Wilujeng Sumping, alias SELAMAT DATANG... di blog simkuring... moga-moga aya manfaat nu tiasa katampi... hapunten nu kasuhun... bilih aya nu teu kahartos...

Kang Yosep: "Idealis" menapaki "Realitas"


DATA MAHASISWA

No. NIM Nama Mahasiswa
1 09.0290 Abdul Malik
2 09.0267 Agus Salim
3 09.0292 Asep Haerudin
4 09.0282 Asep Saripin
5 09.0301 Basir Japidung
6 09.0259 Diman Zamil
7 09.0303 Ema Nurhasanah
8 09.0278 Fitri Indriani
9 09.0299 Galih Permana
10 09.0270 Ikrima Nisa Habibah
11 09.0275 Ismailia
12 09.0325 Maya Susanti
13 09.0324 Mira Nopita
14 09.0326 Rani Tri Lesmayanti
15 09.0260 Risa Apriani
16 09.0385 Sidiq Ginanjar
17 09.0300 Siti Nurul Hidayah
18 09.0328 Tedi Setiadi
19 09.0327 Toto Soni
20 09.0383 Winda Gustiani
21 09.0319 Wiwin Muspianti
22 09.0384 Yana Hadiana
23 09.0283 Yopi Sopiana
24 09.0265 Yosep Saeful Azhar Photobucket
25 09.0298 Endang Sudrajat
26 09.0316 Supian Munawar
27 Asep Al-Juhaeri

Friday, January 22

Masa Depan Pendidikan Islam


Kiranya sangat menarik ketika saya membaca sebuah tulisan di Millis pemuda Persis tentang Masa Depan Pendidikan Islam.

Memang, pendidikan Islam atau Pendidikan Agama Islam senantiasa mendapat sorotan tajam dari para analis. Terlebih jika dikaitkan dengan carut-marutnya keadaan bangsa ini. Segala sesuatu yang berbau kebobrokan kerapkali dikaitkan dengan problematika pendidikan, terutama pendidikan keagamaan. Dalam hal ini, karena mungkin mayoritas bangsa ini didiami oleh umat Islam, maka pendidikan Islam pun mendapat perhatian serius. Sejauh mana pengaruhnya terhadap peningkatan peradaban sebuah bangsa?

Di bawah ini saya kutip pemikiran tersebut secara lengkap supaya bisa menjadi bahan dasar pengembangan Pendidikan Islam ke depan.

MENEROPONG MASA DEPAN PENDIDIKAN ISLAM
Tatang Muttaqin


1. Pendahuluan
Perkembangan teori dalam bidang ilmu sosial menyatakan bahwa pendidikan merupakan bagian dari modal sosial (social capital) dalam suatu masyarakat atau negara, oleh karena itu sangat penting untuk dikembangkan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari sisi teori ekonomi, pendidikan merupakan salah satu faktor produksi terpenting dalam pertumbuhan ekonomi. Setidaknya ada dua model pertumbuhan, yaitu Solow (1957) dan Lucas (1988) menggambarkan pentingnya peran manusia sebagai tenaga kerja dan pentingnya sumber daya manusia dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Temuan dua ekonom tersebut diperkuat dengan pandangan Lester Thurow dari MIT yang menyatakan bahwa kemakmuran suatu negara ditentukan terutama oleh brainpower and imagination, invention and the organization of new technologies. Dari sisi empirik pun, kenyataan menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki sumber daya manusia yang baik dan berkualitas akan lebih maju dibandingkan dengan negara-negara yang menggantungkan pada sumber daya alam yang berlimpah.
Secara umum pendidikan dapat dibagi kepada dua area: Pertama, Pendidikan Dasar yang bertujuan untuk memberikan kemampuan paling dasar dan fundamental, yaitu: membaca, menulis dan berhitung (calistung) dan juga meningkatkan kemampuan komunikasi dan berpikir logik (logika). Kedua kemampuan dasar tersebut dapat membantu meningkatkan kemampuan interaksi siswa didik yang secara ekonomis dapat menciptakan pasar dan mempercepat terjadinya transaksi. Karena pentingnya peran pendidikan dasar dalam memberikan keterampilan hidup, maka setiap negara memberikan prioritas utama dalam bentuk wajib belajar (compulsory education). Kedua, Pendidikan Tinggi yang memberikan kemampuan dan keterampilan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Keterampilan tersebut akan dapat meningkatkan kemampuan adaptasi penduduk terhadap teknologi baru dan sekaligus meningkatkan kebutuhan terhadap produk teknologi sehingga mendorong tumbuhnya inovsi dan teknologi.

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, maka dilakukan dua upaya di bidang pendidikan. Pertama, perluasan pelayanan pendidikan yang mencakup dua sasaran, yaitu: (a) penduduk yang sudah ada dalam lapangan kerja untuk meningkatkan keterampilan dan produktivitas sehingga secara ekonomi dapat dicapai increasing return to scale. (b) penduduk yang belum masuk dalam dunia kerja terutama melalui Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun sebagai faktor pendorong terjadinya adaptasi teknologi dan penyiapan SDM yang berkualitas. Kedua, peningkatan kualitas pendidikan yang mengupayakan sinergi antara relevansi pendidikan dengan dunia kerja dan upaya pendidikan sebagai instrumen untuk menanamkan dan memperkuat karakter dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Sinergitas keduanya akan mendorong terwujudnya sumber daya manusia yang berdaya saing dan berbudaya (life skills education).
2. Potret Pembangunan Pendidikan
Indonesia memiliki sistem pendidikan nasional yang memiliki cakupan sangat besar. Pada tahun 2008 sistem pendidikan nasional melayani lebih dari 55,8 juta siswa dari jenjang pendidikan anak usia dini hingga jenjang pendidikan tinggi (PT) melalui jalur formal. Ditinjau dari cakupan dan jumlah siswa yang dilayani, sistem pendidikan nasional kita merupakan yang terbesar di Asia Tenggara dan terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Penyelenggaraan layanan pendidikan formal dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta/masyarakat, melalui jalur umum, vokasi maupun agama. Sekitar 3,8 juta guru dan tenaga pendidik lainnya, baik yang berstatus sebagai pegawai negeri maupun swasta, mengajar di lebih dari 312,4 ribu satuan pendidikan formal mencakup sekolah, madrasah, dan lembaga pendidikan tinggi. Di luar sub-sistem pendidikan formal terdapat sekitar 4 juta orang per tahun yang belajar melalui jalur pendidikan non-formal dengan tujuan yang sama, yaitu memberikan layanan pendidikan dan informasi setara dengan sekolah/madrasah maupun membekali siswa dengan pendidikan berupa pelatihan ketrampilan atau kursus.
Dilihat dari jumlah satuan pendidikan dan peserta didik, sektor swasta memainkan peran penting dalam penyelenggaran layanan pendidikan, baik di jalur formal maupun non-formal. Pada jenjang SD/MI sebagian besar (lebih dari 90 persen) sekolah berstatus negeri, sebaliknya 58,4 persen sekolah di jenjang SMP/MTs dan 70,0 persen sekolah di jenjang SMA/SMK/MA berstatus swasta. Sementara itu, dilihat dari jumlah peserta didiknya, kontribusi swasta mencapai 16,1 persen untuk jenjang SD/MI, 37,1 persen untuk jenjang SMP/MTs, dan 44,7 persen untuk jenjang SMA/SMK/MA. Di jenjang PAUD dan PT, layanan pendidikan oleh swasta memiliki proporsi yang lebih besar; lebih dari 75 persen mahasiswa belajar di perguruan tinggi swasta, dan lebih dari 99 persen layanan pendidikan TK dan pendidikan anak usia dini lainnya diselenggarakan oleh swasta.
Madrasah memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keseluruhan layanan pendidikan dan penyelenggaraannya didominasi oleh swasta sebanyak lebih dari 90 persen. Madrasah melayani sekitar 9,7 persen dari seluruh siswa jenjang sekolah dasar, 21,4 persen dari seluruh siswa jenjang menengah pertama, dan 11,6 persen dari seluruh siswa jenjang pendidikan menengah. Perguruan tinggi agama juga menyumbangkan sekitar 1,5 persen APK pendidikan tinggi yang kini mencapai sekitar 18,29 persen (2008).
Berbagai kebijakan dan program telah dilaksanakan dalam lima tahun terakhir untuk mengantisipasi dan mengatasi berbagai permasalahan terkait dengan peningkatan akses dan pemerataan, kualitas, serta tatakelola di bidang pendidikan. Beberapa kebijakan tercatat sebagai kemajuan yang berpotensi meletakkan dasar lebih kuat bagi perkembangan sistem pendidikan secara keseluruhan di masa mendatang, antara lain: (1) penetapan Standar Nasional Pendidikan (SNP); (2) pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP); (3) program Bantuan Operasional Sekolah (BOS); dan (4) perluasan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Program lain yang juga terkait erat dengan kebijakan di atas adalah program BOS Buku, pembelian hak cipta buku-buku mata pelajaran oleh pemerintah, pengendalian mutu buku, peningkatan mutu bahasa dan sastra Indonesia serta penggunaannya, serta peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru dan dosen yang disertai dengan peningkatan kesejahtaraan dan peningkatan karier. Pada kurun waktu yang sama, berbagai program penting lainnya tetap berjalan, meliputi rehabilitasi serta pembangunan unit sekolah dan ruang kelas baru, perpustakaan, dan laboratorium untuk mendukung upaya perluasan dan pemerataan akses serta peningkatan kualitas.
Melihat potret di atas, pemerintah telah memberi perhatian besar pada pembangunan pendidikan sehingga menjadi agenda utama (prioritas) pembangunan nasional. Sebab, keberhasilan dalam pembangunan pendidikan akan menentukan kualitas manusia Indonesia dan kemajuan bangsa secara keseluruhan. Akan tetapi, kualitas manusia Indonesia relatif masih rendah seperti tercermin dari indeks pembangunan manusia (IPM). Berdasarkan Human Development Report 2008-2009, indeks pembangunan manusia Indonesia berada pada urutan ke-111 dari 182 negara. Indeks tersebut disusun untuk menggambarkan kemajuan SDM sebagai gabungan komponen pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Secara rinci, angka indeks tersebut merupakan gabungan dari angka harapan hidup saat lahir, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi, dan pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita, yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity).
Pencapaian pembangunan pendidikan nasional dapat dilihat antara lain melalui tingkat pendidikan yang berhasil diselesaikan oleh penduduk Indonesia. Menurut Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia meningkat dari 7,1% pada tahun 2004 menjadi 7,47 pada tahun 2007. Di samping itu terjadi penurunan angka buta aksara usia lima belas tahun ke atas dari 10,21% pada tahun 2004 menjadi 6,21 pada tahun 2008. Data ini dengan jelas menggambarkan betapa tingkat pendidikan mayoritas penduduk Indonesia masih sangat rendah. Sebagian besar penduduk Indonesia hanya berpendidikan setingkat sekolah dasar, bahkan akumulasi dari mereka yang menamatkan SD/MI, belum tamat SD/MI.
Dilihat dari tingkat partisipasi pendidikan juga mengalami kemajuan, di mana Aangka partisipasi murni (APM) pendidikan semuanya mengalami peningkatan. APM SD-MI meningkat dari 94,12% pada tahun 2004 menjadi 95,14% pada tahun 2008; APM SMP-MTs meningkat dari 81,22% pada tahun 2004 menjadi 96,18% pada tahun 2008; APM SM-MA meningkat dari 49,01% pada tahun 2004 menjadi 64,28% pada tahun 2008; dan APK PT meningkat dari 14,62% pada tahun 2004 menjadi 17,75% pada tahun 2008
Akan tetapi, pencapaian pembangunan pendidikan di atas masih belum memadai untuk menghadapi persaingan global yang semakin ketat di masa depan. Dalam konteks kompetisi global, kita perlu mencermati dengan seksama betapa daya saing Indonesia relatif lemah dibandingkan dengan negara-negara lain.
Menurut World Competitiveness Report 2007, berdasarkan growth competitiveness index (GCI) yang mencakup tiga indikator: (i) teknologi, (ii) lembaga-lembaga publik, dan (iii) lingkungan makroekonomi, posisi Indonesia berada di urutan ke-54. Merujuk laporan yang sama, berdasarkan business competitiveness index (BCI) yang mencakup dua indikator: (i) strategi dan operasi perusahaan dan (ii) lingkungan bisnis nasional, menempatkan Indonesia pada urutan ke-19 di antara negara-negara anggota APEC, jauh di bawah Singapura yang berada di posisi ke-2, Taiwan ke-6, Korea Selatan ke-9, dan Malaysia ke-10. Sementara Thailand menempati urutan ke-11, China ke-13, Vietnam ke-16, dan Filipina ke-17.
Indikator lain lemahnya daya saing Indonesia dapat pula diukur berdasarkan kriteria Technology Achievement Index, yang membagi negara-negara di dunia menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok Technology Inovator Countries yang berjumlah 18 negara, antara lain, Amerika, Jepang, dan negara-negara Eropa Barat. Kedua, kelompok Technology Implementor Countries yang tercakup kumpulan negara-negara yang meskipun baru bisa memproduksi barang atau inovasi teknologi, tetapi sudah bisa menerapkan teknologi-teknologi tinggi dalam berbagai bidang kehidupan. Malaysia yang pada tahun 1970-an banyak mengirim mahasiswa untuk belajar di universitas dan institut di Indonesia termasuk ke dalam kelompok ini. Sementara Indonesia tergolong ke dalam kelompok ketiga, yakni Technology Adaptor Countries yakni kumpulan negara-negara yang baru bisa mengadopsi teknologi dan belum sampai pada tahap implementasi. Kita perlu merasa khawatir karena Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 63 negara yang masuk dalam kelompok ini. Keempat, kelompok negara-negara marginal atau Marginalized Countries yang tidak mempunyai kemampuan minimal apa pun dalam hal teknologi.
Selain itu, Indonesia juga masih menghadapi masalah dalam pembangunan pendidikan yakni kesenjangan partisipasi pendidikan antarkelompok masyarakat, terutama antara penduduk kaya dan miskin, antara wilayah perkotaan dan perdesaan, antardaerah, dan disparitas gender. Masalah kesenjangan partisipasi pendidikan ini harus segera diatasi, agar Indonesia secara perlahan mampu meningkatkan daya saing nasional. Peningkatan daya saing hanya dapat dibangun melalui pendidikan yang berkualitas, yang diharapkan akan melahirkan masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Bila kita berhasil membangun masyarakat berpengetahuan, maka bangsa Indonesia diharapkan siap menyongsong era global yang mengarah pada apa yang disebut ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy—KBE).
Dalam era KBE, setiap negara dituntut memiliki daya saing yang tangguh agar dapat berkompetisi dengan negara lain yang berlangsung sangat ketat. Tentu saja, peranan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sangat vital, bahkan merupakan faktor determinan bagi keberhasilan suatu bangsa dalam memenangi persaingan global. Dengan kata lain, daya saing nasional sangat ditentukan oleh kemampuan bangsa bersangkutan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, melakukan inovasi teknologi, dan mendorong program research and development (R&D) untuk melahirkan penemuan-penemuan baru, yang bermanfaat bagi pengembangan KBE.
Untuk itu, kita perlu memperkuat pendidikan di Indonesia agar bisa memberi sumbangan berharga dalam upaya membangun SDM berkualitas yang mempunyai keunggulan kompetitif (competitive adavantage). Hasil akreditasi yang dilakukan BAN misalnya menujukkan keragaman kualitas PT. Dalam konteks global, penilaian dari lembaga internasional semisal Times Higher Education Supplement (THES) dan Webometrik menunjukkan hanya sebagian kecil PT saja yang masuk kelas dunia, yaitu: UI, UGM, ITB, UNAIR, UNDIP, dan IPB. Di tingkat Asia, Asia’s Best Universities 2000 melaporkan, dari 77 universitas terbaik untuk kategori Multi-Disciplinary Schools, Indonesia hanya mempunyai empat universitas saja yang menempati peringkat 60 ke atas yaitu: UI (61), UGM (68), Undip (73), dan Unair (75). Sedangkan untuk kategori Science and Technology Schools, ITB adalah satu-satunya PT Indonesia terbaik yang berada pada urutan ke-21 dari 38 institusi. Dalam konteks kompetisi antarnegara di Asia Tenggara, PT Indonesia kalah peringkat dibandingkan University of Malaya (47), University of the Philippines (48), atau Thammasat University (51). Apalagi dibandingkan dengan PT di negara-negara Asia Timur dan Selatan seperti Korea Advanced Institute of Science and Technology (1), Indian Institute of Technology (2), University of Hong Kong (3), National University of Singapore (5), Taiwan University of Science and Technology (10), atau China University of Science and Technology (15).
4. Tantangan dan Arah Pembangunan Pendidikan
Tantangan utama yang dihadapi pembangunan pendidikan adalah menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas untuk meningkatkan proporsi penduduk yang menyelesaikan pendidikan dasar ke jenjang-jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan menurunkan penduduk buta aksara, serta menurunkan kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup tinggi antarkelompok masyarakat termasuk antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk perkotaan dan perdesaan, antara penduduk di wilayah maju dan tertinggal, dan antarjenis kelamin.
Tantangan lainnya adalah meningkatkan kualitas dan relevansi termasuk mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antardaerah, antarjenis kelamin, dan antara penduduk kaya dan miskin, sehingga pembangunan pendidikan dapat berperan dalam mendorong pembangunan nasional secara menyeluruh termasuk dalam mengembangkan kebanggaan kebangsaan, akhlak mulia, kemampuan untuk hidup dalam masyarakat yang multikultur serta meningkatkan daya saing nasional. Tantangan lain yang dihadapi dalam pembangunan pendidikan nasional adalah menyediakan pelayanan pendidikan sepanjang hayat untuk memanfaatkan bonus demografi.
Selanjutnya, pembangunan pendidikan nasional diarahkan untuk meningkatkan harkat, martabat dan kualitas manusia sehingga mampu bersaing dalam era global dengan tetap berlandaskan pada norma kehidupan masyarakat Indonesia dan tanpa diskriminasi. Pelayanan pendidikan yang mencakup semua jalur, jenis, dan jenjang perlu disediakan secara bermutu dan terjangkau disertai oleh upaya pembebasan biaya pendidikan pada jenjang pendidikan dasar. Penyediaan pelayanan pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan sosial ekonomi Indonesia di masa depan termasuk untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui pendalaman penguasaan teknologi.
Pembangunan pendidikan diarahkan pula untuk menumbuhkan kebanggaan kebangsaan, akhlak mulia, serta kemampuan peserta didik untuk hidup bersama dalam masyarakat yang multikultur yang dilandasi oleh penghormatan pada HAM. Penyediaan pelayanan pendidikan sepanjang hayat sesuai perkembangan iptek perlu terus didorong untuk meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas penduduk Indonesia termasuk untuk memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan bagi penduduk usia produktif yang jumlahnya semakin besar.
Masalah lain yang dihadapi juga nampak pada jenis pilihan dan kualitas dunia pendidikan. Untuk dunia pendidikan tinggi misalnya, dari 77 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dengan jumlah mahasiswa sekitar 850.000 dan jumlah dosen/staf pengajar lebih dari 45.000, sebagian besar kini sedang mengalami perubahan mendasar terutama dalam menghadapi kesiapan otonomi kampus yang lebih luas. Di samping itu, terdapat sekitar 1.200 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan 1.400.000 mahasiswa dan sekitar 110.000 tenaga dosen yang sebagian diantaranya berasal dari PTN berstatus sebagai staf pengajar tidak tetap (part time lecturer).
Dari sekitar 1277 Perguruan Tinggi Negeri/Swasta hanya ada satu institut pertanian, yakni IPB padahal pembangunan selama ini menekankan sektor pertanian yang tangguh untuk mendukung sektor industri maju dalam rangka mewujudkan swa-sembada pangan. Dan hanya ada 2 institut teknologi negeri, yakni ITB dan ITS, yang akan membuat Indonesia kesulitan mengejar teknologi maju dan kompetitif terhadap bangsa-bangsa lain. Itu pun jumlah mahasiswanya relatif kecil. Di negara-negara maju, seperti di Australia, hampir di setiap kota yang berpenduduk di atas 400.000 orang memiliki sebuah institut teknologi.
Sebagian besar jumlah mahasiswa yang terdaftar di PTN dan PTS itu memilih bidang-bidang studi non-sains/non-teknik. Hal ini tentunya tidak kondusif bagi kondisi Indonesia sebagai negara yang sedang dalam tahap pembangunan (developing). (Zuhal, 2003).


Gambar 1. Mahasiswa di PTN dan PTS
Berdasarkan Bidang Keilmuan tahun 1998 (Zuhal,2003)


5. BAGAIMANA PENDIDIKAN ISLAM?
Pendidikan Islam -dalam hal ini pesantren dan madrasah- senantuasa dihadapkan pada pilihan dilematis. Di satu sisi, dituntut bisa berfungsi meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam, namun di sisi lain juga dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu agama. Sebagai respon terhadap sains dan modernitas kekinian, berbagai tawaran pernah dielaborasi oleh para pemikir muslim di Indonesia, seperti Natsir dengan Pendidikan Islam (PENDIS), Ahmad Dahlan dengan model pendidikan umumnya, Trio Pendiri Gontor dengan model pesantren modern, atau model generasi muda muslim terkini melalui Pendidikan Islam Terpadu (SDIT, SMPIT). Di dunia Islam, modernisasi pendidikan Islam sudah pernah
dikembangkan di Universitas Al-Azhar, Pondok Syanggit di Afrika Utara, dan Universitas Alighar di India. Pemetaan modernisasi pendidikan Islam secara lebih lengkap pernah dilakukan oleh Szyliowics (2001) yang dilakukan di empat pusat dunia Islam, yaitu: Mesir, Dunia Arab, Turki, dan Iran.
Dalam konteks manajemen, pendidikan Islam di Indonesia mengalami keterbelahan yang secara struktural dikukuhkan dengan pengelolaan pendidikan nasional melalui jalur departemen yang berbeda, yaitu Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional yang dalam batas tertentu cenderung menghamburkan daya fikiran, tenaga maupun biaya ke dalam program-program yang menyebar ke berbagai arah, dengan tujuan yang seringkali berbeda. Sebagai akibatnya, upaya membangun kualitas pendidikan Islam nampak tidak mudah untuk dilakukan.
Akibat lebih jauh, bila suasana semacam ini terus berlangsung, maka tidak mengherankan bila generasi terpelajar Islam di Indonesia akan memiliki pandangan dunia yang berbeda-beda
tergantung jalur asuhan pendidikan yang ditempuh. Masing-masing pelajar produk sekolah umum, madrasah, dan pesantren cenderung akan mengalami hambatan komunikasi satu sama lainnya karena perbedaan "bahasa keilmuan" yang digunakan pada setiap jalur asuhan. Dalam bentuk ekstrimnya, pelajar muslim di Indonesia cenderung "gagap" berbicara antara satu dengan yang lain. Beberapa pengalaman telah membuktikan bahwa karena perbedaan "bahasa" ini, bila terjadi dialog antara pelajar dari produk jalur asuhan berbeda, seringkali terjadi konflik yang berkepanjangan hanya dikarenakan kurangnya pemahaman. Setiap diskusi keilmuan, yang seharusnya dapat secara langsung berbicara pada inti masalah, seringkali harus berliku-liku terlebih dahulu menjelaskan banyak istilah yang disalah mengertikan. Maka dapat mudah ditebak jika kualitas pendidikan nasional saja tidak cukup kompetitif, apalagi pendidikan Islam yang umumnya lebih ‘tertinggal’.
Untuk itu perlu upaya serius untuk menjawab problem tersebut dan kehadiran madrasah di Indonesia merupakan suatu upaya kombinasi kreatif antara model pendidikan pesantren yang sangat mengutamakan kajian "Qur'aniyah" dan sekolah yang sangat mengutamakan kajian "Kauniyah". Secara konsepsional, madrasah memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sistim pendidikan Islam yang utuh namun mind-set dikotomi sisa segresasi sosial kolonial tidak mudah dihilangkan. Sebagaimana dimaklumi, dikotomi dunia pendidikan di Indonesia yang terdiri dari sekolah umum dan sekolah agama merupakan kelanjutan dari model pendidikan di masa pemerintah Belanda. Pemerintah mencoba untuk menjembatani dengan melaksanakan usaha "pemaduan". Usaha ini sejak awal telah dilakukan dengan menutup kekurangan-kekurangan yang terdapat di antara kedua jenis lembaga pendidikan itu, yaitu memberikan pengajaran agama di sekolah umum, baik negeri maupun swasta, dan sebaliknya mengupayakan memberikan pengetahuan umum lebih intensif di madrasah/pesantren (Kafrawi, 1979: 65-94; Steenbrink, 1986: 83-102). Pemerintah berupaya untuk tidak campur tangan yang bersifat mengikat dan memaksa pada sistim pendidikan pesantren, terlebih-lebih di bidang kurikulum pengajaran agamanya. Pemerintah hanya memberikan bimbingan dan dorongan agar pondok pesantren dapat meningkatkan kemampuan mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Keseluruhan usaha pemerintah ini hanya sekedar bersifat bimbingan dan bantuan motivasi. Oleh karena itu perkembangan sistim pendidikan pesantren sangat bervariasi tergantung dengan situasi masing-masing (tepatnya tergantung pada usaha dan kehendak Kyai-nya). Namun, nampaknya harapan tersebut masih sulit untuk direalisasikan. Alih-alih mensinergikan semangat pesantren dan spirit sekolah umum, madrasah malah tertinggal di antara keduanya. Dengan merujuk pemetaan pesantren yang dilakukan Dhofier (1982) setidaknya ada dua kategori pesantren, yaitu: (a) Pesantren Salafi yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sistim pengajaran diterapkan untuk memudahkan sistim "sorogan" yang dipakai dalam lembaga pengajian bentuk lama, tetapi tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum; (b) Pesantren Khalafi yang telah memasukkan pelajaran umum dalam materi pembelajarannya yang dikembangkannya, atau membuka tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren.
Seiring dengan perkembangan masyarakat, berbagai inovasi kepesantrenan dilakukan yang paling monumental adalah inovasi model Gontor yang bisa menjadi contoh yang cukup menarik sehingga mampu tampil beda dan mampu mensinergikan tradisi Islam dan nilai-nilai modern. Melihat sistuasi global yang melahirkan kekuatan ekonomi baru yang dasyat di dunia yaitu China, tahun 2006 Gontor menambah program bahasa Mandarin sebagai bekal bagi santrinya kelak mengingat perkembangan iptek di China sangat pesat dan sekaligus pasar yang besar sehingga secara kualitatif dan kuantitatif Bahas Mandari akan sama dengan bahasa Inggris yang dipergunakan oleh sekira 1 milyar penutur. Pilihan responsif dan proaktif yang dilakukan Gontor tak dapat dilepaskan dari semangat pesantren senantiasa merujuk pada sikap terbuka dan inovatif yang sangat terkenal dengan adagium al-mukhafadatu ala al-qadim al-salih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah (mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil inovasi baru yang lebih baik). Perpaduan Isla dan modernitas diejawantahkan dalam wujud pengajaran Bahasa Arab dan Dirasah Islamiyah dan perkembangan sains modern didalami melalui Bahasa Inggris, IPA dan IPS.
Dengan demikian, pilihan yang perlu dilakukan adalah: Pertama, memperkuat penanaman nilai-nilai moral agama substantif sehingga mampu membantu pengembangan watak dan karakter siswa didik menjadi seorang muslim yang hanif. Kedua, memfokuskan penguasaan pada pengetahuan dasar pokok yang meliputi: Wawasan ke-Islaman, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Ilmu Pengetahuan sekitar.
Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah upaya untuk senantiasa mendorong peserta didik meningkatkan keinginan untuk belajar (long life education) yang semakin menipis akibat deraan informasi dan hiburan ‘sampah’ media massa dengan membuat suasana pembelajaran yang ‘menyenangkan’, sebagaimana yang dikembangkan UNICEF Indonesia di bawah pimpinan Mohammed Fall melalui Program Sekolah Ramah Anak.
Beberapa studi (Keller, 1987; McKeachie, 1994; Frymier & Shulman, 1995; Newby, 1991) telah mengidentfikasi beberapa upaya untuk menumbuhkan motivasi peserta didik melalui: Pertama, pendidik yang mampu mendesain isi pembelajaran sebagai sesuatu yang relevan dengan kebutuhan siswa untuk mempersiapkan diri berkiprah di masa depan. Kedua, pendidik harus memiliki kemampuan untuk memfasilitasi model pembelajaran aktif (active learning techniques) sehingga peserta didik dapat belajar dan menemukan pemecahan praktis secara mandiri. Ketiga, tersedianya wahana untuk memfasilitasi dialog peserta didik dengan para praktisi yang menjalani kehidupan nyata sebagai bahan pembanding dan pendalaman sehingga peserta didik cukup mumpuni dan dapat merasakan dinamika kehidupan nyata.
Selanjutnya, untuk mendukung keberhasilan belajar peserta didik, ada lima variabel yang cukup menentukan, yaitu:
1. Mengedepankan pengajaran yang melibatkan peserta didik secara aktif sehingga pembelajaran mewujud seperti yang diungkapkan William Burton: Teaching is the guidance of learning activities, teaching is purpose of aiding the pupil to learn (mengajar adalah membimbing kegiatan belajar siswa sehingga mau belajar).
2. Menarik minat dan perhatian peserta didik karena proses belajar-mengajar yang efektif adalah adanya minat dan perhatian dari peserta didik dalam belajar. Minat sifatnya menetap sedangkan perhatian lebih bersifat sementara.
3. Membangkitkan motivasi siswa. Motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan, atau keadaan dan kesiapan dalamdiri individu yang mendorong tingkahlakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan. Setidaknya ada dua teknik sederhana dalam meningkatkan perhatian dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM), yaitu: Attention, Interest, Desire, Action (AIDA); dan Attention, Need, satisfaction, Visualization, Action (ANSVA).
4. Menghargani individualitas karena peserta didik heterogen sehingga harus diperhatikan kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa secara individual (tidak pukul rata atau gebyah uyah).
5. Untuk mengurangi abstraksi suatu persoalan dan mengurangi kejenuhan maka diperlukan peragaan (visualisasi) dalam kegiatan belajar-mengajar, misalnya dengan memanfaatkan kehadiran teknologi komunikasi dan informasi (TIK). Upaya ini akan sejalan dengan meningkatkan pemahaman (verstehen) peserta didik sehingga mampu menghindari verbalisme, tahu kata tidak tahu makna.
Upaya-upaya tersebut, insya-Allah, akan mampu mendorong semangat belajar siswa yang selama ini menjadi permasalahan mendasar dalam proses pembelajaran sehingga dapat membantu penguasaan peserta didik terhadap materi bahan ajar. Wallahu’alam Bisshawwab.


0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan