Al-Dzahaby dalam altafsir wa alMufassirun membahas sumber al-tafsir secara kronologi dari perkembangan tafsir al-Quran. Menurut al-Dzahabiy, pada masa shahabat, paling tidak ter-dapt empat sumber tafsir, yaitu: (1) al-Quran, (2) Nabi saw., (3) kemampuan para shahabat dalam ijtihad untuk mengambil ajaran dari al-Quran dan as-Sunnah (4) Ahl al-Kitab, yaitu Yahudi dan Nas-rani.79 Sementara yang menjadi sumber tafsir pada masa al-Tabi’in (periode kedua dari perkembangan tafsir), adalah: (1) apa yang terdapat dalam al-Quran sendiri, (2) sesuatu yang diriwayatkan para shahabat dari Rasul saw., (3) riwayat-riwayat dari shahabat yang ter-dapat dalam tafsir mereka, (4) sumber-sumber yang berasal dari Ahl Kitab yang terdapat dalam buku-buku mereka, dan (5) hasil-hasil dari ijtihad dan nalar mereka terhadap al-Quran.80
Pada periode berikut-nya, yaitu periode ketiga dalam perkembangan tafsir al-Quran, yang menjadi sumber tafsir al-Quran, selain sumber-sumber yang terdapat pada periode sebelumnya juga mendapat tambahan sumber baru. Sumber dimaksud dalam tafsir pada periode ini adalah hasil perkem-bangan sejumlah ilmu, yaitu perkembangan ilmu bahasa atau sastra, ilmu pengetahuan alam, ilmu falsafah, ilmu fiqih.81 Dengan perkem-bangan ilmu-ilmu tersebut memberikan pengaruh pada kualitas dan kuantitas sumber al-riwayah dan tafsir; secara luas terjadi inventa-risasi pemahaman ahli atas tafsir al-riwayah, walaupun hal ini dila-kukan oleh perorangan, demikian menurut al-Dzahaby.82
Dari deskripsi historis perkembangan sumber tafsir al-Quran di atas dapat dilihat adanya hubungan imbang antara tafsir al-Quran dengan sumber di satu sisi dengan perkembangan pengetahuan dan bahkan dengan perkembangan-perkembangan segi lainnya, di sisi lain. Dari keadaan yang demikian disebtkan bahwa tafsir al-Quran adalah bermula dari realitas kehidupan dan bermuara pada al-Qur-an83. Tesis yang disebutkan di akhir, jika dipegangi oleh seorang mufassir dalam penafsirannya, bisa memperhatikan dua kepentingan sekaligus, yaitu kepentingan kebutuhan kondisional yang memer-lukan hidayah al-Quran, dan penempatan al-Quran sebagai hidayah pada posisi yang tinggi; yang menerangi seluruh segi kehidupan manusia di dunia.84
Keinginan untuk menjadikan al-Quran sebagai petunjuk atau pe-doman dari seorang mufassir – Muahammad Abduh, misalnya85 – bagi pembangunan masyarakatnya, mengharuskan mufassir tersebut memperhatikan prinsip-prinsip perkembangan dan perubahan masya-rakat baik yang terdapat dalam konsep atau dalam teori perubahan sosial maupun dalam kehidupan nyata yang ditengahnya mufassir hidup. Dan oleh sebab itu, keinginan dan tujuan mufassir berpenga-ruh terhadap pengambilan dan penentuan sumber tafsirnya.86 Jika nyatanya pengaruh negatif sumber tersebut tidak bisa dihindarkan, maka kontrol sumber tafsir perlu dilakukan mengingat: (1) dalam taf-sir terdapat tujuan yang substansial, yaitu بيان عن مراد الله yang me-ngikat sumber tafsir dan segi-segi lainnya, yang oleh karenanya mun-cul kriteria sumber tafsir, dan (2) al-Quran adalah دلول ذو الوجوه yang berarti bahwa al-Quran (a) bisa mengikuti keinginan si pe-mahamnya, dan (b) al-Quran sendiri menjelaskan makna-maknanya yang banyak shingga pemahaman para mujtahid tidak bisa mem-batasi dan mengklaim makna-makna tersebut, walaupun peluang un-tuk men-ta’wil-kan lafazh-lafazh al-Quran guna mendapatkan makna-makna yang terkandung di dalamnya tetap terbuka bagi para muj-tahid,87 (3) dalam rangka ‘membumikan al-Quran dan atau peme-liharaan relevansitas tafsir al-Quran dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu, misalnya yang bersipat konsepsional maupun yang berupa tuntunan moral, akan terjadi fokus penafsiran al-Quran pada bidang tertentu yang dapat mengganggu universalitas, keabadian dan objek-tivitas makna-makna al-Quran yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan. Dari pertimbangan-pertimbangan inilah diperlukan kontrol terhadap sumber tafsir al-Quran.
Kontrol terhadap sumber tafsir al-Quran dilakukan dengan menggunakan: (1) al-Quran dan (2) hadits. Yang pertama didasarkan atas: (1) penjelasan maksud Allah dalam ayat-ayat al-Qurana dan pa-da Allah sendiri sebagai tersirat dalam firmanNya: ثم إن علينا بيانه (2) Dictum yang berbunyi anna al-Quran yufassiru ba’dhuha ba’dha, dan (3) kekhususan-kekhususan yang dimilki al-Quran sebagaimana dikemukakan Bint al-Syathy’88. Yang kedua di dasarkan atas: kan-dungan ayat-ayat al-Quran sendiri dan hadits Nabi saw., berbunyi89:
قال رسول الله ص. م.: ألا إنى أوتيت القرآن ومثله معه
“Ingatlah sesungguhnya aku diberi al-Qurandan yang serupanya.
Al-Quran dan Hadits sebagai sumber berfungsi memberi keje-lasan makna ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan, dan menjadi ruju-kan bagi pengukuran makna-makna ayat al-Quran yang bersumber pada selain al-Quran. Dengan pengertian lain, makna ayat-ayat al-Quran yang dihasilkan berdaasrkan pada sumber-sumber ilmu penge-tahuan, informasi kebahasaan, sejarah dan lainnya,90 harus dilihat da-ri segi kandungan ayat-ayat al-Quran sendiri.91 Selama makna terse-but tidak bertentangan dengan makna yang terkandung pada ayat se-lain yang ditafsirkan, maka makna itu benar, dan sebaliknya. Analisa yang disebut di akhir ini berlakukan pada penjelasan kosa kata, ung-kapan kalimat dan ayat al-Quran.92
Berdasarkan uraian di atas, sumber-sumber yang terdapat dalam buku-buku tafsir klasik dan modern sebagai hasil ijtihad mufassir perlu dilihat dan dievaluasi bagi kepentingan pengambilan petunjuk al-Quran untuk pemenuhan kebutuhan kehidupan masyarakat.
Nilai dari sebuah petunjuk kepada dua sumber tafsir yaitu al-Quran dan Hadits, tergantung kepada dua segi, yaitu (1) segi kualitas perujukan, yakni seberapa tingkat intensitas perujukan seorang mu-fassir pada ayat al-Quran dan kepada hadits untuk kejelasan makna yang dicarinya. Untuk keperluan ini, mufassir dapat memanfaatkan prinsip-prinsip yang ada dalam metodeالموضوعي 93 dan (2) segi kua-litas perujukan. Segi yang kedua ini, menuntut perhatian dan komit-men yang tinggi dari seorang mufassir terhadap kekhasan al-Quran sebagai firman Allah swt., secara garis besar kekhasan al-Quran adalah pertama, sistematika dan system redaksional ayat-ayat al-Quran datang dari Allah swt., sesuai dengan firman Allah yang ter-surat:
الر كتاب أحكمت آياته ثم فصلت من لدن حكيم خبير (هود: 1)
إن علينا جمعه وقرآنه
Kedua, teks bacaan al-Quran (qira’ah) adalah dari Allah swt., makna-makna menjadi tidak sempurna bahkan rusak, ketika kaidah qira’ah dilanggar.94 Yang demikian sesuai dengan iasyarat ayat 18 dari surat al-Qiyamah.
فإذا قرأناه فاتبع قرآنه
Ketiga, - sebagai sudah disebut di muka – yang mengetahui penjelasan dari ayat-ayat al-Quran secara pasti adalah Allah swt., ini berarti bahwa makna-makna ayat al-Quran terkandung di dalam al-Quran dan Hadits.95 Jika dua segi di atas diperhatikan oleh mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al Quran, maka penafsirannya dari segi sumber memiliki bobot.
Berdasarkan pada pandangan adanya hubungan yang kokoh dalam susunan kalimat atau ayat-ayat al-Quran, atau adanya مناسبة الأية,96 maka satuan kajian dalam tafsir al-Quran adalah satu kesatuan susunan ayat. Artinya al-Quran sebagai sumber makna, ayat-ayat dan atau suratnya akan memberikan makna yang sempurna jika pengam-bilan kejelasan makna ayat atau lafzh yang dicari tidak lepas dari konteks kesatuan susunan redaksional (syiyaq) ayat.97 Yang disebut di akhir ini, berbeda dengan satuan kajian dalam pemahamn al-Quran yang dilakukan oleh berbagai kalangan selain mufassir. Dalam pe-mahaman al-Quran satuan kajiannya adalah bagian dari ayat atau satu lafazh saja, yang dilepas dari syiyaq-nya. Dan oleh karenanya pula alat yang dibutuhkan bagi pemahaman al-Quran dan penafsiran al-Quran bisa berbeda mengingat beberapa ciri dari tasfir al-Quran yang sudah disebutkan. Dengan demikian perlu dilihat segi alat dalam tafsir al-Quran.
