Wilujeng Sumping, alias SELAMAT DATANG... di blog simkuring... moga-moga aya manfaat nu tiasa katampi... hapunten nu kasuhun... bilih aya nu teu kahartos...

Kang Yosep: "Idealis" menapaki "Realitas"


DATA MAHASISWA

No. NIM Nama Mahasiswa
1 09.0290 Abdul Malik
2 09.0267 Agus Salim
3 09.0292 Asep Haerudin
4 09.0282 Asep Saripin
5 09.0301 Basir Japidung
6 09.0259 Diman Zamil
7 09.0303 Ema Nurhasanah
8 09.0278 Fitri Indriani
9 09.0299 Galih Permana
10 09.0270 Ikrima Nisa Habibah
11 09.0275 Ismailia
12 09.0325 Maya Susanti
13 09.0324 Mira Nopita
14 09.0326 Rani Tri Lesmayanti
15 09.0260 Risa Apriani
16 09.0385 Sidiq Ginanjar
17 09.0300 Siti Nurul Hidayah
18 09.0328 Tedi Setiadi
19 09.0327 Toto Soni
20 09.0383 Winda Gustiani
21 09.0319 Wiwin Muspianti
22 09.0384 Yana Hadiana
23 09.0283 Yopi Sopiana
24 09.0265 Yosep Saeful Azhar Photobucket
25 09.0298 Endang Sudrajat
26 09.0316 Supian Munawar
27 Asep Al-Juhaeri

Sunday, January 17

Kode Etik Pengkaji al-Quran

Sebagai bagain akhir dari pembahasan bingkai pemahaman al-Quran, penulis merasa perlu untuk menampilkan masalah yang berhubungan dengan sikap atau kode etika para pengkaji al-Quran terhadap kitab suci ini. Hal ini dianggap perlu, sebab sa-lah satu faktor yang akan mampu menjernihkan pemikiran seseorang dalam memahami al-Quran adalah sikap dia terhadapnya. Dalam hal ini, walaupun ia sudah mempunyai beberapa perangkat metodologi untuk memahami al-Quran, namun ia tidak memiliki pengetahuan ak-an hal-hal yang berkaitan dengan kode etik terhadap al-Quran, mung-kin saja ia akan mengalami kebuntuan dalam melakukan pemahaman-nya itu.

Berkaitan dengan hal ini, pertama-tama seorang pengkaji al-Quran harus mempunyai pengetahuan akan sisi perbedaan dan per-samaan antara al-Quran sebagai kitab dengan al-Quran sebagai kalam. Sebagaimana pendapat Mulla Shadra, al-Quran mempunyai pososi sebagai kitab sekaligus sebagai kalam. Berdasarkan pendapatnya itu, Shadra mencoba mengkaji sisi perbedaan antara al-kitab dan al-kalam. Menurutnya, al-Quran adalah kalam Allah sekaligus sebagai kitab-Nya. Dengan demikian, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad adalah al-Quran sekaligus furqan. Dalam hal ini, pem-bicaraan Tuhan adalah ekspresi penetapan-Nya atas kata-kata yang sempurna, dan penurunan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat da-lam kata-kata dan pernyataan-pernyataan. Oleh karenanya, dari satu sudut pandang, pembicaraan Tuhan adalah “Quran” (kalam basyit) dan dari sudut pandang lain ia adalah “furqan” yakni terpisah, realitas lahir (tarkib).
Dalam pandangan kaum arif, al-Quran adalah ibarat akal yang sederhana (basiyit), dan ilmu global (ijmaliy), adapun al-Furqan me-rupakan gambaran dari ilmu-ilmu yang bersifat komplek yang ber-sumber dari akal basyit, demikian halnya akal quran merupakan asal usul (mabda) untuk mencapai gambaran pemikiran ilmiah bagi jiwa. Dilihat dari aspek ini, menurut Shadra, sebagai Quran (ibu dari al-kitab), pembicaraan Tuhan berbeda dari “kitab”, karena “kitab” ter-masuk dalam dunia penciptaan (lahir) sebagaimana firman-Nya:
وما كنت تتلو من قبله من كتاب ولا تخطه بيمينك إذا لارتاب المبطلون

“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya sesuatu kitabpun dan kamu tidak pernah menulis sesuatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata kamu pernah membaca dan pernah menulis, benar-benar ragulah orang yang mengingkarimu”. (Q.S 29: 48).
Lebih lanjut, pembicaraan Tuhan termasuk dalam Alam perintah dan tempat pembicaraan tersebut adalah hati-hati dan dada-dada (ma-nusia). Untuk menguatkan pandangan ini, Shadra merujuk kepada firman Allah:
تنزل الملائكة والروح فيها بإذن ربهم من كل أمر
“Pada malam itu tuirun Malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan”. (Q.S 97: 4)

بل هو آيات بينات في صدور الذين أوتوا العلم وما يجحد بآياتنا إلا الظالمون

“Sesungguhnya al-Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim”. (Q.S. 29: 49).
Sementara itu, menurut Shadra, kitab merupakan wujud-wujud lahir yang dapat dirasakan setiap orang. Namun demikian, pembi-caraan Tuhan adalah pada kitab yang terpelihara, tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan dari penecemaran dunia alamiah manusia yang fana ini. Dalam hal ini, Shadra mengutif firman Allah:
وإذ أنجيناكم من آل فرعون يسومونكم سوء العذاب يقتلون أبناءكم ويستحيون نساءكم وفي ذلكم بلاء من ربكم عظيم
“Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada lauh-lauh (taurat) sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu: maka Kami berfirman, “Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah ka-ummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baik-nya, nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negri orang-orang yang pasik”. (Q.S 7: 145)
في كتاب مكنون لا يمسه إلا المطهرون
“Pada kitab yang terpelihara (lauh mahfudz) tidak menyen-tuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan”. (Q.S 56: 78-79)
Lebih lanjut, Shadra menganalogikan perbedaan antara al-kitab dan al-kalam dengan Adam dan Isa. Dari satu sisi, keduanya mempu-nyai keserupaan, tetapi dari sisi lain, keduanya tidaklah serupa. Dalam hal ini, Adam adalah kitab Tuhan, yang ditulis dengan kedua Tangan kekuatan-Nya. Melalui-Nya, huruf-huruf yang sebelumnya tersembu-nyi muncul. Sementara itu, Isa adalah firman-Nya, hasil dari perintah-Nya (kun). Apa yang diciptakan dua tangan Tuhan tidak dapat disa-makan dalam derajat keutamaan dengan sesuatu yang ada melalui dua huruf perintah Tuhan. Dalam memperkuat argumen ini, Shadra me-ngutif firman Allah:
إن مثل عيسى عند الله كمثل آدم خلقه من تراب ثم قال له كن فيكون

“Sesungguhnya missal penciptaan Isa di sisi Allah adalah seper-ti (penciptaan) Adam, Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah”, maka jadilah dia”. (Q.S. 3: 59),

قال يا إبليس ما منعك أن تسجد لما خلقت بيدي أستكبرت أم كنت من العالين
“Allah berfirman: “Hai Iblis apa yang menghalangimu untuk su-jud kepada apa yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi”. (Q.S. 38: 75), dan

