Jika tujuan tafsir sudah ditetapkan, yakni بيان عن مراد الله, maka kelengkapan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut salah satunya adalah metode. Sebagai sudah disebutkan di muka, metode al-tafsir dinilai fungsional bila bisa menjelas-kan maksud Allah dalam ayat-ayat al-Quran secara optimal. Namun demikian, karena maksud Allah tersebut tidak dapat diketahui secara pasti, kecuali pada sejumlah kecil ayat-ayat-Nya yang dijelaskan oleh Rasul saw., dan untuk sampai pada مراد الله karenanya dibutuhkan dalil-dalil dan indikator-indikator ((الدلائل و الإمارة, maka kontrol terhadap pencapaian tujuan al-tafsir bisa dilakukan pada segi metode tafsir, serta segi-segi lainnya.
Kontrol terhadap metode tafsir dalam bingkai pencapaian tujuan al-tafsir: menghendaki rumusan yang jelas mengenai pengertian me-tode tafsir. Dalam bahasa Arab, metode biasanya diistilahkan dengan المنهج, atau الطريقة. Jadi metod tafsir ialah jalan yang ditempuh oleh seorang penafsir dalam tafsirnya untuk menuangkan ide-ide atau ke-cenderungannya. Ibrahim syarif sebagaiman dikutip Ahsin Muham-mad Asyrofuddin, mengemukakan bahwa42:
المنهج التفسيري هو الوسيلة المحققة لغاية الإتجاه التفسيرى والوعاء الذي يحتوي أفكار هذا الإتجاه التفسيري
“Minhaj tafsir ialah media untuk merealisasikan pencapaian tujuan orientasi penafsiran dan sebagai wadah bagi pemikiran-pemikiran orientasi pemikiran ini.”
Kemudian Ibn Taimiyah, ketika berbicara tentang ‘cara’ atau ‘langkah’ terbaik dalam menafsirkan al-Quran, mengemukakan bah-wa langkah-langkah terbaik adalah (1) تفسير القرآن بالقرآن dan (2) تفسير القرآن بالسنة. Rumusan yang disebut di akhir mengenai langkah-langkah penafsiran al-Quran, mengacu kepada teknis (langkah) dan sumber yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Dari dua rumusan metode penafsiran al-Quran, yang disebutkan pertama menunjukkan pada sisi fungsi dari metode penafsiran al-Quran, yaitu sebagai media (الوسيلة) dan wadah (الوعاء) bagi pencapaian tujuan orientasi penafsiran al-Quran.
Metode dalam arti fungsional yaitu sebagai al-washilah, media atau alat bagi pencapaian tujuan al-tafsir sebagai yang disebutkan di atas, dalam rumusannya tidak menampakkan komitmen terhadap tu-juan al-tafsir, bahkan rumusan المنهج التفسيري yang dikemukakan oleh Ibrahim Syarif menyiratkan adanya tujuan lain yang hendak dicapai, yakni suatu tujuan yang dibentuk oleh orientasi, pemikiran dan kecen-derungan mufassir. Dari metode tafsir dengan ciri-ciri yang disbut di akhir ini, akan terlahir tafsir-tafsir al-Quran yang isi pembahasannya mencerminkan kecenderungan para mufassirnya, dan lahirlah apa yang disebut corak-corak tafsir al-Quran antara lain: corak ilmy, fiqhy, adab ijtima’iy.44 Dengan demikian بيان عن مراد الله secara metodologis tidak bisa dilihat. Dalam kaitan metode tafsir ini, tahapan pencarian maksud Allah swt., mesti dilihat dua langkah pokok. Pertama, tahap-an perujukan kepada ayat-ayat al-Quran dan kedua, tahapan perujuk-kan kepada hadits. Langkah pertama menghendaki upaya optimal dari pemaham al-Quran untuk mengerahkan kemampuan-kemampuan ke-manusiaannya dalam mendapatkan kejelasan ayat yang dibahas. Yang demikian disebabkan bahwa penjelasan maksud ayat ada pada Allah (al-Qiyamah:19). Demikian juga perujukan kepada al-hadits sebagai langkah kedua menuntut pengerahan kemampuan pemahaman secara optimal mengingat karakteristik al-hadits tidak sama dengan al-Quran di samping memang, hanya sebagian kecil ayat-ayat al-Quran yang dijelaskan Rasul saw., sehingga tahapan perujukan kepada Rasul saw.,45 dalam prosedur penafsiran al-Quran tidak selamanya dapat di-lakukan. Oleh karenanya, jika perujukan kepada Rasul saw., dalam penafsiran al-Quran menghadapi masalah keterbatasan jumlah bahkan tingkat keshahihannya, maka dari sisi yang sama (sumber dan prose-dur) perujukan kepada al-Quran dalam prosedur atau tahapan penaf-siran al-Quran menjadi keniscayaan. Keniscayaan tersebut didasarkan pada beberapa alasan: (1) al-Quran adalah Qath’iy secara global dan rinciannya–sementara al-Sunnah tidak demikian adanya--,46 (2) dalam tatanan (sistem) redaksional dan makna dari ayat-ayat al-Quran me-ngandung hubungan fungsional, yaitu sesuatu yang bersifat global pada suatu ayat dijelas-rincikan oleh ayat lain demikian juga penjelas-an yang singkat diperluas oleh ayat lain ditempat lain,47 dan (3) pada dasarnya al-Quran adalah kitab hidayah, seluruh isinya adalah petun-juk bagi umat manusia. Dari uraian di atas dapat dipegangi: (1) al-Quran dan al-Sunnah adalah dua sumber yang dirujuk dalam prosedur pencapaian tujuan al-tafsir, dan (2) secara berurutan langkah-langkah yang ditempuh dalam prosedur pencapaian tujuan al-tafsir adalah per-tama, kepada al-Quran dan kedua, kepada al-Sunnah. Jika dua poin di atas sudah ditampakkan oleh sebuah metode tafsir tersebut telah fung-sional dalam rangka pengungkapan maksud Allah sebagai tujuan al-tafsir. Walaupun demikian, catatan perlu diberikan kepada al-Sunnah sebagai sumber dalam al-tafsir mengingat sifat-sifat yang dimilikinya berbeda dengan al-Quran, sehingga pemanfaatan al-riwayat memerlu-kan pengembangan dan seleksi yang cukup ketat,48 yang untuk keper-luan ini akan menggunakan nalar.
Dalam perspektif pengungkapan dan penjelasan maksud Allah dalam firman-firman-Nya, penggunaan nalar digunakan sesuai deng-an dua poin di atas yang ditampakkan oleh dua metode fungsional ba-gi pencapaian tujuan al-tafsir, yaitu تفسير القرآن بالقرآن dan تفسير القرآن بالسنة adalah terbaik dalam penafsiran al-Quran.49 Demikian juga dari segi kontrol metodologi, التفسير المأثور relatif mudah dilacak dibandingkan dengan التفسير بالرأي. Sebagai contoh dapat dike-mukakan التفسير بالمأثور yaitu tafsir al-Qasimy ketika menjelaskan ayat 30 surat al-Anbiya yang berbunyi:
أولم ير الذين كفروا أن السماوات والأرض كانتا رتقا ففتقناهما وجعلنا من الماء كل شيء حي أفلا يؤمنون
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasa-nya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadi-kan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Q.S. al-Anbiya: 30)
Yang menjadi medan rebutan al-ra’y dan al-naql dari ayat terse-but adalah makna firman Allah: كانتا رتقا ففتقناهما
Al-Qasimy menjelaskan makna dari kalimat di atas dengan me-rujuk kepada ayat 11 dan 12 dari surat al-Thariq, yang dengan peru-jukannya ini makna yang diberikan oleh al-Qasimy untuk dua kalimat tersebut dapat dengan mudah diikuti dan memenuhi criteria tafsir al-Quran bi al-Quran.50 Kesimpulan yang ditarik dari penafsiran al-Qasimy terhadap kalimat tersebut (penomena kejadian langit dan bu-mi) ialah bahwa langit dan bumi sejak semula diciptakan Allah dalam keadaan terpisah, hal ini berbeda dengan penafsiran yang menyim-pulkan bahwa semula langit dan bumi diciptakan Allah dalam keada-an bersatu, kemudian setelah melalui satu proses dipisahkan oleh Allah, sehingga menjadi langit tujuh dan bumi tujuh. Kesimpulan yang disebut di akhir ini, sebagai dikemukakan oleh al-Maraghi da-lam tafsirnya51 dan Hanafi Ahmad dalam bukunya yang mengutif pendapat al-Razy52, sama dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh ulama al-falaq dan para fisikawan dengan teori ledakan atau the big bang theory-nya. Sementara untuk penjelasan-penjelasan makna kali-mat: كانتا رتقا ففتقناهما dengan pendekatan ilmu falaq ini, bagi pen-capaian tujuan al-tafsir, tampak tidak mudah diterima mengingat cara terbaik untuk pencapaian tujuan tersebut adalah metode yang terikat kepada dictum أن القرآن يفسربعضه بعضا,53 artinya secara prosedural dan sumber, cara atau metode yang dimaksud bermula dan bermuara pada al-Quran sebagaimana firman Allah pada surat al-Qiyamah: 75.
Pada dasarnya metodologi tafsir akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan kemampuan dan kebutuhan manusia terhadap petunjuk-Nya yang terkandung di dalam al-Quran. Pada masa awal Islam, persoalan sosial dan keagamaan masih sangat sederhana di-bandingkan dengan masalah yang dihadapi oleh umat Islam sekarang yang relatif sulit, yang dengan kesulitan tersebut berpengaruh terha-dap pemahaman atau penafsiran yang dilakukan mereka.54 Komplek-sitas permasalahan yang dihadapi umat Islam dan keterbatsan sum-ber-sumber otentik (sahih) dari sunnah ditambah dengan desakan un-tuk kembali kepada al-Quran guna mengambil petunjuk-Nya, maka tidak ada cara atau metode yang paling baik dalam memahami al-Quran kecuali dengan metode yang berorientasi pada pencarian keje-lasan maksud Allah dengan menempatkan al-Quran sebagai sumber dan titik tolaknya. Dari orientasi ini, akan memberikan makna tersen-diri pada alat-alat, kaidah-kaidah, ilmu dan kemampuan-kemampuan serta persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh mufassir ter-masuk sikapnya.55
Dari hasil studi al-Farmawy terhadap metodologi al-Tafsir, dapat dikemukakan empat metode: التحليلى, الإجمالى, المقارن, dan الموضوعى.56 Yang perlu dikemukakan dari keempat metode di atas adalah metode التحليلى dan الموضوعى. Mengingat dua metode ini masing-masing memiliki orientasi.
Metode al-Tahlily adalah metode yang berusaha menjelaskan ayat-ayat al-Quran dari berbagai seginya serta mengungkapkan tuju-an-tujuannya. Mufassir yang menerapkan metode ini, dalam penjelas-annya berusaha mengikuti susunan ayat-ayat dan surat-surat sebagai yang terdapat dalam mushaf, makna-makna yang terkandung dalam kosa kata dijelaskan baik secara etimologis maupun berdasarkan su-sunan (sistem) redaksional ayat, dikemukakan pula المناسبة segi-segi hubungan dan maksud-maksudnya. Untuk membantu dalam pemaha-man tujuan turunnya ayat dikemukakan sebab turun ayat (أسباب النزول) yang bersumber dari Rasul saw., para shahabat, bahkan tabi-’in.57 Untuk mencapai tujuan-tujuan dalam tahapan atau prosedur al-tahlily, mufassir yang menerapkan metode ini mengungkapkan dan meninjau ayat dari berbagai segi, kadang dengan pendekatan budaya dan kadang dengan pembahasan-pembahasan kebahasaan. Dengan demikian, penggunaan nalar dalam metode ini bisa menonjol.58 De-ngan langkah-langkah yang harus dilalui oleh mufassir dalam metode tahlily yang disebut oleh Muhammad Baqir al-Shadr dengan metode al-tajzi’iy,59 langkah yang dimaksud adalah: (1) penjelasan kosa kata atau ayat, (2) pemerhatian terhadap runtutan kosa kata atau ayat, (3) kajian hubungan antar ayat (munasabah), dan (4) kajian asbab al-Nuzul. Tampak metode al-tahlily ini secara prosedur atau tahapan-tahapan penafsiran telah memadai untuk dapat mengungkap dan men-jelaskan maksud Allah dalam ayat-ayat al-Quran. Akan tetapi, dalam kenyataan perkembangan metodologi tafsir, menurut beberapa pakar metodologi, al-tahlily ini telah menampakkan kelemahannya, bahkan menurut al-Shadr, metode ini telah turut ambil bagian dalam melahir-kan pertentangan-pertentangan di kalangan aliran-aliran dalam kehi-dupan masyarakat Islam.60 Pendapat al-Shadr ini dapat dipahami, se-bab salah satu tahapan atau langkah dalam prosedur penafsiran deng-an metode ini yaitu pada penjelasan kosa kata atau kalimat memberi peluang kepada mufassir untuk memasukan kepentingan dan kecen-derungannya, sehingga penjelasan ayat-ayat al-Quran lebih merupa-kan legitimasi terhadap kepentingannya. Contoh-contoh untuk masa-lah yang disebut di akhir ini dapat dilihat, misalnya dalam penjelasan lafazh: من نفس واحدة yang diberikan oleh Muhammad Abduh dalam al-Manar pada surat al-Nisa: 1, penjelasan lafazh كانتا رتقا ففتقناهما yang dikemukakan mufassir pada tafsir ilmiah, dalam penjelasan ayat 30 surat al-Anbiya, dan penjelasan lafazh atau ayat yang berkaitan dengan مشيئة الله dan مشيئة العباد pada buku-buku tafsir bercorak ka-lam, salah satunya dalam penjelasan ayat 30 surat al-Insan
وما تشاؤون إلا أن يشاء الله إن الله كان عليما حكيما
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila di-kehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Insan: 30)
Dari contoh-contoh di atas, dapat dikemukakan secara umum di dalam pembahasan tafsirnya di dapati pendekatan ilmiah dan kalam. Jika contoh-contoh ini termasuk ke dalam apa yang dimaksudkan oleh al-Shadr yaitu pembahasan tafsir dengan menerapkan metode al-Tahlily telah melahirkan–meminjam istilah Quraish Shihab– panda-ngan parsial dan kontradiktif dalam kehidupan umat Islam,61 maka dengan demikian metode ini tidak menampakkan hasil dalam meng-ungkap dan menjelaskan maksud Alah dalam ayat-ayat-Nya, walau-pun dari segi prosedur atau langkah-langkahnya, metode ini dianggap memadai bagi pencapaian tujuan al-tafsir.
Sebagaimana sudah disebut di muka, metode terbaik untuk pen-capaian tujuan al-tafsir adalah metode yang berorientasi pada pen-carian pengungkapan maksud Allah yang bertolak dan bersumberkan al-Quran. Untuk maksud yang ditegaskan di akhir ini, diperlukan si-kap keterikatan diri dan apresiasi mufassir terhadap al-Quran sebagai hidayah, maka dari itu muncul kembali era ‘mempersilahkan’ al-Quranu ntuk berbicara atau sebagai ‘pembicara’ mengenai topik atau tema yang diajukan oleh mufassirnya. Kemudian, secara metodolo-gis, sikap mufassir tersebut dapat dilihat dalam metode tafsir التفسير الموضوعي.62
Metode tafsir الموضوعي adalah sebuah metode tafsir yang mufa-ssirnya melakukan tanya jawab dengan al-Quran serta memintanya berbicara atau meminta jawaban al-Quran mengenai hakikat kehidup-an. Dengan demikian, tema-tema persoalan kehidupan manusia diha-dapkan kepada al-Quran untuk didapat penjelasannya dari al-Quran.63 Sebagai sebuah prosedur penafsiran al-Quran, langkah-langkah da-lam metode ini ialah: (1) pengelompokan ayat-ayat al-Quran yang memiliki kandungan yang sama dari tema yang akan dicari, (2) penyususnan ayat-ayat berdasarkan kronologi waktu turun ayat, (3) memberikan penjelasan-penjelasan, kaitan hubungan antara ayat-ayat dan menarik kandungannya dan (4) secara tematik analisis dilakukan dari berbagai segi dan mengontrolnya dengan ilmu yang shahih untuk mendapatkan hakikat dari tema yang dibahas.64 Sebagai sebuah lang-kah-langkah yang lebih teknis penerapan metode ini – dari sumber yang sama yaitu ‘Abd al-Hayy al-Farmawy – dirinci oleh Quraish Shihab sebagai berikut:
1. Menerapkan masalah yang akan dibahas (topik);
2. Menghimpun ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turnnya disertai dengan pengetahuan tentang assbab al-Nuzulnya;
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing;
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out li-ne);
6. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan de-ngan pokok bahasan;
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara ‘am (umum) dan yang khash (khu-sus), muthlaq dan muqayyad (terikat) atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga pada akhirnya bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.65
Melihat runtutan langkah-langkah yang terdapat dalam metode الموضوعي seperti di atas, jelas tanpak komitmen metode ini terhadap orientasi pengungkapan maksud Allah dalam ayat-ayat al-Quran me-ngenai tema-tema yang diajukan oleh mufassirnya. Dalam metode ini, hal-hal yang tidak relevan dengan tujuan yang hendak dicapainya di-abaikan; sebaliknya yang relevan yang menunjang dalam proses pen-capaian tujuan yang ditetapkan seperti salah satu dari poin-poin lang-kah di atas, dilakukan. Demikian juga langkah baru bisa diadakan da-lam langkah-langkah metode الموضوعي untuk tujuan pengembangan dan penyempurnaan metode ini. Di antara langkah yang bisa ditam-bahkan dalam metode الموضوعي ini sebagai disarankan oleh Quraish Shihab, ialah sejak dini mufassir harus menjelaskan atau memahami arti kosa kata dengan merujuk kepada penggunaan al-Quran sendiri.66 Dengan apa yang disebut di akhir ini dan jika dilakukan oleh mufas-sirnya, maka intensitas perujukan kepada al-Quran dalam proses pe-nafsiran ayat-ayat al-Quran menjadi lebih tinggi. Seiring dengan ting-kat intensitas perujukan kepada al-Quran dalam tafsir al-Quran yang menerapkan metode الموضوعي ini, bisa dilihat adanya kualitas perujuk-an yaitu perujukan yang secara ketat memperhatikan kehususan-ke-khususan yang dimiliki al-Quran sebagai sebuah kumpulan firman Allah swt.,67 dengan bentuk dan timbangan kata, subyek dan obyeknya serta konteks pembicaraannya yang khas68, serta ciri-ciri lainnya.
Dari dua metode tafsir yang sudah dikemukakan di atas, dapat ditemukan beberapa perbedaan,69 diantara perbedaan-perbedaan ter-sebut adalah: (1) mufassir الموضوعي bisa menjelaskan permasalahan-permasalahan yang ada pada tema atau topik yang dibahasnya secara tuntas, tidak demikian pada mufassir التحليلي 2. Para mufassir التحليلي di dalam menjelaskan kosa kata atau ayat berusaha me-lihatnya dari berbagai segi sesuai dengan apa yang ia temukan dalam ayat tersebut, sehingga ia tidak akan berpindah ke ayat lain sebelum tuntas menurutnya.70 Ketuntatasan yang ada pada metode التحليلي terletak pada penjelasan kosakata dan sesuai dengan persepsi mufassirnya.
Persepsi71 mufassir التحليلي dalam penafsiran ayat-ayat al Quran yang dominan, akan membawa penafsiran ke tingkat subyektivitas yang tinggi, yaitu bahwa penafsirannya banyak bersumber kepada il-mu, keyakinan dan pengalaman hidupnya, dengan hal ini, tampak kelemahan tafsir al-Quran yang menerapkan metode التحليلي – se-bagaimana juga telah dinilai oleh al-Shadr72 – disebabkan oleh kesa-lahan sumber tafsir. Dan oleh karenanya segi sumber dalam tafsir al-Quran perlu dilihat kembali.