Pada periode berikut-nya, yaitu periode ketiga dalam perkembangan tafsir al-Quran, yang menjadi sumber tafsir al-Quran, selain sumber-sumber yang terdapat pada periode sebelumnya juga mendapat tambahan sumber baru. Sumber dimaksud dalam tafsir pada periode ini adalah hasil perkem-bangan sejumlah ilmu, yaitu perkembangan ilmu bahasa atau sastra, ilmu pengetahuan alam, ilmu falsafah, ilmu fiqih.81 Dengan perkem-bangan ilmu-ilmu tersebut memberikan pengaruh pada kualitas dan kuantitas sumber al-riwayah dan tafsir; secara luas terjadi inventa-risasi pemahaman ahli atas tafsir al-riwayah, walaupun hal ini dila-kukan oleh perorangan, demikian menurut al-Dzahaby.82
Dari deskripsi historis perkembangan sumber tafsir al-Quran di atas dapat dilihat adanya hubungan imbang antara tafsir al-Quran dengan sumber di satu sisi dengan perkembangan pengetahuan dan bahkan dengan perkembangan-perkembangan segi lainnya, di sisi lain. Dari keadaan yang demikian disebtkan bahwa tafsir al-Quran adalah bermula dari realitas kehidupan dan bermuara pada al-Qur-an83. Tesis yang disebutkan di akhir, jika dipegangi oleh seorang mufassir dalam penafsirannya, bisa memperhatikan dua kepentingan sekaligus, yaitu kepentingan kebutuhan kondisional yang memer-lukan hidayah al-Quran, dan penempatan al-Quran sebagai hidayah pada posisi yang tinggi; yang menerangi seluruh segi kehidupan manusia di dunia.84
Keinginan untuk menjadikan al-Quran sebagai petunjuk atau pe-doman dari seorang mufassir – Muahammad Abduh, misalnya85 – bagi pembangunan masyarakatnya, mengharuskan mufassir tersebut memperhatikan prinsip-prinsip perkembangan dan perubahan masya-rakat baik yang terdapat dalam konsep atau dalam teori perubahan sosial maupun dalam kehidupan nyata yang ditengahnya mufassir hidup. Dan oleh sebab itu, keinginan dan tujuan mufassir berpenga-ruh terhadap pengambilan dan penentuan sumber tafsirnya.86 Jika nyatanya pengaruh negatif sumber tersebut tidak bisa dihindarkan, maka kontrol sumber tafsir perlu dilakukan mengingat: (1) dalam taf-sir terdapat tujuan yang substansial, yaitu بيان عن مراد الله yang me-ngikat sumber tafsir dan segi-segi lainnya, yang oleh karenanya mun-cul kriteria sumber tafsir, dan (2) al-Quran adalah دلول ذو الوجوه yang berarti bahwa al-Quran (a) bisa mengikuti keinginan si pe-mahamnya, dan (b) al-Quran sendiri menjelaskan makna-maknanya yang banyak shingga pemahaman para mujtahid tidak bisa mem-batasi dan mengklaim makna-makna tersebut, walaupun peluang un-tuk men-ta’wil-kan lafazh-lafazh al-Quran guna mendapatkan makna-makna yang terkandung di dalamnya tetap terbuka bagi para muj-tahid,87 (3) dalam rangka ‘membumikan al-Quran dan atau peme-liharaan relevansitas tafsir al-Quran dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu, misalnya yang bersipat konsepsional maupun yang berupa tuntunan moral, akan terjadi fokus penafsiran al-Quran pada bidang tertentu yang dapat mengganggu universalitas, keabadian dan objek-tivitas makna-makna al-Quran yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan. Dari pertimbangan-pertimbangan inilah diperlukan kontrol terhadap sumber tafsir al-Quran.
Kontrol terhadap sumber tafsir al-Quran dilakukan dengan menggunakan: (1) al-Quran dan (2) hadits. Yang pertama didasarkan atas: (1) penjelasan maksud Allah dalam ayat-ayat al-Qurana dan pa-da Allah sendiri sebagai tersirat dalam firmanNya: ثم إن علينا بيانه (2) Dictum yang berbunyi anna al-Quran yufassiru ba’dhuha ba’dha, dan (3) kekhususan-kekhususan yang dimilki al-Quran sebagaimana dikemukakan Bint al-Syathy’88. Yang kedua di dasarkan atas: kan-dungan ayat-ayat al-Quran sendiri dan hadits Nabi saw., berbunyi89:
قال رسول الله ص. م.: ألا إنى أوتيت القرآن ومثله معه
“Ingatlah sesungguhnya aku diberi al-Qurandan yang serupanya.
Al-Quran dan Hadits sebagai sumber berfungsi memberi keje-lasan makna ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan, dan menjadi ruju-kan bagi pengukuran makna-makna ayat al-Quran yang bersumber pada selain al-Quran. Dengan pengertian lain, makna ayat-ayat al-Quran yang dihasilkan berdaasrkan pada sumber-sumber ilmu penge-tahuan, informasi kebahasaan, sejarah dan lainnya,90 harus dilihat da-ri segi kandungan ayat-ayat al-Quran sendiri.91 Selama makna terse-but tidak bertentangan dengan makna yang terkandung pada ayat se-lain yang ditafsirkan, maka makna itu benar, dan sebaliknya. Analisa yang disebut di akhir ini berlakukan pada penjelasan kosa kata, ung-kapan kalimat dan ayat al-Quran.92
Berdasarkan uraian di atas, sumber-sumber yang terdapat dalam buku-buku tafsir klasik dan modern sebagai hasil ijtihad mufassir perlu dilihat dan dievaluasi bagi kepentingan pengambilan petunjuk al-Quran untuk pemenuhan kebutuhan kehidupan masyarakat.
Nilai dari sebuah petunjuk kepada dua sumber tafsir yaitu al-Quran dan Hadits, tergantung kepada dua segi, yaitu (1) segi kualitas perujukan, yakni seberapa tingkat intensitas perujukan seorang mu-fassir pada ayat al-Quran dan kepada hadits untuk kejelasan makna yang dicarinya. Untuk keperluan ini, mufassir dapat memanfaatkan prinsip-prinsip yang ada dalam metodeالموضوعي 93 dan (2) segi kua-litas perujukan. Segi yang kedua ini, menuntut perhatian dan komit-men yang tinggi dari seorang mufassir terhadap kekhasan al-Quran sebagai firman Allah swt., secara garis besar kekhasan al-Quran adalah pertama, sistematika dan system redaksional ayat-ayat al-Quran datang dari Allah swt., sesuai dengan firman Allah yang ter-surat:
الر كتاب أحكمت آياته ثم فصلت من لدن حكيم خبير (هود: 1)
إن علينا جمعه وقرآنه
Kedua, teks bacaan al-Quran (qira’ah) adalah dari Allah swt., makna-makna menjadi tidak sempurna bahkan rusak, ketika kaidah qira’ah dilanggar.94 Yang demikian sesuai dengan iasyarat ayat 18 dari surat al-Qiyamah.
فإذا قرأناه فاتبع قرآنه
Ketiga, - sebagai sudah disebut di muka – yang mengetahui penjelasan dari ayat-ayat al-Quran secara pasti adalah Allah swt., ini berarti bahwa makna-makna ayat al-Quran terkandung di dalam al-Quran dan Hadits.95 Jika dua segi di atas diperhatikan oleh mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al Quran, maka penafsirannya dari segi sumber memiliki bobot.
Berdasarkan pada pandangan adanya hubungan yang kokoh dalam susunan kalimat atau ayat-ayat al-Quran, atau adanya مناسبة الأية,96 maka satuan kajian dalam tafsir al-Quran adalah satu kesatuan susunan ayat. Artinya al-Quran sebagai sumber makna, ayat-ayat dan atau suratnya akan memberikan makna yang sempurna jika pengam-bilan kejelasan makna ayat atau lafzh yang dicari tidak lepas dari konteks kesatuan susunan redaksional (syiyaq) ayat.97 Yang disebut di akhir ini, berbeda dengan satuan kajian dalam pemahamn al-Quran yang dilakukan oleh berbagai kalangan selain mufassir. Dalam pe-mahaman al-Quran satuan kajiannya adalah bagian dari ayat atau satu lafazh saja, yang dilepas dari syiyaq-nya. Dan oleh karenanya pula alat yang dibutuhkan bagi pemahaman al-Quran dan penafsiran al-Quran bisa berbeda mengingat beberapa ciri dari tasfir al-Quran yang sudah disebutkan. Dengan demikian perlu dilihat segi alat dalam tafsir al-Quran.
0 comments:
Post a Comment