Pada dasarnya alat adalah sesuatu yang digunakan untuk pen-capaian tujuan tertentu yang sebelumnya sudah ditetapkan pelaku.99 Demikian juga rumusan alat untuk tafsir al-Quran. Sebagai sudah disebutkan di muka, tujuan al-Tafsir adalah me-ngungkap dan menjelaskan maksud Allah dalam firman-Nya.100 Un-tuk mendapatkan tujuan ini digunakan seluruh kemampuan manu-sia.101 Hanya saja jika yang menjadi sasaran proses penafsiran al-Quran adalah kejelasan maksud allah swt., dalam ayat-ayat-Nya, ma-ka alat dalam tafsir al-Quran menjadi terikat kepada tujuan ini, berarti alat tersebut harus fungsional dalam rangka pencapaian tujuan penaf-siran al-Quran.
Menurut rumusan al-tafsir atau ‘Ilm al-tafsir yang dikemukakan oleh al-Dzahabi,102 terdapat dua sasaran untuk mendapatkan tujuan al-tafsir, yaitu (1) pemahaman lafazh, dan (2) penjelasan maksud Allah. Dengan dua sasaran ini, tampak perangkat alat yang dibu-tuhkan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Jadi yang dibutuhkan adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk memahami makna serta mengambil faedah-faedah dari ayat-ayat al-Quran yang nantinya membantu bagi pemahaman maksud Allah ta’ala dalam ayat-ayat al-Quran. Yang berfungsi seperti ini, menurut al-Syathiby, adalah alat yang tidak boleh tidak harus ada.103 Termsauk keadaan kategori ini adalah ilmu-ilmu bahasa Arab. Demikian juga menilik spesifikasi al-Quran, sebagai disebutkan di muka, misalnya dari segi qiraah, maka ilm al-Qiraah, nasikh wa mansukh, qawa’id al-Ushul dan yang se-perti ini termasuk ke dalam kategori alat. Selain ilmu-ilmu yang dise-butkan di akhir, menurut al-Syathiby berfungsi sebagai al-washilah atau media bagi pemahaman makna ayat-ayat al-Quran.
Dengan demikian al-Syathiby mendudukan ilmu-ilmu yang di-hubungkan dengan al-Quran (ulum al Quran) pada dua fungsi, yaitu sebagai alat dan media (al-washilah). Berbeda dengan al-Syathiby, Ibn Rusyd, menyatakan bahwa ilmu-ilmu falsafah adalah diperlu-kan.104 Masalahnya adalah – menurut Ibn Rusyd – bagaimana kita bisa faham hakikat al-Syari’ah jika kita tidak mengatahui ilmu falsa-fah, terutama dengan al-Razy,105 dalam menempatkan ‘ilm al-Hayyi-ah sebagian dari ilmu-ilmu yang diperlukan mufassir untuk menafsir-kan al-Quran.
Pendekatan fungsional dalam kajian ulum al-Quran sebagai alat dalam tafsir al-Quran menghendaki sikap proporsional mufassir. Al-Syathiby dalam pembahasannya mengenai pembagian ilmu-ilmu yang dihubungkan dengan al-Quran, menjadikannya dua kategori yaitu sebagai alat dan media, telah menampakkan sikap yang dimak-sud. Ketepatan penempatan ilmu-ilmu ini telah mendapatkan per-hatian mufassir, mengingat dua kepentingan, yaitu: (1) tujuan al-tafsir yaitu menemukan kejelasan maksud Allah dalam ayat-ayatnya, yang karena kekhasan al-Quran ini hanya bisa dicapai dengan alat-alat yang khusus seperti ilmu qira’ah dan kaidah-kaidah al-tafsir lainnya,106 dan (2) penempatan al-Quran sebagai petunjuk atau pedo-man kehidupan. Karena al-Quran merupakan kitab suci yang terbuka – sebagai dikemukakan Bint al-Syathi dan Abd Allah Daraz107 – maka seluruh manusia berhak memahami dan mengambil petunjuk dari al-Quran dengan kemampuan dan kecenderungannya masing-masing, sehingga yang disebut di akhir ini akan menempati posisi dan porsi tertentu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran.
Jika untuk menafsirkan al-Quran dibutuhkan alat, yaitu ulum al-Quran dalam pengertian seperti di atas, maka demikian halnya bagi terjemah al-Quran diperlukan alat, dan atau syarat. Sebelum pemba-hasan alat bagi terjemah al-Quran dilakukan, perlu dilihat rumusan terjemah al-Quran.
Pada dasarnya terjemah adalah mengalih kalimat dari satu ba-hasa ke bahasa lainnya. Dari pengertian ini kemudian terdapat pem-bagian yaitu terjemah harfiyah dan terjemah maknawiyah atau tafsi-riyah.108 Pada terjemah harfiyah terbagi ke dalam tiga bagian: (1) ter-jemah harfiyah setara الترجمة الحرفية بالمثل yaitu terjemah struktur kalimat al-Quran ke dalam bahasa lainnya dengan mengikuti susunan kata dan gaya bahasa al-Quran dan (2) terjemah harfiyah yang tidak setara الترجمة الحرفية بغير المثل yaitu terjemah harfiyah yang mengikuti struktur kalimat al-Quran sesuai dengan kemampuan penerjemah da-lam pengetahuan bahasa al-Quran.
Kedua bentuk terjemah harfiyah tersebut jika diterapkan ke selain al-Quran bisa saja, tetapi bagi bahasa al-Quran tidak mungkin, berdasar atas kebahasaan dan tujuan diturunkan al-Quran sebagai bukti kebenaran nubuwwah Rasul saw., yang terkandung dalam redaksi ayat-ayat al-Quran yang memiliki kekhasan. Dari sini, bisa disebutkan bahwa terjemah harfiyah dari al-Quran bukan tafsir al-Quran.109
Terjemah tafsiriyyah adalah terjemah al-Quran dengan membe-rikan perluasan dan penjelasan makna yang terkandung dalam bahasa al-Quran, tanpa memperhatikan struktur kalimat atau bahasa al-Quran serta seluruh makna yang dimaksud oleh al-Quran. Demikian, pener-jemah hanya memperhatikan apa yang dimaksud oleh redaksi al-Quran, kemudian mengalihkannya ke dalam bahsa pengganti sesuai dengan hasil pemahamannya terhadap system redaksi al-Quran. Pada terjemah tafsiriyyah makna-makna yang dimaksud ayat al-Quran masih dapat ditemukan selama si mufassir memiliki kualifikasi untuk menafsirkan dan menterjemahkan ayat-ayat al-Quran ke dalam baha-sa selain al-Quran. Menurut al-Dzahaby, jika untuk tafsir al-Quran dibolehkan – menurut kesepakatan ulama – menafsirkan ayat-ayat al-Quran bagi orang-orang yang memiliki kualifiasi untuk ini sesuai dengan kemampuannya tanpa harus secara menyeluruh dapat meng-ungkapkan maksud-maksud Allah dalam ayat-ayat-Nya maka demi-kian juga bagi terjemah tafsiriyyah. Sebab ungkapan-ungkapan dalam terjemah tafsiriyyah yang di dalamnya mencakup pensyarahan dan penjelasan makna, pembahasan maksud, pengungkapan dan penetap-an dalil, dan dari segi lainnya yang berkaitandengan tadabur makna al-Quran.110 Dan dari segi ini, bisa disebut bahwa terjemah tafsiriy-yah adalah tafsir al-Quran dengan bahasa selain al-Quran. Dan oleh karenanya terjemah tafsiriyyah memerlukan alat atau syarat tertentu.
Syarat-syarat untuk menerjemahkan tafsiriyyah adalah sebagai berikut111: pertama, seperti tafsir al-Quran, terjemah tafsiriyyah ha-rus berdasarkan prinsip atau kaidah yang pasti dalam syari’ah Isla-miyah. Kemudian ketika penterjemahan akan menarik makna al-Quran, ia harus bersandar pada tafsir al-Quran berbahasa Arab; sebab jika menarik makna al-Quran hanya bersandar pada akalnya saja atau pada tafsir al-Quran yang tidak benar dan karenanya pula tidak di-anggap sebagai terjemah tafsiriyyah yang sah.112 Kedua, seperti juga syarat bagi mufassir, penerjemah harus bersih dari akidah yang bertentangan dengan al-Quran. Ketiga, penerjemah harus menguasai dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa al-Quran dan bahasa penggantinya yang menyangkut aspek bentuk, gaya bahasa, dan semantic kedua ba-hasa tersebut. Keempat, --secara teknis–yang pertama dilakukan oleh penerjemah adalah menulis ayat al-Quran terlebih dahulu, kemudian meberikan penjelasannya dan kemudian memberikan terjemah tafsi-riyyahnya. Dengan tahapan-tahapan seperti ini bisa dihindari panda-ngan orang yang menyebutkan bahwa terjemah tersebut adalah ter-jemah harfiyah.