Tafsir al-Muqarin
Al-Tafsir al-Muqaran atau al-manhaj al-Muqarin* adalah seje-nis metode tafsir yang menggunakan cara perbandingan (komparatif). Sebagaimana metode komparatif di bidang-bidang kajian lainnya, metoda ini bermaksud menemukan dan mengkaji perbedaan-perbe-daan antara unsur-unsur yang diperbandingkan, baik untuk tujuan menemukan unsur yang benar di antara unsur lain yang benar, atau pun untuk tujuan memperoleh gambaran yang lebih lengkap me-ngenai masalah yang dibahas dengan jalan penggabungan (sintetis) unsur-unsur yang berbeda itu.
Al-Tasir al-Muqarin adalah satu metode tafsir al-Quran dengan jalan membandingkan ayat al-Quran satu dengan yang lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempuyai kemiripan redaksi dalam dua masalah atau kasus yang berbeda atau lebih, dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah/kasus yang sama atau diduga sama, dan atau membandingkan ayat-ayat al-Quran dengan hadits-hadits Nabi saw., yang tampak bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran al-Quran.73
Unsur-unsur yang diperbandingkan, menurut definisi di atas, bi-sa dikategorikan ke dalam tiga kelompok:
1. Unsur ayat (al-Quran) dengan ayat. Kelompok ini terbagi lagi menjadi dua:
• Unsur ayat dengan ayat lainnya yang membahas kasus yang sama, tapi dengan redaksi yang berbeda.
• Unsur ayat dengan ayat lainnya yang membahas kasus yang berbeda, tapi dengan redaksi yang mirip.
2. Unsure ayat dengan unsur hadits yang membahas kasus yang sama, tapi dengan pengertian yang tampak berbeda atau malah bertentangan
3. Unsur penafsiran mufassir tertentu dengan mufassir lainnya mengenai ayat-ayat al-Quran yang sama.
Sebenarnya, menurut penulis makalah ini, masih mungkin ter-dapat bagian ketiga dari kategori atau kelompok pertama, yakni ke-lompok perbandingan unsur ayat dengan ayat lainya. Bagian ketiga dari kategori atau kelompok pertama, yakni kelompok perbandingan unsur ayat dengan ayat lainnya. Bagian ketiga ini menyangkut per-bandingan unsur ayat dengan ayat lainnya yang membahas kasus yang sama, tapi tampak mempunyai pengertian yang berbeda atau malah bertentangan (sedang dalam hal redaksi, kemungkinan besar akan tidak mirip, mengingat pengertiannya yang berbeda). Kelompok ini tidak bisa disamakan dengan bagian pertama (poin a) dalam ke-lompok pertama, karena – dalam poin a. tersebut – pengertian tidak tampak berbeda, melainkan saling melengkapi. Sedangkan bagian ke-tiga dari kelompok pertama, yang penulis usulkan adalah menyang-kut pengertian yang tampak berbeda. Perbedaan redaksi antara kedua kelompok ini pun mempunyai sifat yang berbeda. Seperti akan ditun-jukan nanti, betapun berbeda, keberbedaan redaksi dalam kelompok 1.a., hanya terbatas kepada delapan kategori al-Zarkasyi, yang masih lebih banyak menunjukan kesamaan. Sementara dalam kelompok yang diusulkan, redaksi boleh jadi, atau kemungkinan besar, berbeda sekali. Contoh kelompok ini adalah, perbandingan kelompok ayat yang sama-sama membahas persoalan “penciptaan perbuatan manu-sia (khalq af’al al-ibad) yang pada satu pihak, tampak mendukung faham qadariyah sementara, pada tempat yang lain, tampak mendu-kung faham jabariyah.
Tampaknya kelompok perbandingan ini tak bisa begitu saja di-masukan ke dalam tafsir maudu’iy, meskipun metoda ini mengga-bungkan semua ayat al-Quran mengenai kasus yang sama – baik re-daksinya berbeda sama sekali ataupun mirip, baik pengertiannya sama/mirip ataupun tampak bertentangan. Tetapi, kalau pun tak ada kecenderungan untuk menghindari ayat-ayat yang bertentangan, sulit diharapkan adanya upaya tuntas untuk menggali pemahaman lewat perbandingan dalam metoda maudu’iy.
Latar belakang
Latar belakang munculnya metoda ini – khususnya yang berhu-bungan dengan kelompok pertama – yakni, perbandingan unsur ayat lainnya – sedikit banyak sejalan dengan latar belakang atau motif yang memunculkan metoda munasabah, atau mungkin juga metoda maudu’iy. Hal ini berhubungan dengan dua sifat al-Quran:
Pertama, al-Quran mengklaim sebagai satu kitab yang menca-kup segala sesuatu (Q.S. 2: 38) – meskipun ini ditafsirkan sebagai da-sar-dasar segala sesuatu. Suatu kitab yang relatif amat singkat seperti al-Quran, hanya mungkin bersifat demikian jika ia bersifat lugas dan cermat dalam susunannya – dalam sistematika, dalam penyusunan kalimat, atau pun dalam pemilihan kata-kata. Khususnya jika disadari bahwa selain sistematika, komposisi kalimat atau semantic sangat menentukan kekayaan kandungannya. Secara lebih khusus dalam mu-nasabah, seperti yang biasa disebutkan, terdapat makna khusus da-lam munasabah antara kata dan kalimat, dan makna dalam pemilihan kata. Menjadi lebih istimewa lagi jika untuk kasus yang sama Allah swt., merasa perlu menampilkan variasi penempatan kata dalam kali-mat dan variasi pemilihan kata-kata. Demikian pula halnya dengan kenyataan bahwa Allah swt., merasa perlu memiripkan redaksi ayat-ayat yang membahas kasus yang berbeda. Diduga keras – kalau tak malah bisa dipastikan – bahwa ada deliberasi (penyengajaan) di pihak Allah swt., dalam hal ini. Selain itu, jika mengikuti pendapat al-Zarkasyi, adanya variasi tersebut memiliki hikmahnya tersendiri. Dalam hal ini Al-Zarkasyi antara lain mendasarkan pendapatnya itu pada firman Allah swt., sendiri:
كنا أحكمت أيته ثم فصلت من لدن حكيم خبير
Digunakan kata Hakim, dan bukannya Rahman atau Rahim (atau sejenisnya), menurut al-Zarkasyi mengisyaratkan adanya hik-mah dalam komposisi ayat-ayat al-Quran. (penulis berpendapat, adanya kandungan informasi pada komposis ayat-ayat al-Quran).
Dalam hal kelompok kedua, kiranya sudah jelas bahwa hadits shahih tidak boleh bertentangn dengan ayat al-Quran, mengingat Na-bi saw., tak mengucapkan sesuatu menurut hawa nafsunya, melain-kan wahyu yang diwahyukan (Q.S. 53: 3) hanya saja, dalam kasus ini pembandingan secara tuntas sulit dilakukan mengingat masih luasnya ruang bagi penolakan suatu hadits – betapa pun shahih – hanya saja, perlu diingat, verifikasi hadits dengan al-Quran bukanlah merupakan tujuan metoda ini – betapa pun prinsip verifikasi ini dibenarkan.
Dalam kelompok ini tentu saja tidak ada perbandingan kedua unsur dari segi redaksinya, karena dua sebab:
1. Ayat al-Quran adalah kalam Allah, sementara hadits merupakan ucapan Rasul.
2. Sebagian besar hadits diriwayatkan dengan makna. (bagaimana halnya dengan hadits qudsyi?)
Demikian pula, yang terjadi di sini bukanlah pembandingan yang qath’iy (ayat al-Quran) dengan yang zhanniy. Karena, dalam hal ayat al-Quran, yang dibandingkan adalah pengertian (dilalah)nya. Perlu ditegaskan pula bahwa metoda al-muqarin dalam hal ini tidak sama dengan tafsir bi alma’tsur, karena penekanannya bukan pada pe-nafsiran ayat dengan hadits, melainkan pembandingan ayat dan hadits mengenai salah satu kasus yang sama tapi tampak mempunyai pe-ngertian yang berbeda.
Dalam hal kelompok ketiga, kiranya sudah disadari bahwa pe-nafsiran seorang mufassir mempunyai kemungkinan bersifat parsial – dalam arti biased, maupun mengandung hanya sebagian kebenaran – atau bahkan sama sekali keliru. Pembandingan, oleh karena itu, bukan hanya bisa mengungkapkan kekliruan,melainkan juga menghasilakan pemahaman yang lebih lengkap berdasarkan sintetis dari berbagai penafsiran yang ada.
Manfat tafsir alMuqarin
Seperti telah disebutkan pada awal makalah ini, manfaat metoda ini – sebagaimana metoda pembandingan pada bidang-bidang kajian lainnya-- adalah memperoleh pengertian yang paling tepat dan leng-kap mengenai masalah yang dibahas. Dengan jalan melihat perbe-daan-perbedaan di antara berbagai unsur relevan yang diperbanding-kan. Manfaat khusus:
1. Dalam hal perbandingan unsur ayat dengan ayat lainnya, metoda ini memusatkan perhatian pada penggalian hikmah di balik variasi redaksi ayat untuk kasus yang berbeda. Jadi, dalam rangka ‘me-nguras’ kandungan pengertian ayat-ayat al-Quran, yang boleh jadi terlewatkan, atau belum sepenuhnya ‘terkuras’ oleh metoda tafsir al-Quran lainnya. Dengan cara ini pula bisa dibuktikan bahwa komposisi ayat al-Quran tidak sembarangan, seperti dikatakan oleh sebagian orientalis, apalagi bertentangan. Sekaligus, mende-montrasikan I’jaz al-Quran dari segi komposisi redaksionalnya.
2. Demikian pula halnya dengan manfaat pembandingan ayat al-Quran dengan hadits Nabi. Hanya saja, jika pada pembandingan unsur ayat dengan ayat lainnya, hikmah bisa digali dalam hal ke-dua unsur yang dipembandingkan, dalam metoda ini hikmah ter-utama digali dari salah satu unsurnya saja, yakni unsur ayat – khususnya jika mengingat bahwa metoda ini adalah bagian dari ilmu tafsir.
3. Dalam hal perbandingan unsur penafsiran seorang mufassir de-ngan mufassir lainnya, ada beberapa manfaat yang bisa dipetik, yaitu:
• Mengetahui orisinilitas satu penafsiran seorang penafsir. Ka-rena cukup besar kemungkinan, penafsiran seseorang mufassir sebenarnya merupakan ‘pinjaman’ dari mufassir terdahulu tanpa penyebutan sumber pengutipannya.
• Dapat mengungkapkan bias (kecenderungan) mufassir terten-tu, baik kecenderungan kemazhaban, sektarian, keilmuan, dan sebagainya
• Dapat mengungkap kekeliruan seorang mufassir, sekaligus mencari pandangan yang paling mendekati kebenaran. Jadi se-jenis tarjih.
• Dapat mengungkap sumber-sumber perbedaan pendapat di kalangan mufassir, atau pun perbedaan pendapat di antara ber-bagai kelompok umat Islam dalam mana masing-masing mu-fassir itu termasuk
• Dapat menjadi sarana bagi pendekatan (taqrib) di antara ber-bagai aliran mufassir.
• Dapat membawa pada pemahaman yang lebih lengkap me-ngenai kandungan ayat-ayat al-Quran, dengan – bila mungkin –menggabungkan (mensintetiskan) berbagai pemahaman ula-ma tafsir dari berbagai aliran tafsir.
Macam-macam variasi redaksi ayat-ayat
Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat al-Quran disertai masing-masing contohnya, sebagai be-rikut74:
1. Variasi letak kata dalam kalimat.
وادخلوا الباب سجدا وقولوا حطة (البقرة: 58)
وقولوا حطة وادخلوا الباب سجدا (الأعراف: 161)
2. Variasi jumlah huruf
سواء عليهم أأنذرتهم أم لم تنذرهم لا يؤمنون (البقرة: 6)
وسواء عليهم أأنذرتهم أم لم تنذرهم لا يؤمنون (يس: 10)
3. Variasi keterdahuluan
واتقوا يوما لا تجزي نفس عن نفس شيئا ولا يقبل منها شفاعة ولا يؤخذ منها عدل (البقرة: 48)
واتقوا يوما لا تجزي نفس عن نفس شيئا ولا يقبل منها عدل ولا تنفعها شفاعة (البقرة: 123)
4. Ma’rifat dan nakirah
ويقتلون النبيين بغير الحق (البرة:61)
ويقتلون النبيين بغير حق (أل عمران: 21)
5. Variasi antara jama’ dan mufrad
لن تمسنا النار إلا أياما معدودة (البقرة: 80)
لن تمسنا النار إلا أياما معدودات (ال عمران: 24)
6. Variasi pemilihan huruf
اسكن أنت وزوجك الجنة وكلا منها (البقرة: 35)
اسكن أنت وزوجك الجنة فكلا من حيث شئتما (الأعراف: 19)
7. Variasi pemilihan kata
ما ألفينا عليه آباءنا (البقرة: 170)
ما وجدنا عليه آباءنا (لقمان: 21)
8. Variasi dalam hal idgham
لعلهم يتضرعون (الأنعام: 42)
لعلهم يضرعون (الأعراف: 94)
Prosedur penerapan
1. Perbandingan unsur ayat dengan ayat lainnya;
Langkah pertama adalah menginventarisasikan ayat-ayat al-Quran yang memiliki kesamaan dan kemiripan redaksi. Kemudian masing-masing kelompok ayat yang memiliki kemiripan redaksi diteliti se-hubungan dengan kasus yang dibahas; apakah sama atau tidak? Tinjauan kasus ini didahulukan mengingat variasi redaksi bisa mun-cul dari variasi kasus.
Berikut ini contoh-contoh penerapan.
a. Pembandingan unsur-unsur ayat dengan ayat lainnya yang mem-bahas kasus yang berbeda, tapi rerdaksinya mirip
وما جعله الله إلا بشرى لكم ولتطمئن قلوبكم به وما النصر إلا من عند الله العزيز الحكيم (ال عمران: 126)
وما جعله الله إلا بشرى ولتطمئن به قلوبكم وما النصر إلا من عند الله إن الله عزيز حكيم (الانفال: 10)
Pada penelitian pertama diketahui bahwa kedua ayat ini berhubu-ngan dengan dua kasus yang berbeda, meskipun sama-sama me-ngandung pengertian pemberian pertolongan Allah kepada kaum Muslimin dalam pertempuran dengan musuh-musuhnya. Hanya saja, ayat pertama berhubungan dengan perang Uhud sedangkan yang kedua dengan perang Badar.
Diduga, variasi dalam hal keterdahuluan penempatan kata– dalam hal ini, kata به – dan penambahan ان dimaksudkan sebagai pene-kanan atau penegasan (taukid) kandungan ayat tersebut, yakni jan-ji pemberian bantuan dari Allah swt., pada saat perang Badar – yang merupakan kasus ayat pertama -- penegasan perlu dilakukan mengingat itulah perang pertama dalam Islam, lagi pula jumlah dan kekuatan kaum Muslimin masih kecil. Demikianlah Allah membangkitkan kepercayaan kaum Muslimin pada waktu itu. Se-dangkan pada perang Uhud – yang merupakan kasus yang dibahas oleh ayat ke dua – kekuatan kaum Muslimin sudah lebih besar, dan itu merupakan perang yang kedua di mana pada perang yang pertama kaum Muslimin mengalami kemenangan dan – dengan demikian – janji Allah swt., telah terbukti. Kepercayaan diri pun telah dimiliki oleh kaum Muslim. Sehingga taukid tidak lagi di-perlukan.
b. Perbandingan unsur ayat dengan ayat lainnya yang membahas kasus yang sama, tapi dengan redaksi berbeda.
ولا تقتلوا أولادكم من إملاق نحن نرزقكم وإياهم (الأنعام: 151)
ولا تقتلوا أولادكم خشية إملاق نحن نرزقهم وإياكم (الإسرى: 31)
Kasus kedua ayat di atas sama, yakni larangan membunuh anak-anak karena alasan kemiskinan. Tapi pada penelitian lebih lanjut, tampak adanya perbedaan dari segi mukhatab. Mukhathab ini pada ayat pertama adalah orang miskin, sehingga digunakan redaksi من إملاق yang berarti karena alasan kemiskinan atau tegasnya, karena ‘kalian miskin’. Sementara, mukhatab pada ayat kedua adalah orang kaya, sehingga digunakan redaksi خشية إملاق yang berarti takut menjadi miskin. Artinya, pada saat itu, mukhatab sudah kaya. Selanjutnya, pada ayat pertama, dhamir mukhatab didahu-lukan dengan maksud untuk menghilangkan kekhawatiran si mis-kin bahwa ia tidak akan mampu memberikan rizki kepada anak-nya: yakni, Allah akan memberikan rizki kepadanya agar ia mam-pu menafkahi anaknya. Maksud ayat akan menjadi lebih jelas jika dibandingkan dengan ayat kedua. Di sini dhamir anak-anak muk-hatab didahulukan untuk memperingati si kaya bahwa Allah yang memberi rizki kepada anak-anak itu, dan bukan si kaya. Kesim-pulannya, yang satu bersifat menumbuhkan keyakinan, sementara yang satu bersifat memberi peringatan.75
2. Pada langkah pertama, mesti diketahui nilai hadits yang akan di-bandingan dengan ayat al-Quran tertentu. Tentu saja ia bukan hadits dhaif, apalagi maudhu’. Perbandingan baru bisa dilakukan jika hal terebut telah dipastikan. Sebagai contoh;
ayat: ادخلوا الجنة بما كنتم تعملون (النحل: 32)
dan Hadits: لن يدخل أحدكم الجنة بعمله
Dalam mencoba menghilangkan kesan kontradiksi yang terdapat di antara ayat dan hadits tersebut di atas, al-Zarkasyi mengusulkan dua alternatif penjelasan76: menurut Sufyan dan kelompoknya, memang – sesuai dengan hadits di atas – orang masuk surga bukanlah di-karenakan amalnya (karena betapapun, amal seseorang tak cukup untuk menghasilkan baginya imbalan kenikmatan surga), melain-kan karena pengampunan Allah (atas dosa-dosanya) dan rahmat serta kasih sayang-Nya. Sedangkan ayat al-Quran tersebut menun-jukan bahwa tingkatan dan kedudukan seseorang di surga diten-tukan oleh amalnya. Atau, diungkapkan tingkatan dan kedudukan-nya di surga. Pendapat seperti ini sesuai dengan hadits yang lain:
إن أهل الجنة إذا دخلوها نرلوا فيها بفضل أعمالهم (رواه الترمذي)
Alternatif penjelasan kedua menyatakan bahwa harf jar ‘ba’ yang terdapat pada kedua nash tersebut mempunyai madlul yang ber-beda. Pada ayat, ba berarti imbalan (المقابلة), sedangkan pada hadits berarti sebab (السببية). Adapula yang berpendapat sebaliknya.
Bandingkan dengan hadits berikut ini
سددوا وقاربوا واعلموا أن أحدمنكم ينجوا بعمله (قالوا ولاأنت يا رسول الله؟ قال) ولا أن يتعمدنى الله برحمته
3. Perbandingan antara penafsiran berbagai mufassirin mengenai ayat-ayat yang sama. Kiranya hal ini telah jelas.77 Sebagai contoh tafsir yang secara khusus menerapkan cara ini adalah al-Quran and its interpreters, karya Mahmoud Ayoub, yang secara tahlily memban-dingkan penafsiran dua belas orang penafsir dari berbagai latar be-lakang: Ibn Araby (sufi), Ibn Katsir (syafi’iy dan ‘salafy’), Wahidi (lughawy), al-Qurthuby (malikiy), Zamakhsyari (muktazily), al-Razi (Sunniy), al-Naisaburi dan Ibn Arabi (sufiy), al-Qummi dan al-Thabarsi (Syi’iy klasik), Thabathaba’i (Syiiy modern), Thabariy (sunniy, tarikhiy) dan Sayyid Quthb (Ijtimaiy, modern).78
Kontrol terhadap metode tafsir dalam bingkai pencapaian tujuan al-tafsir: menghendaki rumusan yang jelas mengenai pengertian me-tode tafsir. Dalam bahasa Arab, metode biasanya diistilahkan dengan المنهج, atau الطريقة. Jadi metod tafsir ialah jalan yang ditempuh oleh seorang penafsir dalam tafsirnya untuk menuangkan ide-ide atau ke-cenderungannya. Ibrahim syarif sebagaiman dikutip Ahsin Muham-mad Asyrofuddin, mengemukakan bahwa42:
المنهج التفسيري هو الوسيلة المحققة لغاية الإتجاه التفسيرى والوعاء الذي يحتوي أفكار هذا الإتجاه التفسيري
“Minhaj tafsir ialah media untuk merealisasikan pencapaian tujuan orientasi penafsiran dan sebagai wadah bagi pemikiran-pemikiran orientasi pemikiran ini.”
Kemudian Ibn Taimiyah, ketika berbicara tentang ‘cara’ atau ‘langkah’ terbaik dalam menafsirkan al-Quran, mengemukakan bah-wa langkah-langkah terbaik adalah (1) تفسير القرآن بالقرآن dan (2) تفسير القرآن بالسنة. Rumusan yang disebut di akhir mengenai langkah-langkah penafsiran al-Quran, mengacu kepada teknis (langkah) dan sumber yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Dari dua rumusan metode penafsiran al-Quran, yang disebutkan pertama menunjukkan pada sisi fungsi dari metode penafsiran al-Quran, yaitu sebagai media (الوسيلة) dan wadah (الوعاء) bagi pencapaian tujuan orientasi penafsiran al-Quran.
Metode dalam arti fungsional yaitu sebagai al-washilah, media atau alat bagi pencapaian tujuan al-tafsir sebagai yang disebutkan di atas, dalam rumusannya tidak menampakkan komitmen terhadap tu-juan al-tafsir, bahkan rumusan المنهج التفسيري yang dikemukakan oleh Ibrahim Syarif menyiratkan adanya tujuan lain yang hendak dicapai, yakni suatu tujuan yang dibentuk oleh orientasi, pemikiran dan kecen-derungan mufassir. Dari metode tafsir dengan ciri-ciri yang disbut di akhir ini, akan terlahir tafsir-tafsir al-Quran yang isi pembahasannya mencerminkan kecenderungan para mufassirnya, dan lahirlah apa yang disebut corak-corak tafsir al-Quran antara lain: corak ilmy, fiqhy, adab ijtima’iy.44 Dengan demikian بيان عن مراد الله secara metodologis tidak bisa dilihat. Dalam kaitan metode tafsir ini, tahapan pencarian maksud Allah swt., mesti dilihat dua langkah pokok. Pertama, tahap-an perujukan kepada ayat-ayat al-Quran dan kedua, tahapan perujuk-kan kepada hadits. Langkah pertama menghendaki upaya optimal dari pemaham al-Quran untuk mengerahkan kemampuan-kemampuan ke-manusiaannya dalam mendapatkan kejelasan ayat yang dibahas. Yang demikian disebabkan bahwa penjelasan maksud ayat ada pada Allah (al-Qiyamah:19). Demikian juga perujukan kepada al-hadits sebagai langkah kedua menuntut pengerahan kemampuan pemahaman secara optimal mengingat karakteristik al-hadits tidak sama dengan al-Quran di samping memang, hanya sebagian kecil ayat-ayat al-Quran yang dijelaskan Rasul saw., sehingga tahapan perujukan kepada Rasul saw.,45 dalam prosedur penafsiran al-Quran tidak selamanya dapat di-lakukan. Oleh karenanya, jika perujukan kepada Rasul saw., dalam penafsiran al-Quran menghadapi masalah keterbatasan jumlah bahkan tingkat keshahihannya, maka dari sisi yang sama (sumber dan prose-dur) perujukan kepada al-Quran dalam prosedur atau tahapan penaf-siran al-Quran menjadi keniscayaan. Keniscayaan tersebut didasarkan pada beberapa alasan: (1) al-Quran adalah Qath’iy secara global dan rinciannya–sementara al-Sunnah tidak demikian adanya--,46 (2) dalam tatanan (sistem) redaksional dan makna dari ayat-ayat al-Quran me-ngandung hubungan fungsional, yaitu sesuatu yang bersifat global pada suatu ayat dijelas-rincikan oleh ayat lain demikian juga penjelas-an yang singkat diperluas oleh ayat lain ditempat lain,47 dan (3) pada dasarnya al-Quran adalah kitab hidayah, seluruh isinya adalah petun-juk bagi umat manusia. Dari uraian di atas dapat dipegangi: (1) al-Quran dan al-Sunnah adalah dua sumber yang dirujuk dalam prosedur pencapaian tujuan al-tafsir, dan (2) secara berurutan langkah-langkah yang ditempuh dalam prosedur pencapaian tujuan al-tafsir adalah per-tama, kepada al-Quran dan kedua, kepada al-Sunnah. Jika dua poin di atas sudah ditampakkan oleh sebuah metode tafsir tersebut telah fung-sional dalam rangka pengungkapan maksud Allah sebagai tujuan al-tafsir. Walaupun demikian, catatan perlu diberikan kepada al-Sunnah sebagai sumber dalam al-tafsir mengingat sifat-sifat yang dimilikinya berbeda dengan al-Quran, sehingga pemanfaatan al-riwayat memerlu-kan pengembangan dan seleksi yang cukup ketat,48 yang untuk keper-luan ini akan menggunakan nalar.
Dalam perspektif pengungkapan dan penjelasan maksud Allah dalam firman-firman-Nya, penggunaan nalar digunakan sesuai deng-an dua poin di atas yang ditampakkan oleh dua metode fungsional ba-gi pencapaian tujuan al-tafsir, yaitu تفسير القرآن بالقرآن dan تفسير القرآن بالسنة adalah terbaik dalam penafsiran al-Quran.49 Demikian juga dari segi kontrol metodologi, التفسير المأثور relatif mudah dilacak dibandingkan dengan التفسير بالرأي. Sebagai contoh dapat dike-mukakan التفسير بالمأثور yaitu tafsir al-Qasimy ketika menjelaskan ayat 30 surat al-Anbiya yang berbunyi:
أولم ير الذين كفروا أن السماوات والأرض كانتا رتقا ففتقناهما وجعلنا من الماء كل شيء حي أفلا يؤمنون
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasa-nya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadi-kan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Q.S. al-Anbiya: 30)
Yang menjadi medan rebutan al-ra’y dan al-naql dari ayat terse-but adalah makna firman Allah: كانتا رتقا ففتقناهما
Al-Qasimy menjelaskan makna dari kalimat di atas dengan me-rujuk kepada ayat 11 dan 12 dari surat al-Thariq, yang dengan peru-jukannya ini makna yang diberikan oleh al-Qasimy untuk dua kalimat tersebut dapat dengan mudah diikuti dan memenuhi criteria tafsir al-Quran bi al-Quran.50 Kesimpulan yang ditarik dari penafsiran al-Qasimy terhadap kalimat tersebut (penomena kejadian langit dan bu-mi) ialah bahwa langit dan bumi sejak semula diciptakan Allah dalam keadaan terpisah, hal ini berbeda dengan penafsiran yang menyim-pulkan bahwa semula langit dan bumi diciptakan Allah dalam keada-an bersatu, kemudian setelah melalui satu proses dipisahkan oleh Allah, sehingga menjadi langit tujuh dan bumi tujuh. Kesimpulan yang disebut di akhir ini, sebagai dikemukakan oleh al-Maraghi da-lam tafsirnya51 dan Hanafi Ahmad dalam bukunya yang mengutif pendapat al-Razy52, sama dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh ulama al-falaq dan para fisikawan dengan teori ledakan atau the big bang theory-nya. Sementara untuk penjelasan-penjelasan makna kali-mat: كانتا رتقا ففتقناهما dengan pendekatan ilmu falaq ini, bagi pen-capaian tujuan al-tafsir, tampak tidak mudah diterima mengingat cara terbaik untuk pencapaian tujuan tersebut adalah metode yang terikat kepada dictum أن القرآن يفسربعضه بعضا,53 artinya secara prosedural dan sumber, cara atau metode yang dimaksud bermula dan bermuara pada al-Quran sebagaimana firman Allah pada surat al-Qiyamah: 75.
Pada dasarnya metodologi tafsir akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan kemampuan dan kebutuhan manusia terhadap petunjuk-Nya yang terkandung di dalam al-Quran. Pada masa awal Islam, persoalan sosial dan keagamaan masih sangat sederhana di-bandingkan dengan masalah yang dihadapi oleh umat Islam sekarang yang relatif sulit, yang dengan kesulitan tersebut berpengaruh terha-dap pemahaman atau penafsiran yang dilakukan mereka.54 Komplek-sitas permasalahan yang dihadapi umat Islam dan keterbatsan sum-ber-sumber otentik (sahih) dari sunnah ditambah dengan desakan un-tuk kembali kepada al-Quran guna mengambil petunjuk-Nya, maka tidak ada cara atau metode yang paling baik dalam memahami al-Quran kecuali dengan metode yang berorientasi pada pencarian keje-lasan maksud Allah dengan menempatkan al-Quran sebagai sumber dan titik tolaknya. Dari orientasi ini, akan memberikan makna tersen-diri pada alat-alat, kaidah-kaidah, ilmu dan kemampuan-kemampuan serta persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh mufassir ter-masuk sikapnya.55
Dari hasil studi al-Farmawy terhadap metodologi al-Tafsir, dapat dikemukakan empat metode: التحليلى, الإجمالى, المقارن, dan الموضوعى.56 Yang perlu dikemukakan dari keempat metode di atas adalah metode التحليلى dan الموضوعى. Mengingat dua metode ini masing-masing memiliki orientasi.
