, adil dalam memutuskan, kasih sayang dalam pergaulan, berperasaan dalam etika, dsb.
3. Dari pembicaraan menuju amal
Ceramah, wejangan, obrolan itu adalah sebatas pembicaraan maka mengamalkannya itu jauh lebih penting.
4. Dari polemik-perdebatan menuju berlomba dalam kebaikan.
Diskusi, seminar, adu argumentasi, beradu dalil, mengunggulkan pendapat sendiri, melemahkan pendapat orang lain, itu semua termasuk polemik maka berlomba dalam kebaikan amal (fastabiqul khoirot) : mengamalkan ilmu yang sudah diketahui, membangun sarana pendidikan, menyantuni fakir-miskin, ber infaq untuk yayasan yayasan amal, riset penelitian ilmiah, itu semua jauh lebih penting.
5. Dari sentimentil menuju ilmiah
Mengedepankan aspek bangsa, ras, suku, golongan, kelompok, mazhab itu adalah aspek sentimen, maka mengutamakan kebenaran, dalil dan argumen itu adalah sikap ilmiah.
6. Dari emosional menuju rasional
Memusuhi kelompok yang berbeda, bersikap agresif-ofensif menyerang, itu adalah sikap emosional, maka menerima kebenaran dari kelompok lain dan
7. Dari ekstrim menuju moderat
Ciri sikap ekstrim berlebihan :
a. Tidak mengakui pendapat lain.
b. Memaksakan pendapat.
c. Keras bukan pada tempatnya (pada masalah furuâ yang ijtihadi).
d. Kasar, menyakiti.
e. Buruk sangka.
f. Memvonis orang lain sesat, mubtadi, fasik, kafir.
g. Liberalis.
h. Literalis.
i. Suka men-generalisir, tanpa memilih dan memilah.
Ciri-ciri sikap moderat adalah pertengahan :
a. Antara mengikuti mazhab dan non mazhab (memilih pendapat yang terbaik).
b. Antara pengikut tasawuf dan yang menentang tasawuf.
c. Antara rasionalis dan literalis.
d. Antara yang mengabaikan politik dan yang semata mata berkutat dalam politik.
e. Antara yang terburu-buru memertik buah sebelum matang dan yang terlalu lamban memetik buah hingga dipetik orang lain.
f. Antara kelompok idealis yang tidak melihat realita dan kelompok realis yang tidak percaya akan ide â ide.
8. Dari menyulitkan menuju kemudahan.
Tidak mau mengambil ruksyah, mudah mengharamkan, memperluas konsep bidâah dhalalah yaitu berpendapat seolah semua perkara baru yang tidak ada di jaman Nabi adalah bidâah dhalalah, sehingga seolah-olah hidup sekarang ini adalah penuh dengan sekumpulan larangan, itu semua adalah pandangan yang menyulitkan.
Padahal Allah berfirman :
âDia (Allah) tidak menghendaki adanya kesulitan bagimuâ. (QS Al Baqarah : 185).
âDia tidak menjadikan kesukaran dalam agama atas diri kalianâ. (QS Al Hajj : 78).
Hadits Nabi :
âAgama yang disukai Allah adalah agama yang mudahâ. (HR Bukhari, Ahmad, Thabrani)
âSesungguhnya Allah menyukai kalau ruksyah (keringanan)-Nya diambil, sebagaimana Dia suka dipenuhi azimah (ketentuan hukum asal bila tidak ada uzur) Nyaâ. (HR Ibnu Hibban, para pentaqiq tidak ada yang mendhaifkannya)
9. Dari jumud menuju ijtihad.
Hanya memegangi makna literal teks dalil yang masih dzanni, tidak mau mempertimbangkan maqashid syariâah, illat hukum, kondisi sosial dan perkembangan jaman dan sikap taqlid kepada pendapat ulama tertentu menyebabkan sikap jumud (beku), maka diperlukan sarana yang mecairkannya demi kemaslahatan umat yaitu menggalakkan kembali api ijtihad.
10. Dari taklid menuju ittibaâ.
Sikap taklid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui argumen-argumennya, sedangkan ittibaâ adalah mengetahui argumen-argumen para imam dan memilih mana yang paling baik.
11. Dari fanatisme menuju toleransi.
Ciri sikap fanatik :
a. Menganggap dirinya paling benar.
b. Menganggap semua yang lain pasti salah.
c. Keras pada masalah furuâ yang ijtihadi
d. Tidak mau meninggalkan perkara yang sunnah untuk menjaga solidaritas.
e. Tidak mau menerima pendapat lain yang lebih kuat.
Ciri sikap toleran :
a. Tidak merasa yang paling benar.
b. Mau menerima kemungkinan kebenaran ada pada orang lain.
c. Tidak bersikap keras pada masalah furuâ yang ijtihadi.
d. Mau meninggalkan perkara sunnah untuk menjaga solidaritas persamaan.
e. Mau menerima pendapat orang lain yang ternyata lebih kuat.
12. Dari eksklusifisme menuju inklusifisme.
13. Dari keberingasan menuju kasih sayang.
14. Dari perpecahan menuju persatuan.
15. Dari perselisihan menuju solidaritas.
I. Pengertian Ilmu Fiqih
Firman Allah dalam QS At Taubah [9] : 123;
âMaka apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber âtafaqquhâ (memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan kaumnya bila mereka kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas perintah dan larangan Allah).â
Hadits Nabi :
âBarangsiapa dikehendaki oleh Allah akan diberikannya kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan kepadanya âke-faqih-anâ (memahami fiqih) dalam urusan agama.â (HR. Bukhari-Muslim).
Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili).
Produk ilmu fiqih adalah âfiqihâ. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu âUshul Fiqihâ.
II. Perkembangan Ilmu Fiqih
A. Masa Nabi
Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang makshum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau menerima wahyu dari Allah serta semua perbuatan, ucapan, taqrir dan himmahnya adalah kebenaran yang menjadi hukum dan diikuti oleh umatnya.
Dalam masa Nabi wahyu Al-Qurâan masih terus turun susul-menyusul. Wahyu yang turun kadang-kadang merupakan jawaban atau solusi masalah yang sedang terjadi pada diri Nabi dan para sahabatnya.
Dalam urusan duniawi, peperangan, siasat politik, muamalah dan yang semacamnya kadang Nabi juga bermusyawarah dengan para sahabat, terkadang juga Nabi menerima usulan dan masukan dari para sahabat, bahkan kadang Nabi meninggalkan pendapatnya sendiri.
Pada peristiwa perang Badar, Rasulullah memerintahkan pasukan Islam untuk mengambil posisi di suatu tempat, tetapi perintah Nabi itu disanggah oleh salah seorang sahabat yang mengusulkan agar pasukan kaum Muslimin mengambil posisi didepan sumber mata air dan ternnyata usulan itu diterima dan dilaksanakan oleh Nabi.
Beberapa penduduk Madinah ada yang berusaha mengawinkan pohon kurma untuk memperoleh buah yang lebih banyak. Melihat itu Nabi melarang mereka mengawinkan serbuk sari pohon kurma, maka penduduk Madinah mentaati larangan Rasulullah tersebut. Ternyata pada tahun itu pohon-pohon kurma tidak menghasilkan buah. Lalu Nabi mengijinkan lagi mengawinkan serbuk sari pohon kurma, seraya bersabda
âKamu lebih mengetahui urusan duniamuâ.
Pada waktu perang Khaibar para sahabat menyalakan api dibawah periuk. Melihat itu kemudian Nabi bertanya : âApa yang sedang kalian masak dalam periuk itu ? â Sahabat menjawab : âDaging keledai jinakâ. Nabi kemudian berkata : âBuang isi perikuk itu dan pecahkan periuknyaâ. Salah seorang sahabat berdiri dan berkata : âBagaimana kalau kami membuang isinya dan kami mencuci periuknya ?â Nabi menjawab : âSeperti itupun bolehâ.
Jadi dalam hal-hal yang bukan merupakan esensi pokok-pokok syariat agama, keputusan Nabi tidaklah otoriter, masih mempertimbangkan musyawarah dan kemaslahatan.
Para sahabat Nabi terkadang juga melakukan perbuatan âijtihad pribadiâ maka tindakan mereka itu ada yang disetujui Nabi, disalahkan kemudian Nabi memberitahukan yang benar atau Nabi memberi komentar terhadap ijtihad para sahabatnya. Terkadang diantara para sahabat Nabi terjadi perbedaan pendapat mengenai suatu masalah, maka merekapun datang kepada Nabi dan menanyakan masalah tersebut maka Nabi memberitahukan hukumnya. Contohnya adalah sebagai berikut :
1. Dalam perang Zatu al Salasil (perang musim dingin) âAmr bin Ash mengalami mimpi junub. Akan tetapi âAmr bin Ash takut mandi karena hawanya sangat dingin, kemudian ia hanya ber tayamum dan melakukan shalat subuh. Disaat ijtihad âAmr bin Ash itu sampai kepada Nabi, maka beliau bertanya kepada âAmr bin Ash : â(Benarkah) kamu shalat bersama sahabat kamu,sedangkan kamu berada dalam keadaan junub ?â maka âAmr bin Ash menjawab : âAku mendengar Allah berfirman :
âDan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada dirimu.â (QS An-Nisa : 29)
Mendengar jawaban itu Nabi hanya tersenyum dan tidak memberi komentar apa-apa. Hal itu merupakan taqrir beliau yang menunjukkan persetujuannya.
1. Dalam suatu perjalanan, Umar bin Khattab dan âAmmar bin Yasir sama-sama dalam keadaan junub. Pada saat itu mereka tidak mendapatkan air untuk mandi besar, sementara waktu shalat telah tiba. âAmmar ber-ijtihad dengan meng qiyas kan air dengan debu, maka âAmmar berguling-guling diatas tanah. Sementara Umar bin Khattab tidak ber tayamum yang menurutnya hanya menghilangkan hadas kecil dan memilih untuk menunda shalat.
Maka tatkala keduanya melaporkan apa yang mereka lakukan, Nabi menyatakan bahwa kedua ijtihad itu keliru. Nabi mengatakan bahwa yang benar adalah mereka cukup dengan tayamum biasa tanpa harus berguling-guling ke tanah dan tayamum itu juga bisa menghilangkan hadas besar dalam keadaan darurat.
1. Bani Quraidhah adalah orang-orang Yahudi penduduk Madinah yang terikat perjanjian persekutuan dengan kaum Muslimin untuk saling membantu bila Madinah diserang musuh. Pada saat perang Ahzab (Khondaq), Yahudi Bani Quraidhah melakukan pengkhianatan berusaha membantu musuh yang mengepung kota Madinah. Setelah kaum pengepung diporak-porandakan oleh badai gurun yang dahsyat dan peperangan pun selesai, Allah memerintahkan Nabi mengepung Bani Quraidhah. Untuk itu nabi bersabda : âJangan ada diantara kalian yang melakukan shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhahâ. Sekelompok sahabat Nabi memahami sabda Nabi tersebut berdasarkan mantuq (makna lahirnya) maka mereka bergegas pergi dan bahkan menunda shalat ashar. Sebagian sahabat yang lain memahami sabda Nabi diatas berdasarkan mafhum (makna tersirat) yaitu boleh melakukan shalat Ashar tepat waktu, baru setelah itu harus segera bergegas menuju ke perkampungan Bani Quraidhah. Ternyata Nabi membenarkan kedua pemahaman tersebut.
Jadi pada masa Nabi semua masalah dan perbedaan pendapat dapat diketahui hukumnya yang seharusnya berdasarkan keputusan akhir dari Nabi yang masih ada ditengah-tengah para sahabat.
B. Masa Khulafaur Rasyidin
Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah tersebut. Bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.
Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Madinah, maka kesepakatan para sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar ini menjadi Ijmaâ yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan sebagian sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing-masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama dan mujtahid dari generasi tabiâin dan tabiâit-tabiâin.
Pada masa Khalifah Ali bin Abu Thalib bahkan beliau memindahkan pusat pemerintahannya dari Madinah ke Kufah. Pada masa pemerintahan Ali pula mulai terjadi perang pertumpahan darah diantara sesama kaum Muslimin, yaitu perang Jamal, perang Shiffin dan perang Nahrawand.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kebijaksanaan dan keputusan hukum Khulafaur Rasyidin dapat dijadikan hujjah, berdasarkan Hadits Nabi :
âIkutilah jejak dua orang sepeninggalku, (yaitu)Abu Bakar dan Umar.â (HR Tirmidzi, Thabarani, Hakim)
âMaka bahwasanya siapa yang hidup (lama) diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi hidayah.â (HR. Abu Dawud).
Disamping empat orang Khulafaur Rasyidin, para fuqaha sahabat besar juga ada yang dikenal sebagai mufti dan memberi fatwa hukum. Perkataan sahabat (qaul sahabi) yang tidak disandarkan berasal dari Nabi disebut hadits mauquf.
Sahabat Nabi adalah generasi Islam yang terbaik. Mereka diridhoi oleh Allah pada beberapa ayat Al-Qurâan dan diridhoi oleh Nabi dalam beberapa hadits.
Firman Allah dalam QS At-Taubah : 100 :
âOrang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.â
Hadits Nabi :
âSaya adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.â
Para Sahabat itu para murid yang ditarbiyah (dididik) langsung oleh Nabi. Mereka mengetahui latar belakang turunnya ayat Al-Qurâan (asbabun nuzul), mengetahui latar belakang timbulnya hadits (asbabul wurud), terbukti jihadnya, lebih bersih hatinya, lurus manhajnya dan paling besar jasanya kepada Islam. Maka pendapat sahabat itu sangat layak untuk dijadikan rujukan dan diikuti.
Diantara Fukaha (ahli Fiqih) Sahabat besar selain empat orang Khulafaur Rasyidin yang dikenal banyak memberi fatwa adalah :
1. Abdullah Ibnu Abbas, mengembangkan perguruannya di Mekkah.
2. Abdullah Ibnu Masâud, mengembangkan perguruannya di Kufah.
3. Abdullah Ibnu Umar, mengembangkan perguruannya di Madinah.
4. Abdullah bin âAmr bin Ash, mengembangkan perguruannya di Mesir.
5. Muadz bin Jabal, mengembangkan perguruannya di Damaskus (Syria).
6. Zaid bin Tsabit, mengembangkan perguruannya di Madinah.
7. Aisyah, Ummul Mukminin
8. Abu Hurairah, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi.
9. Abu Dardaâ, mengembangkan perguruannya di Basrah.
10. Abu Musa Al-Asyâari, mengembangkan perguruannya di Basrah.
11. Ubay bin Kaâab, pernah menjadi Hakim Khalifah Umar di Basrah.
Karakteristik Ijtihad masa Sahabat :
1. Dengan musyawarah diantara ahlul hal wal aqd, yaitu para Khalifah (penguasa) dan para fuqaha (ahli fiqih) sahabat besar.
2. Patuh dan tidak menyelisihi keputusan Amir.
3. Tidak berfatwa untuk sesuatu yang belum terjadi.
Atsar dari Masruq yang bertanya kepada Ubay bin Kaâab tentang sesuatu hal, maka Ubay bin Kaâab menjawab :
âApakah hal itu telah terjadi ?â Aku menjawab : âBelumâ. Ia mengatakan : âKita tangguhkan (tunggu) sampai hal itu terjadi. Apabila hal itu telah terjadi, kami akan berijtihad untuk kamu dengan pendapat kamiâ.
4. Toleran
Ath-Thabari meriwayatkan atsar bahwa Umar bin Khattab bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang mempunyai kasus, lalu Umar bertanya padanya : âApa yang engkau perbuat ?â Orang itu menjawab : âAku dihukumi demikian, oleh Ali dan Zaidâ. Umar berkata : âKalau aku, tentu aku akan menghukumi demikianâ. Lelaki itu berkata : âApa yang menghalangimu, sedangkan urusan itu ada padamu ?â Umar menjawab : âKalau aku mengembalikanmu kepada Kitabullah dan Sunnah, tentu aku lakukan. Tetapi aku mengembalikanmu pada raâyu (ijtihad akal), sedangkan raâyu itu musytarak (lebih dari satu pendapat) dan aku tidak tahu pendapat mana yang benar menurut Allah. Maka tidak kurang nilainya apa yang dikatakan oleh Ali dan Zaidâ.
5. Menjauhi pembahasan ayat-ayat Mutasyabih. Khalifah Umar bin Khatab pernah mencambuk orang yang suka membahas ayat-ayat mutasyabih.
C. Masa Tabiâin
Para tabiâin adalah murid-murid langsung dari para sahabat Nabi. Pada masa tabiâin mereka melakukan dua peranan penting, yaitu :
1. Mengumpulkan riwayat hadits dan fatwa sahabat.
2. Ber ijtihad untuk masalah-masalah yang belum diketahui pendapat dari sahabat.
Para tabiâin di tiap-tiap kota mengembangkan ijtihadnya berdasarkan pengajaran dan methode guru mereka masing-masing dari kalangan sahabat Nabi.
Mufti dan Fuqaha di Madinah
1. Said bin Al Musayyab
2. Urwah bin Zubair
3. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq
4. Kharijah bin Zaid bin Tsabit
5. Abu Bakar bin Abdurrahman
6. Sulaiman bin Yasar
7. Ubaidillah bin Abdullah
Mufti dan Fuqaha di Mekkah :
1. Athaâ bin Abi Rabah
2. Thawus bin Kisan
3. Mujahid bin Jabar
4. Ubaid bin Umar
5. Amru bin Dinar
6. Ikrimah maula Ibnu Abbas
Mufti dan Fuqaha di Basrah :
1. Amru bin Salamah
2. Abu Maryam al-Hanafy
3. Kaâab bin Sud
4. Hasan Al Basri
5. Muhammad bin Sirin
6. Muslim bin Yasar
Mufti dan Fuqaha di Kufah :
1. Alqamah bin Qais An-Nakhaiy
2. Masruq bin Al Ajda; Al Hamdany
3. Syuraih al Qadhy
4. Abdullah bin Utbah bin Masâud al-Qadly.
5. Rabiâ bin Khutsam.
Mufti dan Fuqaha di Mesir :
1. Yazid bin Abi Habib
2. Bakir bin Abdillah
3. Amru bin Al-Harits
Mufti dan Fuqaha di Yaman :
1. Mutharrif bin Mazin al-Qadly.
2. Abdul Raziq bin Hamman
3. Hisyam bin Yusuf
4. Muhammad bin Tsur
5. Samak bin Al-Fadhl
Mufti dan Fuqaha di Baghdad :
1. Abu âUbaid Al-Qasim bin Salam
2. Abu Tsur Ibrahim bin Khalid al Kalby
Mufti dan Fuqaha di Andalusia :
1. Yahya bin Yahya
2. Abdul Malik bin Habib
3. Baqi bin Makhlad
4. Qasim bin Muhammad
5. Maslamah bin Abdul Aziz Al Qadly
Fuqaha Tujuh (Fuqaha al-sabâah)
Mereka adalah para tabiâin yang dikenal sebagai imam ahli Fiqih (Fuqaha), yaitu :
1. Said bin Al-Musayyab (15 â 93 H), menantu sahabat Nabi Abu Hurairah. Ahli hadits, paling mengetahui keputusan hukum Abu Bakar dan Umar, guru Ibnu Syihab Az Zuhry.
2. âUrwah bin Zubair (wafar 94 H), keponakan Aisyah Ummul Mukminin.
3. Abu Bakar bin âUbaid bin Al Harits bin Hisyam Al Makzumi (wafat 94 H).
4. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq (wafat 94 H).
5. âUbaidillah bin Utbah bin Abdullah bin Masâud (wafat 99 H), guru Umar bin Abdul Azis.
6. Sulaiman bin Yasar (34-100 H), meriwayatkan hadits dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah.
7. Kharijah bin Zaid bin Tsabit, ahli fiqih dan menguasai ilmu faraidh (warisan).
D. Masa Tabiât Tabiâin dan Imam Mazhab.
Mufti dan Fuqaha di Mekkah :
Di mekkah terdapat Muslim bin Khalid Al Zanji, Saâid bin Salim Al-Qadah, Abdullah bin Zubair al Humaidy, Musa bin Abi Jarud dan Muhammad bin Idris Asy Syafiâi.
Mufti dan Fuqaha di Madinah :
Ibnu Sihab Az Zuhri, Abdurrahman bin Hurmuz, Malik bin Anas.
Mufti dan Fuqaha di Basrah :
Abdul Wahab bin Majid Ats Tsaqafy, Said bin abi âArubah, Hammad bin Salamah, Maâmar bin Rasyid.
Mufti dan Fuqaha di Kufah :
Ibnu Abi Layla, Abdullah bin Syubramah, Syarikh Al Qadly, Sufyan Tsauri, Muhammad Al Hasan Asy Syaibany, Abu Yusuf Al Qadly, Abu Hanifah
Mufti dan Fuqaha di Baghdad :
Abu Tsur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi.
Mufti dan Fuqaha di Syam
Yahya bin Hamzah Al Qadly, âAmru Abdurrahman bin âAmru Al Auzay, Abu Ishaq Al Farazy Ibnu Mubarak.
Mufti dan Fuqaha di Mesir :
Abdullah bin Wahbin, Al Muzny, Ibnu Abdul hakam, Muhammad bin Idris Asy Syafiâi.
Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Nama lengkapnya adalah Imam Abu Hanifah Nuâman bin Tsabit, lahir tahun 80 H di kota Kufah pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah. Beliau lebih populer dipanggil Abu Hanifah. Kakeknya seorang Persia beragama Majusi. Hanifah dalam bahasa Iraq berarti tinta. Ini karena beliau banyak menulis dan memberi fatwa.
Abu Hanifah pada mulanya adalah seorang pedagang yang sering pulang-pergi ke pasar. Hingga suatu ketika beliau bertemu dengan Syaâbi yang melihat bakat kecerdasan Abu Hanifah dan menyarankannya agar banyak menemui ulama mempelajari agama. Nasehat Syabiâ berkesan di hati Abu Hanifah, kemudian beliaupun banyak berguru kepada para ulama.
Imam Abu Hanifah mendapatkan hadits dari Athaâ bin Abi Rabah, Abu Ishaq As SyubaâI, Muhib bin Disar, Haitam bin Hubaib Al Sarraf, Muhammad bin Mukandar, Nafi Maula Abdullah bin Umar, Hisyam bin urwah dan Samak bin Harb. Beliau mempelajari Fiqih dari Hammad bin Sulaiman, mempelajari qiraat dari Imam âAshim (salah satu qurraâ tujuh). Beliau seorang hafidz (hafal Al-Qurâan), pada bulan Ramadhan mengkhatamkan Al-Qurâan 60 kali.
Imam Syafiâi berkata : âSemua kaum muslimin berhutang budi pada Abu Hanifah, Imam Abu Hanifah itu bapak dan para ahli Fiqih itu anak-anaknya.â
Imam Malik berkata : âSubhanallah, saya tidak pernah melihat orang seperti dia, andaikan dia mengatakan bahwa tiang ini terbuat dari emas, tentu ia akan dapat membuktikannya melalui Qiyasnya.â
Mengenai metode Ijtihadnya, Imam Abu Hanifah pernah berkata : âSaya mengambil Kitabullah (Al-Qurâan) jika saya mendapatkannya. Hal yang tidak saya jumpai dalam Al-Qurâan akan saya ambil dari Sunnayh Rasulullah SAW, dari riwayat yang shahih dan populer dikalangan orang-orang kepercayaan. Jika saya tidak mendapatkannya dalam Al-Qurâan dan Sunnah, saya akan mengambil fatwa para sahabatnya sesuka saya dan membiarkan yang lain. Setelah itu saya tidak akan keluar dalam fatwa selain mereka. Jika telah sampai kepada Ibrahim, Syaâbi, Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan lainnya, maka saya ber-ijtihad sebagaimana mereka juga ber-ijtihad.
Fudail bin Iyadh mengatakan : âJika ada masalah didasarkan pada hadits yang shahih sampai kepada Abu Hanifah, pasti dia akan mengikutinya. Begitu juga dari sahabat dan tabiâin. Kalau tidak, dia akan menggunakan qiyas dengan cara yang sangat baikâ.
Al-Dabussi dalam kitab Taâsis al-Nazhar menyebutkan : âAbu Hanifah suka pada kebebasan berpikir. Ia seringkali memberikan kepada sahabat dan murid-muridnya untuk mengajukan keberatan-kebaratan atas ijtihadnya. Imam Abu Hanifah dalam mempelajari suatu masalah menukik dalam sampai ke akar permasalahan. Beliau memahami inti hakikat (lubb al-haqaâiq), memahami isi dan misi yang terdapat dibelakang nash-nash itu dalam bentuk illat-illat dan hukum-hukum.â
Imam Abu Hanifah berkata : âPerumpamaan orang yang mempelajari hadits, sedangkan ia tidak memahami, sama halnya dengan apoteker yang mengumpulkan obat, sementara ia tak tahu persis untuk apa obat itu digunakan, akhrinya dokter datangâŠ.demikianlah kedudukan penuntut hadits yang tidak mengenal wajah haditsnya, sehingga hadirnya fiqihâ.
Imam Abu hanifah dikenal teguh hati dan kokoh dalam pendirian. Beliau pernah mengalami dua kali masa ujian. Pertama pada masa pemerintahan Marwan bin Muhammad (Khalifah terakhir Bani Umayyah), Ibnu Hubairah (gubernur Iraq) menunjuk Imam Abu Hanifah menjadi qadly, namun pengangkatan itu ditolak oleh Imam Abu Hanifah. Maka Imam Abu Hanifah dipukul sampai empat belas kali sebagai hukuman karena dianggap tidak mendukung pemerintahan Bani Umayyah.
Ujian kedua dialami pada masa pemerintahan Abu Jaâfar Al Manshur dinasti Abbasyah. Kasusnya hampir sama, karena Imam Abu Hanifah menolak diangkat menjadi Qadly oleh Khalifah Al Manshur. Beliau dipenjara dan disiksa dalam penjara.
Beliau juga dicurigai mendukung gerakan kaum Alawiyin yang dituduh berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Akhirnya Imam Abu Hanifah meninggal karena diracun dalam penjara. Pada tahun 150 H, bersamaan dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah, lahir Imam Syafiâi.
Metode Ijtihad Imam Abu Hanifah :
1. Al-Qurâan
2. Hadits dari riwayat kepercayaan.
3. Ijmaâ
4. Fatwa Shabat
5. Qiyas
6. Istihsan (keluar dari qiyas umum karena ada alasan yang lebih kuat).
7. Urf (kebiasaan yang baik dalam tata-pergaulan, muamalah dikalangan manusia)
Imam Abu Hanifah adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar kodifikasi ilmu Fiqih, pemikiran-pemikiran beliau kemudian ditulis dan dibukukan oleh sahabat sekaligus murid-muridnya seperti Abu Yusuf Al Qadhy dan Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani.
Fiqih mazhab Hanafi mewakili aliran Kufah, menggunakan porsi raâyu (Qiyas) lebih banyak dibandingkan aliran Hijaz yang lebih banyak menggunakan hadits/atsar.
Kitab-kitab kumpulan fatwa mazhab Hanafi :
Tentang Masailul Ushul :
1. Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Al Hasan.
2. Al-Jamiâus Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
3. Al-Jamiâul Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
4. As-Sairus Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
5. AS-Sairus Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
6. Az-Zidayat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
7. Al-Kafi, karya : Abdul Fadhaâ Hammad bin Ahmad.
8. Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Muhammad bin Sahl.
Tentang Masailul Nawadhir :
1. Dhahirur Riwayah, karya : Muhammad bin Al Hasan.
2. Haruniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
3. Jurjaniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
4. Kisaniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
5. Al-Mujarrad, karya : Hasan bin Ziad.
Tentang Fatwa wal Waqiâat :
1. An Nawazil, karya : Abdul Laits As Samarqandi.
Tentang Akidah dan Ilmu Kalam :
1. Fiqhul Akbar, diriwayatkan oleh Abi Muthiâ Al Hakam.
Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Nama lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amir al-Asbahi al Madani. Beliau dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Sejak muda beliau sudah hafal Al-Qurâan dan sudah nampak minatnya dalam ilmu agama.
Imam Malik belajar hadits kepada Rabiâah, Abdurrahman bin Hurmuz, Az-Zuhry, Nafiâ Maula Ibnu Umar. Belajar Fiqih kepada Said bin Al Musayyab, Urwah bin Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq, Abu Salamah, Hamid dan Salim secara bergiliran. Belajar qiraat kepada Nafiâ bin Abu Nuâman.
Ibnu Al-Kasim berkata : âPenderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian rupa, sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya, kemudian di jual kepasarâ.
Imam malik sangat memulikan ilmu dan menghormati hadits Nabi. Imam Malik tidak mau mempelajari hadits dalam keadaan berdiri. Beliau juga tidak mau menaiki kuda di kota Madinah karena beliau malu berkuda diatas kota yang dibawah tanahnya ada makam Rasulullah SAW.
Ibnu Abdu Al-Hakam mengatakan : â Malik sudah memberikan fatwa bersama-sama dengan gurunya Yahya bin Saâad, Rabiah dan Nafiâ, meskipun usianya baru berusia 17 tahun. Beliau dikenal jujur dalam periwayatannya.
Abu Dawud mengatakan : âHadits yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafiâ dari Ibnu Umar. Sesudah itu adalah hadits dari Malik dari Az Zuhry dari Salim dari ayahnya. Beriktnya adalah hadits dari Malik dari Abu Zanad dari âAraj dari Abu Hurairah. Hadits mursal Malik lebih shahih dari pada hadits mursal Said bin Al Musayyab atau Hasan Al Basri.â
Sufyan mengatakan : âJika Malik sudah mengatakan âbalaghnyâ telah sampai kepadaku, niscaya isnad hadits tersebut kuatâ.
Imam Syafiâi mengatakan : âJika engkau mendengar suatu hadits dari Imam Malik, maka ambillah hadits itu dan percayalahâ.
Imam Malik juga dikenal sangat hati-hati dalam masalah hukum halal-haram. Imam Abdurrahman bin Mahdy meriwayatkan : âKami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada beliau lalu berkata : âDari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan kepada engkauâ. Imam Malik berkata : âBertanyalahâ. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau dan beliau hanya menjawab : âaku tidak memandangnya baikâ. Orang itu terus mendesak karena menginginkan Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya, âBagaimana nanti kalau kau ditanya orang di kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang kepada mereka ?â Imam Malik berkata : âKatakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas mengatakan tidak menganggapnya baikâ. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash yang tegas mengharamkannya.
Imam Malik dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Tentang penguasaannya dalam hadits, beliau sendiri pernah mengatakan : âAku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000 haditsâ. Beliau mengarang kitab hadits Al-Muwattaâ, merupakan kitab hadits tertua yang sampai kepada kita.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Jaâfar Al Manshur beliau pernah memberi fatwa bahwa âakad orang yang dipaksa itu tidak syahâ. Fatwa ini tidak disukai oleh pemerintah karena bisa membawa konsekuensi juga bahwa baiat kepada penguasa karena terpaksa adalah juga tidak syah dan itu dianggap membahayakan kekuasaan Bani Abbas.
Gubernur Madinah, Jaâfar bin Sulaiman memerintahkan agar Imam Malik mencabut fatwanya, namun Imam Malik menolak. Akibatnya gubernur memukulnya sampai 80 kali sampai tulang belikatnya retak dan mengaraknya diatas kuda keliling kota Madinah. Sejak itu namanya bukannya menjadi cemar, justru makin melambung dan harum dimata umat.
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau meminta Imam Malik agar datang ke Baghdad dan mengajarkan Al Muwattaâ untuk keluarga istana, maka Imam Malik berkata , â Ilmu itu didatangi bukan sebaliknyaâ. Akhirnya Khalifah Harun Al Rasyid bersama dua anaknya Al Maâmun dan Al Amin datang ke Madinah untuk belajar kitab Al Muwattaâ.
Khalifah Harun Al Rasyid pernah berkata : âAku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwattaâ sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qurâanâ. Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Kemudian Imam Malik pun mengarang kitab kumpulan fatwa-fatwa sahabat, yaitu : Syadaâid Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan) dan Shawazh Abdullah Ibnu Masâud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Masâud).
Metode Ijtihad Imam Malik bin Anas :
1. Al-Qurâan
2. Hadits (termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk Madinah).
3. Ijmaâ
4. Atsar yang diamalkan penduduk Madinah.
5. Qiyas
6. Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena alasan mencari maslahat)
7. Perkataan Sahabat.
Bila dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah (aliran Kufah), mazhab Imam Malik mewakili aliran Hijaz lebih banyak berdasarkan hadits dan atsar, lebih sedikit menggunakan porsi dengan raâyu (Qiyas).
Kitab Kitab Mazhab Maliki :
1. Kitab Hadits, Al Muwattaâ.
2. Syadaâid Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras)
3. Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan)
4. Shawazh Abdullah Ibnu Masâud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Masâud).
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafiâi (150-204 H)
Seorang pemuda Quraisy yang nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada Abdu Manaf, kakek generasi keempat diatas Rasulullah. Beliau lahir di Ghaza, Palestina (riwayat lain lahir di Asqalan, perbatasan dengan Mesir) pada tahun 150 H, pada tahun yang sama dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah. Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi serba kekurangan (miskin).
Beliau dikenal sebagai murid yang sangat cerdas. Pada usia tujuh tahun sudah dapat menghafal Al-Qurâan. Kemudian beliau pergi ke kampung Bani Huzail untuk mempelajari sastra Arab dari Bani Huzail yang dikenal halus bahasanya. Sampai suatu ketika beliau bertemu dengan Muslim bin Khalid Az Zanji yang menyarankan agar beliau mempelajari fiqih.
Imam Syafiâi kemudian berguru kepada Imam Muslim bin Khalid Az Zanji (mufti Mekkah). Pada usia 10 tahun Imam SyafiâI sudah hafal kitab Al-Muwattaâ karya imam Malik. Pada usia 13 tahun bacaan Al-Qurâan imam Syafiâi yang sangat merdu mampu membuat pendengarnya menangis tersedu-sedu. Pada usia 15 tahun beliau diijinkan oelh gurunya untuk memberi fatwa di Masjidil Haram.
Ketika berumur 20 tahun Imam Syafiâi ingin berguru langsung kepada Imam Malik bin Anas, pengarang kitab Al Muwattaâ di Madinah. Niat itu didukung oleh gurunya dan didukung juga oleh gubernur Mekkah yang membuatkan surat pengantar untuk gubernur Madinah meminta dukungan bagi keperluan Imam Syafiâi dalam belajar kepada Imam Malik di Madinah.
Dengan diantar gubernur Madinah, Imam Syafiâi mendatangi rumah Imam Malik. Mula-mula Imam Malik kurang suka dengan adanya surat pengantar dalam urusan menuntut ilmu. Tapi setelah pemuda Syafiâi bicara dan mengemukakan keinginannya yang kuat untuk belajar, apalagi setelah mengetahui bahwa pemuda Syafiâi telah hafal Al-Qurâan dan hafal kitab Al Muwattaâ karangannya, maka Imam Malik menjadi kagum dan akhrinya menerimanya menjadi muridnya.
Imam Syafiâi kemudian menjadi murid kesayangannya dan tinggal di rumah Imam Malik. Imam Syafiâi juga dipercaya mewakili Imam Malik membacakan kitab Al-Muwattaâ kepada jamaah pengajian Imam Malik. Sekitar satu tahun Imam Syafiâi tinggal bersama Imam Malik bin Anas, hingga akhirnya Imam Syafiâi ingin pergi ke Irak, untuk mempelajari fiqih dari penduduk Irak, yaitu murid-murid Imam Abu Hanifah. Imam Malik pun mengijinkan dan memberikan uang saku sebesar 50 dinar.
Sesampai di Irak, imam Syafiâi menjadi tamu Imam Muhammad Al Hasan (murid Abu Imam Abu Hanifah). Beliau banyak berdiskusi dan mempelajari kitab-kitab mazhab Hanafi yang dikarang oleh Muhammad Al Hasan dan Abu Yusuf. Setelah sekitar dua tahun berdiam di Irak, Imam Syafiâi meneruskan pengembaraan ke Persia, Anatolia, Hirah, Palestina, Ramlah. Di setiap kota yang dikunjungi Imam Syafiâi mengunjungi ulama-ulama setempat, melakukan diskusi mempelajari ilmu dari mereka dan mempelajari adat-istiadat budaya setempat. Setelah bermukim 2 tahun di Irak dan 2 tahun mengembara berkeliling ke negeri negeri Islam akhirnya Imam Syafiâi kembali ke Madinah dan disambut penuh haru oleh gurunya yaitu Imam Malik bin Anas. Kemudian Imam Syafiâi selama empat tahun lebih tinggal di rumah Imam Malik dan membantu gurunya dalam mengajar, sampai meninggalnya Imam Malik pada tahun 179 H.
Sepeninggal Imam Malik, ketika itu beliau berusia 29 tahun, maka tidak ada lagi orang yang membantu keperluan beliau. Atas pertolongan Allah pada tahun itu juga datang wali negeri Yaman ke Madinah yang mengetahui bahwa Imam Malik bin Anas telah wafat dan mengetahui tentang salah seorang muridnya yang cerdas dan ahli yaitu Imam Syafiâi. Wali Negeri Yaman mengajak Imam Syafiâi ikut ke Yaman untuk menjadi sekertaris dan penulis istimewanya. Di Yaman beliau menikah dengan Hamidah binti Nafi (cucu Usman bin Affan) dan dikaruniai seorang putra dan dua orang putri.
Di Yaman Imam Syafiâi juga masih terus belajar, terutama kepada Imam Yahya bin Hasan. Disana beliau juga banyak mempelajari ilmu firasat yang pada saat itu sedang marak dipelajari.
Pada waktu itu Yaman merupakan salah satu pusat pergerakan kaum Alawiyin yang berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Berdasarkan laporan mata-mata Khalifah maka beberapa tokoh orang-orang Alawiyin dan termasuk juga Imam Syafiâi ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diinterogasi oleh Khalifah Harun Al Rasyid.
Setelah diinterogasi dan berdialog dengan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau dibebaskan dari segala tuduhan, sedangkan semua orang-orang Alawiyin dibunuh oleh Khalifah. Setelah bebas dibebaskan, Imam Syafiâi sempat beberapa lama tinggal di Baghdad dan menuliskan fatwa-fatwa qaul qadim (pendapat lama) nya. Selama di Baghdad ini pula pemuda Ahmad bin Hanbal berguru kepada beliau mempelajari fiqih.
Pada sekitar tahun 200 H, Abbas bin Abdullah diangkat menjadi gubernur Mesir. Gubernur Mesir yang baru tersebut mengajak Imam Syafiâi ikut ke Mesir untuk dijadikan Qadly sekaligus mufti di Mesir. Maka akhirnya Imam SyafiâI tinggal di Mesir bersama sang Gubernur.
Setibanya di Mesir, Imam Laits bin Saâad mufti Mesir telah meninggal, maka beliau mempelajari fiqih Imam Laits melalui murid-muridnya. Di Mesir inilah beliau menuliskan fatwa-fatwa qaul jadid (pendapat baru) nya. Imam Syafiâi terus mengajar dan menjadi mufti, memberikan fatwa-fatwa di Masjid âAmr bin Ash sampai wafatnya.
Metode Ijtihad Imam Syafiâi :
1. Al-Qurâan
2. Hadis
3. Ijmaâ
4. Qiyas
5. Istidlal
Imam Syafiâi adalah orang pertama yang menyusun sistematika, perumus dan yang mengkodifikasikan ilamu Ushul Fiqih, melalui kitabnya Ar Risalah. Beliau menerangkan cara-cara istinbath (pengambilan hukum) dari Al-Qurâan dan Hadist, menerangkan mukashis nash yang mujmal, menerangkan cara mengkompromikan dan men tarjih nash-nash yang secara zahirnya saling bertentangan, menerangkan kehujahan Ijmaâ, qiyas dsb. Imam Syafiâi Juga melakukan penilaian terhadap metode ihtihsan Imam Abu Hanifah, metode maslahah mursalah dan praktek penduduk Madinah yang dipakai oleh Imam Malik.
Kitab-kitab mazhab Syafiâi :
1. Ar Risalah, kitab pertama yang menguraikan tentang ilmu Ushul Fiqih.
2. Al âUm (kitab induk), berisi pembahasan berbagai masalah fiqih.
3. Jamiâul Ilmi.
4. Ibthalul-Istihsan, berisi penilaian terhadap metode Istihsan.
5. Ar-Raddu âala Muhammad ibn Hasan, berisi mudhabarah, diskusi dan bantahan terhadap pendapat Muhammad ibn Hasan, murid utama Imam Abu Hanifah.
6. Siyarul Auzaây, berisi pembelaan terhadap Imam Al-Auzaây.
7. Mukhtaliful Hadits, berisi cara mengkompromikan hadits-hadits yang secara zahir saling bertentangan.
8. Musnad Imam Syafiâi, berisi kumpulan hadits yang diterima dan diriwayatkan oleh Imam Syafiâi.
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Lahir di kota Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya meninggal ketika beliau masih anak-anak dan kemudian dibesarkan dan diasuh oleh ibunya. Kota Baghdad pada waktu itu merupakan ibukota Kekhalifahan Bani Abbas dan merupakan gudangnya para ulama dan ilmuwan. Imam Ahmad bin Hanbal banyak berguru pada ulama-ulama di kota kelahirannya tersebut.
Ketika berumur 16 tahun, pemuda Ahmad bin Hanbal pergi mengembara menuntut ilmu, terutama berburu hadits-hadits Nabi sampai ke Kufah, Basrah, Syria, Yaman, Mekkah dan Madinah.
Mengenai gurunya ada puluhan orang yang semuanya adalah ulama-ulama dalam berbagai bidang ilmu. Diantara gurunya adalah Sufyan bin Uyainah, Abu Yusuf Al Qadhy dan Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafiâi.
Imam Hanbali dikenal sangat gemar dan bersemangat menuntut ilmu, berburu hadits, ahli ibadah, waraâ dan zuhud. Imam Abu Zuârah mengatakan : âImam Ahmad bin Hanbal hafal lebih dari 1.000.000 (satu juta) haditsâ. Sementara anaknya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan : âAyahku telah menuliskan 10.000.000 hadits banyaknya dan tidaklah beliau mencatatnya hitam diatas putih, melainkan telah dihafalnya diluar kepalaâ.
Ketika pemerintahan ada ditangan Khalifah Al Maâmun, saat itu kaum Muâtazilah berhasil mempengaruhi Khalifah untuk mendukung pemikiran mereka dan mempropagandakan pendapat bahwa Al-Qurâan adalah mahkluk. Kaum Muâtazilah yang didukung penuh oleh Khalifah Al-Maâmun memaksakan pendapat itu kepada seluruh rakyat.
Para Ulama yang tidak sependapat ditangkap dan diinterogasi ke istana. Hampir semua ulama tidak berani menentang karena takut dihukum berat. Satu-satunya ulama yang tetap istiqomah menentang pendapat bahwa Al-Qurâan adalah makhluk hanyalah Imam Ahmad bin Hanbal. Akibatnya beliau disiksa, dipukuli dan hampir saja dibunuh. Rupanya Allah menyelamatkan beliau karena tiba-tiba Khalifah Al Maâmun meninggal secara mendadak di Tharsus, sehingga eksekusi hukuman mati kepada Imam Ahmad bin Hanbal tidak sampai dilaksanakan.
Sepeninggal Al Maâmun, dua orang Khalifah penggantinya yaitu Al Muntashir dan Al-Watsiq masih meneruskan kebijaksanaan mendukung kaum Muâtazilah dan progandanya bahwa Al-Qurâan adalah makhluk. Selama itu Imam Ahmad bin Hanbal hidup dalam persembunyian dan mengasingkan diri.
Setelah Al-Watsiq, yang naik tahta adalah Khalifah Al-Mutawakil. Pada masa Al-Mutawakil inilah propaganda bahwa Al-Qurâan adalah makhluk dihentikan sama sekali. Bahkan Khalifah menangkapi dan menghukum ulama-ulama Muâtazilah yang dahulu menjadi pelopor utama propaganda kemakhlukan Al-Qurâan.
Khalifah Al Mutawakil sangat menghormati dan memuliakan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau dijadikan penasehat resmi istana, dan Khalifah mendukung penuh ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal dan para ahli hadits.
Metode Ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal :
1. Al-Qurâan
2. Hadits
3. Ijmaâ Sahabat
4. Fatwa Sahabat
5. Atsar Tabiâin
6. Hadits Mursal / Dhaif
7. Qiyas
Metode istinbath Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak menyandarkan pada hadits dan atsar dari pada menggunakan raâyu (ijtihad). Beliau lebih menyukai berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah furuâiyah daripada menggunakan Qiyas.
Kitab-kitab mazhab Hanbali :
1. Tafsir Al-Qurâan.
2. Musnad Imam Ahmad, sebuah kitab kumpulan hadits yang tebal.
3. Kitab Nasikh wal Mansukh.
4. AL Muqaddam wal Muakhkhar fil Qurâan.
5. Jawabatul Qurâan.
6. Kitab At Tarikh.
7. Al Manasikul Kabir.
8. Al Manasikus Saghir.
9. Thaâatur Rasul.
10. Al-âIllah.
11. Kitab Zuhud.
12. Kitab Ash Shalah.
III. Ijtihad
Ijtihad adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan (istinbath) hukum syaraâ dari sumbernya (Al-Qurâan dan Hadits).
A. Aliran Hadits / Atsar
Para ulama hijaz (Mekkah-Madinah) yang dipelopori oleh Said Al Musayyab dalam ber ijtihad lebih banyak bersandar kepada hadits dan atsar sahabat. Kelompok Hijaz ini banyak jarang menggunakan raâyu (qiyas) dalam metode ijtihadnya, dengan latar belakang sebagai berikut :
1. Penduduk Hijaz mewarisi kekayaan hadits dan atsar dari para Sahabat Nabi yang banyak tinggal di Hijaz, seperti ketetapan Abu Bakar, Umar, Usman, juga fatwa-fatwa dari : Zaid bin Tsabit, Aisyah dan riwayat dari Abu Hurairah, Abu Said Al Kudry, dll.
2. Negeri Hijaz yang berada di pedalaman semenanjung Arabia, relatif tidak banyak mengalami dinamika perubahan sosial.
3. Banyaknya Hadits dan atsar yang mereka terima dan ditunjang oleh dinamika sosial yang lebih statis menyebabkan mereka kurang menggunakan daya analisis. Ulama Hijaz lebih mencukupkan diri dengan memegangi teks-literalis nash.
4. Mengikuti guru mereka, yaitu Abdullah bin Umar yang sangat tergantung pada hadits dan atsar dan sangat hati-hati dalam menggunakan raâyu (qiyas).
B. Aliran Raâyu
Setelah terbunuhnya Khalifah Usman, kemudian berlanjut dengan perang Jamal yang menuntut balas atas darah Usman. Muawiyah tidak mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib sehingga meletus perang Shiffin. Setelah peristiwa tahkim muncul kaum Khawarij dan kelompok Syiah. Kericuhan itu terus berlanjut sampai terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu Bani Umayyah menguasai pemerintahan dengan cara paksa.
Kelompok Khawarij, Syiah dan Bani Umayyah satu sama lain saling bermusuhan dan saling menumpahkan darah. Sejak itu mulai timbul hadits-hadits palsu yang dibuat untuk memperkuat kelompoknya masing-masing. Kelompok Syiah Rafidah yang bermarkas di Kufah dikenal paling banyak membuat Hadits palsu. Dengan latar belakang tersebut selanjutnya para ulama Kufah sangat hati-hati dalam menerima periwayatan hadits.
Para Ulama Kufah (Iraq) yang dipelopori oleh Ibrahim An Nakhay dalam ijtihadnya menggunakan raâyu (qiyas) dengan porsi yang lebih besar daripada ulama Hijaz. Hal itu dilatar belakangi oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Para Sahabat Nabi yang tinggal di Kufah tidak sebanyak yang tinggal di Hijaz, sehingga kekayaan hadits dan atsar yang mereka terima tidak sebanyak yang diterima penduduk Hijaz. Penduduk Kufah menerima hadits dari : Ibnu Masâud, Saâad bin Abi Waqash, Ali bin Abi Thalib, Amar bin Yasir, Abu Musa Al-Asyâari, Mughirah bin Subâah, Anas bin Malik, Hudzaifah bin Al Yaman.
2. Di Kufah mulai marak para pemalsu hadits, terutama dari kelompok Syiah Rafidah, sehingga Ulama Kufah lebih hati-hati dan lebih selektif dalam menerima hadits.
3. Kufah adalah kota yang lebih ramai dibanding Hijaz, berdekatan dengan wilayah Persia yang sebelum memeluk agama Islam, penduduknya sudah mempunyai peradaban dan cara berpikir yang maju (rasional). Disamping itu di Kufah merupakan pusat pergerakan kaum Syiah dan Khawarij. Jadi di Kufah mengalami dinamika perubahan sosial yang lebih tinggi yang menuntut pemikiran daripada sekedar mengandalkan teks hadits yang diterima dari riwayat sahabat di masa Nabi.
4. Menurut Ulama Kufah hukum syariat memiliki makna logis, mencakup seluruh kemaslahatan umat, didasarkan pada pokok-pokok yang muhkam (jelas dan dapat dipahami) dan mengandung alasan-alasan yang tepat bagi hukum. Mereka berusaha meneliti alasan-alasan dari setiap penetapan hukum dan menggali hikmah yang terkandung didalamnya (qarinah dan maqashid syariâah), serta menjadikan hukum itu sejalan dengan himah yang didapat. Kadang-kadang mereka menolak sebagian hadits ahad karena dianggap bertentangan dengan hikmah persyaratannya. Apalagi bila mereka mendapatkan hadits/atsar yang bertentangan dengan hikmah pen syariâatannya.
5. Ulama Kufah mengikuti metode ijtihad guru mereka dari sahabat Nabi Abdullah bin Masâud yang dikenal mengikuti Umar bin Khattab yang banyak menggunakan daya analitis memperhatikan qarinah, maqashid syariâah dan pertimbangan kemaslahatan.
Gambaran perbedaan paham antara ahli qiyas dan ahli hadits :
Pada suatu hari Rabiâah (ahli qiyas) bertanya kepada Said Al Musayyab (ahli hadits) tentang diyat (denda) anak jari perempuan yang terpotong :
Rabiâah :âBerapa diyat terhadap sebuah anak jari orang perempuan ?â
Said Al Musayyab: â10 ekor ontaâ.
Rabiâah : Jika dua anak jari ?â
Said Al Musayyab : â20 ekor ontaâ
Rabiâah : âJika tiga anak jari ?â
Said Al Musayyab :â30 ekor ontaâ.
Rabiâah : âJika empat anak jari ?â
Said Al Musayyab : â20 ekor ontaâ
Rabiâah : âApakah makin banyak jari yang terpotong, semakin besar diyatnya ?â
Said Al Musayyab : âApakah anda bermazhab ulama Iraq ? itulah sunnah saya telah terangkanâ.
Demikianlah ahli hadits hanya menerima mentah-mentah teks hadits, sedangkan ahli raâyu tidak begitu saja menerima teks hadits yang tidak diketahui illlat-illat hukumnya atau yang tidak logis menurut akal. Bagaimana diyat empat anak jari malah turun menjadi 20 ekor, padahal diyat satu anak jari sampai tigak anak jari naik terus dari 10 sampai 30 ekor.
Pada suatu hari Al Auzaâi bertemu dengan Abu Hanifah di Mekkah, kemudian Al Auzaâi bertanya kepada Abu Hanifah :
Al Auzaâi : âMengapa tuan tidak mengangkat tangan ketika rukuâ dan Iâtidal ?â
Abu Hanifah : âKarena tidak ada hadits yang shahih dari Rasulâ.
Al Auzaâi : âAz Zuhri telah meriwayatkan kepada saya dari Salim, dari ayahnya Abdullah bin Umar, dari Rasulullah SAW, bahwasanya Nabi ada mengangkat tangan saat memulai shalat, saat rukuâ dan ketika Iâtidalâ.
Abu Hanifah : âTelah diriwayatkan kepada kami oleh Hammad bin Sulaiman dari Alqamah dari Al Aswad dari Ibnu Masâud bahwa Rasulullah tidak mengangkat tangan selain dari saat memulai shalat sajaâ.
Al Auzaâi : âSaya kemukakan penilaian tentang Az Zuhri dan anda kemukakan penilaian tentang Hammadâ.
Abu Hanifah : âHammad lebih pandai dalam urusan fiqih daripada Az Zuhri. Ibrahim lebih pandai dari Salim, Alqamah tidak kurang derajadnya daripada Abdullah, walaupun seorang Shahabiâ.
Mendengar jawaban itu, Al Auzaâi pun minta diri. Dari situ tampak bagaimana Abu hanifah sebagai tokoh ahli qiyas lebih mengutamakan kefaqihan perawi daripada ketinggian sanad.
Demikianlah beberapa contoh perbedaan paham antara ahli hadits dan ahli raâyu.
C. Aliran zahiri
Dipelopori oleh Daud bin Ali Al-Zhahiri (202-268 H), yang hanya memegangi makna zhahir (tekstualis-literalis) nash Al-Qurâan dan Hadits tanpa mau memegangi makna lainnya.
Kalau digambarkan secara kualitatif metode para imam mazhab dalam menggunakan metode istinbath Hadist-tekstualis dan Qiyas-rasionalis kurang lebih seperti dibawah ini :
Hadits Qiyas
Tekstualis Daud bin Ali (Zahiri) - Hanbali â Maliki â Syafiâi - Hanafi Rasionalis
D. Sumber Perbedaan Pendapat
Bagi yang sudah membaca Ushul Tafsir dan Ilmu Hadits disitu ada beberapa ulasan tentang Al-Qurâan dan Hadits yang diantaranya menjadi sumber perbedaan pendapat diantara para ulama Mujtahid. Sumber perbedaan pendapat didalam Fiqih :
1. Perbedaan memahami Al-Qurâan
A. Adanya ayat-ayat yang musytarak (lebih dari dua arti).
B. Adanya ayat-ayat yang masih mujmal (global).
C. Adanya ayat-ayat yang âAm (umum)
D. Adanya perbedaan penafsiran cakupan lafazh.
E. Adanya perbedaan penafsiran makna hakiki-majasi.
F. Adanya perbedaan pendapat penggunaan mafhum.
G. Perbedaan pendapat memahami ayat perintah dan larangan.
2. Perbedaan Memahami Hadits
A. Perbedaan penilaian kesahihan sebuah hadits ahad.
B. Perbedaan penilaian ke-tsiqoh-an seorang rawi.
C. Perbedaan sampainya hadits kepada para Mujtahid.
D. Perbedaan penafsiran matan (redaksi) suatu hadits.
E. Perbedaan penerimaan hadits dhaif sebagai hujjah.
F. Perbedaan perimaan hadits yang ada mukhtalif (pertentangan) dengan qiyas dan atau illat syariâah
3. Perbedaan Metode Ijtihad.
A. Imam Abu Hanifah :
a. Berpegang pada dalalatul Qurâan
i. Menolak mafhum mukhalafah
ii. Lafz umum itu statusnya Qatâi selama belum ditakshiskan
iii. Qiraat Syazzah (bacaan Qurâan yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
b. Berpegang pada hadis Nabi
i. Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh)
ii. Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya
c. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
d. Berpegang pada Qiyas
i. mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
e. Berpegang pada istihsan (keluar dari Qiyas umum karena ada sebab khusus yang lebih kuat).
B. Imam Malik
a. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
i. zhahir Nash
ii. menerima mafhum mukhalafah
b. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah
c. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis ahad)
d. Qaul shahabi
e. Qiyas
f. Istihsan
g. Mashlahah al-Mursalah (mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh beliau membolehkan intimidasi dalam penyidikan tersangka kejahatan untuk mendapatkan pengakuannya).
C. Imam Syafiâi
a. Qurâan dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qurâan dan Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafiâi digelari âNashirus Sunnahâ. Konsekuensinya, menurut Syafiâi, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qurâan dalam kasus tertentu)
b. Ijmaâ
c. hadis ahad (jadi, Imam Syafiâi lebih mendahulukan ijmaâ daripada hadis ahad)
d. Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafiâi mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)
e. Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya
D. Imam Ahmad bin Hanbal
a. An-Nushush (yaitu Qurâan dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafiâi yang tidak menaruh Hadis dibawah al-Qurâan)
menolak ijmaâ yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafiâi)
menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)
b. Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)
c. Ijmaâ
d. Hadis dhaif
e. Qiyas
IV. Pembagian Pembahasan Fiqih
Ibnu Rusyd dalam kitabnya âBidayatul Mujtahidâ membagi pembahasan fiqih sebagai berikut :
1. Bagian Ibadah.
1.1. Kitab Taharah
1.1.1. Taharah dari hadas
1.1.2. Taharah dari najis
1.2. Kitab Kitab Shalat
1.3. Kitab Janazah
1.4. Kitab Zakat
1.5. Kitab Zakat Fitrah
1.6. Kitab Shiyam (puasa)
1.7. Kitab Iâtikaf
1.8. Kitab Haji
1.9. Kitab Jihad
1.10. Kitab Aiman (sumpah)
1.11. Kitab Nadar
1.12. Kitab Qurban
1.13. Kitab Sembelihan
1.14. Kitab Berburu
1.15. Kitab Aqiqah
1.16. Kitab makanan dan minuman yang haram
2. Bagian Munakahat
2.1. Kitab Nikah
2.2. Kitab Talak
2.3. Kitab Ilaâ (sumpah talak)
2.4. Kitab Dhihar
2.5. Kitab Liâan (mengatakan punggung istrinya sama dengan punggung ibunya)
2.6. Kitab Hadlanah (yang berhak memelihara anak)
2.7. Kitab Radlaâi (penyusuan anak)
2.8. Kitab Nafkah
2.9. Kitab Nasab
2.10. Kitab Ihdad (berkabung)
3. Bagian Muamalat Madaniyah
3.1. Kitab Buyuâ (jual beli)
3.2. Kitab Sharfi (jual beli perhiasan)
3.3. Kitab Salam (jual beli pesanan)
3.4. Kitab Khiyar (pilihan untuk meneruskan atau membatalkan transaksi)
3.5. Baiâil Murabahah (penjualan yang ditentukan jumlah keuntungannya oleh penjual)
3.6. Kitab Baiâil Ariyah (memberikan pohon untuk dimakan buahnya)
3.7. Kitab Irat (sewa-menyewa)
3.8. Kitab Juâli (upah bagi yang menemukan barang yang hilang)
3.9. Kitab Qiradli (berdua laba)
3.10. Kitab Musaqah (paroh hasil merawat kebun)
3.11. Kitab Syarikah (berdua saham)
3.12. Kitab Syufâah
3.13. Kitab Qismah (pembagian)
3.14. Kitab Ruhun (gadai)
3.15. Kitab Al Hajr (orang yang dilarang bertindak sendiri)
3.16. Kitab Taflis (orang pailit)
3.17. Kitab Shulhi (kesepakatan damai dari persengketaan)
3.18. Kitab Jaminan dan Tanggungan
3.19. Kitab Hawalah (pemindahan hutang)
3.20. Kitab Wakalah (memberi kuasa)
3.21. Kitab Luqathah (barang temuan)
3.22. Kitab Wadiâah (menitipkan barang)
3.23. Kitab âAriyah (peminjaman barang)
3.24. Kitab Ghasbi (penyerobotan hak milik orang lain)
3.25. Kitab Ishtihqaq (memperoleh kembali haknya)
3.26. Kitab hibah
3.27. Kitab Washaya
3.28. Kitab Faraidl (warisan)
3.29. Kitab âItqi (memerdekakan budak)
3.30. Kitab Kitabah (menebus diri dari perbudakan)
3.31. Kitab Tadbir (kemerdekaan budak setelah tuannya meninggal)
3.32. Kitab Umahatil Aulad (budak yang dijadikan ibu anaknya)
4. Bagian Inayat wa Uqubat (pidana)
4.1. Kitab Qisas (pembunuhan dan melukai)
4.2. Kitab Jarahi (qisas, diat, pembebasan tuntutan)
4.3. Kitab Diyat (denda pembunuhan)
4.4. Kitab Qasamah (sumpah penduduk yang ditemukan mayat di kampungnya)
4.5. Kitab Zina
4.6. Kitab Qadzaf (tukas)
4.7. Kitab Khamr
4.8. Kitab Sariqah (pencurian)
4.9. Kitab Hirabah (perampokan, penjarahan, perusuh)
5. Bagian Peradilan
5.1. Kitab Aqdliyah (kehakiman)
5.2. Kitab Syahadah (kesaksian dan sumpah menolak tuduhan)
V. Mujtahid, Mufti dan Hakim
A. Jenis Mujtahid
1. Mujtahid Mutlaq : yaitu para Khulafaur Rasyidin, yang sudah ada garansi dan rekomendasi dari Rasul untuk diikuti oleh umat.
2. Mujtahid Mustaqil : yaitu para imam mazhab fiqih yang muktabar.
3. Mujtahid fil Mazhab : yaitu lebih banyak mengikuti salah satu imam mazhab tapi dalam beberapa masalah pokok berbeda pendapat dengan imamnya. Contohnya Abu Yusuf, Muhamad Al Hasan dari mazhab hanafi, Al Muzany dari mazhab Syafiâi.
4. Mujtahid fil Masaâil : yaitu mempunyai ijtihad sendiri dalam beberapa masalah cabang, bukan pada masalah pokok, seperti At Tahawi dalam mazhab Hanafi, Al Ghazali dalam mazhab SyafiâI, Al Khiraqi dalam mazhab Hanbali.
5. Mujtahid Muqaiyad : yaitu tidak mengeluarkan ijtihad sendiri, kecuali terhadap masalah-masalah yang belum dibahas oleh imam mazhab sebelumnya. Mujtahid ini mengetahui seluk-beluk dan argumen para imam mazhab, mampu men tarjih mana yang lebih kuat dan lebih utama dari pendapat imam mazhab yang berbeda-beda. Contohnya Al Karakhi, Al Qaduri dalam mazhab Hanafi, Ar Rafiâ dan An Nawawi dalam mazhab Syafiâi.
B. Syarat-syarat Mujtahid
1. Akidahnya benar.
2. Bersih dari hawa nafsu.
3. Mengetahui bahasa arab dengan segala cabangnya, seperti : nahwu (gramatika), sharaf (konyugasi), balagah (retorika), maâani, bayan (kejelasan) dan badiâ (efektifitas bicara), mengetahui irab (fungsi kata dalam kalimat), tasrif (konyugasi), masdar (kata dasar), musytaq (bentuk kata turunan), serta mengetahui syair-syair Arab lampau yang terkenal untuk mengetahui arti kata-kata sulit yang jarang digunakan.
Mujahid berkata : âTidak diperkenankan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berbicara tentang Kitabullah (menafsirkan) apabila ia tidak mengetahui berbagai dialek bahasa Arabâ.
4. Memahami ilmu Al-Qurâan dan ilmu tafsir.
5. Mengetahui ilmu hadits, atsar sahabat dan tabiâin.
6. Mengetahui Ijmaâ masa Khulafaur Rasyidin.
7. Mengetahui ilmu fikih dan ushul fikih.
8. Pemahaman dan ketelitian yang cermat akan qarinah, dhalalah nash, illat hukum, serta tujuan tasyri sehingga mampu menyimpulkan makna yang sejalan dengan syariat.
C. Mufti dan Hakim
Mufti adalah orang yang memberikan fatwa biasanya tentang hukum fiqih sesuatu masalah, sedangkan hakim adalah orang yang menjatuhkan vonis keputusan hukum terhadap suatu sengketa masalah antara dua pihak yang bersengketa. Keduanya sama sama memutuskan hukum berdasarkan hukum syaraâ.
Sedangkan perbedaan antara mufti dan hakim adalah :
1. Memberi fatwa lebih luas lapangannya daripada menjatuhkan vonis putusan hukum. Fatwa boleh dilakukan oleh orang merdeka, budak, pria, wanita, famili, kerabat, orang asing. Sedangkan vonis putusan hanya diberikan oleh orang merdeka, laki-laki, tidak ada hubungan kerabat dengan yang bersengketa.
2. Putusan hakim mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sedangkan fatwa mufti boleh diterima boleh tidak.
3. Fatwa mufti tidak dapat membatalkan putusan hakim, sedangkan keputusan hakim dapat membatalkan fatwa mufti.
4. Mufti tidak dapat memberi putusan kecuali mufti tersebut juga menjadi hakim sedangkan hakim harus memberikan fatwa apabila telah menjadi suatu keharusan.
5. Hakim sebaiknya tidak memberikan fatwa terhadap masalah-masalah yang mungkin muncul dalam peradilan, karena dikhawatirkan bila hakim memutuskan putusan yang berbeda dengan fatwanya, tentunya itu akan menyulitkan.
Syuraih Al Qadhy pernah berkata :
âSaya memutuskan perkara diantara kamu bukan memberikan fatwaâ.
VI. Ittibaâ dan Taqlid
Ittibaâ adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain dengan mengetahui argumen, dalil-hujjahnya, sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain tanpa mengetahui argumen, dalil-hujjahnya.
Imam Ghazali dalam Al Mustafa mengatakan :
âIttibaâ dalam agama disuruh, sedangkan taqlid dilarangâ.
Hukum Taqlid :
a. Taqlid yang wajib : taqlid kepada Rasulullah, dalam istilah kaum salaf taqlid kepada Rasulullah disebut ittibaâ.
b. Taqlid yang haram :
1. Tidak menghiraukan nash syaraâ semata-mata lantaran mengikuti orang tua, moyang-leluhur.
2. Taqlid kepada seseorang yang belum muktabar diakui apakah punya kompetensi untuk meng istinbath-kan hukum fiqih.
3. Taqlid buta karena fanatik terhadap orang tertentu walaupun ada hujjah dan argumen yang lebih kuat yang bertentangan dengan pendapat orang tersebut.
c. Taqlid yang dibolehkan : mengikuti pendapat ulama mujtahid yang sudah muktabar mempunyai kompetensi meng istinbathkan hukum fiqih, terutama bagi orang awam yang tidak punya kemampuan mengetahui hukum hukum syaraâ secara mendalam.
Periode Taqlid :
1. Periode pertama (pasca masa Imam Mazhab, abad ke-IV H â jatuhnya Baghdad abad ke-VII H),
2. Periode kedua dari abad ke-IV H â abad ke-X H.
3. Periode ketiga dari abad ke-X H sampai masa Muhammad Abduh.
4. Periode keempat dari masa Muhammad Abduh â sekarang.
Dalam masa maraknya masa taqlid tetapi masih ada juga ulama ulama mujtahid yang tetap menghidupkan api ijtihad diantaranya :
1. Izzudin bin Abdis Salam (578-660 H).
2. Ibnu Daqiqil Ied (615-702 H).
3. Ibnu Rifâah (645 â 710 H).
4. Ibnu Taimiyah (661-728 H).
5. Ibnu Qoyyim Al Jauziah (691-751 H).
6. An Nawawi
7. Al Bulqini (724 â 805 H).
8. Ibnu Hajar Atsqolani (773-858 H).
9. Al Asnawi (714-784 H)
10. Al Jalalul Mahalli (791-864 H).
11. Al Jalalus Suyuthi (846 â911 H).
12. Ash Shanâani (abad XII H) pengarang Subulussalam.
13. Asy Syaukani (abad XII H) pengarang Nailul Authar.
14. Muhammad Abduh, dari Al Azhar menerbitkan tabloid Al Manar.
15. Rasyid Ridha.
VII. Ketentuan Hukum (Mahkum Bih)
A. Wajib
Yaitu pekerjaan yang bila tidak dikerjakan mendapatkan dosa.
Hukum wajib terbagi menjadi :
1. Wajib Muthlaq = wajib yang tidak ditentukan dan tidak dibatasi waktunya, contoh : wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh syaraâ.
2. Wajib Muwaqqat = wajib yang ditentukan waktunya, contoh shalat lima waktu, puasa ramadhan.
3. Wajib Muwassaâ = wajib yang diluaskan waktunya, contoh waktu shalat lima waktu, sholat isak dari petang sampai subuh.
4. Wajib Mudhaiyaq = wajib yang sempit waktunya, puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
5. Wajib Dzu Syabahain = wajib muwassaâ sekaligus mudhaiyaq, yaitu waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya ibadah haji.
6. Wajib âain = wajib yang dibebankan kepada setiap individu, tidak dapat diwakilkan oleh atau kepada orang lain.
7. Wjib Kifayai = wajib yang dibebankan kepada sebagian individu, bila sebagian individu sudah menunaikan maka gugur kewajiban individu yang lain, contoh : mengurus jenazah.
8. Wajib Muhaddad = wajib yang ditentukan kadarnya, contoh : zakat.
9. Wajib Ghairu Muhaddad = wajib yang tidak ditentukan kadarnya, contoh : sedekah, wakaf.
10. Wajib Muâaiyin = wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.
11. Wajib Mukhaiyar = wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.
12. Wajib Muaddaa = Wajib yang ditunaikan dalam waktunya adaâan.
13. Wajib Maqdi = wajibn yang ditunaikan sesudah lewat waktunya qadaâan.
14. Wajib Muâaad = wajib yang dikerjakan mengulang karena kurang sempurnanya yang ditunaikan pertama.
B. Sunnat
Yaitu bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.
Pembagian Sunnat :
1. Sunnat Hadyin = sunnat untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, contoh : azan dan jamaâah.
2. Sunnat Zaidah = sunnat yang dikerjakan Nabi dalam urusan adat kebiasaan, contoh : makan, minum, adat, kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.
3. Sunnat Muakkadah = sunnat yang sering dikerjakan Nabi (jarang ditinggalkan), contoh : shalat sunnat rawatib, shalat tahajud.
4. Sunnat Ghairu Muakkadah = sunnat yang kadang ditinggalkan oleh Nabi, contoh : shalat sunnat 4 rakaat sebelum duhur.
C. Mubah
Yaitu sesuatu yang dibolehkan, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Catatan untuk perkara yang mubah :
1. Jangan berlebihan.
2. Jangan membuat perkara baru (bidâah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau tanpa ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana kemaslahatan yang lain.
3. Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
D. Makruh
Yaitu bila dikerjakan tidak dicela, tetapi bila ditinggalkan terpuji.
Pembagian Makruh :
1. Makruh Tanzih = makruh yang tidak dicela bila dikerjakan, tetapi terpuji bila ditinggalkan, contoh : merokok, makan jengkol, shalat di akhir waktu.
2. Makruh Tahrim = makruh yang dekat kepada haram, yaitu haram yang dalilnya belum qathâi (pasti) yaitu dari hadits ahad.
E. Haram
Yaitu bila dikerjakan mendapat dosa, contohnya : meninggalkan shalat lima waktu, makan daging babi.
VIII. Obyek Hukum (Mahkum Fih) dan Subyek Hukum (Mahkum âAlaih)
Obyek hukum dalam fiqih adalah beban pekerjaan kepada para mukallaf (orang dewasa dan berakal sejahtera yang terkenan beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :
a. Mungkin terjadi / bukan yang mustahil terjadi.
b. Sanggup dikerjakan.
c. Dapat dibedakan.
d. Diketahui berdasarkan dalil.
e. Untuk melaksanakan taat (ibadah).
Subyek hukum adalah para mukallaf (orang yang dibebani hukum). Seseorang mendapat beban taklif (beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :
a. Memahami perintah (beban hukum) yang dibebankan kepadanya.
b. Baligh (dewasa).
c. Berakal (sadar dan waras).
Halangan â halangan :
1. Gila
2. Setengah gila
3. Lupa
4. Tidur
5. Pingsan
6. Mabuk
7. Sakit, halangan untuk puasa, shalat dengan berdiri.
8. Haid
9. Nifas
10. Mati
11. Safar (bepergian), halangan untuk wajibnya shalat jumâat
12. Silap (tidak sengaja)
13. Paksaan
14. Hujan, halangan untuk shalat berjamaâah.
15. Tua renta pikun.
IX. Ushul Fiqih
A. Pengertian
Ushul fiqih adalah kaidah kaidah dan metodologi dasar yang digunakan untuk istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya yang berupa dalil-dalil yang tafshili (jelas).
Macam-macam dalil :
A. Dalil naqli (teks) :
1. Al-Qurâan
2. Sunnah (Hadits)
B. Ijmaâ (konsensus)
C. Dalil aqli (akal)
1. Qiyas
2. Istihsan
3. Maslahah Mursalah
4. Dan lain-lain.
Firman Allah dalam QS An Nisaâ [4] : 59
âTaatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.â
âTaatilah Allahâ merujuk kepada Al-Qurâan.
âTaatilah Rasul â merujuk kepada sunnah (hadits)
âdan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamuâ merujuk kepada Ijmaâ (konsensus) ulil-amri.
âKembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nyaâ merujuk kepada Qiyas, maksudnya bandingkanlah dengan yang dekat dan serupa dengan yang telah ada pada Al-Qurâan dan atau Hadits, pelajari qarinah (petunjuk) hikmah syariat didalamnya, dsb.
Firman Allah dalam QS An-Nahl : 44
âDan Kami turunkan kepadamu Al-Qurâan agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir.â
Ayat diatas dengan jelas Allah memerintahkan umat Islam menggunakan akalnya untuk memikirkan Al-Qurâan, yaitu menggunakan segala daya upaya kemampuan berpikir untuk ber ijtihad menyimpulkan hukum fiqih dari ayat-ayat Al-Qurâan yang tersurat (eksplisit-tekstual) maupun yang tersirat (implisit-kontekstual).
Hadits Nabi :
Diriwayatkan dari Muâadz bin Jabal, bahwa Rasulullah tatkala mengutus Muâadz sebagai qadli (hakim) di Yaman, beliau bertanya : âBagaimana kamu akan memutuskan hukum jika menghadapi kasus ? âMuâadz menjawab : âSaya akan memutuskan dengan apa yang ada pada kitab Allah.â Rasulullah bertanya lagi : âjika tidak didapat di Kitab Allah ?â Muâadz menjawab : âMaka aku putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. âRasulullah kembali bertanya : âJika tidak terdapat pada Sunnah Rasulullah ?â Muâadz akhirnya menjawab : â Ajtahidur raâyi Saya akan ber ijtihad dengan akal-pikiran saya, saya tidak putus asa. âMuâadz berkata : âLalu Rasulullah menepuk dadaku, seraya bertahmid : âSegala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasul-nya yang diridhoi oleh-Nya.â â (HR Abu Dawud).
Hadits Muâadz diatas juga menunjukkan ijtihad dengan akal dibolehkan oleh Rasulullah dan diridloi oleh Allah, tapi dengan catatan ijtihad dengan akal baru digunakan bila tidak ditemukan dalil pada Al-Qurâan dan Hadits.
B. Sumber Hukum Pimer
1. Al-Qurâan
Al-Qurâan adalah sumber hukum primer yang pertama, Dalil yang berupa ayat-ayat Al-Qurâan bersifat qathâi (pasti) wurudnya (sumbernya) yaitu berupa khabar yang sampai kepada kita dengan cara yang mutawatir dan dijamin terpelihara penukilannya. Sedangkan dhalalah (petunjuk lafazhnya) ada yang qathâi yaitu yang sharih (jelas) sehingga semua ulama menyepakati maknanya dan ada yang masih menimbulkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan maknanya. (Baca kembali meteri Ushul Tafsir tentang muhkam-mutasyabih, mantuq-mafhum, âam-khas, mutlaq-muayyad, mujmal-mufassar, makna hakikat-majaz-musytarak).
2. Sunnah (Hadits)
Hadits nabi merupakan sumber hukum primer kedua, Peranan Hadits terhadap Al-Qurâan adalah sbb :
1. Memperkuat hukum yang ada di Al-Qurâan.
2. Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qurâan.
3. Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qurâan.
4. Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari Al-Qurâan.
5. Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Qurâan.
6. Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Qurâan.
Hadist nabi yang mutawatir (banyak jalan sanadnya) dan sahih maka dalilnya bersifat Qathâi (pasti) wurudnya (sumbernya). Sedangkan hadits ahad (jalan sanadnya tidak mencapai derajad mutawatir) dan masih diperselisihkan ke sahihannya oleh para ulama hadits maka dalilnya bersifat dzanni (dugaan) wurudnya (Baca kembali meteri Ilmu Hadits tentang mushthalah hadits dan mukhtaliful hadits).
Demikian pula dhalalah (petunjuk lafazh) nya, bila maknanya sharih dan tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama maka qathâi pula dhalalahnya. Tapi bila ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai maknanya maka menjadi dzunni dhalalahnya.
C. Istinbath hukum dari dalil Al-Qurâan dan Hadits
1. Kejelasan makna lafazh
Tingkat kekuatan kejelasan lafazh dalil yang jelas, terdiri atas :
a. Zhahir, paling rendah tingkat kejelasannya. Masih memungkinkan adanya makna lain (ihtimal).
Contoh zhahir seperti pada ayat :
âDan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.â (QS An-Nisaâ : 3).
Dari segi âzhahirâ lafazh ayat membolehkan poligami maksimal sampai empat orang istri dengan syarat harus berlaku adil. Namun lafadz zhahir masih memungkinkan menerima adanya takhshis (pengkhususan), taâwil dan nasakh.
b. Nash, lebih jelas dari zhahir karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal).
Contoh nash seperti pada ayat :
âPerempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.â (QS An-Nur : 2).
Hukum hudud dera seratus kali menunjukkan bilangan yang pasti tidak kurang tidak lebih dari seratus yang tidak menerima kemungkinan jumlah yang lain.
c. Mufassar, lebih jelas dari nash, karena ada dalil yang menafsirkan secara detail lafazh yang sebelumnya masih mujmal (global).
Perhatikan firman Allah :
âLaki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya⊠.â (QS Al-Maidah [3] : 38).
Ayat diatas masih bersifat mujmal (global) yang kemudian datang hadits nabi yang menafsirkannya sehingga menjadi mufassar (ditafsirkan), hadits yang menafsirkan ketentuan potong tangan bagi pencuri adalah :
âtidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian terhadap mayang kurma, tidak pula pencuri buah-buahan.â
âTidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham.â
Demikian juga tidak dilakukan hukum potong tangan bagi prajurit yang mencuri dalam pererangan dan Khalifah Umar menetapkan tidak menerapkan hukum potong tangan pada pencurian ketika musim paceklik dan kelaparan.
Dalil yang mufassar tidak mempunyai kemungkinan makna lain kecuali berupa nasakh.
d. Muhkam, paling jelas karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal) baik itu berupa takhsis, taâwil maupun nasakh, seperti firman Allah :
âDan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.â (QS An-nur : 4).
Demikian juga hadits nabi :
âJihad itu terus menerus sampai hari kiamat.â
Sedangkan lafazh yang tidak jelas maknanya, terdiri atas :
a. Al-Khafi, maknanya tidak jelas pada sebagian pengertian cakupan makna yang dimaksud (maudlul).
Hadits nabi : âOrang yang membunuh itu tidak berhak mendapat warisan.â
Lafazh âqatilâ (pembunuh) dari segi arti maupun sasaran adalah pembunuhan yang sengaja. Maka bagaimana halnya dengan pembunuhan karena tidak sengaja, apakah pembunuh yang tidak sengaja juga tidak berhak mendapat warisan ? Disini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para Imam mazhab.
Contoh lain yaitu lafazh âsariqâ pencuri maka pengertian umumnya adalah orang yang secara sembunyi-sembunyi mengambil harta orang lain yang tersimpan. Maka pencopet (ath-tharar) apakah termasuk katagori pencuri atau bukan, karena pencopet mencuri dengan terang-terangan tidak sembunyi-sembunyi sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Demikian juga pencuri kain kafan (nabbasy) apakah termasuk kategori pencuri (sariq) atau bukan, karena pencuri kain kafan mencuri barang yang bukan milik orang yang hidup dan tentunya juga bukan hak milik si mayat sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Imam Abu Hanifah dan Muhammad Hasan Asy Syaibani tidak memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan dalam katagori pencuri yang harus dihukum potong tangan. Sedangkan Imam Abu Yusuf, Imam Syafiâi, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan termasuk pencuri yang harus dihukum potong tangan.
b. Al-Musykil yaitu lafazh yang maknanya samar karena sebab pada lafazh itu sendiri. Contohnya lafazh yang musytarak (punya lebih dari satu arti). Contohnya kata âain, kata ini mengandung beberapa makna bisa berarti : mata, mata air, esensi zat dan mata-mata (intel). Lafazh musykil harus diperhatikan dalam konteks apa kata itu dirangkai dengan kata yang lain menjadi kalimat dengan pengertian yang tepat dan harus dicari perbandingannya dari dalil-dalil yang lain yang dapat membantu penafsirannya.
c. Mujmal (global) yaitu lafazh yang maknanya mengandung cakupan dan kemungkinan yang luas yang banyak yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui dalil lain yang menjelaskan sehingga yang mujmal tersebut menjadi terjelaskan (mubayyan).
Contohya tentang perintah sholat dan manasik haji, kedua lafazh itu masih mujmal maka dari dalil beberapa hadits yang berupa perkataan dan contoh perbuatan nabi yang menjelaskan detail tata cara sholat dan haji .
d. Mutasyabih yaitu lafazh yang sangat samar maknanya, sangat sulit bahkan ada yang tidak mungkin dipahami maknanya oleh akal ulama sekalipun dan hanya Allah yang tahu maknanya. contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah :
1. Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya atau telah dihapus lafadznya dari mushaf.
2. Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami maksudnya.
Riwayat Abu Ubaid, dari Anas : âKhalifah Umar pernah membaca ayat, âwafakihatan wa abban ⊠Dan buah-buahan dan rumput-rumputanâ (QS Abasa [80] : 31), lalu ia berkata : âKalau buah-buahan ini kami telah mengetahui, tetapi apakah yang dimaksud âal-abâ ?â, kemudian Umar berkata kepada dirinya sendiri : âHai Umar, sesungguhnya apa yang kamu lakukan itu benar-benar suatu perbuatan memaksakan diriâ.
Riwayat lain dari Muhammad bin Saâd dari Anas : âUmar berkata kepada dirinya sendiri : âIni hal yang dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahuiââ.
3. Ayat-ayat tentang Asmaâ Allah dan sifat-sifatNya yang menyerupai sifat mahkluk, contoh : Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Berfirman (Kalam), Maha Hidup, dsb.
4. Ayat-ayat tentang perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan mahkluk, contoh : Allah âbersemayamâ diatas Arsy, Allah âturunâ ke langit dunia, Allah âmelemparâ, dan âdatangâ lah Tuhanmu, dsb
5. Ayat-ayat tentang anggota tubuh Allah, contoh : Segala sesuatu pasti binasa kecuali âwajahNyaâ, âtanganâ Allah diatas tangan mereka, dsb
6. Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat metafisika (ruh, alam jin, alam malaikat, alam kubur, surga-neraka, akhirat).
7. Huruf-huruf hijaiyah pada awal surat (huruf muqattaâah).
Yang perlu diingat bahwa ayat-ayat mengenai taklif (beban kewajiban) dan yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan sendi syariat Islam didalamnya tidak ada yang mutasyabih.
(Baca kembali Ushul Tafsir Point VI tentang Muhkam â Mutasyabih)
2. Petunjuk Lafazh (dhalalah)
A. Mantuq yaitu makna berdasarkan bunyi eksplisit yang tersurat (tekstual)
B. Mafhum yaitu makna berdasarkan pemahaman implisit yang tersurat (kontekstual).
A. Mantuq
Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang lain.
Mantuq terdiri atas 5 (lima) kategori :
1. Nash, ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
âMaka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali,
itulah sepuluh (hari) yang sempurna.â
Penyifatan âsepuluhâ dengan âsempurnaâ telah mematahkan kemungkinan âSepuluhâ ini diartikan lain secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan nash.
2. Zahir, ialah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi zahir itu sama dengan nash dalam hal petunjuk lafazhnya kepada bunyi yang tersurat. Namun dari segi lain ia berbeda dengan nash, karena zahir masih disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 173 âfamanidlthurro ghaira baghi wa la âad.â Lafazh âal-baghâ digunakan untuk makna âal-jahilâ (bodoh, tidak tahu) dan âaz-zalimâ (melampaui batas, zalim). Tetapi pemakaian untuki makna kedua lebih tegas dan populer sehingga makna inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah (marjuh), Juga dalam QS Al-Baqarah [2] : 222 :
âDan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci âŠ.â
Berhenti haid dinamakan âsuciâ (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut âtuhrâ. Namun penunjukan kata âtuhrâ kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir) sehingga itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan kepada makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).
3. Muâawwal, adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Muâawwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan muâawwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat. Misalnya dalam QS rendahkan SAYAP
4. Dalalah istidaâ adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 184 :
âMaka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.â
Ayat ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu âlalu ia berbukaâ, sebab kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu. Sedangkan jika ia tetap berpuasa maka baginya tidak ada kewajiban qada. Contoh yang lain pada QS An-Nisaâ [4] : 23 :
âDiharamkan atas kamu ibu-ibumuâ
Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata âbersenggamaâ, sehingga maknanya yang tepat adalah âdiharamkan atas kamu (bersenggama) dengan ibu-ibumu.â
5. Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat berdasarkan kepada isyarat lafazh. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 187 :
âDihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar⊠â
Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang pagi-pagi hari masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan berc ampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian menuntut atau memaksa kita berpagi dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan âbercampurâ sampai pada bagian waktu terakhir dari malam yang tidak ada lagi kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan juga berpagi dalam keadaan junub.
B. Mafhum
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
Mafhum terdiri atas 2 (dua) jenis :
a. Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan), yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan mantuq, terdiri dari :
1. Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnbya daripada mantuq. Misalnya pada QS Al-Israâ [17] : 23 :
âMaka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan âahâ .â
Ayat ini mengharamkan perkataan âahâ yang tentunya akan menyakiti hati kedua orang tua, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat.
2. Lahnul Khitab, yaitu apabila mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya pada QS An-Nisaâ [4] : 10 :
âSesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya ⊠â
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti : membakar, menyia-nyiakan, merusak, menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.
b. Mafhum Mukhalafah (perbandingan terbalik), yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari mantuq, terdiri dari :
1. Mafhum sifat, yang dimaksud adalah sifat maânawi, contohnya pada QS Al-Hujurat [49] : 6 :
âHai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti ⊠â
Ayat ini memerintahkan bertabayun (memeriksa, meneliti) berita yang dibawa oleh âorang fasikâ. Maka dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) bahwa berita yang dibawa oleh orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa, diteliti. Ini berarti berita dari orang yang adil dan tsiqoh wajib diterima.
2. Mafhum syarat, yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS At-Talaq [65] : 6 :
âDan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah.â
Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) berarti istri yang ditalak tidak sedang dalam keadaan hamil, tidak wajib diberi nafkah.
3. Mafhum gayah (maksimalitas), misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 230 :
âKemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain ⊠â
Dengan pemahaman terbalik, maka bila mantan istri yang sudah ditalak tiga kali kemudian menikah lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal dikawin lagi.
4. Mafhum hasr (pembatasan, hanya), misalnya pada QS Al-Fatihah [1] : 5 :
âHanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan ⊠â
Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak boleh memohon pertolongan kepada selain Allah.
Berhujjah dengan Mafhum :
a. Ulama-ulama Hanafiah, menolak berhujjah dengan mafhum mukhalafah (perbandingan terbalik).
b. Ulama Hanafiyah dan Syafiiyah tidak memakai mafhum laqab.
3. Cakupan Lafazh
A. âAm (umum) â Khas (khusus)
Lafazh âAm (umum)
Adalah lafazh yang maknanya luas meliputi satuan-satuan (juzâiyah) yang relevan dengan cakupan makna itu tanpa batas.
Allah berfirman dalam QS Al-Ankabut [29] : 33 :
âSesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu.â
Berdasarkan keumuman lafazh âkeluargaâ pada firman Allah diatas yang maka Nabi Nuh menagih janji Allah ketika banjir telah melanda dengan memohon kepada Allah agar menyelamatkan anaknya yang termasuk keluarganya, hal itu dapat kita lihat pada QS Hud [11] : 45 :
âDan nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata : âYa Tuhanku, sesungguhnya anakku termasukkeluargaku dan sesungguhnya janji Engkau adalah benar.â
Kemudian Allah menjawab permohonan nabi Nuh tersebut pada ayat lanjutannya, yaitu QS Hud [11] : 46 :
âAllah berfirman, âHai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).â
Jawaban Allah ini mengecualikan anaknya dari keumuman kata âkeluargamuâ yang dijanjikan akan diselamatkan.
Aneka Ragam bentuk âAm :
1. Lafazh man (siapa), ma (apa saja), aina dan mata (kapan); yang terdapat dalam suatu kalimat tanya (istifham) :
2. Lafazh ma (apa saja) dan man (siapa) yang mendapat jaminan balasan, seperti :
a. QS Al-Baqarah [2] : 272 :
âDan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu tidak sedikitpun dianiaya.â
b. QS An-Nisaâ [4] : 123
âBarangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan (sesuai) dengan kejahatan itu.â
3. Lafazh kullun (tiap-tiap) dan jamiâun (seluruh)
a. QS Ali Imran [3] : 185 :
âTiap-tiap yang berjiwa akan mengalami mati.â
b. QS Al-Baqarah [2] : 29 :
âDia lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.â
4. Lafazh ayyun (mana saja) yang terdapat pada kalimat yang bersifat syarat.
Contohnya pada QS Al-Israâ [17] : 110 :
âDengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang baik.â
5. Lafazh yang bersifat nakirah yang terdapat dalam susunan kalimat yang bersifat negatif (nahi) atau dalam susunan larangan (nahi). Contohnya pada QS Al Bawarah [2] : 48 :
a. QS Al-Baqarah [2] : 48 :
âDan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun.â
b. QS Al-Israâ [17] : 23 :
âMaka, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan âahâ dan janganlah kamu membentak mereka.â
6. Lafazh maâsyara, maâasyira, âammah, qatibah dan saâirun :
a. QS Al-Anâam [6] : 130 :
âHai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu Rasul-Rasul Kami dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan ayat-ayat Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini ⊠?â
b. QS At-Taubah [9] : 36 :
âDan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun telah memerangi kamu semuanya.â
7. Isim berbentuk jamaâ yang diawali alif dan lam.
Contohnya pada QS Al-Maâidah [5] : 42 :
âSesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.â
8. Isim yang dinisbatkan (mudhaf)
Contohnya pada QS Ibrahim [14] : 34 :
âDan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya.â
9. Isim-isim yang berfungsi sebagai penyambung (al-maushulah) seperti ladzi, al-lati, al-ladzina, al-lati dan dzu. Contohnya pada QS An-Nisaâ [4] : 10 :
âSesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.â
10. âAmr (perintah) dengan bentuk jamaâ (plural)
Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 43 :
âDan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuâlah beserta orang-orang yang rukuâ â.
Macam-macam penggunaan lafazh âam (umum) :
a. âAm yang tetap dimaksudkan untuk keumumannya, contohnya pada QS Al-Kahfi [18] : 49 :
âDan tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.â
Kata âahadanâ tak seorangpun bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
QS An-Nisaâ [4] : 23 :
âDiharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.â
Kata âummhatâ ibu-ibumu bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
b. âAm tetapi yang dimaksudkan adalah khas (khusus)
Contohnya pada QS Ali âImran [3] : 39 :
âKemudian malaikat memanggilnya (zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyang di mihrab.â
Lafazh malaikat pada ayat diatas adalah umum tapi yang dimaksud adalah khusus, yaitu Jibril.
c. âAm yang mendapat peng-khususan
Contohnya QS Ali-Imran [3] : 97 :
âMengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.â
Ayat itu umum untuk semua manusia, tapi di ayat yang lain ada peng khususan yaitu bagi yang mampu.
Lafazh Khas (khusus) dan Takhsis (pengkhususan)
Khas merupakan kebalikan dari âAm, yaitu lafazh yang hanya mengandung satu satuan (juzâiyah) makna.
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.
Macam-macam Mukhashshis (peng khusus).
1. Mukhashshish Muttashil (peng khusus yang bersambung)
a. Istitsna (pengecualian), contohnya pada QS An-nur [24] : 4-5 :
âDan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat ⊠â
b. Sifat, contohnya pada QS An-Nisaâ [4] : 23 :
â(Dan diharamkan bagi kamu untuk mengawini) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, yaitu istrimu (itu) telah kamu campuri.â
Anak tiri haram dinikahi, yaitu yang ibunya (yang menjadi istri) telah disetubuhi. Bila belum disetubuhi kemudian bercerai, maka anak tiri itu boleh dikawini.
c. Syarat, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 180 :
âDiwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara maâruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.â
Kalimat âjika ia meninggalkan harta yang banyakâ adalah syarat, maka bila seseorang tidak meninggalkan harta yang banyak, maka tidak wajib berwasiat.
d. Batas, contohnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 196 :
âDan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai ditempat penyembelihannya.â
Kalimat âsebelum kurban sampai ditempat penyembelihanâ merupakan batas larangan mencukur rambut kepala saat haji.
e. Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contohnya pada QS Ali-Imran [3] : 97 :
âMelaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.â
2. Mukhashshish Munfashil , yaitu peng khusus yang berada di tempat lain;
a. Ayat Al-Qurâan yang lain.
QS Al-Baqarah [2] : 228 :
âWanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber âiddah) tiga kali quruâ.â
Ayat tersebut bersifat umum, berlaku bagi setiap wanita yang dicerai, baik yang sedang hamil maupun tidak dan yang telah dicampuri. Kemudian ayat ini ditakhsis oleh dua ayat (mukhashshish) yang lain, yaitu :
QS Ath-Thalaq [65] : 4 :
âDan perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu âiddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.â
Mukhashshish kedua, QS Al-Ahzab [33] : 49 :
âApabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka âiddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.â
b. Hadits (men takhsis Al-Qurâan dengan hadits), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 275 :
âDan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.â
Dikecualikan dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut :
âDari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil upah dari persetubuhan binatang jantan dengan binatang yang lain.â (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain disebutkan :
âDari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang) yang akan dikandung oleh yang (sekarang masih) didalam kandungan. Yang demikian itu adalah jual-beli yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli binatang sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta itu beranak dan anak onta itu beranak pula.â (HR Muttafaqun âalaihi).
c. Ijmaâ (men takhsis Al-qurâan dengan Ijmaâ).
Contohnya pada QS An-Nisaâ [4] : 11 :
âAllah mensyariâatkan bgimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.â
Ayat tersebut dikecualikan secara ijmaâ bagi laki-laki yang berstatus budak.
d. Qiyas (men takhsis Al-Qurâan dengan Qiyas)
Contohnya QS An-nur [24] : 2 :
âPerempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.â
Ayat tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi terhadap perempuan yang berstatus budak yang dikecualikan dari ketentuan hukum dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS An-nisaâ [4] : 25 :
âJika mereka mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.â
e. Akal (men takhsis Al-Qurâan dengan akal)
Contohnya pada QS Ar-Raâdu [13] : 6 :
âAllah adalah pencipta segala sesuatu.â
Akal menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diriNya sendiri.
f. Indera (men takhsis Al-Qurâan dengan indera)
Contohnya : QS An-Naml [27] : 23 :
âSesungguhnya aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu, serta mempunyai singgasana yang besar.â
Indera kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita (Ratu Balqis) tidak seperti yang dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.
g. Siyaq (Mentakshis Al-Qurâan dengan siyaq)
Siyaq adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya.
Contohnya takhsis dengan siyaq adalah seperti pada QS Al-Aâraf [7] : 163 :
âDan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat laut âŠ. ?â
Dalam ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang suatu kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksud dengan desa itu adalah penduduknya.
Hukum lafazh âam, khas dan takhsis :
1. Apabila didalam ayat Al-Qurâan terdapat lafazh yang bersifat khas (khusus), maka maknanya dapat menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama tidak terdapat dalil yang mentaâwilkannya dan menghendaki makna lain.
2. Apabila lafazh itu bersifat âam (umum) dan tidak terdapat dalil yang meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib diartikan kepada ke umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi semua satuan yang dicakup makna itu secara mutlak.
3. Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapat dalil yang men takhsis nya, maka lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan makna yang telah dikhususkannya itu dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari cakupan makna yang umum tersebut.
4. Takhsis jenis syarat, ghayah dan sifat tidak dipegangi oleh kelompok yang menolak mafhum.
5. Ulama Hanafiah berpendapat takhsis Al-Qurâan dengan hadits hanya bisa oleh hadits mutawatir.
B. Mujmal (global) â Mubayyan (terjelaskan) â Mufassar (ter-tafsirkan)
Salah satu fungsi hadits adalah sebagai âbayanâ (menjelaskan) lafazh dalam ayat Al-Qurâan yang masih mujmal (global). Dengan adanya penjelasan dari hadits maka lafazh yang mujmal tersebut dapat dipahami maknanya.
Lafazh mujmal adalah lafazh yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran (tafsir).
Untuk memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap lafazh yang mujmal maka tidak ada jalan lain kecuali harus kembali kepada syarâi, karena memang Dia lah yang menjadikannya sebagai lafazh yang mujmal.
Mubayyan adalah lafazh yang sudah dijelaskan dari keglobalannya.
Klasifikasi Mubayyan berdasarkan sumber yang menjelaskannya :
1. Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu nash. Misalnya dalam QS An-Nisaâ [4] : 176, lafazh âkalalahâ adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash;
âMereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, âAllah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jia ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keudanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.â
Kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan :
âKalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak.â
2. Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam satu nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal. Dalam hal ini bisa berupa :
a. Dari ayat Al-Qurâan yang lain, misalnya dalam QS Ali Imran [3] : 7 :
ââŠPadahal tidak ada yang mengetahui taâwilnya kecuali Allah dan orang yang mendalam ilmunya berkata : âKami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kamiâ.
Kalimat âAllah dan orang-orang yang mendalam ilmunyaâ adalah mujmal karena ambigutias huruf wawu, yaitu kata âdanâ. Bisa berkonotasi kata penghubung (âathaf) atau Kata depan permulaan kalimat baru (istiânaf). Jika kata âdanâ dianggap sebagai kata penghubung, maka konotasi kalimat tersebut adalah âhanya Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengetahui takwilnyaâ. Namun, jika kata dan dianggap sebagai permulaan kalimat baru, maka konotasinya adalah âhanya Allah yang mengetahui takwilnyaâ sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya âyang notabene tidak tahu takwilnya- berkata, âkami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihâ. Oleh karena itu, hal ini memerlukan penjelasan. Maka Penjelasannya tidak terdapat dalam satu nash, diantaranya firman Allah pada QS An-Nahl [16] : 89 :
âKami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qurâan) untuk menjelaskan segala sesuatu.â
Ayat ini menunjukkan Al-Qurâan diturunkan sebagai penjelasan segala sesuatu kepada manusia, termasuk ayat-ayat yang mutasyabih. Jadi berdasarkan petunjuk (qarinah) dari ayat ini huruf âdanâ pada QS Ali-Imran [3] : 7 adalah sebagai kata penghubung sehingga konotasinya adalah âyang mengetahui taâwil ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.â. Demikian pendapat kelompok yang berpendapat demikian.
b. Dari Sunnah (hadits), contohnya pada QS Al-Anfal [8] : 60 :
âSiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi ⊠â
Kata âkekuatanâ pada ayat diatas masih mujmal, yang penjelasannya ada datang dari sunnah, yaitu hadits riwayat Muslim dari Uqbah bin Amir :
âSaya mendengar Rasulullah bersabda, -sementara itu beliau masih berada diatas mimbar- âSiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah.â â
Macam-macam bayan (penjelasan) terhadap lafazh mujmal :
1. Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
âTetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.â
Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu.
2. Penjelasan dengan perbuatan (bayan fiâli)
Contohnya Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu : memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji, dsb.
3. Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 :
ââŠdan dirikanlah shalatâŠâ
Perintah mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda : âSholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalatâ (HR Bukhary).
4. Penjelasan dengan tulisan
Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan dikirimkan kepada petugas zakat beliau.
5. Penjelasan dengan isyarat
Contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan hari.
6. Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan
Contohnya seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau meninggalkannya.
7. Penjelasan dengan diam (taqrir).
Yaitu ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau Rasulullah diam tidak menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.
8. Penjelasan dengan semua pen takhsis (yang mengkhususkan).
Mufassar (sudah ditafsirkan)
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada kemungkinan taâwil yang lain baginya.
Apabila datang penjelasan (bayan) dari syarâi terhadap lafazh yang mujmal itu dengan bayan yang sempurna lagi tuntas, maka lafazh yang mujmal tadi menjadi mufassar (ditafsirkan), seperti bayan yang datang secara rinci terhadap lafazh shalat, zakat, haji dan lainnya.
Macam-macam mufassar :
1. Mufassar oleh zatnya sendiri
Yaitu lafazh yang sighat (bentuk) nya sendiri telah menunjukkan dalalah (petunjuk) yang jelas kepada makna yang terinci dan pada lafazh itu terkandung sesuatu yang meniadakan kemungkinan penakwilan terhadap makna yang lainnya. Contohnya pada QS An-nur [24] : 4 :
âMaka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.â
Kata âdelapan puluhâ adalah lafazh mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang.
Contoh lain pada QS At-Taubah [9] : 36 :
âPerangilah orang-orang musyrik itu semuanya.â
Kata âsemuanyaâ itu adalah mufassar.
2. Mufassar oleh lafazh lainnya
Yaitu lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan dari nash yang lain secara pasti dan terurai, sehingga tidak mengandung kemungkinan taâwil lagi untuk makna yang lainnya. Contohnya tentang lafazh : shalat, zakat, shiyam, haji. Kata-kata tersebut masih global (mujmal), kemudian Rasulullah menjelaskan lafazh-lafazh tersebut dengan perbuatan dan perkataan sehingga kita memahami artinya seperti yang sudah kita pahami bersama pengertian dan tata caranya.
C. Mutlaq (tanpa batasan) â Muayyad (dengan batasan)
Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS Al-Mujadalah [58] : 3 :
âDan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak âŠ.â
Lafazh âbudakâ diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir.
Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS An-Nisaâ [4] :92 :
âDan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang budak yang berimanâ
Lafazh âbudakâ diatas dibatasi dengan âyang berimanâ
Macam-macam mutlaq-muqayyad dan hukumnya masing-masing :
1. Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya.
Contohnya, pada QS An-Nisaâ [4] : 11 :
â(Pembagian harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya.â
Wasiat yang dimaksud dalamayat diatas bersifat mutlaq, tidak dibatasi jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan oleh nash hadits yang menegaskan bahwa, âTidak ada wasiat lebih dari sepertiga harta pusaka.â Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi tidak mutlaq lagi dan mesti diartikan dengan âwasiat yang kurang dari batas sepertiga dari harta pusaka.â
2. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
Contohnya pada QS Al-Maidah [5] : 3 :
âDiharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.â
Lafazh âdarahâ pada ayat diatas adalah mutlaq tanpa ada batasan.
Pada QS Al-Anâam [6] : 145 :
âKatakanlah, âTidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.â
Lafazh âdarahâ pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh âyang mengalir.â
Karena ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh âdarahâ yang tersebut pada QS Al-Maidah [5] : 3 yang mutlaq wajib dibawa (diartikan) ke muayyad, yaitu âdarah yang mengalir.â
3. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
a. Sebab sama tapi hukum berbeda : dalam QS An-Nisaâ [4] : 43 :
ââŠ.Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah ituâ
Dalam hal tayamum lafazh (mengusap) tangan adalah mutlaq karena tidak dibatasi.
Namun mengenai wudhu, yaitu dalam QS Al-Maidah [5] : 6 :
âHai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan sikuâŠâ
lafazh â(basuhlah) tanganmu sampai dengan sikuâ adalah muqayyad karena dibatasi sampai dengan siku.
Kedua nash diatas mempunyai sebab yang sama, yaitu âbersuciâ tapi pada segi hukum terjadi perbedaan yaitu : hukum pada QS An-Nisaâ [4] : 43 adalah mengusap tangan, sedangkan hukum pada QS Al-Maidah [5] : 6 adalah membasuh tangan sampai ke siku.
b. Hukum sama tapi sebab berbeda : pada QS At-Thalaq [65] : 2 :
âApabila mereka (istri-istrimu) telah mendekati masa akhir âiddahnya, maka rujukilah kepada mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.â
Lafazh âsaksiâ pada ayat ini mutlaq tidak dibatasi.
Namun pada QS Al-Baqarah [2] : 282 :
âApabila kamu berhutang piutang untuk waktu yang tertentu, maka hendaklah kamu menuliskannya⊠dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki (diantara kamu).â
Lafazh âsaksiâ pada ayat ini muqayyad karena dibatasi dengan âlaki-lakiâ.
Kedua ayat diatas mempunyai persamaan hukum, yaitu âmengadakan dua orang saksiâ. Tetapi pada segi sebab terjadi perbedaan, sebab pada QS At-Thalaq [65] : 2 ialah ârujuk pada istriâ sedangkan sebab pada QS Al-Baqarah [2] : 282 adalah : âhutang-piutangâ.
c. Hukum dan sebab keduanya berbeda : pada QS Al-Maidah [3] : 38 :
âLaki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya⊠.â
Bila dibandingkan dengan QS Al-Maidah [3] : 6 pada point a diatas, maka sebabnya berbeda, pada ayat ini sebabnya pencurian dan hukumya juga berbeda, pada ayat ini tentang potong tangan.
Jadi Hukum lafazh mutlaq - muayyad :
1.
1. Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya)
2. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
3. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
4. Kaidah Makna Kata
a. Makna Hakikat yaitu makna lahir. Pada kalimat âSinga menerkam rusa pada lehernytaâ maka kata âsingaâ itu bermakna hakikat yaitu binatang buas.
b. Makna Majaz yaitu makna kiasan. Pada kalimat âSinga padang pasir menerkam musuhnya dengan pedangnyaâ maka kata singa itu bermakna kiasan untuk seseorang yang dikenal berani.
c. Musytarak yaitu kata yang punya lebih dari satu makna (ambigu).
Adanya makna hakikat, majaz dan musytarak ini salah satu penyebab timbulnya perbedaan penafsiran dari para imam mujtahid yang membawa pada perbedaan pendapat.
(Baca kembali Ushul Tafsir point VIII)
5. Amr (perintah) dan Nahi (larangan)
Lafazh amr (perintah) dapat berdampak hukum :
a. Menunjukkan wajib.
b. Menunjukkan sunah.
c. Menunjukkan suruhan saja.
d. Menunjukkan kebolehan
Larangan (nahi), menurut Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul :
a. Larangan karena diri perbuatan, seperti larangan zina, larangan wanita haid mengerjakan sholat.
b. Larangan karena sesuatu bagian perbuatan, seperti larangan menjual anak binatang yang masih dalam perut induknya.
c. Larangan lantaran sesuatu sifat yang tidak dapat lepas, seperti larangan puasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, karena sudah menjadi sifat yang melekat pada hari raya untuk makan-minum, mengadakan jamuan.
d. Laranga karena sesuatu sifat yang tidak lazim, seperti jual-beli sesuatu sesudah azan sholat Jumâat dikumandangkan.
(Baca kembali Ushul Tafsir point VII)
6. Pertentangan dan Kompromi Antar Dalil
a. Taâarudl
Yaitu pertentangan antar dalil, berkata Imam Abdul Wahhab Khallaf :
âApabila bertentangan dua nash pada lahirnya, wajiblah kita ber-ijtihad untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara keduanya. Jika tak dapat dilakukan hendaklah kita ber-ijtihad untuk mentarjihkan (menentukan yang lebih kuat) salah satunya. Kalau tak dapat ditarjihkan salah satunya, tetapi diketahui mana yang terdahulu dan mana yang terkemudian, maka hendaklah yang terkemudian dipandang menasakh yang terdahulu. Jika tak dapat diketahui kedua-duanya maka ditangguhkan.â
b. Kompromi
Firman Allah pada QS Al-Baqarah : 180
âDiwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya yang dekatâ
Firman Allah pada QS An-Nisaâ : 11
âAllah memerintahkan kepadamu terhadap anak-anakmu, yaitu : (warisan) bagi lelaki adalah seperti bagian dua wanita âŠ.. â
Ayat pertama mewajibkan berwasiat bagi orang yang akan meninggal sedangkan ayat kedua mewajibkan aturan hukum waris bagi orang yang meninggal. Secara sepintas sepertinya kedua ayat tersebut saling betentangan padahal tidak, karena bisa dikompromikan, yaitu kewajiban berwasiat itu apabila meninggalkan harta warisan yang banyak dan maksimal senilai sepertiga dari hartanya untuk orang-orang yang tidak berhak mendapat warisannya. Sedangkan hartanya yang tidak termasuk dari yang diwasiatkan harus dibagi kepada ahli waris sesuai aturan hukum waris dalam syariat Islam.
c. Tarjih
Yaitu bila ada dua dalil yang saling bertentangan maka ditentukan mana dalil yang lebih kuat (rajih) dan mana yang lebih lemah (marjuh).
Prinsip-prinsipnya :
1. Al-Qurâan lebih kuat dari Hadits
2. Hadits Mutawatir lebih kuat dari hadits Masyhur
3. Hadits Masyhur lebih kuat dari hadits ahad
4. Hadits sahih lebih kuat dari hasan lebih kuat dari dhaif.
5. Hadits Mutafaq alaih (diriwayatkan Bukhari dan Muslim) lebih kuat dari Bukhari saja dan atau muslim saja.
6. Hadits Marfuâ (disandarkan kepada Nabi) lebih kuat dari hadits mauquf (disandarkan hanya kepada Sahabat)
7. Sanad yang tinggi lebih kuat dari sanad yang lebih rendah.
8. Apabila berlawanan antara yang mengharamkan dengan yang memubahkan ditarjihkan yang mengharamkan (untuk kehati-hatian).
9. Apabila berlawanan anatara yang menghalangi dengan yang menghendaki, didahulukan yang menghalangi.
10. Mempelajari asbabun nuzul atau asbabul wurudnya.
(Baca kembali Ilmu Hadits, point Mukhtaliful Hadits)
d. Nasakh
Apabila tidak dapat dikompromikan atau ditarjihkan, bila diketahui mana yang datang terdahulu dan mana yang datang terkemudian, maka dalil yang terkemudian menasakh yang terkemudian.
1. Nasakh Sharih, bila ada penyataan tegas menyatakan nasakh, seperti pada hadits Nabi SAW :
âAku dahulu melarangmu dari menziarahi kubur, (maka sekarang) ziarahilah kubur karenaitu mengingatkan kamu kepada akhirat.â
2. Nasakh Dlimmy, menetapkan hukum yang berlawanan dengan hukum sebelumnya.
(Baca kembali Ushul Tafsir point V)
D. Qowaid Fiqiyah (Kaidah Fiqih)
Setiap yang mempelajari ushul fikih akan menjumpai kaidah fiqih yaitu kalimat singkat berupa kaidah umum yang dipetik dari Al-Qurâan dan Hadis yang bersesuaian dengan juzâiyyah (bagian-bagian) yang banyak yang dengannya dapat diterapkan hukumnya pada masalah furuâ (cabang).
Jadi Kaidah Fikih ini akan membantu menyimpulkan hukum fikih suatu masalah. ulama ushul fikih berkata :
âApabila kaidah-kaidah fikih kokoh terhujam didada mudah dan lancarlah lidah menuturkan furuâ (hukum fikih)â
Kaidah Fikih Global :
âMengambil maslahat dan menolak masfadatâ
Kaidah Pokok, ada 5 (lima) yang kepadanya dapat dikembalikan hampir semua masalah furuâ yang banyak.
Kaidah Pokok ke-1 : âsegala sesuatu bergantung kepada niatâ
Dasarnya hadis nabi âSesungguhnya segala amal hanyalah menurut niatnya dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah memperolah apa yang diniatkannyaâ
Kaidah Pokok ke-2 : âyang yakin tidak dapat dihilangkan oleh yang masih raguâ
Dasarnya hadis nabi âApabila seorang dari kamu mendapatkan sesuatu didalam perutnya, kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapat bauâ
âApabila seseorang dari kamu ragu ragu didalam sholatnya, tidak tahu sudah berapa rokaat yang telah dikerjakan apakah tiga rokaat atau empat rokaat, maka buanglah keragu-raguan itu dan berpeganglah kepada apa yang meyakini.
Kaidah Pokok ke-3 : âDalam kesempitan ada kelapanganâ
Dasarnya QS Al-Baqoroh :185 : âAllah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu.â
QS Al-Haj :78 : âDan Dia tidak menjadikan untuk kamu kesukaran dalam agamaâ Hadis nabi âAgama itu mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudahâ
Hadits nabi : âMudahkanlah jangan dipersukar.â
Kaidah Pokok ke-4 : âKemudhorotan harus dihilangkanâ
Dasarnya Firman Allah âDan janganlah kamu sekalian berbuat kerusakan di muka bumiâ
dan ayat âSesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakanâ
kemudian hadis nabi âtidak boleh membuat kemudhorotan pada diri sendiri dan membuat kemudhorotan pada orang lainâ
Kaidah Pokok ke-5 : âAdat dapat dijadikan hukumâ
Dasarnya ayat âDan bergaullah dengan mereka (manusia) secara patutâ dan hadis nabi âApa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula disisi Allahâ
Dari lima kaidah pokok diatas terdapat ratusan kaidah kaidah cabang yang lain, diantaranya (yang popluer dan sering digunakan) adalah :
1. Menolak masfadat lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.
2. Mudhorot khusus (kecil) harus ditempuh untuk menghindarkan mudhorot umum (besar).
3. Bila harus memilih antara dua mudhorot maka pilih yang paling kecil.
4. Bila untuk melaksanakan yang wajib memerlukan sarana, maka mengadakan sarana itu juga wajib.
5. Jalan yang menuju haram juga haram.
6. Kemudhorotan harus dihilangkan dan jalan yang menuju kearahnya harus ditutup.
7. Bila tidak bisa melaksanakan semuanya maka jangan ditinggalkan seluruhnya.
8. Hukum asal segala sesuatu mubah/boleh sampai ada dalil yang jelas melarangnya.
9. Hukum asal masalah ibadah makdoh haram sampai ada dalil/contoh yang menyuruhnya.
10. Apabila berkumpul dua perkara yang sejenis maka yang satu masuk kepada yang lain.
11. Hukum* dapat berubah menurut perubahan jaman. (* yang dimaksud disini hukum masalah furuâ (cabang) yang dzanni dan masalah-masalah muamalah-keduniaan bukan masalah ushul dan atau yang qothâi)
12. Hak keuntungan ada bersama resiko menanggung kerugian.
13. Menolak (preventif) lebih utama dari mengangkat (kuratif).
14. Yang lebih kuat meliputi yang lemah, bukan sebaliknya.
E. Sumber Hukum Sekunder
3. Ijma
Ijma adalah kesepakatan (konsensus) para mujtahid setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap suatu hukum syaraâ yang bersifat praktis âamaly.
Dalil yang menjadi dasar Ijmaâ :
Firman Allah dalam QS An Nisaâ [4] : 59
âTaatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu.â
âTaatilah Allahâ merujuk kepada Al-Qurâan.
âTaatilah Rasul â merujuk kepada sunnah (hadits)
âdan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamuâ merujuk kepada Ijmaâ (konsensus) Ulil-Amri.
Hadits Nabi :
âApa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula dalam pandangan Allah.â
âUmatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan.â
âIngatlah, barangsiapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah (ikutilah) jamaah, karena syaitan adalah bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih juah dari dua orang, daripada dari pada dari pada seorang yang menyendiri.â
a. Ijmaâ Sahabat
Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah tersebut, bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.
Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Mekkah. Ijmaâ sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar inilah yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin.
b. Ijmaâ Ulama Mujtahid
Para sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah pada saat Khalifah Usman bin Affan dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing-masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama dan mujtahid dari generasi tabiâin dan tabiâit-tabiâin.
Masing-masing imam mujtahid tidak mengeluarkan pendapat yang sama sekali menyalahi pendapat ulama negerinya, agar tidak dianggap aneh. Lantaran Itu Imam Abu Hanifah menghargai Ijmaâ ulama Kufah, begitu pula Imam Malik menghargai ijmaâ ulama Madinah.
Tingkatan Ijmaâ :
a. Ijmaâ Sharih, jika semua ulama menyatakan kesepakatannya.
b. Ijmaâ Sukuti, jika seorang mujtahid menyampaikan pendapatnya, kemudian pendapatnya tersebut diketahui oleh seluruh ulama yang hidup semasa dan tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari pendapatnya, artinya ada juga yang mendiamkannya. Ijmaâ sukuti ini masih diperdebatkan apakah dapat dijadikan hujjah, karena diamnya seseorang ulama belum tentu menyatakan kesepakatannya, bisa jadi sedang memikirkannya.
4. Qaul Sahabi (Perkataan Sahabat Nabi)
Firman Allah dalam QS At-Taubah : 100 :
âOrang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.â
Hadits Nabi :
âSaya adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.â
Diantara metode ijtihad Imam Abu Hanifah adalah : âBila ada konsensus pendapat dari sahabat maka saya ambil, bila ada perbedaan pendapat diantara para sahabat, maka saya pilih. Bila ada pendapat dari tabiâin maka saya teliti.â
5. Qiyas
Qiyas adalah memberikan hukum yang sama kepada sesuatu yang mirip atau serupa dengan yang telah ada nash nya dalam Al-Qurâan atau Hadits. Contohnya menyamakan hukum segala minuman yang memabukkan dengan hukum khamr (arak).
Dasar kehujjahan Qiyas :
a. Firman Allah dalam QS An Nisaâ [4] : 59
âTaatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.â
âKembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nyaâ merujuk kepada Qiyas, maksudnya bandingkanlah (qiyas-kanlah) dengan yang dekat dan serupa dengan yang telah ada pada kitab Allah (Al-Qurâan) dan atau Sunnah Rasul-Nya (Hadits).
b. Firman Allah dalam QS Al-Baqarah : 179 :
âDan dalam qisash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimuâ.
Dalam ayat diatas tampak bahwa illat (sebab) disyariatkannya qishas adalah agar ada jaminan hidup bagi manusia.
c. Firman Allah dalam QS Al-Maidah : 91 :
âSesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sholat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).â
Dari ayat diatas tampak bahwa illat (sebab) diharamkannya judi dan meminum khamr adalah karena menimbulkan permusuhan dan kebencian, juga karena menghalangi manusia dari mengingat Allah.
d. Hadits â Hadits Nabi :
1. Dari Umar bin Khatab : âHari ini aku telah melakukan perkara besar, yakni mencium istriku, sedang aku sedang berpuasaâ. Lalu Rasulullah bersabda : âBagaimana menurut pendapatmu andaikata kamu berkumur-kumur padahal kamu sedang berpuasa ?â. âHal itutak mengapaâ, jawabku. âMaka mengapa (kamu menanyakan) ?â Jawab Rasulullahâ. (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Riwayat diatas menunjukkan bahwa Rasulullah meng qiyaskan mencium istri ketika berpuasa dengan berkumur-kumur ketika berpuasa. Keduanya mengandung persamaan illat yaitu mendekati membatalkan tapi belum sampai pada tahap membatalkan.
2. âSeorang wanita dari qabilah Juhainah menghadap Nabi, seraya ia berkata : âYa Rasulullah, ibuku telah bernadzar untuk mengerjakan haji, akan tetapi ia tak sempat mengerjakan haji sampai ia meninggal dunia. Apakah saya berkewajiban mengerjakan haji untuknya ?. âBenarâ, jawab Nabi. âkerjakan haji untuknya. Tahukah kamu andaikata ibumu mempunyai hutang, bukankah kamu yang paling patut melunasinya ? âYaâ, jawabnya. Rasulullah berkata : âTunaikan hutang-hutang Allah, sebab hak Allah lebih berhak untuk dipenuhiâ â. (HR Bukhary dan Nasaâi).
Riwayat diatas menunjukkan Nabi meng qiyaskan nadzar kepada Allah yang belum dipenuhi dengan hutang kepada sesama manusia.
e. Surat Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al Asyâari yang menjabat sebagai gubernur Basrah :
âLihatlah banyak hal-hal yang serupa dan setara, maka qiyaskanlah hal-hal yang semacam ituâ.
Rukun Qiyas ada 4 (empat) yaitu :
1. Asal, yaitu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya pada nash Al-Qurâan dan hadits.
2. Furuâ, yaitu cabang yang hukumnya disamakan dengan hukum asal.
3. Hukum, yaitu hukum yang sudah diketahui pada asal.
4. Illat, yaitu sebab yang sama yang menyebabkan hukum asal dapat disamakan juga pada hukum furuâ.
Syarat-syarat qiyas :
a. Hukum asal tidak dinasakh.
b. Hukum asal jelas nashnya.
c. Hukum asal dapat diterapkan pada qiyas.
d. Hukum cabang tidak boleh mendahului hukum asal.
e. Mempunyai illat yang sama.
f. Hukum cabang sama dengan hukum asal.
g. Ada illat ada hukum, tidak ada illat tidak ada hukum.
h. Illat tidak boleh bertentangan atau menyalahi syaraâ.
Macam-macam Qiyas :
1. Qiyas Aula / Awlawi / Qathâi
Yaitu qiyas hukum yang diberikan kepada asal lebih patut diberikan kepada cabang.
Contoh, Nabi bersabda :
âKedua mata itu tali pengikat lubang dubur, maka apabila mata telah tidur terlepaslah taliâ.
Kita pahamkan bahwa gila, pingsan, mabuk dan segala yang menghilangkan akal lebih patut membatalkan wudhu.
2. Qiyas Musawi
Yaitu mengqiyaskan sesuatu kepada suatu yang bersamaan kedua-duanya yang patut menerima hukum tersebut.
Contohnya dalam QS An-Nisaâ : 25 :
âMaka atas mereka (budak-budak wanita) separoh hukuman dari yang dikenakan atas wanita-wanita yang merdekaâ.
Kita pahamkan bahwa menurut irama pembicaraan hukuman dera budak laki-laki kita qiyaskan dengan hukum budak wanita yaitu separoh dari hukuman dera laki-laki yang merdeka.
3. Qiyas Adna / Adwan
Yaitu meng-qiyas-kan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang diberikan kepada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu.
Misalnya kita mengqiyaskan haramnya nabiz (rendaman lain dari anggur) kepada khamr (arak anggur) karena illatnya sama sama memabukkan.
4. Qiyas Dalalah
Yaitu qiyas yang menunjuki kepada hukum, berdasar dalil illat atau mengumpulkan asal dengan cabang berdasar kepada dalil illat.
Misalnya mengqiyaskan ahrta anak kecil dalam soal wajib dizakati kepada harta orang dewasa atas dasar illatnya sama-sama harta yang berkembang.
5. Qiyas Illah
Yaitu qiyas yang tegas illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang dan illat itulah yang menyebabkan hukum pada asal.
6. Qiyas fi Maânal Ashli
Yaitu qiyas yang tidak tegas illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang.
Misalnya mengqiyaskan kadar hukuman dera buda laki-laki kepada budak wanita dengan illat sama-sama budak.
7. Qiyas Syabah
Yaitu qiyas yang menjadi washaf (sebab illat) yang mengumpulkan antara cabang dengan asal hanyalah penyerupaan atau cabang yang pulang pergi dua asal, yaitu yang dapat diserupakan dengan dua asal, lalu dihubungkan dengan yang banyak persamaannya.
Misalnya, seorang budak ketika merusakkan sesuatu dalam membayar ganti rugi, berubah status antara sebagai manusia karena ia anak keturunan Adam dan binatang, karena ia dipandang sebagai harta yang dapat diperjual-belikan dan diwakafkan.
8. Qiyas Jali
Qiyas yang illatnya baik dinashkan atau tidak, namun perbedaan pemisah antara asal dan furuâ diyakini tidak berbekas.
Misalnya, mengqiyaskan haramnya mencaci, memukul orang tua kepada keharaman mengucapkan âcisâ, dengan illat sama-sama menyakitkan bagi keduanya.
9. Qiyas Khafi
Qiyas yang illatnya dipetik dari hukum asal.
Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat dengan benda tajam.
10. Qiyas Sabri wattaqsim
Qiyas yang diketahui illatnya setelah dilakukan penelitian yang mendalam.
Misalnya, mengqiyaskan jagung kepada gandum dengan illat sama-sama makanan pokok yang mengenyangkan dan sama sama ditimbang.
11. Qiyas Thardi
Qiyas yang dikumpulkan antara asal dengan cabang oleh suatu sebab yang adanya hukum beserta wujudnya sebab itu, bila sebab hilang maka hukumnya juga hilang.
12. Qiyas Aksi
Tidak ada hukum bila tidak ada illat atau menetapkan lawan hukum sesuatu bagi yang sepertinya karena keduanya itu berlawanan dengan tentang illatnya.
Contohnya, hadits Nabi :
âDan pada kemaluan seseorang kamu ada sedekah. Para Sahabat bertanya : âApakah kami memuaskan syahwat dan memperoleh pahala ? Jawab Nabi : âBagaimana pendapatmu jika dia meletakkan syahwatnya pada yang haram, adakah dia berdosa ?, demikianlah apabila ia meletakkan pada yang halal, ada pahala baginyaâ. (HR Muslim).
13. Qiyas Ikhlati wal Munasabati
Qiyas yang menetapkan illat berdasarkan munasabah, yakni kemaslahatan memelihara dasar maksud.
a. Qiyas Muatstsir
Qiyas yang illatnya mengumpulkan antara asal dengan cabang dinashkan dengan terang atau dengan isyarat atau dengan ijmaâ.
Misalnya firman Allah QS An Nur : 27 :
âHai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta ijin dan memberi salam kepada penghuninyaâ.
Sehubungan dengan ayat ini, maka Rasululah bersabda : âIjin dilakukan semata-ata untuk kepentingan (keselamatan) mataâ.
b. Qiyas bekas sebab
Misalnya dibenarkan menjamaâ shalat dimasa hujan. Tidak ada keterangan bahwa hujan itu menjadi sebab, akan tetapi ada keterangan bahwa safar menjadi sebab bolehnya jamaâ. Maka dipahamkan bahwa sebab disini adalah hujan.
14. Qiyas Mulaim
Qiyas yang jenis sebabnya memberi bekas pada jenis hukum.
Misalnya, wanita yang ber haid tidak perlu mengqadha shalatnya, karena menimbulkan kesukaran. Kesukaran ini tidak ada keterangannya dari nash. Akan tetapi ada keterangan dari syaraâ bahwa kesukaran itu meringankan hukum.
15. Qiyas Munasib Gharib
Qiyas yang dibina atas illat yang tidak tegas syaraâ membolehkan atau menolaknya.
Misalnya, wanita yang ditalak tiga saat suami menjelang mati dapat menerima warisan karena kita lawan maksudnya dengan mengqiyaskan kepada pembunuhan agar cepat mendapat warisan, maka si pembunuh tidak mendapat warisan.
F. Sumber Hukum Tersier (digunakan untuk masalah juzâiyah (parsial), furuâiyah (cabang) yang jauh).
6. Istihsan
yaitu : keluar dari nash karena sebab yang lebih kuat, contoh : menurut qiyas sumur yang kena najis harus disiram air, tapi hal itu tidak memungkinkan maka pen suciannya dengan menimba air sumur
7. Mashlahah mursalah
Yaitu keluar dari Qiyas kulli karena pertimbangan memelihara hukum syaraâ dengan jalan mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh : dibolehkan memenjara atau meng intimidasi terdakwa untuk memperoleh pengakuannya.
8. Istihshab
Yaitu mengekalkan hukum yang telah ada, tidak bisa berubah karena sesuatu yang masih ragu., contoh : seseorang yang pada mulanya punya wudhu kemudian ragu ragu apakah dia telah batal apa belum, maka hukumnya dia dianggap masih punya wudhu.
9. Istidlal
Yaitu pertalian antara dua hukum tanpa menentukan illat (persamaan penyebabnya), contoh : seseorang sholat dengan memenuhi syarat dan rukunnya, tapi kemudian diketahui dia tidak punya wudhu, maka karena dia tidak punya wudhu sholatnya juga tidak syah.
10. Sadudz Dzariah
Yaitu mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kemudhorotan atau menyumbat jalan yang menuju kemudhorotan. Contoh : Zina itu haram, maka melihat aurat wanita, berduaan dengan lawan jenis bukan mahram ditempat sepi, bacaan porno itu juga haram karena semua itu jalan menuju zina
11. Urf
yaitu kebiasaan yang tetap pada jiwa manusia diterima oleh akal dan tidak menyalahi syaraâ, contoh = sudah menjadi urf (kebiasaan) bahwa harga bahan bangunan adalah sudah termasuk ongkos kirim, bila ada penjual ketika mengirimkan bahan bangunan ke tempat pembeli masih menagih ongkos kirim, maka hakim dapat menolak gugatan penjual berdasarkan Urf.
12. Adah
yaitu sesuatu yang dikehendaki manusia pada umumnya dan berlaku terus menerus
13. Taâamul
yaitu adat-istiadat kebiasaan dalam pergaulan mumalah manusia
14. Baraâah Ashliyah
yaitu : bebas dari hukum yang memberatkan
15. Istiqraâ
yaitu memeriksa seteliti mungkin berbagai juziyah supaya dapat dihukumkan dengannya, contoh = seluruh sholat fardhu nabi tidak pernah dilakukan diatas kendaraan, suatu ketika rosul pernah sholat duha diatas kendaraan, maka dipahami bahwa sholat duha itu hukumnya sunnah.
16. At-Taharri
yaitu mempergunakan segala kemampuan akal untuk mencapai ketaatan
17. Ar Rujuâu ilal manfaâati wal madharrah
yaitu menetapkan hukum berdasarkan manfaat dan mudhorot
18. Al Qaulu bin nushush wal ijmaaâI fil âibadati wal muqaddarati wal qaulu bi âitibaaril mashalih fil muâaamalati wabaqil ahkami
yaitu menetapkan hukum dengan nash dan ijma thd soal yg pokok dan berdasarkan kemaslahatan pada urusan cabang, contoh = para sahabat tidak menentang sitem Monarki Muawiyah krn takut terjadi perpecahan kaum muslimin
19. Taghyirul Ahkam bi taghaiyuril ahwali wal azman
Yaitu berubahnya hukum (masalah furuâ, muamalah, duniawiyah) karena berubahnya keadaan dan jaman.
Yang mula-mula dan menjadi panutan dalam masalah ini adalah Khalifah Umar bin Khattab yang memerintahkan sholat Tarawih berjamaâah dibawah satu imam dengan pertimbangan lebih teratur dan tertib, tidak memberi zakat kepada muallaf (orang yang baru masuk Islam) dengan pertimbangan Islam sudah kuat, tidak membagikan tanah daerah taklukan kepada prajurit yang menaklukkan demi kepentingan kemaslahatan generasi yang kemudian, tidak memotong tangan pencuri pada saat paceklik dan kelaparan dengan pertimbangan keadaan kesulitan ekonomi.
20. Al akhdzu bil akhaffi (al akhdzu biaqalli) maa qila
yaitu berubahnya hukum karena berubahnya masa dan keadaan, contoh = Umar tidak memberikan zakat kepada para Muallaf karena Islam sudah kuat, bila mereka murtad maka dibunuh
21. Al Ishmah
yaitu menjadikan hujjah perkataan orang yang mendapat hak menetapkan hukum syara, contoh = Rosul memberikan hak kepada Saad Bin Muaz untuk menentukan hukuman bagi pengkhianatan Bani Quraizah.
22. Syarâu man qablana
yaitu : hukum syariat orang sebelum kita, apabila disebutkan dalam nash maka juga menjadi syariat kita.
23. Al âamalu bidhadhahir awil adhar
yaitu beramal dengan prioritas memegangi nash yang lahir
24. Al akhdzu bil ihtiyath
yaitu memegangi mana yang lebih kuat dari dua dalil
25. Al Qurâah
yaitu menetapkan hukum berdasarkan undian, untuk mencegah saling berbantah-bantahan
26. Al âamalu bil ashli
yaitu mengamalkan dalil yang lebih rajih (kuat).
27. Maâqulun nash
yaitu mengamalkan dari apa yang dipahami dari nash, bila tidak dapat ditafsirkan secara tekstual maka dibawa ke makna majasi.
28. Syahadatul qalbi
yaitu dengan memperhatikan suara hati nurani, dasarnya hadis nabi : âmintalah fatwa kepada hatimuâ
29. Tahkimul hal
yaitu menyerahkan keputusan kepada keadaan sekarang yang sedang berlaku
30. âUmumul balwa
yaitu membolehkan sesuatu yang sulit melepaskan diri atau selalu terjadi
31. Al âamalu bi aqawasy syabahaini
yaitu memegangi mana yang lebih kuat kemiripannya, contoh menentukan orang tua anak dengan melihat kemiripannya
32. Dalalatul iqtiran
yaitu menyamakan hukum karena bergandengan dengan yang lain, contoh = imam malik tidak mewajibkan zakat pada kuda karena ada ayat âdan kuda dan bighal dan keledaiâ
33. Dalalatul ilhami
yaitu sesuatu yang diperoleh dari ilham, disyaratkan pada orang yang taqwa dan soleh
dasarnya hadis nabi âberhati hatilah dengan firasat orang mukmin karena mereka melihat dengan cahaya Allahâ
34. Ruâyan nabi
yaitu berpegang kepada apa yang dikatakan nabi dalam mimpi, dasarnya hadis nabi : âmimpi seorang muslim itu 1/46 kenabianâ
35. Al akhdzu bi aisari maa qilaa
yaitu mengambil mana yang paling mudah dari dua pendapat
36. Al akhdzu bi aktsari maa qilaa
yaitu mengambil jumlah yang lebih banyak dari jumlah yang berbeda beda
37. Faqdud dalil baâdal fihshi
yaitu menetapkan tidak ada hukum atas sesuatu lantaran tidak diperoleh dalil yang mewujudkansesuatu hukum sesudah dilaksanakan pembahasan yang luas.
X. Maqashid Syariâah (Tujuan Syaraâ)
Melalui penelitian yang mendalam akan diketahui bahwa semua syariat agama mengandung maksud, tujuan dan hikmah bagi kepentingan hamba. Semua perintah dan larangan dalam syariat agama mengandung kemaslahatan, baik yang mudah diketahui maupun yang belum diketahui karena akal manusia tidak mampu memahaminya.
Tuhan tidak mensyariatkan hukum-hukum secara kebetulan dan tanpa hikmah. Syaraâ bermaksud dengan hukum-hukum itu untuk mewujudkan maksud-maksud umum. Kita tidak dapat memahami hakikat nash terkecuali jika kita mengetahui apa yang dimaksud oleh syaraâ dalam menetapkan nash-nash syariat itu. Harus diingat bahwa petunjuk-petunjuk lafazh dan ibarat-ibaratnya kepada makna yang kadang-kadang mempunyai lebih dari satu penafsiran makna. Untuk mentarjih penafsiran makna yang lebih tepat maka perlu memahami maksud syaraâ (maqashid syariâah).
Segala hukum muamalah, akal dapat mengetahui maksud-maksud syaraâ dalam menetapkan hukum yaitu berdasarkan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menolak masfadat terhadap mereka. Jadi segala yang membawa manfaat-maslahat adalah mubah dan segala yang membawa mudharat-masfadat adalah haram.
Ibnul Qayyim berkata :
âDasar syariat ialah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syariat semuanya adil, semuanya rahmat dan semuanya mengandung hikmah. Tiap masalah yang keluar dari adil kepada curang, dari rahmat kepada balaâ, dari maslahat kepada masfadat, dari hukmah kepada sia-sia maka bukanlah syariat. Syariat itu adalah keadilan Allah diantara hamba-Nya, rahmat Allah diantara makhluk-nya dan bayangan Allah dibumi-Nya dan himah-Nya yang menunjukkan kepada-Nya dan kebenaran Rasul-Nyaâ.
Maksud-maksud syaraâ yang umum :
1. Memelihara segala yang dharuri (esensial dan fital) bagi manusia dalam kehidupan mereka, yaitu :
a. Memelihara Agama (dien).
b. Memelihara Nyawa (nafs).
c. Memelihara Akal (aqlu).
d. Memelihara Nasab-keturunan (nasl).
e. Memelihara Harta (mal).
Apabila yang dharuri ini tidak terpelihara maka kacaulah tatanan kehidupan, timbullah kekacauan dan kerusakan yang merata.
2. Menyempurnakan segala yang dihajati manusia.
Yaitu segala yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan untuk dapat menanggung kesukaran-kesukaran pembebanan (taklif) dan beban-beban hidup. Tetapi bila urusan itu tidak diperoleh, tidaklah rusak tatanan hidup dan tidak merata kekacauan, hanya mengalami kesempitan dan kesukaran saja.
Segala yang dihajati dalam pengertian ini meliputi segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, tata sosial kehidupan, kemudahan-kenyamanan hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh maka tiada cedera tatanan kehidupan, hanya saja dipandang tidak baik oleh akal yang sehat dan fitrah yang sejahtera.
Tingkatan Maksud Syaraâ
1. Tingkat Dharuriyah.
Yaitu tingkat yang harus ada, tidak boleh tidak ada. Apabila tidak difardhukan pokok-pokok ibadat maka manusia akan lupa dan berpaling dari Tuhan dan agama. Apabila tidak disyariatkan kita memrangi orang-orang yang merusak agama dan memaksa kembali orang yang murtad, tentu rusaklah urusan agama dan hilanglah pemeliharaannya.
Apabila tidak dihalalkan benda-benda yang baik untuk dimakan, diminum dan dipakai dan apabila tidak disyariatkan nikah dan pokok-pokok muamalah serta tidak difardhukan hukum-hukum jinayah maka akan hilang maslahat tertentu untuk memelihara jiwa, akal, keturunan dan kehormatan.
Apabila tidak disyariatkan pokok-pokok hukum yang berkenaan dengan hak milik dan penukaran manfaat serta tidak didakan hukum membayar barang yang kita rusakkan dan tidak disyariatkan hukuman untuk pencurian, perampokan tentu rusak maslahat harta.
2. Tingkat Hajiyah
Yaitu segala yang kita hajati untuk memperoleh keluasan hidup dan menolak kesempitan.
Umapamanya untuk memelihara agama kita dibolehkan mengqashar shalat ketika dalam safar atau menjamaâ ketika sedang ada udzur yang syarâi.
3. Tingkat Tahsiniah.
Yaitu tingkat yang paling rendah, dengan hilangnya tingkat ini tidak menghilangkan tingkat asli serta tidak menimbulkan kepicikan dan kesukaran dalam hidup. Tingkat ini masuk bagian kesempurnaan untuk memelihara akhlak-akhlak tinggi dan adat-adat yang baik.
XI. Masalah Ushul (pokok) â Furuâ (cabang)
A. Masalah Ushul (pokok)
Masalah Ushul (pokok) adalah masalah yang menyangkut Iâtikad (keyakinan) dalam urusan : akidah, tauhid dan rukun iman yang enam. Dalil-dalil dari Al-Qurâan maupun hadits yang menerangkan hal ini semuanya adalah muhkam (tidak ada kemungkinan penafsiran lain) dan sharih (jelas petunjuk lafaznya) dan Qathâi (pasti).
Seorang muslim dalam masalah ushul ini harus benar Iâtikadnya (keyakinannya). Salah dalam Iâtikad masalah ushul bisa menyebabkan seseorang menjadi kafir keluar dari Islam. Jadi dalam masalah ushul yang ada adalah iman atau kafir.
Contoh-contoh masalah ushul :
a. Tidak ada tuhan selain Allah.
b. Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan.
c. Allah satu satunya tempat bergantung.
d. Tauhid Rububiyah (meyakini Allah satu satunya pencipta)
e. Tauhid Uluhiyah (meyakini Allah satu satunya yang disembah dan diibadahi)
f. Tauhid Mulkiyah (meyakini Allah satu satunya yang mengatur, memelihara, memberi rejeki seluruh makhluk-Nya).
g. Mengimani kebenaran dan kesucian Al-Qurâan.
h. Mengimani kebenaran Nabi Muhammad sebagai Rasul yang maksum.
i. Mengimani Malaikat-malaikat Allah
j. Mengimani adanya akhirat (alam kubur, mashar, shirot, surga-neraka)
k. Mengimani adanya takdir yang baik dan buruk.
l. Dan lain-lain.
(Lihat kembali Ilmu Kalam point terakhir)
Masalah ushul yaitu akidah ibarat akar yang merupakan dasar bagi sebuah pohon, Iâtikad-tauhid merupakan satu batang lurus yang tidak bercabang-cabang yang merupakan penopang.
Jadi tidak boleh ada variasi, perbedaan pendapat dan ijtihad dalam masalah ushul ini. Bila ada yang berani berbeda pendapat, mengotak-atik masalah ushul ini maka harus ditentang dan tidak ada toleransi dalam hal ini. Itu sebabnya para ulama sangat keras dan mencelah para pelaku bidâah akidah seperti kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah, Musyabbihah, Muâatillah (baca kembali Ilmu Kalam).
Kelompok sempalan dalam masalah Ushul (akidah) inilah yang dimaksud kelompok yang binasa oleh hadits Nabi :
âUmatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, diantara golongan-golongan itu yang selamat hanya satu golongan saja, sedangkan lainnya adalah binasa. Para sahabat bertanya : âSiapakah golongan yang selamat itu ?â Nabi menjawab : âgolongan Ahlus Sunnah wal Jamaâahâ, para sahabat bertanya lagi, âApakah golongan Ahlus Sunnah wal Jamaâah itu ?â Nabi menjawab : âYaitu yang mengikuti apa-apa yang sekarang ini dipraktekkan (manhaj) saya dan para sahabatkuâ â
B. Masalah Furuâ (cabang)
Masalah Furuâ (cabang) adalah semua hal diluar masalah ushul, seperti rincian praktek tata cara ibadah, muamalah, urusan duniawi, dsb. Begitu luasnya cakupan masalah furuâ ini yang berhubungan dan menyentuh hampir seluruh aktivitas kehidupan seorang muslim. Dalam masalah furuâiyah ini tidak semua dalil-dalil hukumnya muhkam dan sharih, bahkan banyak yang masih mujmal, masih âam (umum), masih mutlaq tanpa penjelasan (bayan), masih musytarak (mengandung lebih dari satu arti), petunjuk lafazh dan cakupan lafazhnya tidak sharih (tidak jelas), memungkinkan timbul multi penafsiran dan sebagainya.
maka dalam masalah furuâiyah ini sering terjadi ijtihad dalam meng istinabtkan hukumnya. Dari sinilah sering terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama dan muijtahid. Jadi dalam masalah furuâ yang ijtihadi ini hendaknya setiap muslim bersifat saling ber toleransi yaitu mengikuti mana yang dianggap paling baik diantara pendapat-pendapat yang ada, tidak memaksa orang lain mengikuti pendapatnya dan membiarkan (tidak mencelah) orang lain yang tidak sependapat. Dalam masalah furuâ yang ijtihadi ini yang ada adalah benar dan salah. Bila benar dapat dua pahala, bila salah dapat satu pahala.
Contoh-contoh masalah Furuâ
a. Detail tata cara sholat
b. Fiqih Zakat
c. Fiqih Puasa
d. Fiqih Haji
e. Fiqih Jual-Beli
f. Fiqih Sewa-Menyewa
g. Fiqih muamalah
h. Urusan duniawiyah
i. Dan lain-lain.
Masalah furuâ itu ibarat ranting, dahan dan cabang dalam sebuah pohon, yang tentunya tidak harus satu (sebagaimana batang pohon / akidah) melainkan ada banyak ragam cabang. Jadi dalam masalah furuâ boleh ada ijtihad, boleh ada variasi, dan boleh ada perbedaan pendapat.
XII. Dalil Qathâi (pasti) â Dzani (dugaan)
A. Dalil Qathâi (pasti)
Dalil disebut Qathâi (pasti) apabila memenuhi dua persyaratan :
1. Qathâi wurudnya (sumbernya) yaitu : Al-Qurâan dan Hadits Mutawatir
2. Qathâi dhalalah-nya (petunjuk lafazhnya) yaitu : muhkam (tidak ada kemungkinan multi penafsiran) dan sharih (jelas).
Bila suatu dalil dari Ayat Al-Qurâan dan atau Hadits telah memenuhi semua syarat dalil Qathâi diatas maka menjadi dalil Qathâi yang sempurna, maka hukumnya harus diterima bulat-bulat, tanpa reserve. Tidak boleh ada ijtihadi lagi dan tidak boleh diotak-atik, tidak boleh ditambah-dikurangi.
Kebanyakan masalah Ushul dalilnya adalah qathâi, sedangkan kebanyakan masalah furuâ dalilnya tidak qathâi. Tetapi ada juga masalah furuâ yang dalilnya qothâi sehingga semua ulama menyepakatinya dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal tersebut, contohnya :
a. Hukum haram bagi daging babi, bangkai, darah yang mengalir, khamr (arak) dan riba.
b. Hukum rajam bagi pezina mukhson (sudah pernah menikah), dera 100 kali bagi pezina ghoiru mukhson (belum pernah menikah).
c. Hukum Qisash (balas bunuh) bagi pembunuhan yang disengaja.
d. Hukum potong tangan bagi pencuri.
e. Hukum dera 80 kali bagi orang yang mendakwakan tuduhan dusta.
f. Hukum potong tangan, kaki dan disalip bagi pelaku kerusuhan dan tindakan anarkis. (perampok, penjarah, pelaku huru-hara, pemberontak, dsb)
B. Dalil Dzani (dugaan)
Dalil dzani adalah dalil yang tidak memenuhi syarat dalil qathâi, yaitu :
1. Dzani wurudnya (sumbernya) yaitu : Hadits yang tidak mencapai derajad mutawatir.
2. Dzani Dhalalahnya (petunjuk lafazhnya) yaitu : masih ada kemungkinan multi penafsiran dan tidak sharih (tidak jelas) petunjuk dan cakupan lafazhnya.
Kebanyakan masalah furuâ yang ijtihadi dalilnya adalah Dzani, seperti hadis ahad, atsar-fatwa sahabat, istihsan, maslahah mursalah dan semua sumber hukum sekunder dan tersier yang diuraikan pada point IX B diatas.
XIII. Tentang Bidâah
Pembahasan tentang bidâah merupakan masalah yang sangat krusial, karena perbedaan pendapat dan pemahaman tentang masalah bidâah ini yang sekarang ini menjadi salah satu biang keladi dan pemicu utama terjadinya friksi diantara berbagai kelompok, aliran, mazhab dan harokah Islam. Apalagi sekarang ini ada yang menjadikan kata bidâah sebagai peluru yang sering dimuntahkan dan menjadikan kata mubtadi (pelaku bidâah) sebagai label yang sering ditempelkan kepada kelompok lain.
A. Pengertian Bidâah Secara Bahasa
Secara bahasa bidâah itu berasal dari ba-da-âa asy-syai yang artinya adalah mengadakan dan memulai. Kata âbidâahâ maknanya adalah baru atau sesuatu perkara yang baru yang belum pernah ada pada masa Nabi.
B. Pengertian Bidâah Secara Istilah.
Secara istilah, bidâah itu didefinisikan oleh para ulama dengan sekian banyak versi dan batasan. Hal itu lantaran persepsi mereka atas bidâah itu memang berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang meluaskan pengertiannya hingga mencakup apapun jenis yang baru (diperbaharui), sedangkan yang lainnya menyempitkan batasannya.
Sultonu Ulama, Imam Izzudin bin Abdus Salam, seorang ulama terbesar dari mazhab Syafiâi (wafat 660 H) dalam kitabnya âQawaâidul Ahkamâ menerangkan bahwa bidâah adalah suatu perbuatan (baru) yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW.
Dalam Ensiklopedi Fiqih jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait halaman 21 disebutkan bahwa secara umum ada dua kecenderungan orang dalam mendefinisikan bidâah. Yaitu kecenderungan menganggap apa yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bidâah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram. Dan kedua adalah kecenderungan untuk mengatakan bahwa semua bidâah adalah sesat.
Kelompok Pertama
Kelompok yang menganggap bahwa perkara baru yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bidâah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram, maksudnya ada juga perkara baru yang baik.
a. Tokoh-tokohnya
Di antara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafiâi dan pengikutnya seperti Imam Izzudin bin Abdis Salam, Imam Nawawi, Ibnu Hajar Atsqolani, As-Suyuthi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan Maliki seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanbaliah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
b. Argumennya
Shalat Tarawih pada jaman Nabi dan Abu Bakar dilakukan sendiri-sendiri atau berjamaâah berkelompok-kelompok yang terpisah dalam Masjid. Pada Jaman Khalifah Umar bin Al-Khattab beliau membuat âperkara baruâ yaitu menghimpun orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah dengan satu imam, pada waktu itu ditunjuk Ubay bin Kaâab sebagai imamnya. Setelah itu Umar berkata : âini adalah sebaik-baik bidâahâ.
Perbuatan itu tidak ditentang oleh para sahabat Nabi yang lain dan bahkan sepeninggal Umar masih terus berlangsung sampai masa kita sekarang ini.
Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuhaâ berjamaah di masjid sebagai bidâah yaitu jenis bidâah hasanah atau bidâah yang baik.
Hadits yang mengindikasikan adanya bidâah yang baik adalah hadits berikut :
âSiapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyiâah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamatâ.
Dalam Kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Atsqolani, pada juz XVII halaman 10 menyebutkan : 1. Ada riwayat dari Abu Nuâim menyebutkan bahwa Imam Syafiâi pernah berkata :
âBidâah itu dua macam, satu bidâah terpuji dan yang lain bidâah tercela. Bidâah terpuji adalah yang sesuai dengan sunnah Nabi dan bidâah yang tercela adalah yang tidak sesuai atau menentang sunnah Nabiâ.
2. Imam Baihaqi dalam kitabnya âManaqib Syafiâiâ menyebutkan bahwa Imam Syafiâi pernah berkata :
âPerkara baru (bidâah) itu ada dua macam : 1. Perbuatan keagamaan yang menentang atau berlainan dengan Qurâan, Sunnah Nabi, atsar dan Ijmaâ, ini dinamakan âbidâah dhalalahâ. 2. Perbuatan keagamaan yang baik, yang tidak menentang salah satu dari yang tersebut diatas adalah bidâah juga, tetapi tidak tercela.â
3. Tentang bidâah, sebagian ulama membagi kepada hukum yang lima dan memang begitulah. (maksudnya Ibnu Hajar Atsqolany mendukung membagi hukum bidâah kepada hukum yang lima yaitu : wajib, sunnah, makruh, mubah, haram).
Bisa kita nukil pendapat Imam Izzudin bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa perkara baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, terbagi menjadi lima hukum, yaitu : bidâah wajib, bidâah haram, bidâah mandub (sunnah), bidâah makruh dan bidâah mubah.
c. Contoh-contohnya :
Bidâah yang wajib :
- Membukukan mushaf Al-Qurâan.
- Membukukan hadits Nabi (padahal ada hadits Nabi yang melarang membukukan hadits, karena khawatir tercampur-baur dengan Al-Qurâan).
- Kodifikasi, perumusan dan penulisan ilmu-ilmu keislaman yang seolah-olah berdiri sendiri seperti : ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu Al-Qurâan, ilmu Fiqih, ilmu kalam (ushuludin), ilmu mantiq (logika), ilmu nahwu-sharaf, ilmu balaghah, ilmu tasawuf.
- Mempelajari teknologi militer untuk menjaga kekuatan dan pertahanan kaum Muslimin.
Bidâah yang haram :
- Bidâah dalam masalah akidah berbagai firqoh sempalan, seperti :
a. Khawarij yang memisahkan diri dan selalu memberontak terhadap Amir Kaum Muslimin yang mereka anggap berbuat zalim, menghalalkan darah orang-orang diluar kelompoknya dan mudah mengkafirkan sesama muslim.
b. Syiah Ghulat yang mengkultuskan Imam Ali, menuduh Abu Bakar, Umar, Usman menyerobot hak kekhalifahannya. Mencaci maki Aisyah, Talhah, Zubair dan Muawiyah yang pernah berseteru melawan Ali.
c. Murjiah yang mempunyai keyakinan iman itu cukup dengan hati. Perkataan dan perbuatan tidak termasuk iman.
d. Qadariyah yang menolak takdir, Jabariyah yang menolak ikhtiar usaha bebas manusia.
e. Mujasimah dan Musyabbihah yang menyerupakan Allah dengan keadaan manusia.
f. Muaâtillah yang menolak sifat-sifat Allah.
g. Muâtazilah yang mengatakan Al-Qurâan adalah makhluk.
- Bidâah dalam ibadah, seperti :
a. Menambah atau mengurangi jumlah rokaat shalat lima waktu.
b. Shalat dengan tambaan bacaan bahasa Indonesia.
c. Puasa sehari penuh (tidak berbuka saat maghrib).
d. Mewajibkan zakat terhadap barang-barang yang tidak wajib dizakati.
e. Melakukan haji tidak ke Mekkah.
- Bidâah yang Sunnah :
a. Shalat Tarawih berjamaâah.
b. Adzan pertama pada shalat Jumâat.
c. Mengadakan pengajian Maulid Nabi.
d. Mendirikan sekolah/madrasah/majelis taâlim.
- Bidâah yang Makruh :
a. Menghias masjid.
b. Menetapkan waktu tertentu untuk ibadah.
c. Perdebatan yang sengit dalam masalah khilafiah.
d. Sistem pemerintahan yang monarki.
e. Melakukan ibadah (shalat/puasa) sunah untuk tujuan duniawi semata-mata.
- Bidâah yang Mubah :
a. Makan menggunakan sendok.
b. Memakai pakaian yang bagus.
c. Membuat rumah yang besar.
d. Menggunakan peralatan modern.
e. Dzikir berjamaâah.
f. Bersalam-salaman setelah shalat berjamaâah.
Kelompok Kedua
Kelompok ini menganggap bahwa yang disebut perkara baru (bidâah) itu semuanya adalah sesat, berdasarkan pemahaman tekstual keumuman lafazh hadits âSemua perkara baru (bidâah) adalah sesat (dhalalah).â
Kelompok ini menganggap semua perkara baru dalam masalah syariat adalah bidâah dhalalah. Sedangkan perkara baru dalam masalah diluar syariat dihukumi sebagai âsaranaâ. Hukum sarana itu tergantung pada tujuannya. Sarana menuju yang haram adalah haram, sarana menuju yang wajib juga menjadi wajib.
a. Tokoh
Di antara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafiâiyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taimiyah.
b. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah:
Bahwa Alloh SWT telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Alloh SWT : âPada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu niâmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimuâ (QS Al-Maidah: 3)
Hadits Nabi :
âBahwa semua perkara baru (bidâah) itu adalah sesatâ.
âBarang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak.â (HR Muslim 1817)
c. Contoh :
- Maulud Nabi tidak ada di jaman Nabi, maka itu termasuk bidâah dhalalah.
- Dzikir berjamaâah tidak ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bidâah dhalalah.
- Pemilu tidak ada di jaman Nabi, maka itu termasuk bidâah dhalalah.
- Tahlilan tidak ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bidâah dhalalah.
Tahqiq :
1. Kedua kelompok sepakat bahwa tidak semua perkara baru adalah bidâah dhalalah, yaitu sarana yang menuju kebaikan dan urusan duniawi tidak termasuk bidâah dhalalah.
2. Perbedaan pendapat terjadi pada : perkara baru tentang ibadah dan adat/tradisi yang mengandung unsur agama, contohnya :
a. Shalat Jumâah dengan Kutbah Bahasa Indonesia, itu termasuk bidâah dhalalah atau tidak.
b. Shalat Sunah berjamaâah itu bidâah dhalalah atau tidak.
c. Dzikir berjamaâh itu bidâah dhalalah atau tidak.
d. Peringatan maulid Nabi itu bidâah dhalalah atau tidak.
e. Tradisi tahlilan pada hari ke-3, 7, 40, 100 hari orang meninggal itu bidâah atau tidak.
3. Hadits nabi âSemua perkara baru (bidâah) adalah sesat (dhalalah).â Secara tekstual memang mengisyaratkan bahwa semua perkara baru itu adalah bidâah dhalalah.
Petunjuk lafazh hadits diatas memang bersifat umum (âam), lafazh âam masih memungkinkan menerima takhsis (peng-khususan) dan ternyata memang ada takhsisnya yaitu hadits : âSiapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat.
Jadi tidak âsemuaâ perkara baru bidâah dhalalah, masih memungkinkan adanya sunnah hasanah.
4. Riwayat-atsar yang menunjukkan para sahabat Nabi melakukan perkara baru yang belum dikenal dijaman Nabi :
a. Khalifah Abu Bakar mengumpulkan Al-Qurâan dalam satu mushaf yang tidak diperintahkan dan tidak ada contohnya dari Nabi.
b. Khalifah Usman menyatukan Al-Qurâan dalam satu rasm dan menyalinnya menjadi beberapa mushaf.
c. Khalifah Usman menambahkan adan menjadi dua kali pada Shalat Jumâat, maksudnya adan pertama untuk mengingatkan manusia bahwa waktu shalat Jumâat sudah dekat.
d. Khalifah Umar bin Khatab melaksanakan shalat Tarawih berjamaaâh dibawah satu imam yang belum pernah dilakukan di jaman Nabi.
e. Khalifah Umar bin Khatab tidak memberikan zakat kepada muallaf, padahal mereka jelas-jelas termasuk muzakki yang berhak menerima zakat dengan alasan Islam sudah kuat tidak perlu lagi membujuk hati orang-orang yang baru masuk Islam.
f. Khalifah Umar tidak memotong tangan pencuri ketika masa kelaparan dan paceklik.
g. Khalifah Umar menetapkan orang yang mentalak tiga sekaligus, jatuh talak tiga karena pada masa itu orang memudahkan urusan talak dan sering terjadi lelaki yang menjatuhkan talak tiga sekaligus. Padahal jaman Nabi dan Khalifah Abu Bakar, talak tiga sekaligus hanya dianggap jatuh talak satu.
h. Khalifah Umar tidak membagikan tanah taklukan di Iraq kepada para prajurit dengan perimbangan kemaslahatan generasi mendatang, padahal Nabi membagikan tanah taklukan Khaibar kepada para perajurit.
i. Ibnu Umar menyebut bahwa shalat dhuhaâ berjamaah di masjid sebagai bidâah hasanah atau bidâah yang baik.
j. Khalifah Umar bin Abdul Azis membukukan hadits, padahal ada hadits Nabi yang melarang menuliskan hadits (karena khawatir tercampur dengan Al-Qurâan).
Semua atsar diatas menunjukkan bahwa tidak semua perkara baru adalah bidâah dhalalah, jadi perlu diselidiki dulu faktor maslahat dan manfaatnya, illat hukumnya, maqashid syariahnya dan sebagainya.
5. Jadi jangan gampang memvonis bidâah dhalalah terhadap semua perkara baru, tapi juga jangan terus seenaknya membuat perkara baru yang tanpa ada tujuan dan kemaslahatan yang nyata.
6. Tentang adat, tradisi atau perkara mubah yang mengandung unsur agama, hendaknya dilihat content (isinya) dan dampaknya, kalau isinya tidak bertentangan dengan jiwa syariat dan dampaknya tidak mendatangkan kemudharatan atau perkara baru itu menjadi sarana yang membawa manfaat-maslahat maka jangan terus mudah divonis sebagai bidâah dhalalah.
XIV. Ikhtilaf dan Toleransi
Dalam masalah ushul, atau masalah furuâ yang dalilnya sudah Qathâi maka tidak boleh ada perbedaan pendapat, tidak boleh ada ijtihad dan tidak boleh ditambah-dikurangi. Maka bila ada pihak-pihak yang berbeda pendapat dalam hal itu maka setiap muslim harus berteriak lantang menentangnya, itulah sebabnya jangan heran kalau para ulama dengan tegas menentang pemikiran kelompok-kelompok sempalan pelaku bidâah dalam masalah akidah, yaitu kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah, Musyabbihah, Muâatillah.
Dalam masalah furuâ yang dzani dan ijtihadi maka boleh ada ijtihad, boleh ada variasi dan perbedaan pendapat. Setiap muslim tidak boleh bersikap keras atau fanatik terhadap pendapat atau mazhabnya. Dalam masalah ini perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan (pasti terjadi) dan harus saling ber toleransi.
Perbedaan pendapat dalam masalah furuâ, fiqih-amaliah yang khilafiah ini sudah terjadi sejak jaman sahabat Nabi dan masa para salafus saleh. Para generasi salaf berbeda pendapat tapi tetap bersatu, tidak terpecah-belah dan saling ber toleransi. Tidak saling mencelah, tidak saling menyalahkan, tidak saling mencaci, tidak saling memvonis mubtadi (pelaku bidâah), tidak saling mengkafirkan dan tidak mudah âmenghukumi haramâ terhadap suatu masalah yang tidak ada dalil qathâi yang tegas menunjukkan hukum haramnya.
Berikut ini riwayat-riwayat yang menunjukkan manhaj generasi salaf dalam masalah ikhtilaf :
Khalifah Harun Al Rasyid pernah berkata : âAku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwattaâ sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qurâanâ. Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Jadi manhaj salafus saleh adalah memaklumi perbedaan pendapat masalah ikhtilaf dan tidak memaksakan pendapatnya.
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka maka membatalkan wudhu. Suatu hari kepada beliau ada yang bertanya : âApakah engkau mau shalat dibelakang orang yang luka berdarah tetapi tidak berwudhu lagi ? â. Dengan nada meninggi Imam Ahmad bin Hanbal berkata : âBagaimana saya tidak mau shalat dibelakang Imam Malik bin Anas dan Said Al Musayyab ?â. Kedua imam tersebut berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka tidak membatalkan wudhu. Jadi manhaj salafus saleh adalah menghormati pendapat orang lain yang berbeda dan tetap menjaga ukuwah.
Abdurrahman bin Mahdy meriwayatkan : âKami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada beliau lalu berkata : âDari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan kepada engkauâ. Imam Malik berkata : âBertanyalahâ. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau dan beliau hanya menjawab : âaku tidak memandangnya baikâ. Orang itu terus mendesak karena menginginkan Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya, âBagaimana nanti kalau kau ditanya orang di kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang kepada mereka ?â Imam Malik berkata : âKatakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas mengatakan tidak menganggapnya baikâ. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash qathâi yang tegas mengharamkannya.
Imam Al Auzaâi (mufti dan fuqaha di Damaskus Syria) menceritakan pendapatnya tentang orang yang mencium istrinya : âKalau orang itu datang padaku bertanya bagaimana hukumnya, maka akan aku katakan bahwa dia harus wudhu lagi, tetapi bila dia tidak mau wudhu lagi, aku tidak akan mencelanyaâ.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata tentang sholat sunnah setelah ashar : âKami tidak melakukannya tetapi kami tidak mencela yang melakukannyaâ.
Suatu hari, ada perbedaan perdebatan terbuka antara Ali bin Madini dan Yahya bin Muâin tentang hukumnya menyentuh kemaluan : apakah membatalkan wudhu atau tidak ? Perdebatan ini dihadiri oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Kata Yahya bin Muâin : âOrang itu harus wudhlu lagiâ. Dia menggunakan hadits yang diriwayatkan dari Busrah binti Shafwan sebagai dalil. Sedangkan Ali bin Madini pendapatnya berlawanan menggunakan hadits yang diriwayatkan dari Qais bin Thalaq sebagai dalil. Kemudian Yahya menyampaikan pendapat Ibnu Umar sebagai dalil tambahan, dibalas lagi oleh Ali dengan pendapat Ammar bin Yasir.
Menanggapi kejadian itu, Imam Ahmad bin Hanbal langsung menengahi, âSudahlah, derajad Ammar dan Ibnu Umar sama. Siapa suka boleh mengambil pendapat salah satunya.â
Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mugni menceritakan sebuah ketentuan dalam mazhab Imam Ahmad bin Hanbal : âMenurut penegasan Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dibelakang orang-orang yang berbeda dengan kita dalam masalah cabang-cabang hukum fiqih, seperti para pengikut mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafiââi hukumnya adalah sah dan sama sekali tidak makruh. Karena para sahabat, para tabiâin dan orang-orang sesudah mereka masih tetap bermakmum kepada yang lain, walaupun berbeda pendapat dalam masalah hukum cabang itu. Dengan demikian, ketentuan ini merupakan salah satu kesepakatan (ijmaâ). Dan kalau diketahui bahwa imamnya meninggalkan sebuah syarat shalat atau salah satu rukunnya, yang diyakini oleh makmum tetapi tidak diakui oleh imam, maka menurut makna literal dari redaksi pendapat Imam Ahmad : shalat dibelakang imam itu tetap sah.
Dalam mazhab Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya dikatakan bahwa wudhu seseorang bisa batal karena keluar darah. Suatu hari imam Abu Yusuf (pengikut mazhab Abu Hanifah) melihat bahwa Khalifah Harun Al Rasyid berbekam kemudian langsung shalat tanpa wudhu terlebih dahulu, karena mengikuti pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa orang yang berbekam tidak batal wudhunya. Kemudian Imam Abu Yusuf langsung bermakmum dibelakang Khalifah Harun Al Rasyid dan tidak mengulangi shalatnya.
Imam Syafiâi dalam qaul qadimnya berpendapat bahwa rambut yang sudah dipotong hukumnya najis, suatu hari Imam Syafiâi shalat setelah bercukur rambut, sementara dibajunya masih ada sisa-sisa rambut berceceran. Orang-orang yang melihatnya menanyakan hal tersebut, maka Imam SyafiâI menjawab : âSaat dalam kesulitan, kita mengambil pendapat penduduk Iraq (mazhab Imam Abu Hanifah)â.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatwa menceritakan bahwa Imam Syafiâi yang berpendapat menjaharkan (membaca nyaring) âBismillahirrahmanirrahimâ dalam shalat, tetap bermakmum kepada para ulama Madinah yang tidak pernah menjaharkan âBismillahirrahmanirrahimâ
Diriwayatkan dari Abu Bakar bin Al Khallal : diceritakan kepada saya oleh Al Hushain bin Basyar Al Makhrumi, bahwa yang bersangkutan telah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang masalah sumpah yang menjurus ke arah perceraian. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab tegas, âKalaui dia melakukanm berarti dia telah melanggar sumpahnyaâ.
Lalu Al Hushain meminta jalan keluar, âBagaimana kalau ada orang lain yang memfatwakan kepada saya, bahwa dia tidak melanggar sumpahnya (tidak jatuh talak perceraian) ?â. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : âKamu tahu pengajian para ulama Madinah ?â Al Hushain menjawab, âYaâ Saat itu memang ada beberapa ulama Madinah yang membuka pengajian di teras Masjid Agung Baghdad. âApakah kalau mereka memberikan fatwa (berbeda), istri saya tetap halal ?â maka Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : âYa !â.
Baihaqi dalam Sunan Al Kubra meriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid : âDahulu kami bersama Abdullah bin Masâud di Mudzalifah. Dan saat mereka memasuki Masjid Mina, beliau bertanya : âAmirul Mukminin (Usman bin Affan) shalat berapa rakaâat ?â Mereka menjawab, âEmpat rakaâatâ. Maka Ibnu Masâud langsung shalat empat rakaâat tanpa membantah.
Mereka langsung mempertanyakan, âBukankah anda yang meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah dan Abu Bakar melakukan shalat dua rakaâat ?â. Ibnu Masâud menjawab : âMemang, dan sekarang saya akan meriwayatkannya untuk kalian. Tetapi Usman bin Affan sekarang adalah imam kita dan saya enggan berbeda dengannya, karena perbedaan pendapat (pada saat seperti) ini adalah burukâ.
Diriwayatkan pula bahwa Imam Syafiâi meninggalkan qunut saat shalat subuh di Masjid Imam Abu Hanifah. Ini bertentangan dengan mazhab beliau sendiri. Banyak yang mempertanyakan hal itu, maka Imam Syafii menjawab : âAku tidak mencabut pendapatku tentang qunut pada shalat subuh tetapi aku menghormati pendapat Imam Abu Hanifahâ.
Dari Ibnu Abdil Barr berkata dalam At Tahmid : âPenulis pernah mendengar guru besar kami Abu umar Ahmad bin Abdul Malik berkata : âDahulu Abu Ibrahim bin Ishaq bin Ibrahim, guru besar kami, selalu mengangkat tangannya sebelum dan sesudah bangun dari rukuâ, berdasarkan hadits Ibnu Umar yang tercantum dalam Al Muwattaâ; sejauh yang penulis temui, beliau adalah terbaik yang paling menguasai fiqih dan paling benar dalam ilmu dan agamanyaâ.
Penulis berkata : âTapi kenapa anda tidak mengangkat tangan anda, agar kami bisa mengikuti anda ?â Beliau menjawab : âSaya tidak akan berbeda dengan bunyi hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Al Qasim, karena orang-orang disekitar kita sekarang ini melakukan rukuâ (tanpa mengangkat tangan) berdasarkan hadits itu. Dan tindakan yang berbeda dengan kebiasaan umum dalam hal-hal yang diperbolehkan bukan termasuk tradisi imam-imam kitaâ.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatwa nya mengatakan, âApabila seorang makmum berjamaâah dengan imam yang membaca qunut pada shalat subuh atau shalat witir, selayaknya dia ikut membaca qunut. Tidak perduli apakah imamnya berqunut sebelum rukuâ atau sesudahnya. Sebaliknya, kalau imamnya tidak membaca qunut, makmum juga dianjurkan tidak berqunut. Begitu juga kalau imam memandang bahwa perbuatan itu disunnatkan, berbeda dengan pandangan para makmumnya, maka ; kalau dia meninggalkannya untuk menyatukan pendapat, tentu tindakan ini dianggap lebih baikâ.
Ibnu Taimiyah kemudian mengajukan sabda Nabi kepada Aisyah sebagai dalil : âHanya karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah, aku tidak jadi menyuruh orang untuk meratakan bangunan Kaâbah, kemudian aku akan membuat bangunan baru yang mempunyai dua pintu, satu pintu untuk masuk dan pintu yang lain untuk keluarâ.
Terlihat disini, bahwa keinginan yang dianggap Nabi lebih baik ditinggalkan sendiri oleh beliau hanya supaya tidak menimbulkan antipati orang banyak.
Dibagian lain dalam buku Majmu Fatwanya, Ibnu Taimiyah berkata : âKarena itu, para imam, Ahmad dan lain-lainnya memandang akan lebih baik kalau seorang imam shalat meninggalkan sebuah perbuatan sunnat yang diyakininya, kalau hal itu bisa menarik simpati orang orang yang berimanâ.
Ibnu Muflih dalam kitabnya Al Funun dalam bab Al Adab Ast Syariâah berkata : âTidak boleh keluar (menyalahi) dari adat kebiasaan masyarakat kecuali kalau perbuatan itu diharamkan, karena Rasulullah sendiri telah membiarkan bangunan Kaâbah begitu saja, seraya bersabda : âKalau bukan karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyahâŠâ
Fiqih Ikhtilaf
Pokok-pokok pedoman bagi pemahaman fiqih ikhtilaf :
1. Persatuan adalah wajib.
âAku wasiatkan kepada kalian (Agar mengikuti) para sahabatku kemudian generasi berikutnya (tabiâin) kemudian generasi berikutnya (tabiâit tabiâin). Kalian harus tetap dalam jamaâah. Waspadalah terhadap perpecahan, karena sesungguhnya syetan bersama orang yang sendirian dan dia (syetan) akan lebih jauh dari dua orang. Barang siapa menginginkan bau harum surga hendaknya selalu dalam jamaâah.â (HR Turmudzi, Hakim, shahih menurut syarat Bukhary Muslim)
2. Menjauhi dan menghindari perpecahan.
âBerpeganglah kamu sekalian pada tali Allah dan jangan berpecah belahâ. (QS Ali Imran : 103).
ââŠdan janganlah kamu saling berselisih karena nanti kamu jadi lemah dan hilang kekuatan kamuâ. (QS Al Anfal : 46).
3. Perbedaan pendapat dalam masalah furuâ (cabang) adalah suatu kemestian yang pasti terjadi dan merupakan rahmat dan keluasan bagi umat.
Hadits Nabi : âPerbedaan (pendapat) umatku adalah rahmatâ.
Atsar riwayat Baihaqi, menyebutkan Khalifah Umar bin Abdul Azis berkata :
âSaya tidak senang bila para sahabat Nabi tidak berselisih pendapat, seandainya mereka tidak berselisih (berbeda) pendapat, niscaya tidak ada ruksyah (keringanan) bagi kitaâ.
4. Saling bertoleransi terhadap perbedaan pendapat masalah furuâ yang ijtihadi.
5. Tidak ada toleransi pada perbedaan pendapat yang nyeleneh pada masalah ushul (akidah) atau terhadap masalah yang dalilnya sudah qathâi (pasti) dan sharih (jelas).
6. Tidak memaksakan pendapat kepada orang lain.
7. Tidak memastikan dan tidak menolak mentah-mentah dalam masalah-masalah yang ijtihadi.
8. Bersikap moderat (pertengahan), tidak ekstrim berlebih-lebihan.
âJauhkanlah diri kamu dari berlebih-lebihan dalam agama karena orang-orang sebelum kamu hancur hanya disebabkan karena berlebih-lebihan dalam agamaâ. (HR Ahmad, Nasaâi, Ibnu Majah, Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu hibban)
9. Bersikap obyektif dan menelaah perbedaan pendapat diantara para ulama.
10. Menahan diri dari âmenyerangâ kelompok yang berbeda pendapat dalam masalah khilafiah dari : memvonis sesat, fasik, zindiq, mubtadi (pelaku bidâah) atau mengkafirkan.
11. Lebih memprioritaskan masalah yang lebih utama yang dihadapi umat daripada sekedar berkutat pada masalah ikhtilaf, seperti :
a. Ketinggalan science dan teknologi umat islam dibanding barat yang non muslim.
b. Kemiskinan dan kebodohan umat.
c. Kezaliman dan kesewenang-wenangang politik
d. Perang pemikiran (ghazwul fikri) yang menarik umat kearah materialistis, sekuleristis, hedonis.
e. Degradasi moral dan spiritual.
f. Zionisme dan Kolonialisme negeri negei Islam.
12. Menjauhi taqlid buta dan fanatisme
a. Mewajibkan taqlid pada salah satu mazhab atau kelompok tertentu.
b. Meneriakkan selogan bebas mazhab / tidak ber mazhab (dari empat mazhab yang sudah ada) tapi menjadikan imam yang lain sebagai mazhab ke lima.
c. Melarang taqlid pada ulama-ulama masa lalu tapi ber taqlid penuh pada ulama masa sekarang.
d. Merasa kelompoknya paling benar, paling super mendekati makshum yang bebas dari kesalahan.
e. Berperasangka baik kepada orang lain.
f. Adanya kemungkinan pluraritas kebenaran.
13. Tidak menyakiti orang yang berbeda pendapat.
14. Berdialog dengan cara yang baik dan ilmiah.
15. Menjauhi perdebatan sengit.
XV. Fikih Kotemporer
DR. Yusuf Qaradhawi, seorang ulama suni kotemporer, hufadz (hafal Al-Qurâan), dikenal moderat, matang dalam fiqih dan berwawasan luas, beliau pernah mendapat gelar âThe Man of The Yearâ dari pemerintah Uni Emirat Arab dalam bukunya âKebangkitan Gerakan Islam Dari Masa Transisi Menuju Kematanganâ menuliskan pemikirannya yang sangat menarik, penting dan perlu diketahui untuk menambah kematangan kita dalam memahami khazanah dan fenomena pemahaman beragama dalam masa kotemporer sekarang ini yaitu point-point menuju kematangan kebangkitan Islam yaitu :
1. Dari formalitas menuju hakikat.
Aspek lahir syariat : shalat, puasa, zakat haji, âhafalâ ayat dan teks hadits, hafal teori-teori theologi : sifat 20, asmaul husna, dsb itu semua adalah aspek formal yang penting, tapi jauh lebih penting adalah mengamalkan aspek hakikatnya, yaitu : menghambakan diri kepada Allah, tulus menolong sesama, rendah hati, menjauhi rasa sombong-tinggi hati.
2. Dari Simbol menuju substansi.
Memanjangkan jenggot, memakai baju gamis, memakai jilbab, memakai peci, memendekkan celana diatas mata kaki, membawa kayu siwak, dsb itu semua adalah simbol yang penting, tapi jauh lebih penting adalah memegangi substansinya yaitu : tauhid dalam akidah, ikhlas dalam ibadah, tulus menolong sesama, amanat dalam muamalah, adil dalam memutuskan, kasih sayang dalam pergaulan, berperasaan dalam etika, dsb.
3. Dari pembicaraan menuju amal
Ceramah, wejangan, obrolan itu adalah sebatas pembicaraan maka mengamalkannya itu jauh lebih penting.
4. Dari polemik-perdebatan menuju berlomba dalam kebaikan.
Diskusi, seminar, adu argumentasi, beradu dalil, mengunggulkan pendapat sendiri, melemahkan pendapat orang lain, itu semua termasuk polemik maka berlomba dalam kebaikan amal (fastabiqul khoirot) : mengamalkan ilmu yang sudah diketahui, membangun sarana pendidikan, menyantuni fakir-miskin, ber infaq untuk yayasan yayasan amal, riset penelitian ilmiah, itu semua jauh lebih penting.
5. Dari sentimentil menuju ilmiah
Mengedepankan aspek bangsa, ras, suku, golongan, kelompok, mazhab itu adalah aspek sentimen, maka mengutamakan kebenaran, dalil dan argumen itu adalah sikap ilmiah.
6. Dari emosional menuju rasional
Memusuhi kelompok yang berbeda, bersikap agresif-ofensif menyerang, itu adalah sikap emosional, maka menerima kebenaran dari kelompok lain dan
7. Dari ekstrim menuju moderat
Ciri sikap ekstrim berlebihan :
a. Tidak mengakui pendapat lain.
b. Memaksakan pendapat.
c. Keras bukan pada tempatnya (pada masalah furuâ yang ijtihadi).
d. Kasar, menyakiti.
e. Buruk sangka.
f. Memvonis orang lain sesat, mubtadi, fasik, kafir.
g. Liberalis.
h. Literalis.
i. Suka men-generalisir, tanpa memilih dan memilah.
Ciri-ciri sikap moderat adalah pertengahan :
a. Antara mengikuti mazhab dan non mazhab (memilih pendapat yang terbaik).
b. Antara pengikut tasawuf dan yang menentang tasawuf.
c. Antara rasionalis dan literalis.
d. Antara yang mengabaikan politik dan yang semata mata berkutat dalam politik.
e. Antara yang terburu-buru memertik buah sebelum matang dan yang terlalu lamban memetik buah hingga dipetik orang lain.
f. Antara kelompok idealis yang tidak melihat realita dan kelompok realis yang tidak percaya akan ide â ide.
8. Dari menyulitkan menuju kemudahan.
Tidak mau mengambil ruksyah, mudah mengharamkan, memperluas konsep bidâah dhalalah yaitu berpendapat seolah semua perkara baru yang tidak ada di jaman Nabi adalah bidâah dhalalah, sehingga seolah-olah hidup sekarang ini adalah penuh dengan sekumpulan larangan, itu semua adalah pandangan yang menyulitkan.
Padahal Allah berfirman :
âDia (Allah) tidak menghendaki adanya kesulitan bagimuâ. (QS Al Baqarah : 185).
âDia tidak menjadikan kesukaran dalam agama atas diri kalianâ. (QS Al Hajj : 78).
Hadits Nabi :
âAgama yang disukai Allah adalah agama yang mudahâ. (HR Bukhari, Ahmad, Thabrani)
âSesungguhnya Allah menyukai kalau ruksyah (keringanan)-Nya diambil, sebagaimana Dia suka dipenuhi azimah (ketentuan hukum asal bila tidak ada uzur) Nyaâ. (HR Ibnu Hibban, para pentaqiq tidak ada yang mendhaifkannya)
9. Dari jumud menuju ijtihad.
Hanya memegangi makna literal teks dalil yang masih dzanni, tidak mau mempertimbangkan maqashid syariâah, illat hukum, kondisi sosial dan perkembangan jaman dan sikap taqlid kepada pendapat ulama tertentu menyebabkan sikap jumud (beku), maka diperlukan sarana yang mecairkannya demi kemaslahatan umat yaitu menggalakkan kembali api ijtihad.
10. Dari taklid menuju ittibaâ.
Sikap taklid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui argumen-argumennya, sedangkan ittibaâ adalah mengetahui argumen-argumen para imam dan memilih mana yang paling baik.
11. Dari fanatisme menuju toleransi.
Ciri sikap fanatik :
a. Menganggap dirinya paling benar.
b. Menganggap semua yang lain pasti salah.
c. Keras pada masalah furuâ yang ijtihadi
d. Tidak mau meninggalkan perkara yang sunnah untuk menjaga solidaritas.
e. Tidak mau menerima pendapat lain yang lebih kuat.
Ciri sikap toleran :
a. Tidak merasa yang paling benar.
b. Mau menerima kemungkinan kebenaran ada pada orang lain.
c. Tidak bersikap keras pada masalah furuâ yang ijtihadi.
d. Mau meninggalkan perkara sunnah untuk menjaga solidaritas persamaan.
e. Mau menerima pendapat orang lain yang ternyata lebih kuat.
12. Dari eksklusifisme menuju inklusifisme.
13. Dari keberingasan menuju kasih sayang.
14. Dari perpecahan menuju persatuan.
15. Dari perselisihan menuju solidaritas.
0 comments:
Post a Comment