Wilujeng Sumping, alias SELAMAT DATANG... di blog simkuring... moga-moga aya manfaat nu tiasa katampi... hapunten nu kasuhun... bilih aya nu teu kahartos...

Kang Yosep: "Idealis" menapaki "Realitas"


DATA MAHASISWA

No. NIM Nama Mahasiswa
1 09.0290 Abdul Malik
2 09.0267 Agus Salim
3 09.0292 Asep Haerudin
4 09.0282 Asep Saripin
5 09.0301 Basir Japidung
6 09.0259 Diman Zamil
7 09.0303 Ema Nurhasanah
8 09.0278 Fitri Indriani
9 09.0299 Galih Permana
10 09.0270 Ikrima Nisa Habibah
11 09.0275 Ismailia
12 09.0325 Maya Susanti
13 09.0324 Mira Nopita
14 09.0326 Rani Tri Lesmayanti
15 09.0260 Risa Apriani
16 09.0385 Sidiq Ginanjar
17 09.0300 Siti Nurul Hidayah
18 09.0328 Tedi Setiadi
19 09.0327 Toto Soni
20 09.0383 Winda Gustiani
21 09.0319 Wiwin Muspianti
22 09.0384 Yana Hadiana
23 09.0283 Yopi Sopiana
24 09.0265 Yosep Saeful Azhar Photobucket
25 09.0298 Endang Sudrajat
26 09.0316 Supian Munawar
27 Asep Al-Juhaeri

Monday, October 19

Sejarah Perkembangan Hadis


A. Pendahuluan
Sejak pertengahan abad kesembilan belas, para pemikir muslim menghadapi banyak tantangan berulang terhadap gagasan Islam klasik tentang otoritas keagamaan. Pergolakan di dunia muslim ini telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber primer hukum Islam karena kaum muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan kembali norma-norma sosial dan hukum dalam kondisi yang selalu berubah sesuai dengan tuntunan zaman dan perluasan wilayah kaum muslimin.


Di antara isu yang hangat diperbincangkan di kalangan kaum muslimin, termasuk kaum orientalis Barat, adalah soal kodifikasi hadis yang, meminjam istilah Rasyid Ridha, sangat rumit. Penghimpunan dan penyusunan hadis-hadis secara tertulis yang, menurut anggapan umum, dilakukan setelah hampir satu abad periwayatan hadis secara lisan berlalu, menurut Rasyid Ridha, bisa memerlukan waktu satu setengah abad lagi untuk mengembangkan metode yang sangat kritis dan urgen dalam memilah-milah mana hadis yang shahih dan mana hadis yang lemah dan dibuat-buat. (Juynboll, 1999: 67)

Dalam aspek kodifikasi inilah, keotentikan hadis sebagai sumber ajaran Islam terus dipersoalkan. Bahkan kondisi ini, dalam perjalanan sejarah umat Islam pada awal abad kedua puluh, telah memunculkan sebuah madzhab yang mencukupkan diri dengan al-Quran, misalnya kaum skripturalisme Qurani di Benua India (Lahore dan Amritsar), ahli Quran, atau inkar al-sunnah. Dalam penuturan Brown (2000: 56), jika Ahli Hadis memandang taklid sebagai penyimpangan dan perpecahan dalam Islam, Ahli Quran memandang mengikuti hadis sebagai penyebab kemalangan Islam.

Sedemikian hangatnya perbincangan masalah kodifikasi hadis, Al-Khatib memandang perlu melakukan penelitian dan pembahasan khusus di seputar masalah ini sehingga melahirkan kitab As-Sunnah qabla at-Tadwin. Abu Zahrah memasukkan penulisan dan pembukuan hadis sebagai periode keempat di antara tujuh periode yang ia tetapkan sebagai berikut. (Nasikun, 2000: 244)
1. Periode pewahyuan dan pembentukan.
2. Periode pemantapan dan pembatasan riwayat.
3. Periode penyebaran riwayat.
4. Periode penulisan dan pembukuan.
5. Periode penyaringan dan pemikiran.
6. Periode penggabungan dan penertiban.
7. Periode penjabaran dan pembahasan.

B. Kondisi Hadis Zaman Rasulullah Saw

Al-Hadis sebagai sumber ajaran Islam, di samping al-Quran, merupakan suatu keniscayaan bagi kaum muslimin secara umum. Alasan yang paling kuat untuk mendukung posisi hadis seperti ini, selain ayat-ayat al-Quran yang menegaskan kewenangan Rasulullah Saw dalam memutuskan hukum, adalah sifat ayat-ayat al-Quran yang memerlukan berbagai sisi penafsiran seperti ayat-ayat mujmal atau ayat-ayat ‘am.

Urgensi hadis dalam penentuan sikap terhadap berbagai makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran atau sebagai kewenangan tersendiri bagi Rasulullah Saw, bagi para sahabat, memiliki kedudukan yang khas dan sejarah tersendiri yang tidak bisa lepas dari aspek budaya dan peradaban saat itu. Sikap para sahabat tersebut, ditinjau dari aspek kebudayaan saat itu, meliputi dua titik persoalan yang utama, yakni perhatian dan tradisi mereka terhadap budaya lisan dan tulisan. Kedua aspek ini, dalam salah satu tinjauan riwayat Abu Hurairah, berlaku secara bersamaan dan menjadi tradisi yang mengakar bagi generasi selanjutnya. Dalam HR al-Bukhari dinyatakan bahwa Abu Hurairah pernah berkata, “Tidak ada seorang pun sahabat Nabi Saw yang lebih banyak hadisnya daripada diriku selain Abdullah bin Amr, karena ia menulis sedangkan aku tidak”. (Shahih al-Bukhari, “Kitab al-Ilmu, Bab Kitabah al-ilm”)

Penyampaian hadis secara lisan merupakan hal mendasar dalam tradisi saat itu. Bahkan setelah koleksi tertulis hadis disusun, penyampaian hadis secara lisan masih ideal. Kelisanan, dalam sistem ini, merupakan kebajikan bukan sebaliknya. Seperti faqih yang meremehkan bukti tertulis, dan lebih menyukai pembuktian lisan langsung, ulama hadis pun menekankan superioritas penyampaian hadis secara langsung, pribadi, dan lisan. Nilai tulisan hanyalah untuk membantu mengingat. (Brown, 2000: 115)

Dalam beberapa riwayat, selain riwayat Abu Hurairah di atas, bukti otentik adanya penulisan hadis zaman Rasulullah Saw cukup banyak, di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash berkata, “Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah Saw. Aku ingin menghafalnya. Lalu orang Quraisy melarangku. Mereka berkata, ‘Engkau menulis apa saja yang kau dengar dari Rasulullah Saw, sedangkan Rasulullah itu manusia biasa yang berbicara sewaktu marah atau ridha. Kenudian aku berhenti menulis. Lalu aku sebutkan hal itu kepada Rasulullah Saw, kemudian ia berisyarat dengan jari-jarinya dan bersabda, ‘Tulislah! Demi Allah, tidak ada yang keluar dariku kecuali kebenaran”. (HR Ad-Darimi)
2) Rafi’ bin Khudaij berkata, “Kami berkata: ‘Ya Rasulullah, kami mendengar beberapa perkara dari Engkau, bolehkah kami menulisnya?’ Beliau menjawab, “Tulislah, tidak apa-apa”.
3) Anas bin Malik berkata, “Ikatlah ilmu dengan menulisnya”. (Al-Jami’ li Akhlaqir Rawi)
4) Abu Hurairah berkata, “Tatkala terjadi Futuh Mekah, Rasulullah Saw berkhutbah di hadapan para sahabatnya. Lalu seorang sahabat dari negeri Yaman, Abu Syah, berdiri dan berkata, “Ya Rasulullah, tulislah (khutbah itu) untukku!”. Lalu beliau bersabda, “Tuliskanlah untuknya!”. (HR Ahmad)
Selain hadis-hadis yang menunjukkan adanya penulisan seperti telah disebutkan di atas, ada juga hadis-hadis yang menunjukkan keadaan sebaliknya, di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Rasulullah Saw telah bersabda, ‘Janganlah kalian menulis (sesuatu) dariku. Siapa saja yang menulis dariku selain al-Quran, hendaklah ia menghapusnya”. (HR Muslim)
2) Abu Hurairah berkata, “Rasulullah Saw keluar (dari rumahnya) sedangkan kami sedang menulis beberapa hadis. Lalu beliau bersabda, ‘Apa yang kalian tulis?’. Kami menjawab, ‘Beberapa hadis yang kami dengar darimu’. Beliau bersabda, ‘Kitab (catatan) selain kitab Allah? Apakah kalian mengetahui, umat-umat sebelum kalian tidak sesat kecuali dengan catatan-catatan yang mereka buat selain kitab Allah?”. (Taqyidul Ilmi)
Dua periwayatan ini dianggap bertentangan (ta’arudh). Apabila demikian, maka dapat diambil jalan nasikh dan mansukh ataupun muwafaqat (kompromi). Sebagian ulama lebih cenderung mengambil jalan kompromi, dengan alasan sebagai berikut.
1) Pada permulaan Islam, penulisan hadis merupakan inisiatif perorangan yang dilakukan oleh para sahabat tertentu seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud dan sahabat lainnya. Mereka melakukan penulisan itu dengan dasar i’tikad baik dan dengan alasan-alasan tertentu pula. Misalnya mereka ingin menulis sabda Nabi pada pedang mereka, seperti dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib. Mereka menulis hadis untuk dikirimkan kepada para sahabat yang bertempat tinggal jauh.
2) Di awal perkembangan Islam, larangan penulisan hadis merupakan kebijaksanaan Nabi Saw. Akan tetapi setelah ayat-ayat al-Qur’an banyak turun dan penulisannya sudah ditugaskan kepada beberapa orang sahabat, maka dengan sendirinya para sahabat sudah mengetahui dengan pasti mana ayat al-Qur’an dan mana al-Hadis. Hal inilah yang menyebabkan penulisan hadis diperbolehkan.
3) Penelitian terhadap adanya hadis Abu Sa’id yang menjelaskan keengganan Nabi untuk memberi izin menulis hadis di permulaan hijrah, disebabkan pada masa itu, para sahabat masih dilanda kesibukan penulisan Al-Qur’an. Namun setelah adanya perubahan situasi beberapa tahun sesudah hijrah, hadis Abu Sa’id tersebut menjadi mansukh. Demikianlah antara lain pendapat Binu Qutaibah yang menunjukkan bahwa sunah dinasakh dengan sunnah merupakan sebuah kemungkinan.
4) Munculnya larangan seperti yang dikemukakan di atas karena besarnya kemungkinan penulisan al-Qur’an dan al-Hadis menjadi satu, sehingga dikhawatirkan nantinya sulit membedakan antara keduanya. Akan tetapi, apabila penulisan hadis tersebut terpisah dengan al-Qur’an, maka hal semacam itu tidak lagi dinilai atau dipandang sebagai hambatan.
5) Larangan penulisan itu bagi para sahabat yang mempunyai kekuatan ingatan dan hafalan yang mantap, sedangkan izin diberikan kepada para sahabat yang diragukan kemantapan hafalannya, seperti Abu Syah.
6) Dengan perubahan situasi, Nabi Muhammad Saw merasa usianya semakin lanjut, sedangkan ayat-ayat al-Qur’an sudah banyak turun dan sudah dihafal dan dicatat oleh para sahabat. Akhirnya, dengan pertimbangan tertentu, beliau menyuruh dan menaruh kepercayaan kepada sahabat-sahabatnya yang tergolong mampu, memiliki ketaqwaan yang tidak diragukan untuk mencatat hadis. Pada saat itu para sahabat pada umumnya memiliki kadar ketaqwaan yang tinggi, tetapi yang mempunyai kemampuan menulis dan membaca masih langka, di samping sarana yang tersedia masih terbatas.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa pada masa Nabi Muhammad Saw, penulisan hadis telah dilakukan meskipun tidak seperti penulisan al-Qur’an yang secara resmi mendapat perintah dari Nabi Saw. Hadis lebih banyak dihafalkan oleh para sahabat sesuai dengan kebijaksanaan Nabi Saw, dan hanya sedikit sekali yang ditulis.
Hasil penulisan hadis pada masa Nabi itu, antara lain tulisan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/ 661 M), Samrah bin Jundab (wafat 60 H/80 M), Abdullah bin Amr bin Ash (wafat 65H/ 685M). Dengan nama al-Shahifah al-Shadiqah, Jabir Bin Abdullah al-Ansshari (wafat 78 H/ 697 M) dan Abdullah bin Abi Awfa (wafat 86 H ).

C. Penulisan Hadis setelah Nabi Wafat
Setelah Rasulullah wafat, para penulis hadis, baik dari kalangan para sahabat maupun tabi’in, banyak bermunculan. Sa’id bin Jubair, pemuka tabi’in dan ahli fiqih pada masanya (w 95 H), senantiasa menyertai Ibnu Abbas untuk mendengar hadis darinya. Kemudian, hadis-hadis yang didengarnya itu dicatat ketika ia dalam perjalanan dan kemudian dihafalnya setelah ia sampai di rumah.
Pada waktu buku-buku catatan milik Urwah bin az-Zubair bin al-Awwam, seorang tabi’in terkemuka dan salah seorang ahli fiqih di Madinah (w 93 H) terbakar ketika terjadi kekacauan politik pada masa pemerintahan Yazid, ia berkata, “Alangkah baiknya, sekiranya kitab-kitabku masih ada bersama keluarga dan harta bendaku.”
Abu Abdurrahman Abdullah Bin Zakwan al-Qudusi al-Madani, seorang tabi’in yang ahli fiqih juga (w 130 H) berkata, "Kami selalu menulis tentang halal haram, dan Ibnu Syihab mencatat segala apa yang ia dengar. Ketika itu ia sudah menjadi orang yang dibutuhkan, tahulah aku bahwa ia adalah orang yang paling alim”.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa pada abad pertama perkembangan hadis, sebagian perawi mencatat hadis-hadis dari para pendahulunya, sedang yang lain tidak mencatatnya. Dalam meriwayatkannya mereka berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan demikian terus berlangsung hingga masa pemerintahan Abdul Aziz bin Marwan. Beliau memerintahkan Kasir bin Murrah al-Hadhrami untuk menulis semua hadis dari para sahabat Rasulullah yang dapat diperolehnya, kecuali hadis-hadis dari Abu Hurairah, karena ia sudah memilikinya. Umar bin Abdul Aziz, diriwayatkan, telah mengeluarkan perintah kepada Abu Bakar Muhammad bin Amr bin Hazm, Gubernur Madinah untuk men-tadwin (mengkodifikasikan) hadis. Imam Malik dalam al-Muwatta meriwayatkan perintah Umar tersebut sebagai berikut, “Lihat dan telitilah hadis-hadis Rosulullah, sunahnya, hadis Umar atau sebagainya, lalu tulislah, karena aku takut akan hilang dan punahnya ilmu disebabkan meninggalnya ulama”.
Selain itu Umar berpesan agar Ibnu Hazm mencatat hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman seorang wanita Anshar anak al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Abu Nu’aim meriwayatkan bahwa Umar juga mengirim surat ke beberapa daerah, bunyinya sebagai berikut, “Telitilah hadis-hadis Rosulullah, lalu kumpulkanlah”.
Perintah Umar rupanya telah berhasil membangkitkan minat para ulama untuk semakin meningkatkan usaha pengkodifikasian hadis. Dengan dukungan para penguasa, gerakan Tadwin al-Hadis ini semakin meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas, terutama pada abad ke-2 H, dan mencapai masa suburnya pada abad ke-3 H, yang ditandai dengan munculnya kitab-kitab hadis induk ( standar ), yang kemudian kita kenal dengan Kutub as-Sittah, yang diakui oleh ahli sunah sebagai kitab hadis shahih.

D. Perkembangan Selanjutnya
Bersamaan dengan penulisan hadis dan segala problematikanya, dalam upaya memelihara keotentikan suatu hadis para ulama menyusun sistematika ilmu hadis, di antaranya adalah ilmu rijal hadis dengan dua aspek keilmuan yang meliputi tarikh ar-ruwat dan kritik sanad melalui ilmu al-jarh wa at-ta’dil.
Di antara para ulama yang membahas tentang Tarikh ar-Ruwat adalah sebagai berikut.
1) Muhammad bin Sa’ad (168 – 230 H) dengan kitabnya At-Thabaqat al-Kubra.
2) Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194 – 256 H) dengan kitabnya At-Tarikh al-Kabir.
3) Syihabuddin Ahmad bin Ali (Ibnu Hajar) al-‘Asqalani (773 – 852 H) dengan kitabnya Tahdzib at-Tahdzib.
4) Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi (321 – 405 H) dengan kitabnya Tarikh Naisabur.
5) Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Baghdadi (al-Khatib al-Baghdadi) (392 – 463 H) dengan kitabnya Tarikh Baghdad.
6) Ali bin Husain Ibnu ‘Asakir ad-Dimasyqi (499 – 571 H) dengan kitabnya Tarikh Dimasyq.



Adapun penyusunan sistematika al-jarh wa at-ta’dil terjadi sejak akhir abad kedua hijrah sampai abad kedelapan hijrah.
Di antara para ulama yang memiliki perhatian tinggi terhadap al-jarh wa at-ta’dil ini adalah sebagai berikut.
1. Yahya bin Ma’in (158 – 233 H) dengan kitabnya Ma’rifat al-Rijal.
2. Ali bin al-Madini (161 – 234 H).
3. Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H).
4. Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194 – 256 H) dengan kitabnya Ad-Dhu’afa.
5. Ahmad bin Syu’aib Ali An-Nasai (215 – 303 H) dengan kitabnya Ad-Dhu’afa wa al-Matrukin.
6. Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi (240 – 327 H) dengan kitabnya al-Jarh wa at-Ta’dil.
7. Abu Hatim bin Hibban al-Busti (w. 354 H) dengan kitabnya As-Tsiqat.
8. Abdullah bin Muhammad al-Jurjani (277 – 365 H) dengan kitabnya AL-Kamil.
9. Syamsuddin Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabi (673 – 748 H) dengan kitabnya Mizan al-I’tidal.
10. Syihabuddin Ahmad bin Ali (Ibnu Hajar) al-‘Asqalani (773 – 852 H) dengan kitabnya Lisan al-Mizan.


REFERENSI

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. 1989. Ushul al-Hadis. Darul Fikr: Beirut.
As-Sayyis, Muhammad Ali. 2003. Sejarah Fikih Islam (terj.). Pustaka Al-Kautsar: Jakarta.
Brown, Daniel W. 2000. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern (terj.). Mizan: Bandung.
Ilyas, Yunahar & M. Mas’udi. Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis.
Juynboll, GHA. 1999. Kontroversi Hadis di Mesir (1890 – 1960) (terj.). Mizan: Bandung.
Nasikun. Hadis dalam Khazanah Intelektual Muslim: Al-Ghazali dan Binu Taimiyah (Suatu Telaah Menuju Sikap yang Adil Terhadap Hadis), dalam, Yunahar Ilyas & M. Mas’udi (ed.). Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis.


0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan