Kebaikan itu memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Demikian juga halnya dengan kejahatan dan dosa. Kebaikan apa saja yang mempunyai manfaat besar, maka pahalanya di sisi Allah akan besar juga. Sedangkan kebaikan yang manfaatnya lebih rendah, maka pahalanya pun seimbang dengan kebaikan tersebut. Sebaliknya, setiap kejahatan yang mudharatnya lebih besar, maka ia disebut sebagai dosa-dosa besar yang membinasakan dan siksanya pun sangat berat. Adapun kejahatan yang mudharatnya lebih rendah dari itu, maka ia tergolong kepada dosa-dosa kecil yang dapat terhapus dengan jalan menjauhi dosa-dosa besar.
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan”. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, apakah itu?” Beliau menjawab, “Musyrik kepada Allah, sihir, membunuh seseorang yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan jalan yang benar (al-haq), memakan riba, memakan harta anak yatim, menghindar pada saat kesulitan perang (zahf), dan menuduh zina kepada wanita mukmin yang menjaga diri dan kehormatannya”.
TAKHRIJ HADIS
1. Al-Bukhari dalam tiga bab sebagai berikut:
a) Kitab al-Washaya Bab Qaulillah Ta’ala (An-Nisa:31);
b) Kitab at-Thib Bab as-Syirku was Sihru min al-Mubiqat;
c) Kitab al-Muharibin min Ahlil Kufr war Riddah Bab Ramyul Muhshanat.
Sanadnya: Abdul Aziz bin Abdullah ..... Sulaiman bin Bilal ..... Tsaur bin Zaid ..... Salim Abu al-Ghaits ..... Abu Hurairah.
2. Muslim dalam Kitab al-Iman Bab al-Kabair wa Akbaruha.
Sanadnya: Harun bin Sa’id al-Aili ..... Ibnu Wahab ..... Sulaiman bin Bilal ..... Tsaur bin Zaid ..... Salim Abu al-Ghaits ..... Abu Hurairah.
3. Abu Dawud dalam Kitab al-Washaya Bab Ma Ja-a fit Tasydid fi Akli Mal al-Yatim.
Sanadnya: Ahmad bin Said al-Hamdani.....Ibnu Wahab.....Sulaiman bin Bilal.....Tsaur bin Zaid.....Abu al-Ghaits.....Abu Hurairah.
4. An-Nasai dalam Kitab al-Washaya Bab Ijtinab Akli Mal al-Yatim.
Sanadnya: Ar-Rabi bin Sulaiman.....Ibnu Wahab.....Sulaiman bin Bilal.....Tsaur bin Zaid.....Abu al-Ghaits.....Abu Hurairah.
Dalam an-Nasai: Kalimat as-sihr diganti dengan as-Syuhh (kikir).
TAFSIR MUFRADAT
( ) muradif dengan ( ) artinya membinasakan.
( ) memiliki tiga arti, yakni; (1) segala sesuatu yang perolehannya didapat secara lembut, mendalam, dan tersembunyi; (2) sesuatu yang bersifat takhayyuli, tidak memiliki hakikat, dan menipu mata (pandangan) sehingga sesuatu yang tidak terjadi kelihatan seperti kejadian sebenarnya; dan (3) sesuatu yang diperoleh dari bantuan syetan.
( ) menurut arti bahasa adalah ( ) yang bermakna tambahan. Sedangkan menurut istilah para fuqaha, riba adalah penambahan atas pokok harta dari segi yang khusus.
( ) artinya lari dan menghindar. Menurut arti pokoknya at-tawalli adalah memberikan perwalian kepada yang lain. (Al-Khauli, tt: 86-87)
Terjemah
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan”. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, apakah itu?” Beliau menjawab, “Musyrik kepada Allah, sihir, membunuh seseorang yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan jalan yang benar (al-haq), memakan riba, memakan harta anak yatim, menghindar pada saat kesulitan perang (zahf), dan menuduh zina kepada wanita mukmin yang menjaga diri dan kehormatannya”.
BIOGRAFI SAHABAT
Abu Hurairah, menurut catatan As-Shan’ani (Jilid I: 14), nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Shahr Ad-Dausi. Pada masa Jahiliyyah, menurut keterangan Khalid (1982: 500), namanya Abdu Syamsi, dan tatkala ia memeluk Islam, ia diberi nama oleh Rasul dengan Abdurrahman. Ia sangat penyayang kepada binatang dan mempunyai seekor kucing, yang selalu diberinya makan, digendongnya, dibersihkannya dan diberinya tempat. Kucing itu selalu menyertainya seolah-olah bayangannya. Inilah sebabnya ia diberi gelar “bapak kucing” (Abu Hurairah).
Abu Hurairah datang kepada Rasulullah Saw pada tahun ke tujuh Hijrah sewaktu beliau berada di Khaibar. Ia hidup bersama Rasulullah Saw lebih kurang selama empat tahun, semenjak ia masuk Islam hingga wafatnya Rasulullah Saw. (Khalid, 1982: 491)
Sebenarnya Abu Hurairah bukanlah seorang penulis, ia hanya seorang ahli hafal yang mahir, di samping memiliki kesempatan atau mampu mengadakan kesempatan yang diperlukan itu, karena ia tak punya tanah yang akan digarap, dan tidak pula perniagaan yang akan diurus. (Khalid, 1982: 492)
Begitulah ia mempermahir dirinya dan ketajaman daya ingatnya untuk menghafal hadis-hadis Rasulullah Saw dan pengarahannya. Sewaktu Rasul telah pulang ke Rafikul A’la (wafat), Abu Hurairah terus-menerus menyampaikan hadis-hadis, yang menyebabkan sebagian sahabatnya merasa heran sambil bertanya-tanya di dalam hati, dari mana datangnya hadis-hadis ini, kapan didengarnya dan diendapkannya dalam ingatannya.
Abu Hurairah telah memberikan penjelasan untuk menghilangkan kecurigaan ini, dan menghapus keragu-raguan yang menulari para sahabatnya, maka katanya, “Tuan-tuan telah mengatakan bahwa Abu Hurairah banyak sekali mengeluarkan hadis dari Nabi Saw. Dan tuan-tuan katakan pula orang-orang Muhajirin yang lebih dahulu daripadanya masuk Islam, tak ada menceritakan hadis-hadis itu? Ketahuilah, bahwa sahabat-sahabatku orang-orang Muhajirin itu, sibuk dengan perdagangan mereka di pasar-pasar, sedang sahabat-sahabatku orang-orang Anshar sibuk dengan tanah pertanian mereka. Sedang aku adalah seorang miskin, yang paling banyak menyertai majlis Rasulullah, maka aku hadir sewaktu yang lain absen dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena kesibukan”. (Khalid, 1982: 493)
Dalam Musnad Baqi bin Makhlad hadis yang berasal dari Abu Hurairah sebanyak 5344 hadis. (As-Shan’ani, I: 14)
Sedangkan dalam Shahih al-Bukhari tercatat jumlah hadis yang bersumber dari Abu Hurairah sebanyak 446 hadis. (Al-Asqalani, Hadyus Sari: 476)
Di antara tabiin yang banyak meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah adalah Said bin Musayyab dan al-A’raj. (Al-Khudhari, tt: 151)
Menurut catatan Ibnu Abdil Bar, Abu Hurairah pernah menjabat sebagai amir (gubernur) di Madinah.
Abu Hurairah meninggal dunia di Madinah pada tahun 59 H pada usia 78 tahun. Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa ia meninggal dunia di ‘Aqiq. Di antara orang yang mengikuti shalat jenazahnya adalah Al-Walid bin Uqbah bin Abu Sufyan. Jenazahnya dikuburkan di Baqi. (As-Shan’ani, I: 14)
SYARAH HADIS
Kebaikan itu memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Demikian juga halnya dengan kejahatan dan dosa. Kebaikan apa saja yang mempunyai manfaat besar, maka pahalanya di sisi Allah akan besar juga. Sedangkan kebaikan yang manfaatnya lebih rendah, maka pahalanya pun seimbang dengan kebaikan tersebut. Sebaliknya, setiap kejahatan yang mudharatnya lebih besar, maka ia disebut sebagai dosa-dosa besar yang membinasakan dan siksanya pun sangat berat. Adapun kejahatan yang mudharatnya lebih rendah dari itu, maka ia tergolong kepada dosa-dosa kecil yang dapat terhapus dengan jalan menjauhi dosa-dosa besar.
Allah Ta’ala berfirman,
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (QS An-Nisa [4]: 31)
Dalam hadis di atas, Rasulullah Saw menyuruh umatnya agar menjauhi tujuh dosa yang membinasakan. Tujuh dosa ini bukan berarti pembatasan (hanya tujuh perkara) atas dosa-dosa yang membinasakan. Tetapi hal ini sebagai peringatan atas dosa-dosa yang lainnya.
Ketujuh dosa yang dimaksudkan dalam hadis di atas, uraiannya adalah sebagai berikut.
1) Musyrik
Menyekutukan Allah SWT merupakan dosa yang paling besar. Bahkan Allah SWT tidak akan mengampuni dosa musyrik yang terbawa mati. Allah SWT berfirman,
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa musyrik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (musyrik) itu, bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan siapa saja yang musyrik kepada Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS An-Nisa [4]: 48)
Ar-Raghib al-Ashfahani menyatakan bahwa kemusyrikan terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1. Syirik besar, yaitu menetapkan adanya sekutu bagi Allah SWT. Inilah bentuk dosa yang paling besar.
2. Syirik kecil, yaitu memperhatikan selain Allah di samping memperhatikan-Nya juga dalam beberapa urusan. Itulah ria dan nifaq. (Al-Ashfahani, hlm. 266)
Adanya kemusyrikan dalam kategori musyrik kecil bukan karena beban dosanya yang rendah, tetapi kemusyrikan ini merupakan bentuk kemusyrikan yang seringkali terabaikan atau tidak terasa dalam perwujudannya. Tentang kemusyrikan ini, Rasulullah Saw bersabda,
Sesungguhnya perkara yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah musyrik yang paling kecil, yakni ria. (Muttafaq ‘Alaih)
2) Sihir
Sihir termasuk ke dalam dosa yang besar karena di dalamnya terdapat upaya iltibas (pencampur-adukan) dan menutupi apa yang sebenarnya. Bahkan sihir ini bisa mengakibatkan penyesatan aqidah, baik dari sisi penyebabnya maupun dari sisi perolehannya. Para ulama telah bersepakat atas pengharaman sihir, pembelajaran dan pengajarannya. Bahkan Imam Malik, Imam Ahmad, dan sekelompok para sahabat dan para tabiin berpendapat bahwa saling berbagi sihir termasuk bagian kekufuran yang pelakunya harus mendapat hukum eksekusi (dibunuh). Demikian juga upaya mempelajari dan mengajarkan sihir kepada orang lain, karena hal itu termasuk wasilah yang akan menjadi jalan terwujudnya sihir tersebut.
Namun di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa jika mempelajari sihir itu hanya sekadar ingin mengetahuinya dan sebagai upaya menjaga diri, maka yang demikian itu tidak termasuk dalam kategori haram. Pernyataan ini dianalogikan kepada orang-orang yang berusaha mengetahui hakikat aliran-aliran sesat.
3) Pembunuhan
Yang dimaksud membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah SWT dalam hadis di atas adalah membunuh seorang muslim dengan sengaja, bukan karena suatu hukuman tertentu seperti qishas atau rajam.
Pembunuhan seperti ini termasuk juga ke dalam bagian dari dosa-dosa besar yang dapat membinasakan para pelakunya. Melalui upaya pembunuhan, sang pelaku telah menghilangkan rasa aman di lingkungannya, menebar rasa takut, dan memutuskan ikatan persaudaraan sesama manusia, khususnya di kalangan kaum muslimin. Bahkan Allah SWT mengisyaratkan bahwa membunuh satu orang sama kedudukannya dengan membunuh semua orang. Keterangan ini tercantum dalam ayat berikut.
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (QS Al-Maidah [5]: 32)
Hukum ini, walaupun khitab-nya Bani Israil, bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu bagaikan membunuh manusia seluruhnya, karena orang-seorang itu adalah anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya.
Dalam ayat lain, Allah SWT menegaskan rincian pembunuhan beserta hukum had-nya. Allah SWT berfirman,
Dan tidak pantas bagi seseorang yang beriman membunuh sesama orang yang beriman, kecuali karena pembunuhan yang tidak disengaja (tersalah). Siapa saja yang membunuh seseorang yang beriman karena tersalah (al-khoto), hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diyat (tebusan) yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh itu), kecuali jika mereka membebaskan pembayaran. Jika dia (yang terbunuh itu) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka hendaklah (pembunuhnya) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (yang terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka hendaklah (pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh) dan memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Siapa saja tidak mendapatkan (hamba sahaya), maka hendaklah ia (pembunuh itu) melakukan shaum dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS An-Nisa [4]: 92)
4) Memakan Harta Riba
Memakan harta riba termasuk kezaliman kepada orang lain. Orang yang memakan harta riba pada dasarnya telah memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan ia lebih pantas untuk mendapat siksa yang abadi di neraka. Bagaimana tidak demikian, ketika orang lain berada dalam kesulitan, kefakiran, pailit dalam ekonomi, padahal dalam kondisi apapun seseorang didorong untuk mengeluarkan shadaqah, sementara pemakan riba demikian asyiknya mempermainkan kemelaratan orang lain dengan menambah beban pembayaran utang berlipat ganda dan dalam tempo yang terus-menerus.
Pada hakikatnya, riba itu dapat menghanguskan harta kekayaan, menghilangkan nilai-nilai keberkahan, dan mencabut rasa kasih sayang dari pribadi para pelakunya. Dengan demikian, dalam riwayat lain, Rasulullah Saw melaknat praktik riba dengan berbagai faktor pendorong dan pelakunya, baik yang memakan harta riba, yang menjadi penulis dalam transaksinya maupun yang menjadi saksi dalam proses transaksi riba tersebut.
Secara umum, Islam melarang keras terhadap seseorang yang dalam usaha mencari rezekinya (ma‘isyah) dengan cara yang haram, sedangkan transaksi ribawi termasuk ke dalamnya. Rasulullah Saw telah bersabda, “Siapa saja yang daging (di tubuhnya) berkembang dari usaha yang haram, maka api neraka lebih utama bagi dirinya”. (HR al-Hakim)
5) Memakan Harta Anak Yatim
Ketika seorang anak menjadi yatim, karena ditinggal mati oleh orangtuanya, Islam menganjurkan agar kaum muslimin, terutama kaum kerabatnya, dapat menjaga dan mengurus harta mereka yang diperolehnya melalui proses pewarisan. Pengurusan harta anak yatim ini terus berlangsung sampai usia anak ini menjadi dewasa sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut.
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah (dewasa). Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanja¬kannya) sebelum mereka dewasa. Siapa saja (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim) dan siapa saja yang miskin, maka bolehlah ia memakan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (QS An-Nisa [4]: 6)
Tatkala seorang pengurus, terutama bagi mereka yang serba berkecukupan, tidak mampu menjaga dirinya dari memakan harta anak yatim, maka Allah SWT mengancam mereka dengan ancaman yang sangat besar sesuai dengan ayat berikut.
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS An-Nisa [4]: 10)
6) Mundur Saat Pertempuran
Peperangan (al-qital) termasuk bagian dari jihad Islam yang disyari’atkan untuk mempertahankan Islam dan kaum muslimin dari kebengisan kaum musyrikin dan kafirin yang tidak ridha terhadap perkembangan dakwah Islam.
Terjadinya perang antara kaum muslimin dan kaum kafir merupakan peristiwa besar yang memerlukan niat, tekad, dan semangat yang besar pula. Dalam kondisi demikian, keimanan seseorang diuji melalui jihad bin nafsi. Maka tidak selayaknya, sebagai seorang mukmin, mundur dari medan tempur walau bagaimanapun keadaannya. Karena itu, orang yang mundur pada saat pertempuran termasuk berbuat dosa yang dapat membahayakan, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain yang mengikuti pertempuran tersebut.