Syarat sebagaimana tersebut di atas menurut al-Dzahaby adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan menafsirkan al-Quran dengan selain bahasa al-Quran.113
Termasuk ke dalam instrumen pemahaman al-Quran adalah kaidah-kaidah penafsiran atau qawaid al-tafsir, membahas termasuk di dalamnya disebabkan munasabah dimiliki oleh system redaksi ayat al-Quran oleh keduanya yang akan dikemukakan.
Menurut rumusan al-tafsir atau ‘Ilm al-tafsir yang dikemukakan oleh al-Dzahabi,102 terdapat dua sasaran untuk mendapatkan tujuan al-tafsir, yaitu (1) pemahaman lafazh, dan (2) penjelasan maksud Allah. Dengan dua sasaran ini, tampak perangkat alat yang dibu-tuhkan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Jadi yang dibutuhkan adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk memahami makna serta mengambil faedah-faedah dari ayat-ayat al-Quran yang nantinya membantu bagi pemahaman maksud Allah ta’ala dalam ayat-ayat al-Quran. Yang berfungsi seperti ini, menurut al-Syathiby, adalah alat yang tidak boleh tidak harus ada.103 Termsauk keadaan kategori ini adalah ilmu-ilmu bahasa Arab. Demikian juga menilik spesifikasi al-Quran, sebagai disebutkan di muka, misalnya dari segi qiraah, maka ilm al-Qiraah, nasikh wa mansukh, qawa’id al-Ushul dan yang se-perti ini termasuk ke dalam kategori alat. Selain ilmu-ilmu yang dise-butkan di akhir, menurut al-Syathiby berfungsi sebagai al-washilah atau media bagi pemahaman makna ayat-ayat al-Quran.
Dengan demikian al-Syathiby mendudukan ilmu-ilmu yang di-hubungkan dengan al-Quran (ulum al Quran) pada dua fungsi, yaitu sebagai alat dan media (al-washilah). Berbeda dengan al-Syathiby, Ibn Rusyd, menyatakan bahwa ilmu-ilmu falsafah adalah diperlu-kan.104 Masalahnya adalah – menurut Ibn Rusyd – bagaimana kita bisa faham hakikat al-Syari’ah jika kita tidak mengatahui ilmu falsa-fah, terutama dengan al-Razy,105 dalam menempatkan ‘ilm al-Hayyi-ah sebagian dari ilmu-ilmu yang diperlukan mufassir untuk menafsir-kan al-Quran.
Pendekatan fungsional dalam kajian ulum al-Quran sebagai alat dalam tafsir al-Quran menghendaki sikap proporsional mufassir. Al-Syathiby dalam pembahasannya mengenai pembagian ilmu-ilmu yang dihubungkan dengan al-Quran, menjadikannya dua kategori yaitu sebagai alat dan media, telah menampakkan sikap yang dimak-sud. Ketepatan penempatan ilmu-ilmu ini telah mendapatkan per-hatian mufassir, mengingat dua kepentingan, yaitu: (1) tujuan al-tafsir yaitu menemukan kejelasan maksud Allah dalam ayat-ayatnya, yang karena kekhasan al-Quran ini hanya bisa dicapai dengan alat-alat yang khusus seperti ilmu qira’ah dan kaidah-kaidah al-tafsir lainnya,106 dan (2) penempatan al-Quran sebagai petunjuk atau pedo-man kehidupan. Karena al-Quran merupakan kitab suci yang terbuka – sebagai dikemukakan Bint al-Syathi dan Abd Allah Daraz107 – maka seluruh manusia berhak memahami dan mengambil petunjuk dari al-Quran dengan kemampuan dan kecenderungannya masing-masing, sehingga yang disebut di akhir ini akan menempati posisi dan porsi tertentu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran.
Jika untuk menafsirkan al-Quran dibutuhkan alat, yaitu ulum al-Quran dalam pengertian seperti di atas, maka demikian halnya bagi terjemah al-Quran diperlukan alat, dan atau syarat. Sebelum pemba-hasan alat bagi terjemah al-Quran dilakukan, perlu dilihat rumusan terjemah al-Quran.
Pada dasarnya terjemah adalah mengalih kalimat dari satu ba-hasa ke bahasa lainnya. Dari pengertian ini kemudian terdapat pem-bagian yaitu terjemah harfiyah dan terjemah maknawiyah atau tafsi-riyah.108 Pada terjemah harfiyah terbagi ke dalam tiga bagian: (1) ter-jemah harfiyah setara الترجمة الحرفية بالمثل yaitu terjemah struktur kalimat al-Quran ke dalam bahasa lainnya dengan mengikuti susunan kata dan gaya bahasa al-Quran dan (2) terjemah harfiyah yang tidak setara الترجمة الحرفية بغير المثل yaitu terjemah harfiyah yang mengikuti struktur kalimat al-Quran sesuai dengan kemampuan penerjemah da-lam pengetahuan bahasa al-Quran.
Kedua bentuk terjemah harfiyah tersebut jika diterapkan ke selain al-Quran bisa saja, tetapi bagi bahasa al-Quran tidak mungkin, berdasar atas kebahasaan dan tujuan diturunkan al-Quran sebagai bukti kebenaran nubuwwah Rasul saw., yang terkandung dalam redaksi ayat-ayat al-Quran yang memiliki kekhasan. Dari sini, bisa disebutkan bahwa terjemah harfiyah dari al-Quran bukan tafsir al-Quran.109
Terjemah tafsiriyyah adalah terjemah al-Quran dengan membe-rikan perluasan dan penjelasan makna yang terkandung dalam bahasa al-Quran, tanpa memperhatikan struktur kalimat atau bahasa al-Quran serta seluruh makna yang dimaksud oleh al-Quran. Demikian, pener-jemah hanya memperhatikan apa yang dimaksud oleh redaksi al-Quran, kemudian mengalihkannya ke dalam bahsa pengganti sesuai dengan hasil pemahamannya terhadap system redaksi al-Quran. Pada terjemah tafsiriyyah makna-makna yang dimaksud ayat al-Quran masih dapat ditemukan selama si mufassir memiliki kualifikasi untuk menafsirkan dan menterjemahkan ayat-ayat al-Quran ke dalam baha-sa selain al-Quran. Menurut al-Dzahaby, jika untuk tafsir al-Quran dibolehkan – menurut kesepakatan ulama – menafsirkan ayat-ayat al-Quran bagi orang-orang yang memiliki kualifiasi untuk ini sesuai dengan kemampuannya tanpa harus secara menyeluruh dapat meng-ungkapkan maksud-maksud Allah dalam ayat-ayat-Nya maka demi-kian juga bagi terjemah tafsiriyyah. Sebab ungkapan-ungkapan dalam terjemah tafsiriyyah yang di dalamnya mencakup pensyarahan dan penjelasan makna, pembahasan maksud, pengungkapan dan penetap-an dalil, dan dari segi lainnya yang berkaitandengan tadabur makna al-Quran.110 Dan dari segi ini, bisa disebut bahwa terjemah tafsiriy-yah adalah tafsir al-Quran dengan bahasa selain al-Quran. Dan oleh karenanya terjemah tafsiriyyah memerlukan alat atau syarat tertentu.
Syarat-syarat untuk menerjemahkan tafsiriyyah adalah sebagai berikut111: pertama, seperti tafsir al-Quran, terjemah tafsiriyyah ha-rus berdasarkan prinsip atau kaidah yang pasti dalam syari’ah Isla-miyah. Kemudian ketika penterjemahan akan menarik makna al-Quran, ia harus bersandar pada tafsir al-Quran berbahasa Arab; sebab jika menarik makna al-Quran hanya bersandar pada akalnya saja atau pada tafsir al-Quran yang tidak benar dan karenanya pula tidak di-anggap sebagai terjemah tafsiriyyah yang sah.112 Kedua, seperti juga syarat bagi mufassir, penerjemah harus bersih dari akidah yang bertentangan dengan al-Quran. Ketiga, penerjemah harus menguasai dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa al-Quran dan bahasa penggantinya yang menyangkut aspek bentuk, gaya bahasa, dan semantic kedua ba-hasa tersebut. Keempat, --secara teknis–yang pertama dilakukan oleh penerjemah adalah menulis ayat al-Quran terlebih dahulu, kemudian meberikan penjelasannya dan kemudian memberikan terjemah tafsi-riyyahnya. Dengan tahapan-tahapan seperti ini bisa dihindari panda-ngan orang yang menyebutkan bahwa terjemah tersebut adalah ter-jemah harfiyah.
Syarat sebagaimana tersebut di atas menurut al-Dzahaby adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan menafsirkan al-Quran dengan selain bahasa al-Quran.113
Termasuk ke dalam instrumen pemahaman al-Quran adalah kaidah-kaidah penafsiran atau qawaid al-tafsir, membahas termasuk di dalamnya disebabkan munasabah dimiliki oleh system redaksi ayat al-Quran oleh keduanya yang akan dikemukakan.
0 comments:
Post a Comment