إنما المسيح عيسى ابن مريم رسول الله وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه
“Sesungguhnya al-Masih, Isa putra Maryam itu. Adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya….” (Q.S. 4: 171). (141-143)
Tingkatan kalam
Kalam Allah dilihat dari segi prosesnya dapat dikelompokkan menjadi tiga, hal ini berdasarkan firman Allah,
وما كان لبشر أن يكلمه الله إلا وحيا أو من وراء حجاب أو يرسل رسولا فيوحي بإذنه ما يشاء إنه علي حكيم
Menurut Shadra, dalam ayat tersebut terdapat isyarat yang menunjukkan adanya tiga macam kalam Allah, yaitu:
Pertama, kata wahya menunjukkan pada gambaran dari kalam hakiki yang pertama dan daruri yang menjadi hakikat kalam, maksud asal, dan tujuan awalnya.
Kedua, kalimat min warai hijab menunjukkan kepada kalam yang menjadi jalan melalui perantara hijab maknawi dan menjadi maksud sesuatu yang lain.
Ketiga, kalimat aw yursilu rasulan menunjukkan kepada kalam paling rendah dan dia itu turun pada pendengaran makhluk-makhluk melalui perantara malikat dan rasul, yang padanya mungkin terjadi keterle-pasan dari pemahaman, sehingga terkadang melahirkan penolakan dan penerimaan
Berdasarkan pengklasipikasian tersebut, Shadra beranggapan bahwa Al-Quran diturunkan secara langsung dari Allah ke dalam hati Nabi, jika yang diumaksud dengannya makna, dan diturunkan dari langit dunia melalui perantara malaikat Jibril atas pendengarannya yang mulia, jika yang dimaksud dengannya lafadz. Dari sini pula, Shadra beranggapan bahwa al-Quran ditinjau dari sisi dzat dan esen-sinya adalah akhlak rasul. Al-Quran disifati dengan hakim karena di dalamnya banyak ayat yang menunjukan akan ilmu rububiyah. Selain itu, ia pun bisa diberi makna akal rasul yang di dalamnya seruan pe-ngetahuan akan sesuatu dan hakikat-hakikatnya sebagaimana di lauh mahfud.
Perbedaan antara al-Quran dan kitab terdahulu
Shadra membedakan antara al-Quran dengan seluruh kitab Allah yang diturunkan kepada nabi sebelum Muhammad. Dalam hal ini, Shadra berpendapat bahwa al-Quran itu adalah kalam Allah sekaligus merupakan kitabnya, sementara kitab yang diturunkan kepada nabi sebelum Muhammad hanya kitab saja. Lebih lanjut, dalam pandangan Shadra, kalam Allah lebih mulia dari kitab-Nya ditinjau dari beberapa sudut pandang:
1. Kalam Allah adalah perkataan-Nya, sementara kitab-Nya itu adalah pekerjaan-Nya. Dari sini terlihat, bahwa perkataan jauh lebih dekat kepada yang berbicara daripada al-kitab kepada yang menulis. Atas dasar inilah, Shadra berpendirian kalam Allah lebih mulia daripada kitab-Nya.
2. Menurut Shadra, kalam dan perkataan termasuk dari alam pe-rintah, pandangan ini dirujukkan kepada firman Allah:
إنما قولنا لشيء إذا أردناه أن نقول له كن فيكون
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami mmenghendakinya, Kami hanya Mengatakan kepadanya, “kun”, maka jadilah ia”. (Q.S. 16: 40)

Sementara itu, al-kitab termasuk dari alam penciptaan. Dalam hal ini, seluruh alam perintah, termasuk di dalamnya ilmu-ilmu aqli-yah dan hakikat-hakikat maknawiyah sangat berbeda dengan alam ciptaan. Sebab, ilmu-ilmu dan makna-makna merupakan tambah-an padanya atas suhuf-suhuf yang terindra dan alwah adalah in-dra-indranya
3. Kalam Allah diturunkan ke dalam hati nabi Muhammad bersama dengan rahasiah-rahasiahnya, sementara kitab Allah diturunkan hanya berupa gambaran lafadz-lafadznya atas alwah dan kretas-kertas.
4. Sesungguhnya memperhatikan kalam dan mempelajarinya agar ia menampakan hakikatnya dan bercahaya maknanya terhadap hati hamba-Nya yang dikehendaki, sebagaimana firman-Nya:
وكذلك أوحينا إليك روحا من أمرنا ما كنت تدري ما الكتاب ولا الإيمان ولكن جعلناه نورا نهدي به من نشاء من عبادنا وإنك لتهدي إلى صراط مستقيم
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Quran) dengan Perintah Kami. Sebelumnya kamu tidak mengetahui apa-kah al-kitab (al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Quran sebagai cahaya, yang Ka-mi tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Q.S 42: 52)

Dengan demikian, bagi siapa saja yang Allah ajarkan kepadanya al-Quran dengan pengajaran semacam ini, maka keadaannya di sisi Allah mempunyai keunggulan yang begitu besar, sebagai-mana firman-Nya kepada orang yang dicintai-Nya setelah mereka mempelajari al-Quran,
وأنزل الله عليك الكتاب والحكمة وعلمك ما لم تكن تعلم وكان فضل الله عليك عظيما
Dan (juga karena) Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”. (Q.S. 4: 113).
Dari sinilah, Rasulullah senantiasa memperhatikan al-Quran dari sudut ia sebagai al-Quran, yaitu dengan cara berakhlak dengan-nya, jika keadaan al-Quran itu akhlaknya, sebagaimana diriwa-yatkan dari sebagian istri-istrinya ketika ditanya tentang akhlak beliau, dia berkata “Keadaan ahlak beliau adalah al-Quran”, da-lam hal ini Allah berfirman:
وإنك لعلى خلق عظيم
“Sesungguhnya engkau itu termasuk orang yang paling ber-akhlak mulia”. (Q.S. 68: 4)
Sementara itu, memperhatikan al-kitab dan pengajarannya ada-lah dengan cara pembelajaran, pengkajian dan pembacaan ter-hadap teks yang sudah mewujud. Dengan demikian, para nabi tidak mendapatkan pengajaran langsung dari Allah. Hal itu lebih disebabkan, Allah menurunkan kitab kepadanya secara seka-ligus, sehingga pemahaman dan penjabarannya menuntut peng-kajian, sebagaimana firman-Nya;
وما آتيناهم من كتب يدرسونها وما أرسلنا إليهم قبلك من نذير
“Dan Kami tidak pernah memberikan kepada mereka kitab-kitab yang mereka baca….” (Q.S. 34: 44).