Berkaitan dengan sikap mundur ini, Allah SWT berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).
Dan siapa saja yang mundur pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sungguh orang itu telah kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah. Tempatnya ialah neraka Jahannam, dan seburuk-buruk tempat kembali. (QS Al-Anfal [8]: 15-16)
7) Menuduh Berzina
Menuduh berzina (al-qadzaf) kepada seorang mukmin termasuk dosa yang besar, apalagi yang dituduhnya adalah orang-orang yang dikenal sebagai orang yang shalih dan dapat menjaga diri dari perbuatan mesum tersebut. Allah SWT berfirman,
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka terkena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. (QS An-Nur [24]: 23)
Yang dimaksud dengan wanita-wanita yang lengah, dalam ayat di atas, ialah wanita-wanita yang tidak pernah sekalipun teringat oleh mereka akan melakukan perbuatan yang keji itu.
Orang-orang yang menuduh berzina, dalam ayat-ayat al-Quran, mendapatkan hukum dengan ketentuan sebagai berikut.
a. Jika tuduhan itu terjadi antara suami dan istrinya, maka bagi mereka berlaku hukum li’an (saling melaknat). (QS An-Nur [24]: 6-9)
b. Jika tuduhan itu berasal dari orang lain, maka yang menuduh akan mendapat hukum had berupa cambukan atau deraan sebanyak 80 kali dan persaksiannya tidak akan diterima untuk selama-lamanya. (QS An-Nur [24]: 4)
REFLEKSI (Hikmatut Tasyri’)
Dosa-dosa yang membinasakan, sebagaimana uraian di atas, dalam beberapa kajian seringkali disamakan dengan istilah “dosa-dosa besar”. Di kalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat dalam mendefinisikan dosa besar.
Ibnu Abbas mengartikan dosa besar dalam tiga lingkup definisi sebagai berikut.
1. Setiap dosa yang berakhir dengan siksa api neraka, murka Allah Ta’ala atau laknat-Nya.
2. Segala perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.
3. Segala perbuatan yang merupakan bentuk kemaksiatan kepada Allah SWT. (Ibnu Kasir, I: 536-537)
Abu al-Qasim Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafi’i, menurut penelitiannya terhadap berbagai pendapat di kalangan para sahabat, memperoleh dua pengertian berikut.
1. Dosa besar adalah setiap kemaksiatan yang mendapatkan hukum had.
2. Dosa besar adalah setiap kemaksiatan yang pelakunya mendapat ancaman yang sangat besar dalam nash al-Quran dan as-Sunnah.
Al-Qadhi Abu Said al-Harawi dalam Tafsir al-Quran al-Azhim Ibnu Kasir (jilid I: 538), selain mencantumkan kemaksiatan yang wajib dikenai had, memuat definisi dosa besar sebagai berikut.
1. Setiap perbuatan yang diharamkan melalui nash al-Quran.
2. Berdusta dalam persaksian, periwayatan, dan sumpah.
3. Meninggalkan setiap kewajiban yang diperintahkan agar segera dilaksanakan.
Muhammad Abdul Aziz al-Khauli mendefinisikan dosa besar sebagai dosa yang memiliki kemudharatan yang sangat besar dan pengaruh negatifnya di masyarakat sangat besar pula. Hal demikian disebabkan karena mafsadat dan ancamannya yang sangat besar terhadap dosa-dosa tersebut. (Al-Khauli, tt: 112)
Jika kita mengacu kepada berbagai definisi di atas, maka yang termasuk dosa-dosa besar itu sangat banyak jumlahnya. Dengan demikian, tujuh dosa yang membinasakan sesuai dengan sabda Rasul di atas bukan sebagai pembatas bagi dosa-dosa besar tersebut. Tetapi hal itu disampaikan oleh Rasulullah sebagai bentuk perhatiannya yang sangat besar terhadap umatnya agar tidak terjerumus kepada dosa-dosa besar lain yang mafsadat, hukuman, dan ancamannya seperti ketujuh dosa di atas.
Namun demikian, dari sekian banyak dosa yang tergolong kepada dosa-dosa besar, dosa musyrik menempati urutan paling atas (yang terbesar) dari dosa-dosa besar lainnya. Adapun dosa-dosa besar lainnya yang tidak tercantum dalam hadis di atas, tetapi menjadi kriteria dosa besar dalam hadis yang lain, di antaranya adalah durhaka terhadap orangtua, membunuh anak karena kekhawatiran menambah kemiskinan, persaksian palsu atau dusta, khianat dalam perkara ghanimah, zina, mencuri, meminum minuman keras, memisahkan diri dari al-jama’ah, menebar fitnah, melanggar bai’at, dan tidak membersihkan air kencing.
DAFTAR REFERENSI
________. 2004. Al-Quran dan Terjemahnya. Departemen Agama RI. Mekar: Surabaya.
Al-Asfahani, Ar-Raghib. tt. Mu’jam li Alfazh al-Quran.
Al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. tt. Fathul Bari. Syirkah Iqamatuddin.
________________. tt. Hadyus Sari: Muqaddimah Fathul Bari. Syirkah Iqamatuddin.
Al-Khauli, Muhammad Abdul Aziz. tt. Al-Adab an-Nabawi. Darul Fikr: Beirut.
Al-Khudhari, Muhammad. tt. Tarikh at-Tasyri al-Islami. Al-Haramain: Singapura.
As-Shan’ani, Muhammad bin Ismail. tt. Subulus Salam. Maktabah Dahlan: Indonesia.
Ibnu Kasir, Muhammad Dhiyauddin. Tafsir al-Quran al-Adhim. Darul Fikr: Beirut.
Khalid, Khalid Muhammad. 1982. Karakteristik Perihidup Enampuluh Shahabat Rasulullah. Diponegoro: Bandung.
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan”. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, apakah itu?” Beliau menjawab, “Musyrik kepada Allah, sihir, membunuh seseorang yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan jalan yang benar (al-haq), memakan riba, memakan harta anak yatim, menghindar pada saat kesulitan perang (zahf), dan menuduh zina kepada wanita mukmin yang menjaga diri dan kehormatannya”.
TAKHRIJ HADIS
1. Al-Bukhari dalam tiga bab sebagai berikut:
a) Kitab al-Washaya Bab Qaulillah Ta’ala (An-Nisa:31);
b) Kitab at-Thib Bab as-Syirku was Sihru min al-Mubiqat;
c) Kitab al-Muharibin min Ahlil Kufr war Riddah Bab Ramyul Muhshanat.
Sanadnya: Abdul Aziz bin Abdullah ..... Sulaiman bin Bilal ..... Tsaur bin Zaid ..... Salim Abu al-Ghaits ..... Abu Hurairah.
2. Muslim dalam Kitab al-Iman Bab al-Kabair wa Akbaruha.
Sanadnya: Harun bin Sa’id al-Aili ..... Ibnu Wahab ..... Sulaiman bin Bilal ..... Tsaur bin Zaid ..... Salim Abu al-Ghaits ..... Abu Hurairah.
3. Abu Dawud dalam Kitab al-Washaya Bab Ma Ja-a fit Tasydid fi Akli Mal al-Yatim.
Sanadnya: Ahmad bin Said al-Hamdani.....Ibnu Wahab.....Sulaiman bin Bilal.....Tsaur bin Zaid.....Abu al-Ghaits.....Abu Hurairah.
4. An-Nasai dalam Kitab al-Washaya Bab Ijtinab Akli Mal al-Yatim.
Sanadnya: Ar-Rabi bin Sulaiman.....Ibnu Wahab.....Sulaiman bin Bilal.....Tsaur bin Zaid.....Abu al-Ghaits.....Abu Hurairah.
Dalam an-Nasai: Kalimat as-sihr diganti dengan as-Syuhh (kikir).
TAFSIR MUFRADAT
( ) muradif dengan ( ) artinya membinasakan.
( ) memiliki tiga arti, yakni; (1) segala sesuatu yang perolehannya didapat secara lembut, mendalam, dan tersembunyi; (2) sesuatu yang bersifat takhayyuli, tidak memiliki hakikat, dan menipu mata (pandangan) sehingga sesuatu yang tidak terjadi kelihatan seperti kejadian sebenarnya; dan (3) sesuatu yang diperoleh dari bantuan syetan.
( ) menurut arti bahasa adalah ( ) yang bermakna tambahan. Sedangkan menurut istilah para fuqaha, riba adalah penambahan atas pokok harta dari segi yang khusus.
( ) artinya lari dan menghindar. Menurut arti pokoknya at-tawalli adalah memberikan perwalian kepada yang lain. (Al-Khauli, tt: 86-87)
Terjemah
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan”. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, apakah itu?” Beliau menjawab, “Musyrik kepada Allah, sihir, membunuh seseorang yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan jalan yang benar (al-haq), memakan riba, memakan harta anak yatim, menghindar pada saat kesulitan perang (zahf), dan menuduh zina kepada wanita mukmin yang menjaga diri dan kehormatannya”.
BIOGRAFI SAHABAT
Abu Hurairah, menurut catatan As-Shan’ani (Jilid I: 14), nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Shahr Ad-Dausi. Pada masa Jahiliyyah, menurut keterangan Khalid (1982: 500), namanya Abdu Syamsi, dan tatkala ia memeluk Islam, ia diberi nama oleh Rasul dengan Abdurrahman. Ia sangat penyayang kepada binatang dan mempunyai seekor kucing, yang selalu diberinya makan, digendongnya, dibersihkannya dan diberinya tempat. Kucing itu selalu menyertainya seolah-olah bayangannya. Inilah sebabnya ia diberi gelar “bapak kucing” (Abu Hurairah).
Abu Hurairah datang kepada Rasulullah Saw pada tahun ke tujuh Hijrah sewaktu beliau berada di Khaibar. Ia hidup bersama Rasulullah Saw lebih kurang selama empat tahun, semenjak ia masuk Islam hingga wafatnya Rasulullah Saw. (Khalid, 1982: 491)
Sebenarnya Abu Hurairah bukanlah seorang penulis, ia hanya seorang ahli hafal yang mahir, di samping memiliki kesempatan atau mampu mengadakan kesempatan yang diperlukan itu, karena ia tak punya tanah yang akan digarap, dan tidak pula perniagaan yang akan diurus. (Khalid, 1982: 492)
Begitulah ia mempermahir dirinya dan ketajaman daya ingatnya untuk menghafal hadis-hadis Rasulullah Saw dan pengarahannya. Sewaktu Rasul telah pulang ke Rafikul A’la (wafat), Abu Hurairah terus-menerus menyampaikan hadis-hadis, yang menyebabkan sebagian sahabatnya merasa heran sambil bertanya-tanya di dalam hati, dari mana datangnya hadis-hadis ini, kapan didengarnya dan diendapkannya dalam ingatannya.
Abu Hurairah telah memberikan penjelasan untuk menghilangkan kecurigaan ini, dan menghapus keragu-raguan yang menulari para sahabatnya, maka katanya, “Tuan-tuan telah mengatakan bahwa Abu Hurairah banyak sekali mengeluarkan hadis dari Nabi Saw. Dan tuan-tuan katakan pula orang-orang Muhajirin yang lebih dahulu daripadanya masuk Islam, tak ada menceritakan hadis-hadis itu? Ketahuilah, bahwa sahabat-sahabatku orang-orang Muhajirin itu, sibuk dengan perdagangan mereka di pasar-pasar, sedang sahabat-sahabatku orang-orang Anshar sibuk dengan tanah pertanian mereka. Sedang aku adalah seorang miskin, yang paling banyak menyertai majlis Rasulullah, maka aku hadir sewaktu yang lain absen dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena kesibukan”. (Khalid, 1982: 493)
Dalam Musnad Baqi bin Makhlad hadis yang berasal dari Abu Hurairah sebanyak 5344 hadis. (As-Shan’ani, I: 14)
Sedangkan dalam Shahih al-Bukhari tercatat jumlah hadis yang bersumber dari Abu Hurairah sebanyak 446 hadis. (Al-Asqalani, Hadyus Sari: 476)
Di antara tabiin yang banyak meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah adalah Said bin Musayyab dan al-A’raj. (Al-Khudhari, tt: 151)
Menurut catatan Ibnu Abdil Bar, Abu Hurairah pernah menjabat sebagai amir (gubernur) di Madinah.
Abu Hurairah meninggal dunia di Madinah pada tahun 59 H pada usia 78 tahun. Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa ia meninggal dunia di ‘Aqiq. Di antara orang yang mengikuti shalat jenazahnya adalah Al-Walid bin Uqbah bin Abu Sufyan. Jenazahnya dikuburkan di Baqi. (As-Shan’ani, I: 14)
SYARAH HADIS
Kebaikan itu memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Demikian juga halnya dengan kejahatan dan dosa. Kebaikan apa saja yang mempunyai manfaat besar, maka pahalanya di sisi Allah akan besar juga. Sedangkan kebaikan yang manfaatnya lebih rendah, maka pahalanya pun seimbang dengan kebaikan tersebut. Sebaliknya, setiap kejahatan yang mudharatnya lebih besar, maka ia disebut sebagai dosa-dosa besar yang membinasakan dan siksanya pun sangat berat. Adapun kejahatan yang mudharatnya lebih rendah dari itu, maka ia tergolong kepada dosa-dosa kecil yang dapat terhapus dengan jalan menjauhi dosa-dosa besar.
Allah Ta’ala berfirman,
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (QS An-Nisa [4]: 31)
Dalam hadis di atas, Rasulullah Saw menyuruh umatnya agar menjauhi tujuh dosa yang membinasakan. Tujuh dosa ini bukan berarti pembatasan (hanya tujuh perkara) atas dosa-dosa yang membinasakan. Tetapi hal ini sebagai peringatan atas dosa-dosa yang lainnya.
Ketujuh dosa yang dimaksudkan dalam hadis di atas, uraiannya adalah sebagai berikut.
1) Musyrik
Menyekutukan Allah SWT merupakan dosa yang paling besar. Bahkan Allah SWT tidak akan mengampuni dosa musyrik yang terbawa mati. Allah SWT berfirman,
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa musyrik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (musyrik) itu, bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan siapa saja yang musyrik kepada Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS An-Nisa [4]: 48)
Ar-Raghib al-Ashfahani menyatakan bahwa kemusyrikan terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1. Syirik besar, yaitu menetapkan adanya sekutu bagi Allah SWT. Inilah bentuk dosa yang paling besar.
2. Syirik kecil, yaitu memperhatikan selain Allah di samping memperhatikan-Nya juga dalam beberapa urusan. Itulah ria dan nifaq. (Al-Ashfahani, hlm. 266)
Adanya kemusyrikan dalam kategori musyrik kecil bukan karena beban dosanya yang rendah, tetapi kemusyrikan ini merupakan bentuk kemusyrikan yang seringkali terabaikan atau tidak terasa dalam perwujudannya. Tentang kemusyrikan ini, Rasulullah Saw bersabda,
Sesungguhnya perkara yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah musyrik yang paling kecil, yakni ria. (Muttafaq ‘Alaih)
2) Sihir
Sihir termasuk ke dalam dosa yang besar karena di dalamnya terdapat upaya iltibas (pencampur-adukan) dan menutupi apa yang sebenarnya. Bahkan sihir ini bisa mengakibatkan penyesatan aqidah, baik dari sisi penyebabnya maupun dari sisi perolehannya. Para ulama telah bersepakat atas pengharaman sihir, pembelajaran dan pengajarannya. Bahkan Imam Malik, Imam Ahmad, dan sekelompok para sahabat dan para tabiin berpendapat bahwa saling berbagi sihir termasuk bagian kekufuran yang pelakunya harus mendapat hukum eksekusi (dibunuh). Demikian juga upaya mempelajari dan mengajarkan sihir kepada orang lain, karena hal itu termasuk wasilah yang akan menjadi jalan terwujudnya sihir tersebut.
Namun di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa jika mempelajari sihir itu hanya sekadar ingin mengetahuinya dan sebagai upaya menjaga diri, maka yang demikian itu tidak termasuk dalam kategori haram. Pernyataan ini dianalogikan kepada orang-orang yang berusaha mengetahui hakikat aliran-aliran sesat.
3) Pembunuhan
Yang dimaksud membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah SWT dalam hadis di atas adalah membunuh seorang muslim dengan sengaja, bukan karena suatu hukuman tertentu seperti qishas atau rajam.
Pembunuhan seperti ini termasuk juga ke dalam bagian dari dosa-dosa besar yang dapat membinasakan para pelakunya. Melalui upaya pembunuhan, sang pelaku telah menghilangkan rasa aman di lingkungannya, menebar rasa takut, dan memutuskan ikatan persaudaraan sesama manusia, khususnya di kalangan kaum muslimin. Bahkan Allah SWT mengisyaratkan bahwa membunuh satu orang sama kedudukannya dengan membunuh semua orang. Keterangan ini tercantum dalam ayat berikut.
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (QS Al-Maidah [5]: 32)
Hukum ini, walaupun khitab-nya Bani Israil, bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu bagaikan membunuh manusia seluruhnya, karena orang-seorang itu adalah anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya.
Dalam ayat lain, Allah SWT menegaskan rincian pembunuhan beserta hukum had-nya. Allah SWT berfirman,
Dan tidak pantas bagi seseorang yang beriman membunuh sesama orang yang beriman, kecuali karena pembunuhan yang tidak disengaja (tersalah). Siapa saja yang membunuh seseorang yang beriman karena tersalah (al-khoto), hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diyat (tebusan) yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh itu), kecuali jika mereka membebaskan pembayaran. Jika dia (yang terbunuh itu) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka hendaklah (pembunuhnya) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (yang terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka hendaklah (pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh) dan memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Siapa saja tidak mendapatkan (hamba sahaya), maka hendaklah ia (pembunuh itu) melakukan shaum dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS An-Nisa [4]: 92)
4) Memakan Harta Riba
Memakan harta riba termasuk kezaliman kepada orang lain. Orang yang memakan harta riba pada dasarnya telah memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan ia lebih pantas untuk mendapat siksa yang abadi di neraka. Bagaimana tidak demikian, ketika orang lain berada dalam kesulitan, kefakiran, pailit dalam ekonomi, padahal dalam kondisi apapun seseorang didorong untuk mengeluarkan shadaqah, sementara pemakan riba demikian asyiknya mempermainkan kemelaratan orang lain dengan menambah beban pembayaran utang berlipat ganda dan dalam tempo yang terus-menerus.
Pada hakikatnya, riba itu dapat menghanguskan harta kekayaan, menghilangkan nilai-nilai keberkahan, dan mencabut rasa kasih sayang dari pribadi para pelakunya. Dengan demikian, dalam riwayat lain, Rasulullah Saw melaknat praktik riba dengan berbagai faktor pendorong dan pelakunya, baik yang memakan harta riba, yang menjadi penulis dalam transaksinya maupun yang menjadi saksi dalam proses transaksi riba tersebut.
Secara umum, Islam melarang keras terhadap seseorang yang dalam usaha mencari rezekinya (ma‘isyah) dengan cara yang haram, sedangkan transaksi ribawi termasuk ke dalamnya. Rasulullah Saw telah bersabda, “Siapa saja yang daging (di tubuhnya) berkembang dari usaha yang haram, maka api neraka lebih utama bagi dirinya”. (HR al-Hakim)
5) Memakan Harta Anak Yatim
Ketika seorang anak menjadi yatim, karena ditinggal mati oleh orangtuanya, Islam menganjurkan agar kaum muslimin, terutama kaum kerabatnya, dapat menjaga dan mengurus harta mereka yang diperolehnya melalui proses pewarisan. Pengurusan harta anak yatim ini terus berlangsung sampai usia anak ini menjadi dewasa sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut.
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah (dewasa). Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanja¬kannya) sebelum mereka dewasa. Siapa saja (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim) dan siapa saja yang miskin, maka bolehlah ia memakan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (QS An-Nisa [4]: 6)
Tatkala seorang pengurus, terutama bagi mereka yang serba berkecukupan, tidak mampu menjaga dirinya dari memakan harta anak yatim, maka Allah SWT mengancam mereka dengan ancaman yang sangat besar sesuai dengan ayat berikut.
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS An-Nisa [4]: 10)
6) Mundur Saat Pertempuran
Peperangan (al-qital) termasuk bagian dari jihad Islam yang disyari’atkan untuk mempertahankan Islam dan kaum muslimin dari kebengisan kaum musyrikin dan kafirin yang tidak ridha terhadap perkembangan dakwah Islam.
Terjadinya perang antara kaum muslimin dan kaum kafir merupakan peristiwa besar yang memerlukan niat, tekad, dan semangat yang besar pula. Dalam kondisi demikian, keimanan seseorang diuji melalui jihad bin nafsi. Maka tidak selayaknya, sebagai seorang mukmin, mundur dari medan tempur walau bagaimanapun keadaannya. Karena itu, orang yang mundur pada saat pertempuran termasuk berbuat dosa yang dapat membahayakan, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain yang mengikuti pertempuran tersebut.
Berkaitan dengan sikap mundur ini, Allah SWT berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).
Dan siapa saja yang mundur pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sungguh orang itu telah kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah. Tempatnya ialah neraka Jahannam, dan seburuk-buruk tempat kembali. (QS Al-Anfal [8]: 15-16)
7) Menuduh Berzina
Menuduh berzina (al-qadzaf) kepada seorang mukmin termasuk dosa yang besar, apalagi yang dituduhnya adalah orang-orang yang dikenal sebagai orang yang shalih dan dapat menjaga diri dari perbuatan mesum tersebut. Allah SWT berfirman,
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka terkena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. (QS An-Nur [24]: 23)
Yang dimaksud dengan wanita-wanita yang lengah, dalam ayat di atas, ialah wanita-wanita yang tidak pernah sekalipun teringat oleh mereka akan melakukan perbuatan yang keji itu.
Orang-orang yang menuduh berzina, dalam ayat-ayat al-Quran, mendapatkan hukum dengan ketentuan sebagai berikut.
a. Jika tuduhan itu terjadi antara suami dan istrinya, maka bagi mereka berlaku hukum li’an (saling melaknat). (QS An-Nur [24]: 6-9)
b. Jika tuduhan itu berasal dari orang lain, maka yang menuduh akan mendapat hukum had berupa cambukan atau deraan sebanyak 80 kali dan persaksiannya tidak akan diterima untuk selama-lamanya. (QS An-Nur [24]: 4)
REFLEKSI (Hikmatut Tasyri’)
Dosa-dosa yang membinasakan, sebagaimana uraian di atas, dalam beberapa kajian seringkali disamakan dengan istilah “dosa-dosa besar”. Di kalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat dalam mendefinisikan dosa besar.
Ibnu Abbas mengartikan dosa besar dalam tiga lingkup definisi sebagai berikut.
1. Setiap dosa yang berakhir dengan siksa api neraka, murka Allah Ta’ala atau laknat-Nya.
2. Segala perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.
3. Segala perbuatan yang merupakan bentuk kemaksiatan kepada Allah SWT. (Ibnu Kasir, I: 536-537)
Abu al-Qasim Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafi’i, menurut penelitiannya terhadap berbagai pendapat di kalangan para sahabat, memperoleh dua pengertian berikut.
1. Dosa besar adalah setiap kemaksiatan yang mendapatkan hukum had.
2. Dosa besar adalah setiap kemaksiatan yang pelakunya mendapat ancaman yang sangat besar dalam nash al-Quran dan as-Sunnah.
Al-Qadhi Abu Said al-Harawi dalam Tafsir al-Quran al-Azhim Ibnu Kasir (jilid I: 538), selain mencantumkan kemaksiatan yang wajib dikenai had, memuat definisi dosa besar sebagai berikut.
1. Setiap perbuatan yang diharamkan melalui nash al-Quran.
2. Berdusta dalam persaksian, periwayatan, dan sumpah.
3. Meninggalkan setiap kewajiban yang diperintahkan agar segera dilaksanakan.
Muhammad Abdul Aziz al-Khauli mendefinisikan dosa besar sebagai dosa yang memiliki kemudharatan yang sangat besar dan pengaruh negatifnya di masyarakat sangat besar pula. Hal demikian disebabkan karena mafsadat dan ancamannya yang sangat besar terhadap dosa-dosa tersebut. (Al-Khauli, tt: 112)
Jika kita mengacu kepada berbagai definisi di atas, maka yang termasuk dosa-dosa besar itu sangat banyak jumlahnya. Dengan demikian, tujuh dosa yang membinasakan sesuai dengan sabda Rasul di atas bukan sebagai pembatas bagi dosa-dosa besar tersebut. Tetapi hal itu disampaikan oleh Rasulullah sebagai bentuk perhatiannya yang sangat besar terhadap umatnya agar tidak terjerumus kepada dosa-dosa besar lain yang mafsadat, hukuman, dan ancamannya seperti ketujuh dosa di atas.
Namun demikian, dari sekian banyak dosa yang tergolong kepada dosa-dosa besar, dosa musyrik menempati urutan paling atas (yang terbesar) dari dosa-dosa besar lainnya. Adapun dosa-dosa besar lainnya yang tidak tercantum dalam hadis di atas, tetapi menjadi kriteria dosa besar dalam hadis yang lain, di antaranya adalah durhaka terhadap orangtua, membunuh anak karena kekhawatiran menambah kemiskinan, persaksian palsu atau dusta, khianat dalam perkara ghanimah, zina, mencuri, meminum minuman keras, memisahkan diri dari al-jama’ah, menebar fitnah, melanggar bai’at, dan tidak membersihkan air kencing.
DAFTAR REFERENSI
________. 2004. Al-Quran dan Terjemahnya. Departemen Agama RI. Mekar: Surabaya.
Al-Asfahani, Ar-Raghib. tt. Mu’jam li Alfazh al-Quran.
Al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. tt. Fathul Bari. Syirkah Iqamatuddin.
________________. tt. Hadyus Sari: Muqaddimah Fathul Bari. Syirkah Iqamatuddin.
Al-Khauli, Muhammad Abdul Aziz. tt. Al-Adab an-Nabawi. Darul Fikr: Beirut.
Al-Khudhari, Muhammad. tt. Tarikh at-Tasyri al-Islami. Al-Haramain: Singapura.
As-Shan’ani, Muhammad bin Ismail. tt. Subulus Salam. Maktabah Dahlan: Indonesia.
Ibnu Kasir, Muhammad Dhiyauddin. Tafsir al-Quran al-Adhim. Darul Fikr: Beirut.
Khalid, Khalid Muhammad. 1982. Karakteristik Perihidup Enampuluh Shahabat Rasulullah. Diponegoro: Bandung.
0 comments:
Post a Comment