Metode al-Tahlily adalah metode yang berusaha menjelaskan ayat-ayat al-Quran dari berbagai seginya serta mengungkapkan tuju-an-tujuannya. Mufassir yang menerapkan metode ini, dalam penjelas-annya berusaha mengikuti susunan ayat-ayat dan surat-surat sebagai yang terdapat dalam mushaf, makna-makna yang terkandung dalam kosa kata dijelaskan baik secara etimologis maupun berdasarkan su-sunan (sistem) redaksional ayat, dikemukakan pula المناسبة segi-segi hubungan dan maksud-maksudnya. Untuk membantu dalam pemaha-man tujuan turunnya ayat dikemukakan sebab turun ayat (أسباب النزول) yang bersumber dari Rasul saw., para shahabat, bahkan tabi-’in.57 Untuk mencapai tujuan-tujuan dalam tahapan atau prosedur al-tahlily, mufassir yang menerapkan metode ini mengungkapkan dan meninjau ayat dari berbagai segi, kadang dengan pendekatan budaya dan kadang dengan pembahasan-pembahasan kebahasaan. Dengan demikian, penggunaan nalar dalam metode ini bisa menonjol.58 De-ngan langkah-langkah yang harus dilalui oleh mufassir dalam metode tahlily yang disebut oleh Muhammad Baqir al-Shadr dengan metode al-tajzi’iy,59 langkah yang dimaksud adalah: (1) penjelasan kosa kata atau ayat, (2) pemerhatian terhadap runtutan kosa kata atau ayat, (3) kajian hubungan antar ayat (munasabah), dan (4) kajian asbab al-Nuzul. Tampak metode al-tahlily ini secara prosedur atau tahapan-tahapan penafsiran telah memadai untuk dapat mengungkap dan men-jelaskan maksud Allah dalam ayat-ayat al-Quran. Akan tetapi, dalam kenyataan perkembangan metodologi tafsir, menurut beberapa pakar metodologi, al-tahlily ini telah menampakkan kelemahannya, bahkan menurut al-Shadr, metode ini telah turut ambil bagian dalam melahir-kan pertentangan-pertentangan di kalangan aliran-aliran dalam kehi-dupan masyarakat Islam.60 Pendapat al-Shadr ini dapat dipahami, se-bab salah satu tahapan atau langkah dalam prosedur penafsiran deng-an metode ini yaitu pada penjelasan kosa kata atau kalimat memberi peluang kepada mufassir untuk memasukan kepentingan dan kecen-derungannya, sehingga penjelasan ayat-ayat al-Quran lebih merupa-kan legitimasi terhadap kepentingannya. Contoh-contoh untuk masa-lah yang disebut di akhir ini dapat dilihat, misalnya dalam penjelasan lafazh: من نفس واحدة yang diberikan oleh Muhammad Abduh dalam al-Manar pada surat al-Nisa: 1, penjelasan lafazh كانتا رتقا ففتقناهما yang dikemukakan mufassir pada tafsir ilmiah, dalam penjelasan ayat 30 surat al-Anbiya, dan penjelasan lafazh atau ayat yang berkaitan dengan مشيئة الله dan مشيئة العباد pada buku-buku tafsir bercorak ka-lam, salah satunya dalam penjelasan ayat 30 surat al-Insan
وما تشاؤون إلا أن يشاء الله إن الله كان عليما حكيما
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila di-kehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Insan: 30)
Dari contoh-contoh di atas, dapat dikemukakan secara umum di dalam pembahasan tafsirnya di dapati pendekatan ilmiah dan kalam. Jika contoh-contoh ini termasuk ke dalam apa yang dimaksudkan oleh al-Shadr yaitu pembahasan tafsir dengan menerapkan metode al-Tahlily telah melahirkan–meminjam istilah Quraish Shihab– panda-ngan parsial dan kontradiktif dalam kehidupan umat Islam,61 maka dengan demikian metode ini tidak menampakkan hasil dalam meng-ungkap dan menjelaskan maksud Alah dalam ayat-ayat-Nya, walau-pun dari segi prosedur atau langkah-langkahnya, metode ini dianggap memadai bagi pencapaian tujuan al-tafsir.
Sebagaimana sudah disebut di muka, metode terbaik untuk pen-capaian tujuan al-tafsir adalah metode yang berorientasi pada pen-carian pengungkapan maksud Allah yang bertolak dan bersumberkan al-Quran. Untuk maksud yang ditegaskan di akhir ini, diperlukan si-kap keterikatan diri dan apresiasi mufassir terhadap al-Quran sebagai hidayah, maka dari itu muncul kembali era ‘mempersilahkan’ al-Quranu ntuk berbicara atau sebagai ‘pembicara’ mengenai topik atau tema yang diajukan oleh mufassirnya. Kemudian, secara metodolo-gis, sikap mufassir tersebut dapat dilihat dalam metode tafsir التفسير الموضوعي.62
Metode tafsir الموضوعي adalah sebuah metode tafsir yang mufa-ssirnya melakukan tanya jawab dengan al-Quran serta memintanya berbicara atau meminta jawaban al-Quran mengenai hakikat kehidup-an. Dengan demikian, tema-tema persoalan kehidupan manusia diha-dapkan kepada al-Quran untuk didapat penjelasannya dari al-Quran.63 Sebagai sebuah prosedur penafsiran al-Quran, langkah-langkah da-lam metode ini ialah: (1) pengelompokan ayat-ayat al-Quran yang memiliki kandungan yang sama dari tema yang akan dicari, (2) penyususnan ayat-ayat berdasarkan kronologi waktu turun ayat, (3) memberikan penjelasan-penjelasan, kaitan hubungan antara ayat-ayat dan menarik kandungannya dan (4) secara tematik analisis dilakukan dari berbagai segi dan mengontrolnya dengan ilmu yang shahih untuk mendapatkan hakikat dari tema yang dibahas.64 Sebagai sebuah lang-kah-langkah yang lebih teknis penerapan metode ini – dari sumber yang sama yaitu ‘Abd al-Hayy al-Farmawy – dirinci oleh Quraish Shihab sebagai berikut:
1. Menerapkan masalah yang akan dibahas (topik);
2. Menghimpun ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turnnya disertai dengan pengetahuan tentang assbab al-Nuzulnya;
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing;
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out li-ne);
6. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan de-ngan pokok bahasan;
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara ‘am (umum) dan yang khash (khu-sus), muthlaq dan muqayyad (terikat) atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga pada akhirnya bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.65
Melihat runtutan langkah-langkah yang terdapat dalam metode الموضوعي seperti di atas, jelas tanpak komitmen metode ini terhadap orientasi pengungkapan maksud Allah dalam ayat-ayat al-Quran me-ngenai tema-tema yang diajukan oleh mufassirnya. Dalam metode ini, hal-hal yang tidak relevan dengan tujuan yang hendak dicapainya di-abaikan; sebaliknya yang relevan yang menunjang dalam proses pen-capaian tujuan yang ditetapkan seperti salah satu dari poin-poin lang-kah di atas, dilakukan. Demikian juga langkah baru bisa diadakan da-lam langkah-langkah metode الموضوعي untuk tujuan pengembangan dan penyempurnaan metode ini. Di antara langkah yang bisa ditam-bahkan dalam metode الموضوعي ini sebagai disarankan oleh Quraish Shihab, ialah sejak dini mufassir harus menjelaskan atau memahami arti kosa kata dengan merujuk kepada penggunaan al-Quran sendiri.66 Dengan apa yang disebut di akhir ini dan jika dilakukan oleh mufas-sirnya, maka intensitas perujukan kepada al-Quran dalam proses pe-nafsiran ayat-ayat al-Quran menjadi lebih tinggi. Seiring dengan ting-kat intensitas perujukan kepada al-Quran dalam tafsir al-Quran yang menerapkan metode الموضوعي ini, bisa dilihat adanya kualitas perujuk-an yaitu perujukan yang secara ketat memperhatikan kehususan-ke-khususan yang dimiliki al-Quran sebagai sebuah kumpulan firman Allah swt.,67 dengan bentuk dan timbangan kata, subyek dan obyeknya serta konteks pembicaraannya yang khas68, serta ciri-ciri lainnya.
Dari dua metode tafsir yang sudah dikemukakan di atas, dapat ditemukan beberapa perbedaan,69 diantara perbedaan-perbedaan ter-sebut adalah: (1) mufassir الموضوعي bisa menjelaskan permasalahan-permasalahan yang ada pada tema atau topik yang dibahasnya secara tuntas, tidak demikian pada mufassir التحليلي 2. Para mufassir التحليلي di dalam menjelaskan kosa kata atau ayat berusaha me-lihatnya dari berbagai segi sesuai dengan apa yang ia temukan dalam ayat tersebut, sehingga ia tidak akan berpindah ke ayat lain sebelum tuntas menurutnya.70 Ketuntatasan yang ada pada metode التحليلي terletak pada penjelasan kosakata dan sesuai dengan persepsi mufassirnya.
Persepsi71 mufassir التحليلي dalam penafsiran ayat-ayat al Quran yang dominan, akan membawa penafsiran ke tingkat subyektivitas yang tinggi, yaitu bahwa penafsirannya banyak bersumber kepada il-mu, keyakinan dan pengalaman hidupnya, dengan hal ini, tampak kelemahan tafsir al-Quran yang menerapkan metode التحليلي – se-bagaimana juga telah dinilai oleh al-Shadr72 – disebabkan oleh kesa-lahan sumber tafsir. Dan oleh karenanya segi sumber dalam tafsir al-Quran perlu dilihat kembali.
Tafsir al-Muqarin
Al-Tafsir al-Muqaran atau al-manhaj al-Muqarin* adalah seje-nis metode tafsir yang menggunakan cara perbandingan (komparatif). Sebagaimana metode komparatif di bidang-bidang kajian lainnya, metoda ini bermaksud menemukan dan mengkaji perbedaan-perbe-daan antara unsur-unsur yang diperbandingkan, baik untuk tujuan menemukan unsur yang benar di antara unsur lain yang benar, atau pun untuk tujuan memperoleh gambaran yang lebih lengkap me-ngenai masalah yang dibahas dengan jalan penggabungan (sintetis) unsur-unsur yang berbeda itu.
Al-Tasir al-Muqarin adalah satu metode tafsir al-Quran dengan jalan membandingkan ayat al-Quran satu dengan yang lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempuyai kemiripan redaksi dalam dua masalah atau kasus yang berbeda atau lebih, dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah/kasus yang sama atau diduga sama, dan atau membandingkan ayat-ayat al-Quran dengan hadits-hadits Nabi saw., yang tampak bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran al-Quran.73
Unsur-unsur yang diperbandingkan, menurut definisi di atas, bi-sa dikategorikan ke dalam tiga kelompok:
1. Unsur ayat (al-Quran) dengan ayat. Kelompok ini terbagi lagi menjadi dua:
• Unsur ayat dengan ayat lainnya yang membahas kasus yang sama, tapi dengan redaksi yang berbeda.
• Unsur ayat dengan ayat lainnya yang membahas kasus yang berbeda, tapi dengan redaksi yang mirip.
2. Unsure ayat dengan unsur hadits yang membahas kasus yang sama, tapi dengan pengertian yang tampak berbeda atau malah bertentangan
3. Unsur penafsiran mufassir tertentu dengan mufassir lainnya mengenai ayat-ayat al-Quran yang sama.
Sebenarnya, menurut penulis makalah ini, masih mungkin ter-dapat bagian ketiga dari kategori atau kelompok pertama, yakni ke-lompok perbandingan unsur ayat dengan ayat lainya. Bagian ketiga dari kategori atau kelompok pertama, yakni kelompok perbandingan unsur ayat dengan ayat lainnya. Bagian ketiga ini menyangkut per-bandingan unsur ayat dengan ayat lainnya yang membahas kasus yang sama, tapi tampak mempunyai pengertian yang berbeda atau malah bertentangan (sedang dalam hal redaksi, kemungkinan besar akan tidak mirip, mengingat pengertiannya yang berbeda). Kelompok ini tidak bisa disamakan dengan bagian pertama (poin a) dalam ke-lompok pertama, karena – dalam poin a. tersebut – pengertian tidak tampak berbeda, melainkan saling melengkapi. Sedangkan bagian ke-tiga dari kelompok pertama, yang penulis usulkan adalah menyang-kut pengertian yang tampak berbeda. Perbedaan redaksi antara kedua kelompok ini pun mempunyai sifat yang berbeda. Seperti akan ditun-jukan nanti, betapun berbeda, keberbedaan redaksi dalam kelompok 1.a., hanya terbatas kepada delapan kategori al-Zarkasyi, yang masih lebih banyak menunjukan kesamaan. Sementara dalam kelompok yang diusulkan, redaksi boleh jadi, atau kemungkinan besar, berbeda sekali. Contoh kelompok ini adalah, perbandingan kelompok ayat yang sama-sama membahas persoalan “penciptaan perbuatan manu-sia (khalq af’al al-ibad) yang pada satu pihak, tampak mendukung faham qadariyah sementara, pada tempat yang lain, tampak mendu-kung faham jabariyah.
Tampaknya kelompok perbandingan ini tak bisa begitu saja di-masukan ke dalam tafsir maudu’iy, meskipun metoda ini mengga-bungkan semua ayat al-Quran mengenai kasus yang sama – baik re-daksinya berbeda sama sekali ataupun mirip, baik pengertiannya sama/mirip ataupun tampak bertentangan. Tetapi, kalau pun tak ada kecenderungan untuk menghindari ayat-ayat yang bertentangan, sulit diharapkan adanya upaya tuntas untuk menggali pemahaman lewat perbandingan dalam metoda maudu’iy.
Latar belakang
Latar belakang munculnya metoda ini – khususnya yang berhu-bungan dengan kelompok pertama – yakni, perbandingan unsur ayat lainnya – sedikit banyak sejalan dengan latar belakang atau motif yang memunculkan metoda munasabah, atau mungkin juga metoda maudu’iy. Hal ini berhubungan dengan dua sifat al-Quran:
Pertama, al-Quran mengklaim sebagai satu kitab yang menca-kup segala sesuatu (Q.S. 2: 38) – meskipun ini ditafsirkan sebagai da-sar-dasar segala sesuatu. Suatu kitab yang relatif amat singkat seperti al-Quran, hanya mungkin bersifat demikian jika ia bersifat lugas dan cermat dalam susunannya – dalam sistematika, dalam penyusunan kalimat, atau pun dalam pemilihan kata-kata. Khususnya jika disadari bahwa selain sistematika, komposisi kalimat atau semantic sangat menentukan kekayaan kandungannya. Secara lebih khusus dalam mu-nasabah, seperti yang biasa disebutkan, terdapat makna khusus da-lam munasabah antara kata dan kalimat, dan makna dalam pemilihan kata. Menjadi lebih istimewa lagi jika untuk kasus yang sama Allah swt., merasa perlu menampilkan variasi penempatan kata dalam kali-mat dan variasi pemilihan kata-kata. Demikian pula halnya dengan kenyataan bahwa Allah swt., merasa perlu memiripkan redaksi ayat-ayat yang membahas kasus yang berbeda. Diduga keras – kalau tak malah bisa dipastikan – bahwa ada deliberasi (penyengajaan) di pihak Allah swt., dalam hal ini. Selain itu, jika mengikuti pendapat al-Zarkasyi, adanya variasi tersebut memiliki hikmahnya tersendiri. Dalam hal ini Al-Zarkasyi antara lain mendasarkan pendapatnya itu pada firman Allah swt., sendiri:
كنا أحكمت أيته ثم فصلت من لدن حكيم خبير
Digunakan kata Hakim, dan bukannya Rahman atau Rahim (atau sejenisnya), menurut al-Zarkasyi mengisyaratkan adanya hik-mah dalam komposisi ayat-ayat al-Quran. (penulis berpendapat, adanya kandungan informasi pada komposis ayat-ayat al-Quran).
Dalam hal kelompok kedua, kiranya sudah jelas bahwa hadits shahih tidak boleh bertentangn dengan ayat al-Quran, mengingat Na-bi saw., tak mengucapkan sesuatu menurut hawa nafsunya, melain-kan wahyu yang diwahyukan (Q.S. 53: 3) hanya saja, dalam kasus ini pembandingan secara tuntas sulit dilakukan mengingat masih luasnya ruang bagi penolakan suatu hadits – betapa pun shahih – hanya saja, perlu diingat, verifikasi hadits dengan al-Quran bukanlah merupakan tujuan metoda ini – betapa pun prinsip verifikasi ini dibenarkan.
Dalam kelompok ini tentu saja tidak ada perbandingan kedua unsur dari segi redaksinya, karena dua sebab:
1. Ayat al-Quran adalah kalam Allah, sementara hadits merupakan ucapan Rasul.
2. Sebagian besar hadits diriwayatkan dengan makna. (bagaimana halnya dengan hadits qudsyi?)
Demikian pula, yang terjadi di sini bukanlah pembandingan yang qath’iy (ayat al-Quran) dengan yang zhanniy. Karena, dalam hal ayat al-Quran, yang dibandingkan adalah pengertian (dilalah)nya. Perlu ditegaskan pula bahwa metoda al-muqarin dalam hal ini tidak sama dengan tafsir bi alma’tsur, karena penekanannya bukan pada pe-nafsiran ayat dengan hadits, melainkan pembandingan ayat dan hadits mengenai salah satu kasus yang sama tapi tampak mempunyai pe-ngertian yang berbeda.
Dalam hal kelompok ketiga, kiranya sudah disadari bahwa pe-nafsiran seorang mufassir mempunyai kemungkinan bersifat parsial – dalam arti biased, maupun mengandung hanya sebagian kebenaran – atau bahkan sama sekali keliru. Pembandingan, oleh karena itu, bukan hanya bisa mengungkapkan kekliruan,melainkan juga menghasilakan pemahaman yang lebih lengkap berdasarkan sintetis dari berbagai penafsiran yang ada.
Manfat tafsir alMuqarin
Seperti telah disebutkan pada awal makalah ini, manfaat metoda ini – sebagaimana metoda pembandingan pada bidang-bidang kajian lainnya-- adalah memperoleh pengertian yang paling tepat dan leng-kap mengenai masalah yang dibahas. Dengan jalan melihat perbe-daan-perbedaan di antara berbagai unsur relevan yang diperbanding-kan. Manfaat khusus:
1. Dalam hal perbandingan unsur ayat dengan ayat lainnya, metoda ini memusatkan perhatian pada penggalian hikmah di balik variasi redaksi ayat untuk kasus yang berbeda. Jadi, dalam rangka ‘me-nguras’ kandungan pengertian ayat-ayat al-Quran, yang boleh jadi terlewatkan, atau belum sepenuhnya ‘terkuras’ oleh metoda tafsir al-Quran lainnya. Dengan cara ini pula bisa dibuktikan bahwa komposisi ayat al-Quran tidak sembarangan, seperti dikatakan oleh sebagian orientalis, apalagi bertentangan. Sekaligus, mende-montrasikan I’jaz al-Quran dari segi komposisi redaksionalnya.
2. Demikian pula halnya dengan manfaat pembandingan ayat al-Quran dengan hadits Nabi. Hanya saja, jika pada pembandingan unsur ayat dengan ayat lainnya, hikmah bisa digali dalam hal ke-dua unsur yang dipembandingkan, dalam metoda ini hikmah ter-utama digali dari salah satu unsurnya saja, yakni unsur ayat – khususnya jika mengingat bahwa metoda ini adalah bagian dari ilmu tafsir.
3. Dalam hal perbandingan unsur penafsiran seorang mufassir de-ngan mufassir lainnya, ada beberapa manfaat yang bisa dipetik, yaitu:
• Mengetahui orisinilitas satu penafsiran seorang penafsir. Ka-rena cukup besar kemungkinan, penafsiran seseorang mufassir sebenarnya merupakan ‘pinjaman’ dari mufassir terdahulu tanpa penyebutan sumber pengutipannya.
• Dapat mengungkapkan bias (kecenderungan) mufassir terten-tu, baik kecenderungan kemazhaban, sektarian, keilmuan, dan sebagainya
• Dapat mengungkap kekeliruan seorang mufassir, sekaligus mencari pandangan yang paling mendekati kebenaran. Jadi se-jenis tarjih.
• Dapat mengungkap sumber-sumber perbedaan pendapat di kalangan mufassir, atau pun perbedaan pendapat di antara ber-bagai kelompok umat Islam dalam mana masing-masing mu-fassir itu termasuk
• Dapat menjadi sarana bagi pendekatan (taqrib) di antara ber-bagai aliran mufassir.
• Dapat membawa pada pemahaman yang lebih lengkap me-ngenai kandungan ayat-ayat al-Quran, dengan – bila mungkin –menggabungkan (mensintetiskan) berbagai pemahaman ula-ma tafsir dari berbagai aliran tafsir.
Macam-macam variasi redaksi ayat-ayat
Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat al-Quran disertai masing-masing contohnya, sebagai be-rikut74:
1. Variasi letak kata dalam kalimat.
وادخلوا الباب سجدا وقولوا حطة (البقرة: 58)
وقولوا حطة وادخلوا الباب سجدا (الأعراف: 161)
2. Variasi jumlah huruf
سواء عليهم أأنذرتهم أم لم تنذرهم لا يؤمنون (البقرة: 6)
وسواء عليهم أأنذرتهم أم لم تنذرهم لا يؤمنون (يس: 10)
3. Variasi keterdahuluan
واتقوا يوما لا تجزي نفس عن نفس شيئا ولا يقبل منها شفاعة ولا يؤخذ منها عدل (البقرة: 48)
واتقوا يوما لا تجزي نفس عن نفس شيئا ولا يقبل منها عدل ولا تنفعها شفاعة (البقرة: 123)
4. Ma’rifat dan nakirah
ويقتلون النبيين بغير الحق (البرة:61)
ويقتلون النبيين بغير حق (أل عمران: 21)
5. Variasi antara jama’ dan mufrad
لن تمسنا النار إلا أياما معدودة (البقرة: 80)
لن تمسنا النار إلا أياما معدودات (ال عمران: 24)
6. Variasi pemilihan huruf
اسكن أنت وزوجك الجنة وكلا منها (البقرة: 35)
اسكن أنت وزوجك الجنة فكلا من حيث شئتما (الأعراف: 19)
7. Variasi pemilihan kata
ما ألفينا عليه آباءنا (البقرة: 170)
ما وجدنا عليه آباءنا (لقمان: 21)
8. Variasi dalam hal idgham
لعلهم يتضرعون (الأنعام: 42)
لعلهم يضرعون (الأعراف: 94)
Prosedur penerapan
1. Perbandingan unsur ayat dengan ayat lainnya;
Langkah pertama adalah menginventarisasikan ayat-ayat al-Quran yang memiliki kesamaan dan kemiripan redaksi. Kemudian masing-masing kelompok ayat yang memiliki kemiripan redaksi diteliti se-hubungan dengan kasus yang dibahas; apakah sama atau tidak? Tinjauan kasus ini didahulukan mengingat variasi redaksi bisa mun-cul dari variasi kasus.
Berikut ini contoh-contoh penerapan.
a. Pembandingan unsur-unsur ayat dengan ayat lainnya yang mem-bahas kasus yang berbeda, tapi rerdaksinya mirip
وما جعله الله إلا بشرى لكم ولتطمئن قلوبكم به وما النصر إلا من عند الله العزيز الحكيم (ال عمران: 126)
وما جعله الله إلا بشرى ولتطمئن به قلوبكم وما النصر إلا من عند الله إن الله عزيز حكيم (الانفال: 10)
Pada penelitian pertama diketahui bahwa kedua ayat ini berhubu-ngan dengan dua kasus yang berbeda, meskipun sama-sama me-ngandung pengertian pemberian pertolongan Allah kepada kaum Muslimin dalam pertempuran dengan musuh-musuhnya. Hanya saja, ayat pertama berhubungan dengan perang Uhud sedangkan yang kedua dengan perang Badar.
Diduga, variasi dalam hal keterdahuluan penempatan kata– dalam hal ini, kata به – dan penambahan ان dimaksudkan sebagai pene-kanan atau penegasan (taukid) kandungan ayat tersebut, yakni jan-ji pemberian bantuan dari Allah swt., pada saat perang Badar – yang merupakan kasus ayat pertama -- penegasan perlu dilakukan mengingat itulah perang pertama dalam Islam, lagi pula jumlah dan kekuatan kaum Muslimin masih kecil. Demikianlah Allah membangkitkan kepercayaan kaum Muslimin pada waktu itu. Se-dangkan pada perang Uhud – yang merupakan kasus yang dibahas oleh ayat ke dua – kekuatan kaum Muslimin sudah lebih besar, dan itu merupakan perang yang kedua di mana pada perang yang pertama kaum Muslimin mengalami kemenangan dan – dengan demikian – janji Allah swt., telah terbukti. Kepercayaan diri pun telah dimiliki oleh kaum Muslim. Sehingga taukid tidak lagi di-perlukan.
b. Perbandingan unsur ayat dengan ayat lainnya yang membahas kasus yang sama, tapi dengan redaksi berbeda.
ولا تقتلوا أولادكم من إملاق نحن نرزقكم وإياهم (الأنعام: 151)
ولا تقتلوا أولادكم خشية إملاق نحن نرزقهم وإياكم (الإسرى: 31)
Kasus kedua ayat di atas sama, yakni larangan membunuh anak-anak karena alasan kemiskinan. Tapi pada penelitian lebih lanjut, tampak adanya perbedaan dari segi mukhatab. Mukhathab ini pada ayat pertama adalah orang miskin, sehingga digunakan redaksi من إملاق yang berarti karena alasan kemiskinan atau tegasnya, karena ‘kalian miskin’. Sementara, mukhatab pada ayat kedua adalah orang kaya, sehingga digunakan redaksi خشية إملاق yang berarti takut menjadi miskin. Artinya, pada saat itu, mukhatab sudah kaya. Selanjutnya, pada ayat pertama, dhamir mukhatab didahu-lukan dengan maksud untuk menghilangkan kekhawatiran si mis-kin bahwa ia tidak akan mampu memberikan rizki kepada anak-nya: yakni, Allah akan memberikan rizki kepadanya agar ia mam-pu menafkahi anaknya. Maksud ayat akan menjadi lebih jelas jika dibandingkan dengan ayat kedua. Di sini dhamir anak-anak muk-hatab didahulukan untuk memperingati si kaya bahwa Allah yang memberi rizki kepada anak-anak itu, dan bukan si kaya. Kesim-pulannya, yang satu bersifat menumbuhkan keyakinan, sementara yang satu bersifat memberi peringatan.75
2. Pada langkah pertama, mesti diketahui nilai hadits yang akan di-bandingan dengan ayat al-Quran tertentu. Tentu saja ia bukan hadits dhaif, apalagi maudhu’. Perbandingan baru bisa dilakukan jika hal terebut telah dipastikan. Sebagai contoh;
ayat: ادخلوا الجنة بما كنتم تعملون (النحل: 32)
dan Hadits: لن يدخل أحدكم الجنة بعمله
Dalam mencoba menghilangkan kesan kontradiksi yang terdapat di antara ayat dan hadits tersebut di atas, al-Zarkasyi mengusulkan dua alternatif penjelasan76: menurut Sufyan dan kelompoknya, memang – sesuai dengan hadits di atas – orang masuk surga bukanlah di-karenakan amalnya (karena betapapun, amal seseorang tak cukup untuk menghasilkan baginya imbalan kenikmatan surga), melain-kan karena pengampunan Allah (atas dosa-dosanya) dan rahmat serta kasih sayang-Nya. Sedangkan ayat al-Quran tersebut menun-jukan bahwa tingkatan dan kedudukan seseorang di surga diten-tukan oleh amalnya. Atau, diungkapkan tingkatan dan kedudukan-nya di surga. Pendapat seperti ini sesuai dengan hadits yang lain:
إن أهل الجنة إذا دخلوها نرلوا فيها بفضل أعمالهم (رواه الترمذي)
Alternatif penjelasan kedua menyatakan bahwa harf jar ‘ba’ yang terdapat pada kedua nash tersebut mempunyai madlul yang ber-beda. Pada ayat, ba berarti imbalan (المقابلة), sedangkan pada hadits berarti sebab (السببية). Adapula yang berpendapat sebaliknya.
Bandingkan dengan hadits berikut ini
سددوا وقاربوا واعلموا أن أحدمنكم ينجوا بعمله (قالوا ولاأنت يا رسول الله؟ قال) ولا أن يتعمدنى الله برحمته
3. Perbandingan antara penafsiran berbagai mufassirin mengenai ayat-ayat yang sama. Kiranya hal ini telah jelas.77 Sebagai contoh tafsir yang secara khusus menerapkan cara ini adalah al-Quran and its interpreters, karya Mahmoud Ayoub, yang secara tahlily memban-dingkan penafsiran dua belas orang penafsir dari berbagai latar be-lakang: Ibn Araby (sufi), Ibn Katsir (syafi’iy dan ‘salafy’), Wahidi (lughawy), al-Qurthuby (malikiy), Zamakhsyari (muktazily), al-Razi (Sunniy), al-Naisaburi dan Ibn Arabi (sufiy), al-Qummi dan al-Thabarsi (Syi’iy klasik), Thabathaba’i (Syiiy modern), Thabariy (sunniy, tarikhiy) dan Sayyid Quthb (Ijtimaiy, modern).78
1 comments:
artikelnya panjang sekali mas,,, apa ga bisa di jabarkean secara lebih gamblang lagi? atau dibuat secara bersambung, agar orang yang ga kuliahan seperti saya juga bisa nyambung, tapi terimakasih banyak mas,
Post a Comment