5. Ditinjau dari perspektif penurunannya, al-Quran diturunkan ke dalam hati nabi sekaligus penyingkapan rahasiah-rahasiahnya serta penampakan cahaya-cahaya pada Nabi berjalan secara langsung, karena hal tersebut merupakan urusan diantara nabi dan Allah. Oleh karenanya, tidak ada malikat yang didekatkan (sebagai perantara antara keduanya) dan juga tidak ada nabi dan rasul. Adapun penurunan al-kitab kepada seluruh nabi sebe-lumnya, senantiasa menggunakan perantara, baik dari kalangan malaikat ataupun manusia.
6. Ditinjau dari perspektif petunjuk, semua kitab terdahulu sede-rajat dalam petunjuknya, baik bagi para nabi ataupun bagi umat-nya, sebagaimana firman-Nya:
ولقد آتينا موسى الكتاب فلا تكن في مرية من لقائه وجعلناه هدى لبني إسرائيل
“Dan Kami menjadikannya petunjuk bagi bangsa Israil”. (Q.S. 32: 23), dan firman-Nya,
شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس
“Petunjuk bagi manusia”. (Q.S. 2: 185).
Sementara itu, al-Quran ditinjau dari posisinya sebagai kalam, maka disamping petunjuknya yang sederajat antara Nabi dan umatnya, Rasul pun mendapatkan petunjuk khusus, sehingga ter-jadi penampakkan cahaya-cahayanya secara langsung ke dalam hati Rasul, sebagiamana firman-Nya,
“Akan tetapi Kami menjadikannya cahaya yang menjadi pe-tunjuk dengannya orang yang dikehendaki dari hamba-hamba Kami”, dan firman-Nya, “Dan Kami mengajarimu apa yang kamu tidak mengetahuinya.”

7. Sesungguhnya al-kitab yang diturunkan kepada para nabi hanya diperuntukan untuk memberikan petunjuk pada satu kaum saja yang dalam perjalanan dakwahnya senantiasa disinari cahaya dari al-kitab, sebagaimana firman-Nya:
قل من أنزل الكتاب الذي جاء به موسى نورا وهدى للناس
“….katakanlah, “Siapakah yang menurunkan kitab taurat yang dibawa oleh musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia…” (Q.S. 6: 91).
Sementara al-Quran diturunkan kedalam hati Nabi untuk me-nerangi seluruh umat manusia. Dalam perjalanan dakwahnya, Nabi itu sendiri adalah cahaya dan bersamanya al-kitab, se-bagiamana firman-Nya,
يا أهل الكتاب قد جاءكم رسولنا يبين لكم كثيرا مما كنتم تخفون من الكتاب ويعفو عن كثير قد جاءكم من الله نور وكتاب مبين
“Hai ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu rasul Ka-mi, menjelaskan kepadsamu dari isi al-kitab yang kamu sembu-nyikan, dan banyak pula yang dibiarkannya. Sesungguhnya telah dating kepadamu cahaya (Muhammad) dan kitab yang mene-rangkan.” (Q.S. 5: 15).

8. Allah telah membedakan antara kemuliaan nabi Muhammad yang menerima kalam secara langsung menghujam kedalam hatinya dengan kemuliaan nabi sebelumnya dengan penurunan al-kitab. Dalam hal ini, Allah berfirman untuk memuliakan Musa dengan,
وكتبنا له في الألواح من كل شيء موعظة وتفصيلا لكل شيء فخذها بقوة وأمر قومك يأخذوا بأحسنها سأوريكم دار الفاسقين
“Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada lauh-lauh segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesua-tu….” (Q.S. 7:145).
Sementara itu, Allah memuliakan Nabi Muhammmad dengan berfirman,
فأوحى إلى عبده ما أوحى
“Lalau dia menyampaikan kepada hambanya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan.” (Q.S 53:10).

