Pada periode baru dalam babakan perkembangan tafsir al-Quran1, penafsiran al-Quran dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari kalangan Islam maupun non muslim. Penafsiran atau pemahaman al-Quran tersebut–sebagian–telah menimbulkan kehawatiran beberapa pakar dibidang tafsir, karena diketahui terdapat berbagai pelanggaran terhadap kekhususan-kekhususan al-Quran yang seharusnya diperhatikan oleh para pemaham atau penafsir al-Quran. Di antara para pakar tafsir yang melihat adanya pelanggaran yang dimaksud ialah ‘Aisyah ‘Abd al-Rahman yang terkenal dengan sebutan Bint al-Syathy.2
Kekhususan-kekhususan al-Quran yang sering tidak diperhati-kan oleh para mufassir modern adalah merupakan segi-segi halus dan mendalam (وجوه الدقيقة) yang dimiliki al-Quran. Segi-segi yang dimaksud adalah: (1) segi qiraah; (2) dilalat al-kalimah; (3) kesatuan sistem redaksional yang khas; dan (4) adanya sifat-sifat Allah yang tidak bisa diganti dengan sebuatan selain yang ada dalam al-Quran3. Persoalan qiraah, menurut Bint al-Syathy’, tidak hanya berkaitan dengan masalah kaidah lughawy atau i’rab saja, tetapi juga termasuk aturan-aturan al-Waqf dan al-washl yang dengannya akan berkaitan dengan kesempurnaan makna ayat-ayat al-Quran. Menurutnya pula, masalah qiraah adalah sesuatu hal yang bersifat توقيفي (ketentuan yang datang dari Rasul) bukan merupakan lapangan ijtihadi. Konsekuensi logisnya, seseorang yang tidak memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan qiraah tidak mempunyai kompetensi untuk menafsirkan al-Quran.4
Menurut Bint al-Syathy’, makna kalimat Quraniyah kejelasan-nya tidak bisa didasarkan atas sumber-sumber kebahasaan asing se-mata, sebab pemakaian kosa kata dipengaruhi oleh masa dan tempat sehingga memiliki makna yang banyak dan berbeda-beda dan tidak bisa diterima oleh nash. Dalam hal ini, dalam al-Quran terdapat kata yang memiliki makna khas berbeda dengan apa yang dipahami dalam pemakaiannya sehari-hari. Sebagai contoh antara lain: kata الساعة atau ساعة dalam surat al-Rum (30) ayat 55.
ويوم تقوم الساعة يقسم المجرمون ما لبثوا غير ساعة كذلك كانوا يؤفكون
“Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa, “mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan se-saat (saja)”. Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari ke-benaran). (Q.S. al-Rum: 55)
Jika kata ساعة di atas dimaknai dengan menit, maka makna ter-sebut akan bertentangan dengan makna ساعة yang terdapat dalam ayat lain, bahkan bertentangan dengan seluruh kandungan ayat lain.5 Demikian juga makna kata قرية sebagai yang terdapat dalam surat al-A’raf: 94
وما أرسلنا في قرية من نبي إلا أخذنا أهلها بالبأساء والضراء لعلهم يضرعون
“Kami tidaklah mengutus seorang nabi pun kepada suatu negeri, (lalu pendudunya mendustakan nabi itu), melainkan kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.” (Q.S. al-A’raf: 94).
Dimaknai dengan wilayah yang memiliki batasan-batasan geo-grafis dan administratif, maka makna ini tidak sesuai dengan makna qaryah yang termaktub pada ayat lainnya6.
Kesatuan sistem redaksional al-Quran sebagai kekhususan yang dimiliki al-Quran berkaitan dengan ciri yang kedua, yaitu penjelasan kosa kata (اللفظ) atau ungkapan قرآنية yang tidak bisa dijelaskan secara parsial terlepas dari سيق الكلام dalam ayat atau surat atau bahkan seluruh mushhaf, karena susunan sistem redaksional al-Quran itu mempunyai kekhasan tersendiri dan berasal dari Allah. Sebuah contoh dapat dikemukakan ungkapan: وما يعلم تأويله إلا الله ketika dilepas dari siyaq ayat 7 surat Ali Imran secara lengkap, kemudian makna ungkapan tersebut diterapkan bagi seluruh ayat atau kalimat yang ada dalam al-Quran, maka proses dan penjelasan maknanya menjadi tidak benar dan bertentangan dengan semangat isi kandung-an keseluruhan ayat tersebut. Padahal yang dimaksud dari penggalan ayat: وما يعلم تأويله إلا الله ialah untuk ayat-ayat mutasyabihat saja sebagai yang dikemukakan dari ayat 7 surat ali Imran
هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله وما يعلم تأويله إلا الله والراسخون في العلم يقولون آمنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولوا الألباب (ال عمران: 7)
Kekhususan yang keempat dari al-Quran menyangkut al-lafzh yang menjelaskan sifat-sifat Allah seperti: الغني dan الملك. Nama-nama atau sifat-sifat Allah tersebut tidak bisa diganti dengan المليونير dan السيد.7
Dalam pandangan Bint al-Syathy, para pemaham al-Quran pada masa kini—beberapa di antaranya—tidak memperhatikan (وجوه الدقة) al-Quran tersebut. Demikian juga al-Dzahabi berkesimpulan bahwa pada masa kini muncul corak tafsir al-Ilhady, yaitu corak tafsir yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama dan penafsiran al-Quran.8 Berdasarkan atas persoalan-persoalan tersebut Bint al-Syathy berpendapat, bahwa persolaan (فهم القرآن) dan (تفسيرالقرآن) sebagai upaya memahami al-Quran menjadi pembeda.9 Perbedaan kedua istilah ini akan lebih jelas setelah nanti dikemukakan pan-dangan-pandangan yang mendasar (paradigma) penafsiran al-Quran, sebagai yang telah dibahas dalam buku ‘Ulum al-Quran dan buku-buku lainnya. Sebelum sampai pada pembahasan perbedaan istilah ‘Pemahaman al-Quran’ dan ‘Penafsiran al-Quran’, terlebih dahulu, akan dilihat pokok-pokok pemehaman al-Quran yang dike-mukakan oleh al-Mawdudy dan yang lainnya.
Menurut al-Mawdudy, untuk bisa memahami al-Quran, para pemaham harus memperhatikan أصلوب القرآن, esensi al-Quran dan tahapan-tahapannya serta kondisi yang berkaitan dengan turunnya (kaifiyah). Pemahaman terhadap أصلوب القرآن diperlukan sebab al-Quran berbeda dengan gaya penulisan buku-buku karya manusia yang memiliki sistematika serta bagian-bagiannya secara baku de-ngan pola-pola tertentu, sedangkan al-Quran tidak demikian adanya.
Berkaitan dengan pemahaman أصلوب القرآن adalah pemahaman terhadap esensi al-Quran. Esensi al-Quran menurut al-Mawdudy akan dapat dipahami setelah dikaji poin-poin (1) Allah sebagai pemilik, Pencipta semesta alam termasuk manusia dengan kebebasannya, (2) manusia terikat dengan perjanjian dengan Tuhan-Nya untuk taat dan mengarahkan hakikat tujuan hidupnya kepad-Nya, (3) untuk menca-pai tujuannya manusia dibekali cahaya terang ilmu dari Allah, (4) kemudian Allah untuk membimbing manusia mengutus para rasul-Nya dengan membawa kebenaran, (5) para Rasul diutus kepada umat yang berbeda tetapi dengan pola hidup yang benar, yaitu agama yang satu, dan (6) terakhir, Allah mengutus Muhammad saw., dengan ke-pentingan yang sama, yaitu mengajak manusia kepada pola hidup yang benar yang tertuang di dalam kitab Hida-yah, yaitu al-Quran.
Berkaitan pula dengan أصلوب القرآن yang harus dipahami para pemaham al-Quran adalah tahapan dan keadaan pada waktu turun al-Quran dengan uslub-nya adalah berkaitan dengan keadaan-keadaan yang dihadapi oleh Nabi saw., dari sisi ini – menurut al-Mawdudy—siyaq ayat-ayat yang turun di Madinah berbeda dengan siyaq ayat-ayat yang turun di Mekah.
Pada bagian Manhaj Dirasat al-Quran, al-Mawdudy menge-mukakan syarat-syaratnya: (1) wajib bagi orang yang hendak mema-hami al-Quran mengosongkan akal pikiran dari muatan-muatan konsep dan teori, membersihkan diri dari kecenderungan kepada materi, kemudian menyadarkan kajiannya atas pendengaran dan hati yang terbuka dan bermaksud semata-mata ingin memahaminya, (2) pemahaman harus mengulang dan melihat ayat dari berbagai seginya untuk mendapatkan penjelasan yang tuntas, (3) menelaah masalah pokok yang akan diteliti baik dalam pembahsan-pembahasan terda-hulu maupun yang terbaru, mengidentifikasinya dari segi prinsip-prinsip dan poin pentingnya–termasuk kelemahan manusia dalam melihat masalah tadi dihadapkan pada al-Quran secara berulang-ulang, (4) pemaham harus beramal sesuai dengan yang dikehendaki al-Quran dan mendasarkan penejelasannya kepada al-Quran sendiri; pemaham tidak hanya sekedar memberikan penjelasan kosa kata atau kalimat, tetapi konteks perkembangan dan pertentangan pemikiran ketika al-Quran turun harus dilihat sebagai dasar dan penjelasan ayat-ayat al-Quran. Untuk keseluruhan langkah-langkahnya, pemaham al-Quran harus memohon pertolongan kepada Allah agar bisa mencapai tujuan sesuai yang dikehendaki Allah.
Para ulama yang melihat segi kemukjizatan al-Quran terletak pada kandungan hukumnya (al-Syari’ah), pemahaman atau bahkan penafsiran al-Quran terikat pada kepentingan istinbath hukum.10 Pe-rsoalan yang dihadapi oleh ulama tersebut, yaitu ulama ushul adalah bagaimana menjelaskan dan menarik kesimpulan hukum yang ter-kandung dalam ayat-ayat al-Quran. Sebab, sebagian dari hukum-hukum tersebut sudah dijelaskan kepada makhluk-Nya secara tegas dalam teks al-Quran, sebagian lagi hukum yang masih memerlukan penjelasan-penjelasan dari Nabi saw., atau hukum yang tidak terda-pat secara tegas dalam ayat al-Quran, hanya saja Rasul saw., mela-kukan pengalamannya.11 Dengan demikian, lafzh atau ayat-ayat al-Quran دلالة-nya, sebagiannya bersifat قطعي dan sebagian lagi ظني.12 Dari per-soalan دلالة اللفظ dan maknanya, yang menjadi focus kajian di ka-langan ulama ushul adalah الألفاظ dan المعاني.
Intensitas pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran yang dilaku-kan ulama ushul dapat dilihat ketika mereka menjelaskan pengertian dalalah. Muhammad Abu Zahrah mengemukakan الدلالة adalah mak-na-makna yang diberikan oleh kosa kata (الألفاظ), atau sebuah ung-kapan kalimat. Sebuah contoh; memberikan kesimpulan: “Seburuk-buruknya perbuatan zhalim adalah memakan harta anak yatim, dan perbuatan ini diancam secara hukum yang berlaku di dunia (-ريمة)”. Merupakan hasil pemahaman terhadap ayat yang berbunyi :
إن الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إنما يأكلون في بطونهم نارا وسيصلون سعيرا (النساء: 10)
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim se-cara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (nera-ka).” (Q.S. al-Nisa: 10)
Demikian pula kesimpulan yang berbunyi: memberikan kesak-sian atas perbuatan keji (شهادة الزور) adalah perbuatan yang diancam sanksi agama dan hukum duniawi (جريمة) merupakan hasil pemaha-man terhadap ayat:
...فاجتنبوا الرجس من الأوثان واجتنبوا قول الزور (الحج: 30)
“… maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (Q.S. al-Hajj: 30) merupakan hasil pemahaman terhadap ayat ini, bukan hasil dari proses penje-lasan yang menggunakan sarana (metode, sumber dan alat-alat atau ‘ulum al-Quran) yang lengkap sebagai yang terjadi pada penafsiran al-Quran, jadi kesimpulan tersebut hanya merupakan hasil pemaha-man dari لفظ atau ungkapan ayat-ayat tersebut. Contoh di atas oleh Abu Zahrah disebutnya sebagai دلالة العبرة yaitu:
الوعني المفهوم من اللفظ سواء كان ظاهرا أم كان نصا زسواء كان محكما أم كان غير محكم
“Makna yang dipahami dari lafazh itu zhahir atau nash dan atau muhkam atau ghair muhkam.13 Intensitas pemahaman yang dilakukan oleh ulama ushul juga dapat dilihat dalam pembahasan masalah المفهوم baik مفهوم الموافقة maupun مفهوم المخالفة cara kerjanya yang menggunakan pemahaman dengan pendekatan kebahasaan.14 Dengan demikian, pemanfaatan ‘pemahaman’ sebagai satu istilah–dalam upa-ya pencarian makna ayat atau lafazh al-Quran– sering dilakukan oleh para ulama ushul dapat dilihat paling tidak dalam terminology ushul al-fiqh yang salah satunya المفهوم sebagaimana penjelasan di atas.
Di kalangan mutakalimin, pemahaman al-Quran dapat dilihat ketika mereka ‘menyelesaikan’ ayat-ayat mutasyabihah,15 terutama yang berkaitan dengan Allah swt., jika pun untuk ayat mutasyabih sebagian dari mutakalimin menggunakan al-ta’wil untuk menarik makna dari ayat atau lafazh al-Quran, pada dasarnya mereka melaku-kan pemahaman, sebab al-ta’wil sendiri adalah al-tarjih, dan al-tarjih bersandar kepada ijtihad,16 jadi dengan ijtihad ini makna-makna dita-rik. Untuk pelaksanaan ijtihad tersebut alat dan sumber yang diguna-kan adalah akal dan formasi kebahasaan.
Di kalangan aliran kalam rasional yang menjadikan akal dan al-wahy sebagai sumber pemikirannya,17 pemahaman al-Quran menjadi sangat terikat pada kekuatan akal. Akibatnya, dari keadaan yang di-sebut di akhir, teks-teks al-Quran dipahami berdasarkan akal dan ke-simpulan pemahamannya mesti diterima akal. Dengan keadaan ini, bisa disebut bahwa sumber terpakai dalam pemahaman al-Quran di kalangan aliran kalam rasional adalah akal.18 Sedangkan pendekatan-nya adalah pendekatan nalar,19 dengan pemanfaatan ilmu pengeta-huan sebagai kelengkapannya.
Berbeda dengan aliran kalam rasional, aliran kalam tradisional memahami al-Quran bersumber pada العقل . Secara teknis, aliran ini terlebih dahulu merujuk kepada al-Quran, kemudian memberi argu-men rasional untuk menjelaskan teks-teks al-Quran.20 Keterikatan ke-pada teks al-Quran bagi kelompok kedua ini (aliran al-naqliyyah) menjadikan akal harus tunduk kepada maksud الوحي yang tersurat da-lam teksnya, dan dengan demikian aliran ini berpegang kepada arti lafazhnya,21 dan secara fungsional akal menempati posisi sebagai alat saja.22 Fungsionalisasi akal sebagai alat pemhaman al-Quran, dapat dilihat ketika al-Asy’ary–-sebagai wakil dari aliran al-naqliyyah – berbicara tentang مصدر المعرفة pengetahuan manusia (akal) dapat sampai kepada pengetahuan Tuhan,23 hanya saja masalah al-taklif bagi ma-nusia tidak bisa diketahui dengan menggunakan akal tetapi dengan al-wahy. Dengan demikian dapat dikatakan, sumber pemahaman al-Quran di kalangan’Asy’ariyyah adalah al-naql.
Kelompok shufy yang salah satu tujuan pentingnya adalah ma’-rifah atau kenal dan dekat dengan Allah Ta’ala, menjadikan al-wahy sebagai sumber untuk mencapai tujuan tersebut.24 Dalam pemaha-mannya terhadap al-Quran, shufy mementingkan kebeningan hati dan kebersihan jiwa agar dapat menerima pesan-pesan al-Quran. Keber-sihan jiwa (الصفاء النفسي) merupakan alat penting untuk sampainya shuffy pada tujuannya. Dengan demikian, alat pemahaman al-Quran yang digunakan oleh shufy adalah jiwa yang bersih – sebagai hasil latihan-latihan nurani–dan atau prinsip-prinsip ilmu (النظرية) serta falsafah.25 Untuk mengetahui secara jelas alat-alat yangdigunakan oleh shufy dalam pemahamannya terhadap al-Quran terutama di kala-ngan para pengikut ajaran tasawuf ‘amaly adalah tidak mudah, sebab pandangan-pandangan mendasar (paradigma) dari ajarannya yang subjektif dan individual sangat berpengaruh dalam penarikan makna ayat-ayat al-Quran. Al-Dzahaby dalam kaitan ini mengemukakan se-orang shufy tidak memperhatikan seluruh segi yang dimaksud oleh ayat, tetapi ia melihat adanya satu makna yang kuat (الظاهرة) yang di-tunjuk oleh jiwanya (الدهن).26 Dengan demikian, tuntutan al-dzihn itulah yang mendorong seorang shufy untuk mencari kesimpulan makna al-Quran yang dipahaminya. Dengan apa yang disebt diakhir, bisa dikatakan bahwa makna ayat al-Quran yang diberikan oleh shufy merupakan kesannya mengenai ayat tersebut; oleh karenanya sangat subjektif, sulit dikontrol kebenarannya secara metodologis.
Sumber pemahaman al-Quran para filosof muslim adalah pemi-kiran dan teori-teori falsafah, demikian juga alat dan pendekatannya adalah pemikiran filosof. Sikap yang ditampilkan para filosof dalam menghadapi al-Quran untuk keperluannya–paling tidak–menyejajar-kan al-Quran dengan pemikiran dan teori-teori falsafah atau sampai pada tingkat meletakkan al-Quran serta menghaimi teks-teks al-Qur-an dengan falsafah.27 Dan bagian yang terakhir ini oleh al-Dzahaby dipandang sebagai telah banyak mendatangkan keburukan atas agama dengan alasan filsafah tersebut telah melewati batas agama.28
Jika yang sudah dikemukakan menyangkut pemahman al-Quran di kalangan ulama ushul al-fiqh, mutakalimin, shufy dan filosof hanya pada aspek sumber, alat dan pendekatan dan hasilnya menampakkan perbedaan, maka bagaimana pemahaman mufassir terhadap al-Quran dari segi-segi yang lebih luas, yaitu segi sumber, metode, alat atau instrumen, pendekatan, tujuan serta sikap atau pelakunya terhadap al-Quran. Pertanyaan ini diajukan mengingat beberapa masalah antara lain: (1) terdapat perbedaan sumber dan alat dalam pemahaman al-Quran, sebagai yang sudah dilihat, (2) sifat al-Quran yang terbuka untuk didatangi oleh siapa saja dengan tujuan, pendekatan, alat bah-kan sumber–yang nyata–berbeda yang digunakan dalam pemahaman-nya, telah melahirkan sejumlah karya dalam bentuk penafsiran al-Quran atau kajian Qurany tentang berbagai segi dari kehidupan ma-nusia. Terhadap karya-karya tersebut sebagian kecil dinilai berlebih-an oleh para pakar tafsir karena telah keluar dari keperluan penafsiran al-Quran,29 di samping yang lainnya sebagai khazanah penting bagi perkembangan ilmu di dunia Islam bahkan di luar Islam. Kemudian karena al-Quran adalah wahyu yang di dalamnya merupakan ajaran atau petunjuk dari Allah, difirmankan oleh Allah, pemilik redaksi Allah, maka menjelaskan dan mengungkap maksud Allah dalam fir-man-Nya adalah menjadi penting, substantif. Sebab dari sini akan didapat ciri-ciri dari metode, alat, sumber, sikap atau perlakuan ter-hadap al-Quran serta tujuan yang ditetapkan oleh pemaham atau pe-nafsir al-Quran, di dalam proses pemahamannya. Jika demikian per-masalahan yang dimunculkan adalah bagaimana kriteria dari sumber, tujuan, pendekatan, alat dan segi lainnya untuk tafsir al-Quran?
Untuk mengetahui rumusan-rumusan substansial dari penafsiran al-Quran dan segi-seginya, bisa dilakukan dengan (1) diinduksi dari rumusan atau definisi al-tafsir yang dikemukakan oleh beberapa to-koh–seperti yang dilakukan oleh al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, (2) pelacakan langsung kepada ayat yang mempunyai kaitan dengan sumber penjelasan firman Allah, bacaan (قرائة) dan su-sunan redaksional al-Quran serta segi-segi lainnya dari al-Quran. Cara pertama akan dimanfaatkan sebagai bahan bandingan terhadap cara kedua yag akan dilakukan. Dengan demikian, pada dasarnya kedua cara di atas akan ditempuh dengan kerangka sebagai yang su-dah diajukan di muka, yaitu segi, sumber, tujuan, pendekatan, instru-men, perlakuan terhadap al-Quran dan sikap atau gaya pelaku (mu-fassir atau pemaham).
Kekhususan-kekhususan al-Quran yang sering tidak diperhati-kan oleh para mufassir modern adalah merupakan segi-segi halus dan mendalam (وجوه الدقيقة) yang dimiliki al-Quran. Segi-segi yang dimaksud adalah: (1) segi qiraah; (2) dilalat al-kalimah; (3) kesatuan sistem redaksional yang khas; dan (4) adanya sifat-sifat Allah yang tidak bisa diganti dengan sebuatan selain yang ada dalam al-Quran3. Persoalan qiraah, menurut Bint al-Syathy’, tidak hanya berkaitan dengan masalah kaidah lughawy atau i’rab saja, tetapi juga termasuk aturan-aturan al-Waqf dan al-washl yang dengannya akan berkaitan dengan kesempurnaan makna ayat-ayat al-Quran. Menurutnya pula, masalah qiraah adalah sesuatu hal yang bersifat توقيفي (ketentuan yang datang dari Rasul) bukan merupakan lapangan ijtihadi. Konsekuensi logisnya, seseorang yang tidak memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan qiraah tidak mempunyai kompetensi untuk menafsirkan al-Quran.4
Menurut Bint al-Syathy’, makna kalimat Quraniyah kejelasan-nya tidak bisa didasarkan atas sumber-sumber kebahasaan asing se-mata, sebab pemakaian kosa kata dipengaruhi oleh masa dan tempat sehingga memiliki makna yang banyak dan berbeda-beda dan tidak bisa diterima oleh nash. Dalam hal ini, dalam al-Quran terdapat kata yang memiliki makna khas berbeda dengan apa yang dipahami dalam pemakaiannya sehari-hari. Sebagai contoh antara lain: kata الساعة atau ساعة dalam surat al-Rum (30) ayat 55.
ويوم تقوم الساعة يقسم المجرمون ما لبثوا غير ساعة كذلك كانوا يؤفكون
“Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa, “mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan se-saat (saja)”. Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari ke-benaran). (Q.S. al-Rum: 55)
Jika kata ساعة di atas dimaknai dengan menit, maka makna ter-sebut akan bertentangan dengan makna ساعة yang terdapat dalam ayat lain, bahkan bertentangan dengan seluruh kandungan ayat lain.5 Demikian juga makna kata قرية sebagai yang terdapat dalam surat al-A’raf: 94
وما أرسلنا في قرية من نبي إلا أخذنا أهلها بالبأساء والضراء لعلهم يضرعون
“Kami tidaklah mengutus seorang nabi pun kepada suatu negeri, (lalu pendudunya mendustakan nabi itu), melainkan kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.” (Q.S. al-A’raf: 94).
Dimaknai dengan wilayah yang memiliki batasan-batasan geo-grafis dan administratif, maka makna ini tidak sesuai dengan makna qaryah yang termaktub pada ayat lainnya6.
Kesatuan sistem redaksional al-Quran sebagai kekhususan yang dimiliki al-Quran berkaitan dengan ciri yang kedua, yaitu penjelasan kosa kata (اللفظ) atau ungkapan قرآنية yang tidak bisa dijelaskan secara parsial terlepas dari سيق الكلام dalam ayat atau surat atau bahkan seluruh mushhaf, karena susunan sistem redaksional al-Quran itu mempunyai kekhasan tersendiri dan berasal dari Allah. Sebuah contoh dapat dikemukakan ungkapan: وما يعلم تأويله إلا الله ketika dilepas dari siyaq ayat 7 surat Ali Imran secara lengkap, kemudian makna ungkapan tersebut diterapkan bagi seluruh ayat atau kalimat yang ada dalam al-Quran, maka proses dan penjelasan maknanya menjadi tidak benar dan bertentangan dengan semangat isi kandung-an keseluruhan ayat tersebut. Padahal yang dimaksud dari penggalan ayat: وما يعلم تأويله إلا الله ialah untuk ayat-ayat mutasyabihat saja sebagai yang dikemukakan dari ayat 7 surat ali Imran
هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله وما يعلم تأويله إلا الله والراسخون في العلم يقولون آمنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولوا الألباب (ال عمران: 7)
Kekhususan yang keempat dari al-Quran menyangkut al-lafzh yang menjelaskan sifat-sifat Allah seperti: الغني dan الملك. Nama-nama atau sifat-sifat Allah tersebut tidak bisa diganti dengan المليونير dan السيد.7
Dalam pandangan Bint al-Syathy, para pemaham al-Quran pada masa kini—beberapa di antaranya—tidak memperhatikan (وجوه الدقة) al-Quran tersebut. Demikian juga al-Dzahabi berkesimpulan bahwa pada masa kini muncul corak tafsir al-Ilhady, yaitu corak tafsir yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama dan penafsiran al-Quran.8 Berdasarkan atas persoalan-persoalan tersebut Bint al-Syathy berpendapat, bahwa persolaan (فهم القرآن) dan (تفسيرالقرآن) sebagai upaya memahami al-Quran menjadi pembeda.9 Perbedaan kedua istilah ini akan lebih jelas setelah nanti dikemukakan pan-dangan-pandangan yang mendasar (paradigma) penafsiran al-Quran, sebagai yang telah dibahas dalam buku ‘Ulum al-Quran dan buku-buku lainnya. Sebelum sampai pada pembahasan perbedaan istilah ‘Pemahaman al-Quran’ dan ‘Penafsiran al-Quran’, terlebih dahulu, akan dilihat pokok-pokok pemehaman al-Quran yang dike-mukakan oleh al-Mawdudy dan yang lainnya.
Menurut al-Mawdudy, untuk bisa memahami al-Quran, para pemaham harus memperhatikan أصلوب القرآن, esensi al-Quran dan tahapan-tahapannya serta kondisi yang berkaitan dengan turunnya (kaifiyah). Pemahaman terhadap أصلوب القرآن diperlukan sebab al-Quran berbeda dengan gaya penulisan buku-buku karya manusia yang memiliki sistematika serta bagian-bagiannya secara baku de-ngan pola-pola tertentu, sedangkan al-Quran tidak demikian adanya.
Berkaitan dengan pemahaman أصلوب القرآن adalah pemahaman terhadap esensi al-Quran. Esensi al-Quran menurut al-Mawdudy akan dapat dipahami setelah dikaji poin-poin (1) Allah sebagai pemilik, Pencipta semesta alam termasuk manusia dengan kebebasannya, (2) manusia terikat dengan perjanjian dengan Tuhan-Nya untuk taat dan mengarahkan hakikat tujuan hidupnya kepad-Nya, (3) untuk menca-pai tujuannya manusia dibekali cahaya terang ilmu dari Allah, (4) kemudian Allah untuk membimbing manusia mengutus para rasul-Nya dengan membawa kebenaran, (5) para Rasul diutus kepada umat yang berbeda tetapi dengan pola hidup yang benar, yaitu agama yang satu, dan (6) terakhir, Allah mengutus Muhammad saw., dengan ke-pentingan yang sama, yaitu mengajak manusia kepada pola hidup yang benar yang tertuang di dalam kitab Hida-yah, yaitu al-Quran.
Berkaitan pula dengan أصلوب القرآن yang harus dipahami para pemaham al-Quran adalah tahapan dan keadaan pada waktu turun al-Quran dengan uslub-nya adalah berkaitan dengan keadaan-keadaan yang dihadapi oleh Nabi saw., dari sisi ini – menurut al-Mawdudy—siyaq ayat-ayat yang turun di Madinah berbeda dengan siyaq ayat-ayat yang turun di Mekah.
Pada bagian Manhaj Dirasat al-Quran, al-Mawdudy menge-mukakan syarat-syaratnya: (1) wajib bagi orang yang hendak mema-hami al-Quran mengosongkan akal pikiran dari muatan-muatan konsep dan teori, membersihkan diri dari kecenderungan kepada materi, kemudian menyadarkan kajiannya atas pendengaran dan hati yang terbuka dan bermaksud semata-mata ingin memahaminya, (2) pemahaman harus mengulang dan melihat ayat dari berbagai seginya untuk mendapatkan penjelasan yang tuntas, (3) menelaah masalah pokok yang akan diteliti baik dalam pembahsan-pembahasan terda-hulu maupun yang terbaru, mengidentifikasinya dari segi prinsip-prinsip dan poin pentingnya–termasuk kelemahan manusia dalam melihat masalah tadi dihadapkan pada al-Quran secara berulang-ulang, (4) pemaham harus beramal sesuai dengan yang dikehendaki al-Quran dan mendasarkan penejelasannya kepada al-Quran sendiri; pemaham tidak hanya sekedar memberikan penjelasan kosa kata atau kalimat, tetapi konteks perkembangan dan pertentangan pemikiran ketika al-Quran turun harus dilihat sebagai dasar dan penjelasan ayat-ayat al-Quran. Untuk keseluruhan langkah-langkahnya, pemaham al-Quran harus memohon pertolongan kepada Allah agar bisa mencapai tujuan sesuai yang dikehendaki Allah.
Para ulama yang melihat segi kemukjizatan al-Quran terletak pada kandungan hukumnya (al-Syari’ah), pemahaman atau bahkan penafsiran al-Quran terikat pada kepentingan istinbath hukum.10 Pe-rsoalan yang dihadapi oleh ulama tersebut, yaitu ulama ushul adalah bagaimana menjelaskan dan menarik kesimpulan hukum yang ter-kandung dalam ayat-ayat al-Quran. Sebab, sebagian dari hukum-hukum tersebut sudah dijelaskan kepada makhluk-Nya secara tegas dalam teks al-Quran, sebagian lagi hukum yang masih memerlukan penjelasan-penjelasan dari Nabi saw., atau hukum yang tidak terda-pat secara tegas dalam ayat al-Quran, hanya saja Rasul saw., mela-kukan pengalamannya.11 Dengan demikian, lafzh atau ayat-ayat al-Quran دلالة-nya, sebagiannya bersifat قطعي dan sebagian lagi ظني.12 Dari per-soalan دلالة اللفظ dan maknanya, yang menjadi focus kajian di ka-langan ulama ushul adalah الألفاظ dan المعاني.
Intensitas pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran yang dilaku-kan ulama ushul dapat dilihat ketika mereka menjelaskan pengertian dalalah. Muhammad Abu Zahrah mengemukakan الدلالة adalah mak-na-makna yang diberikan oleh kosa kata (الألفاظ), atau sebuah ung-kapan kalimat. Sebuah contoh; memberikan kesimpulan: “Seburuk-buruknya perbuatan zhalim adalah memakan harta anak yatim, dan perbuatan ini diancam secara hukum yang berlaku di dunia (-ريمة)”. Merupakan hasil pemahaman terhadap ayat yang berbunyi :
إن الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إنما يأكلون في بطونهم نارا وسيصلون سعيرا (النساء: 10)
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim se-cara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (nera-ka).” (Q.S. al-Nisa: 10)
Demikian pula kesimpulan yang berbunyi: memberikan kesak-sian atas perbuatan keji (شهادة الزور) adalah perbuatan yang diancam sanksi agama dan hukum duniawi (جريمة) merupakan hasil pemaha-man terhadap ayat:
...فاجتنبوا الرجس من الأوثان واجتنبوا قول الزور (الحج: 30)
“… maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (Q.S. al-Hajj: 30) merupakan hasil pemahaman terhadap ayat ini, bukan hasil dari proses penje-lasan yang menggunakan sarana (metode, sumber dan alat-alat atau ‘ulum al-Quran) yang lengkap sebagai yang terjadi pada penafsiran al-Quran, jadi kesimpulan tersebut hanya merupakan hasil pemaha-man dari لفظ atau ungkapan ayat-ayat tersebut. Contoh di atas oleh Abu Zahrah disebutnya sebagai دلالة العبرة yaitu:
الوعني المفهوم من اللفظ سواء كان ظاهرا أم كان نصا زسواء كان محكما أم كان غير محكم
“Makna yang dipahami dari lafazh itu zhahir atau nash dan atau muhkam atau ghair muhkam.13 Intensitas pemahaman yang dilakukan oleh ulama ushul juga dapat dilihat dalam pembahasan masalah المفهوم baik مفهوم الموافقة maupun مفهوم المخالفة cara kerjanya yang menggunakan pemahaman dengan pendekatan kebahasaan.14 Dengan demikian, pemanfaatan ‘pemahaman’ sebagai satu istilah–dalam upa-ya pencarian makna ayat atau lafazh al-Quran– sering dilakukan oleh para ulama ushul dapat dilihat paling tidak dalam terminology ushul al-fiqh yang salah satunya المفهوم sebagaimana penjelasan di atas.
Di kalangan mutakalimin, pemahaman al-Quran dapat dilihat ketika mereka ‘menyelesaikan’ ayat-ayat mutasyabihah,15 terutama yang berkaitan dengan Allah swt., jika pun untuk ayat mutasyabih sebagian dari mutakalimin menggunakan al-ta’wil untuk menarik makna dari ayat atau lafazh al-Quran, pada dasarnya mereka melaku-kan pemahaman, sebab al-ta’wil sendiri adalah al-tarjih, dan al-tarjih bersandar kepada ijtihad,16 jadi dengan ijtihad ini makna-makna dita-rik. Untuk pelaksanaan ijtihad tersebut alat dan sumber yang diguna-kan adalah akal dan formasi kebahasaan.
Di kalangan aliran kalam rasional yang menjadikan akal dan al-wahy sebagai sumber pemikirannya,17 pemahaman al-Quran menjadi sangat terikat pada kekuatan akal. Akibatnya, dari keadaan yang di-sebut di akhir, teks-teks al-Quran dipahami berdasarkan akal dan ke-simpulan pemahamannya mesti diterima akal. Dengan keadaan ini, bisa disebut bahwa sumber terpakai dalam pemahaman al-Quran di kalangan aliran kalam rasional adalah akal.18 Sedangkan pendekatan-nya adalah pendekatan nalar,19 dengan pemanfaatan ilmu pengeta-huan sebagai kelengkapannya.
Berbeda dengan aliran kalam rasional, aliran kalam tradisional memahami al-Quran bersumber pada العقل . Secara teknis, aliran ini terlebih dahulu merujuk kepada al-Quran, kemudian memberi argu-men rasional untuk menjelaskan teks-teks al-Quran.20 Keterikatan ke-pada teks al-Quran bagi kelompok kedua ini (aliran al-naqliyyah) menjadikan akal harus tunduk kepada maksud الوحي yang tersurat da-lam teksnya, dan dengan demikian aliran ini berpegang kepada arti lafazhnya,21 dan secara fungsional akal menempati posisi sebagai alat saja.22 Fungsionalisasi akal sebagai alat pemhaman al-Quran, dapat dilihat ketika al-Asy’ary–-sebagai wakil dari aliran al-naqliyyah – berbicara tentang مصدر المعرفة pengetahuan manusia (akal) dapat sampai kepada pengetahuan Tuhan,23 hanya saja masalah al-taklif bagi ma-nusia tidak bisa diketahui dengan menggunakan akal tetapi dengan al-wahy. Dengan demikian dapat dikatakan, sumber pemahaman al-Quran di kalangan’Asy’ariyyah adalah al-naql.
Kelompok shufy yang salah satu tujuan pentingnya adalah ma’-rifah atau kenal dan dekat dengan Allah Ta’ala, menjadikan al-wahy sebagai sumber untuk mencapai tujuan tersebut.24 Dalam pemaha-mannya terhadap al-Quran, shufy mementingkan kebeningan hati dan kebersihan jiwa agar dapat menerima pesan-pesan al-Quran. Keber-sihan jiwa (الصفاء النفسي) merupakan alat penting untuk sampainya shuffy pada tujuannya. Dengan demikian, alat pemahaman al-Quran yang digunakan oleh shufy adalah jiwa yang bersih – sebagai hasil latihan-latihan nurani–dan atau prinsip-prinsip ilmu (النظرية) serta falsafah.25 Untuk mengetahui secara jelas alat-alat yangdigunakan oleh shufy dalam pemahamannya terhadap al-Quran terutama di kala-ngan para pengikut ajaran tasawuf ‘amaly adalah tidak mudah, sebab pandangan-pandangan mendasar (paradigma) dari ajarannya yang subjektif dan individual sangat berpengaruh dalam penarikan makna ayat-ayat al-Quran. Al-Dzahaby dalam kaitan ini mengemukakan se-orang shufy tidak memperhatikan seluruh segi yang dimaksud oleh ayat, tetapi ia melihat adanya satu makna yang kuat (الظاهرة) yang di-tunjuk oleh jiwanya (الدهن).26 Dengan demikian, tuntutan al-dzihn itulah yang mendorong seorang shufy untuk mencari kesimpulan makna al-Quran yang dipahaminya. Dengan apa yang disebt diakhir, bisa dikatakan bahwa makna ayat al-Quran yang diberikan oleh shufy merupakan kesannya mengenai ayat tersebut; oleh karenanya sangat subjektif, sulit dikontrol kebenarannya secara metodologis.
Sumber pemahaman al-Quran para filosof muslim adalah pemi-kiran dan teori-teori falsafah, demikian juga alat dan pendekatannya adalah pemikiran filosof. Sikap yang ditampilkan para filosof dalam menghadapi al-Quran untuk keperluannya–paling tidak–menyejajar-kan al-Quran dengan pemikiran dan teori-teori falsafah atau sampai pada tingkat meletakkan al-Quran serta menghaimi teks-teks al-Qur-an dengan falsafah.27 Dan bagian yang terakhir ini oleh al-Dzahaby dipandang sebagai telah banyak mendatangkan keburukan atas agama dengan alasan filsafah tersebut telah melewati batas agama.28
Jika yang sudah dikemukakan menyangkut pemahman al-Quran di kalangan ulama ushul al-fiqh, mutakalimin, shufy dan filosof hanya pada aspek sumber, alat dan pendekatan dan hasilnya menampakkan perbedaan, maka bagaimana pemahaman mufassir terhadap al-Quran dari segi-segi yang lebih luas, yaitu segi sumber, metode, alat atau instrumen, pendekatan, tujuan serta sikap atau pelakunya terhadap al-Quran. Pertanyaan ini diajukan mengingat beberapa masalah antara lain: (1) terdapat perbedaan sumber dan alat dalam pemahaman al-Quran, sebagai yang sudah dilihat, (2) sifat al-Quran yang terbuka untuk didatangi oleh siapa saja dengan tujuan, pendekatan, alat bah-kan sumber–yang nyata–berbeda yang digunakan dalam pemahaman-nya, telah melahirkan sejumlah karya dalam bentuk penafsiran al-Quran atau kajian Qurany tentang berbagai segi dari kehidupan ma-nusia. Terhadap karya-karya tersebut sebagian kecil dinilai berlebih-an oleh para pakar tafsir karena telah keluar dari keperluan penafsiran al-Quran,29 di samping yang lainnya sebagai khazanah penting bagi perkembangan ilmu di dunia Islam bahkan di luar Islam. Kemudian karena al-Quran adalah wahyu yang di dalamnya merupakan ajaran atau petunjuk dari Allah, difirmankan oleh Allah, pemilik redaksi Allah, maka menjelaskan dan mengungkap maksud Allah dalam fir-man-Nya adalah menjadi penting, substantif. Sebab dari sini akan didapat ciri-ciri dari metode, alat, sumber, sikap atau perlakuan ter-hadap al-Quran serta tujuan yang ditetapkan oleh pemaham atau pe-nafsir al-Quran, di dalam proses pemahamannya. Jika demikian per-masalahan yang dimunculkan adalah bagaimana kriteria dari sumber, tujuan, pendekatan, alat dan segi lainnya untuk tafsir al-Quran?
Untuk mengetahui rumusan-rumusan substansial dari penafsiran al-Quran dan segi-seginya, bisa dilakukan dengan (1) diinduksi dari rumusan atau definisi al-tafsir yang dikemukakan oleh beberapa to-koh–seperti yang dilakukan oleh al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, (2) pelacakan langsung kepada ayat yang mempunyai kaitan dengan sumber penjelasan firman Allah, bacaan (قرائة) dan su-sunan redaksional al-Quran serta segi-segi lainnya dari al-Quran. Cara pertama akan dimanfaatkan sebagai bahan bandingan terhadap cara kedua yag akan dilakukan. Dengan demikian, pada dasarnya kedua cara di atas akan ditempuh dengan kerangka sebagai yang su-dah diajukan di muka, yaitu segi, sumber, tujuan, pendekatan, instru-men, perlakuan terhadap al-Quran dan sikap atau gaya pelaku (mu-fassir atau pemaham).
0 comments:
Post a Comment