Berdasarkan hal tersebut, Shadra mengajak para pengkaji al-Quran untuk mencoba melihat dan mentadaburi firman Allah,
أولئك كتب في قلوبهم الإيمان وأيدهم بروح منه
”…Mereka itulah yang Allah telah menanamkan dalam hati-hatinya keimanan….” (Q.S. 58: 22).

Dari sini terlihat, bahwa kemuliaan nabi-nabi sebelumnya berp-usat pada kitab yang di dalamnya terdapat nasihat-nasihat, se-mentara itu Allah memuliakan nabi Muhammad dan umatnya dengan iman yang dihujamkan ke dalam hati-hati mereka.
9. Dari kehususan penurunan al-Quran sebagai kalam Allah, adalah ketika ia dihujamkan ke dalam hati seseorang akan menjadikannya tunduk terpecah belah karena takut pada Allah, sebagaimana firman-Nya,
لو أنزلنا هذا القرآن على جبل لرأيته خاشعا متصدعا من خشية الله وتلك الأمثال نضربها للناس لعلهم يتفكرون
“Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Quran ini kepada gu-nung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah dise-babkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat supaya manusia berpikir.” (Q.S. 59:21).

Sementara itu, ketika al-Quran diturunkan kedalam hati Muhammad jadilah hatinya husyu dan tawadu karena takut pada Allah, sehingga dia berkata sebagaiman diriwayatkan darinya, “Aku adalah yang paling tahu akan Allah dan paling takut dari-Nya”. Sedangkan penurunan kitab tidak berdampak langsung, karena memang ia memerlukan penelaahan. Oleh sebab itu dikatakan, seandianya Taurat diturunkan atas hati Musa bukan pada alwah, pastilah Musa akan melemparkan alwah tersebut dalam keadaan marah, dan Musa pun tidak akan meminta Hidir untuk menjelaskan apa yang ia tidak mengetahuinya.
Pandangan Mulla Shadra berkaitan dengan adab yang harus senantiasa diperhatikan oleh seorang pengkaji al-Quran. Dalam hal ini, menurut Shadra, terdapat sepuluh langkah yang harus diperhatikan oleh para pengkaji al-Quran. Jika seseorang telah menempuh langkah-langkah ini, maka kemungkinan besar akan tersingkap hijab peng-halang, sehingga akhirnya ia mampu menembus hakikat-hakikat mak-na yang sesungguhnya. Langkah-langkah tersebut adalah:
1. Memahami keagungan kalam . Dalam hal ini, perhatian Shadra diarahkan kepada pengetahuan akan perbedaan antara kitab dan kalam yang dengannya diharapkan para pengkaji al-Quran mampu menghadirkan al-Quran dari sisi ia sebagai kalam. Lebih lanjut, Shadra mengatakan bahwa al-Quran itu seperti kerajaan yang tersembunyi dan dhair-nya adalah perintah dan hukumnya yang menjadi petunjuk untuk menembus rahasiahnya. Oleh karenanya, dhair al-Quran merupakan kunci perbendaharaan-perbendaharaan kerajaan alam malakut, dan minuman kehi-dupan. Barangsiapa yang meminumnya, ia tidak akan mati untuk selamanya. Al-Quran pun merupakan obat bagi penyakit kebo-dohan, barangsiapa yang meminumnya, ia tidak akan pernah sakit yang semuanya itu tidak akan dapat dicapai tanpa pe-ngetahuan akan keagungannya.
2. Seorang pengkaji al-Quran hendaknya melakukan penyucian hati dari dosa-dosa kemaksiatan dan kotoran keyakinan yang rusak. Sebab, al-Quran adalah suci, tidak akan mampu menyen-tuhnya kecuali orang-orang yang telah bersusah payah untuk menyucikan dirinya. Pandangan ini merujuk pada firman Allah, “Tidak akan menyentuhnya kecuali orang-orang yang disu-cikan.”
Atas dasar firman ini, Mulla Shadra berpandangan bahwa pe-mahaman akan makna terdalam dari al-Quran tidak akan ter-sentuh kecuali oleh orang-orang yang suci. Secara tidak lang-sung, pernyataan tersebut menggambarkan kepada kita bahwa dalam pandangan Shadra, tingkat penafsiran seseorang itu sangat ditentukan oleh kesucian jiwanya. Bagi orang-orang yang betul-betul telah berada pada puncak kesucian, sudah dapat dipastikan ia akan mampu menembus lapis makna paling dalam. Dalam tradisi tasawuf, proses penyucian jiwa ini adalah dengan cara zikir dan wirid secara teratur.
3. Menghadirkan hati dan meninggalkan kecenderungan jiwa. Ke-adaan seperti ini hanya akan tercapai oleh orang-orang yang telah berusaha membersihkan jiwanya dari noda dan dosa. Ba-rangsiapa yang mampu mengeluarkan dari dalam hatinya kecin-taan terhadap yang batil, serta merta akan masuk ke dalam hati-nya cahaya-cahaya Ilahiyah, sehingga ia menjadi manusia sem-purna.
4. Tadabur, yakni merenungkan relung-relung al-Quran, sehingga hatinya senantiasa terkait dengan al-Quran. Hal ini berada di-balik kehadiran hati, sebab banyak orang yang disibukkan de-ngan al-Quran, namun ia hanya mencukupkan diri pada pende-ngaran dari dirinya sendiri, sedang hatinya tidak mengenang-ngenang isi kandungannya. Padahal tujuan dari pembacaan al-Quran adalah untuk merenungkan isi kandung-annya. Tadabur ini merupakan ruh setiap ibadah, hal ini berda-sarkan pernyataan imam Ali “Tidak ada kebaikan dalam ibadah yang tidak paham padanya, dan tidak juga dalam membaca yang tidak diberengi dengan tadabur pada apa yang dibacanya, dan jika tidak mungkin untuk mentadaburinya kecuali dengan mengulang-ngulangnya maka ulang-ulanglah, kecuali di bela-kang imam”.
Menurut satu riwayat, suatu ketika Rasulullah pernah membaca bismilahirrahamanirrahim, maka Rasulullah pun mengulang-ulangnya hingga sepuluh kali dan hanyasanya pengulangan ter-sebut dilakukan kecuali bertujuan untuk mentadaburi akan mak-nanya. Dalam riwayat lain yang diterima dari Abu Dar, dia berkata: pada suatu malam Rasulullah berdiri menghadap kami, maka ia berdiri dengan satu ayat yang diulang-ulang, yaitu fir-man Allah:
إن تعذبهم فإنهم عبادك وإن تغفر لهم فإنك أنت العزيز الحكيم
“Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba Engkau dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. 5:118).


Demikian halnya ketika turun kepadanya firman Allah,
إن في خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan per-gantian siang dan malam…..” (Q.S. Ali Imran: 190), kemudian Rasulullah bersabda, “celaka bagi yang membacanya dan tidak berusaha untuk berpikir tentangnya”.
Dari keterangan tersebut, terlihat bahwa salah satu cara men-tadaburi al-Quran adalah dengan cara mengulang-ngulang baca-an dan tidak tergesa-gesa untuk melanjutkan bacaannya selagi ia belum memahami bacaan tersebut. Oleh sebab itu, wajar kiranya jika Allah menegur Nabi ketika beliau begitu tergesa-gesa ingin segera menghapal al-Quran.
لا تحرك به لسانك لتعجل به إن علينا جمعه وقرآنه فإذا قرأناه فاتبع قرآنه ثم إن علينا بيانه
“Janganlah engkau menggerak-gerakan lisanmu karena ingin segera menghapalnya, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya di dalam dadamu dan bacaannya, apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu, kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penje-lasannya. (Q.S. 75: 16-19).

5. Iistinbat, yakni berusaha menjelaskan isi kandungan setiap ayat. Dalam hal ini, tidak ada satu ilmu pun kecuali dalam al-Quranlah sumber, cabang, permulaan dan akhirnya. Kenyataan tersebut diperkuat dengan pernyataan Ibnu Mas’ud berkata: “Barangsiapa yang menghendaki ilmu awalin dan akharin maka kajilah al-Quran”. Dan ilmu yang paling mulia dari ilmu al-Quran adalah imu akan nama-nama Allah, sifat, perbuatan-Nya dan ilmu akhirat. Adapun ilmu nama-nama dan sifat tidak akan diketahui oleh mayoritas makhluk kecuali sesusai dengan kadar kemampuan pemahamannya, adapun af’al-Nya akan diketahui atas penampakkan dengannya, yaitu gambaran langit dan bumi dan antara keduanya.
Dari sini terlihat, bahwa yang dimaksud dengan istimbath dalam pemikiran Shadra adalah mengkaji dan meneliti relung-relung al-Quran sesuai dengan gradasi keutamaan ayat-ayatnya. Hal ini lebih disebabkan bahwa antara satu ayat dengan ayat lain memiliki gradasinya tersendiri. Dalam hal ini, ayat-ayat yang berbicara mengenai masalah mabda lebih utama dibandingkan dengan ayat-ayat yang berbicara maslaah suluk dan ma’ad. Demikian halnya ayat-ayat yang berbicara mengenai masalah Zat lebih tinggi kedudukannya daripada ayat-ayat yang berbicara mengenai masalah sifat dan af’al.
6. Mengosongkan (takhali) akan penghalang-pengahlang pemahaman. Oleh karena pemahaman akan kalam Tuhan erat kaitannya dengan hati sementara hati itu bagikan cermin yang apabila permukaanya terhalangi oleh penghalang-penghalang ia tidak akan memantulkan bayangan, demikian halnya dengan hati yang dipenuhi berbagai macam penghalang, ia tidak akan memantulkan bayangan hakikat kalam. Sebagaimana penghalang dalam cermin bisa berasal dari dirinya sendiri dan dari luar, demikian halnya penghalang hati bisa berasal dari dalam hati itu sendiri dan bisa juga berasal dari luar.
Adapun hijab yang bersifat interen tersebut sebagiannya disebabkan ketiadaan dan keterbatasan, seperti anak-anak, dan sebagiannya lagi bersifat ekstern, seperti kemaksiatan dan kehinaan. Barangsiapa yang membiasakan diri dengan perbuatan-perbuatan makasiat, kesombongan dan hasud, maka ia akan terhalang dari penampakkan keagungan Tuhan. Dengan demikian, dalam pandangan Shadra, makna-makna al-Quran mempunyai penghalang yang begitu banyak. Oleh karenanya, jika hati cenderung dikuasai syahwat, maka makna-makna al-Quran akan terhijab baginya. Dalam hal ini, hati adalah cermin, syahwat adalah kotoran, makna-makna al-Quran seperti gambar yang dapat tampak dalam hati/cermin, dan riyadah bagi hati adalah dengan cara mematikan syahwat sebagiamana mengelap cermin dari kotoran.
Lebih lanjut, Sahadra beranggapan bahwa terdapat empat hal yang dapat menjadi penghalang nampaknya makna-makna al-Quran, yaitu.
1. Keadaan manusia yang terjebak dengan verivikasi huruf dan makhrajnya baik dalam sahalat atau yang lainnya, sehingga dengannya ia tidak mampu menembus makna-makna terdalam.
2. Taklid terhadap satu madhab atau guru
3. Orang-orang yang disibukan dengan ilmu bahasa Arab.
4. Kejumudan dan berhenti atas apa yang telah dibaca dalam berbagai literatur tafsir.
Dari sini terlihat, bahwa dalam pemikiran Shadra, istilah teknis takhali tidak hanya mengandung makna pembersihan diri dari dosa dan noda sebagaimana dipahami oleh kalangan tasawuf. Dalam kontek ini, Shadra menekankan takhali dari hal-hal yang menjadikan akal dan hati terpenjara oleh empat hal tersebut. Lebih lanjut, jika manusia sudah mampu mengosongkan dari dirinya empat hal tersebut, hal itu akan memudahkan dirinya bergerak bebas mengembara menembus alam malakut. Hal se-macam ini dapat dianalogikan dengan seseorang yang berada di sebuah lapangan yang dipenuhi oleh ribuan umat manusia yang menjadikan dirinya tidak mampu mengeksplorasi seluruh lapangan. Lain halnya ketika lapangan itu kosong, ia akan mampu bergerak bebas. Demikian halnya dengan pikiran dan hati.
7. Takhsis, yakni seorang yang membaca al-Quran mampu menangkap tujuan untuk tiap-tiap percakapan yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, apabila dia mendengar dalam al-Quran suatu perintah dan larangan atau janji dan ancaman, ia menganggap pembicaraan tersebut diarahkan pada dirinya, sehingga ia berusaha untuk mengerjakan perintahnya dan menjauhi larangannya. Demikian halnya ketika mendengar atau membaca kisah orang-orang terdahulu dan para nabi, ia mesti ingat, bahwa teks dialog tersebut bukanlah yang dimaksud. Sebab pengungkapan kisah dalam al-Quran lebih bertujuan agar si pendengar mengambil i’tibar darinya. Atas dasar ini, Allah memerintah manusia agar senantiasa bersukur secara kafah, sebgaiamana firman-Nya:
…واذكروا نعمة الله عليكم وما أنزل عليكم من الكتاب والحكمة يعظكم به واتقوا الله واعلموا أن الله بكل شيء عليم
“…Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu yaitu al-kitab dan al-hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan taqwalah kepada Allah sesuangguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu ” (Q.S. 2:231),
لقد أنزلنا إليكم كتابا فيه ذكركم أفلا تعقلون
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan ba-gimu. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (Q.S. al-Anbiya:10), dan firman Allah,

ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب
“Mereka berdo’a “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pem-beri karunia.” (Q.S. Ali Imran: 8)

8. Pengaruh dan menemukan, yaitu batinnya terpengaruhi dan hatinya tercerahkan dengan cahaya kalam, sehingga seluruh aktifitas hidupnya yang bermacam-macam selalu bersandar pada kaidah-kaidah yang bersumber dari ayat-ayat yang begitu kom-plek. Kondisi seperti ini akan melahirkan rasa sedih, takut, ha-rapan dan kegembiraan sesuai dengan karakter ayat yang dibaca-nya. Dalam hal ini, ketika seorang hamba terpengaruh oleh baca-annya dan mencoba mentadaburi, sehingga hatinya berubah se-suai dengan sifat ayat yang dibacanya dan ia pun berusaha untuk berakhlak dengannya. Oleh karena itu, ketika ia mendengar ayat-ayat yang berkarakter ancaman, ia menjadi takut seolah-olah ia hampir mati; ketika mendengar atau membaca ayat-ayat yang berkarakter janji dan ampunan, ia gembira; ketika disebutkan si-fat dan nama-nama Allah, ia menjadi tawadhu karena kemuliaan dan kebesaran-Nya; ketika disebutkan orang kafir, ia menjadi marah dan berupaya untuk meninggalkan sifat-sifat jeleknnya; ketika disebutkan sorga, hatinya menjadi bergelora disulut api kerinduan kepadanya; dan ketika disebutkan neraka, ia menjadi takut padanya.
Kenyataan tersebut sesuai dengan prilaku Nabi, yakni ketika beliau membaca ayat-ayat nikmat, ia memahon kepada Allah akan kelebihannya; apabila membaca ayat-ayat adab dan anca-man, ia berlindung darinya; dan apabila membaca ayat-ayat ki-sah, ia mengambil pelajaran. Hal ini merupakan perluasan dari tadbir kepada ayat-ayat al-Quran. Oleh karenanya, jika seorang hamba tidak membaca al-Quran secara demikian, maka al-Quran itu tidak akan merasuk ke dalam hatinya.
9. Pendakian, yaitu melakukan pendakian untuk mendengar kalam dari Allah secara langsung bukan dari jiwanya. Dari sini pula Shadra mengklasipikasikan pembacaan ayat al-Quran menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Pembacaan seorang hamba terhadap al-Quran dengan cara seolah-olah Allah berada di hadapannya, sehingga dia melihat kepada-Nya dan mendengar dari-Nya. Kondisi or-ang semacam ini adalah melakukan dialog secara langsung dengan pengirim teks, sehingga ia merasa rendah diri di hadapan-Nya dan berdo’a sepenuh hati.
2. Menyaksikan dengan hatinya, seolah-olah Tuhannya mengajak bicara dengan kedekatan-Nya dan menyelamat-kan-Nya dengan nikmat-nikmat dan kebaikan-Nya maka maqamnya adalah maqam hidup, keagungan
3. Dalam membaca kalamnya, ia melihat yang mengajak bicara.
10. Tabara, yakni berbuat sesuai dengan keadaan dan kekuatan-Nya kemudian ia kembali pada jiwanya dengan keridhaan dan kesucian, sehingga ia mampu berakhlak dengan akhlak Allah


0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan